Bagi yang sering mbuka buku tentang perawi, tentu akrab dengan jenis perkataan Ibnu Ma’iin rahimahullah : laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya). Apa maknanya ?. Beberapa ulama telah menjelaskan bahwa perkataan Ibnu Ma’iin rahimahullah tersebut dapat mengkonsekuensikan salah satu di antara dua makna, yaitu : jarh dan bukan jarh.
1. Jarh.
Makna inilah yang terbanyak. Dan kebanyakan, maknanya adalah jarh yang keras (syadiid). Di antara ulama mutaqaddimiin yang menafsirkan perkataan laisa bi-syai’ dari Ibnu Ma’iin sebagai jarh yang keras adalah Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah. Yaitu, ketika ia membawakan perkataan Ibnu Ma’iin saat mengomentari Khaalid bin Ayyuub Al-Bashriy : laa syai’; maka Abu Haatim berkata : “Yaitu (maknanya), tidak tsiqah” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 3/321 no. 1429]. Ibnu Ma’iin dalam banyak riwayat justru sering menjelaskan apa yang ia maksud dengan perkataannya itu. Contoh :
a. Wahb bin Ismaa’iil bin Muhammad bin Qais Al-Asadiy (وهب بن إسماعيل بن محمد بن قيس الأسدي).
Abu Ishaaq Al-Junaid berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnu Ma’iin tentang Wahb bin Ismaa’iil, telah menceritakan kepada kami darinya Sa’duwaih. Ia (Ibnu Ma’iin) berkata : “Orang Kuufah, dan aku telah mendengar riwayat darinya, laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya)”. Aku (Ibnul-Junaid) berkata : “Tidak ada apa-apanya ?”. Ia menjawab : “Tidak tsiqah” [As-Suaalaat, hal. 87-88 no. 118].
b. ‘Umar bin Muusaa Al-Wajiihiy (عمر بن موسى الوجيهي).
Abu Ishaaq Al-Junaid berkata : Aku pernah mendengar Yahyaa bin Ma’iin berkata : “’Umar bin Muusaa Asy-Syaamiy, yang meriwayatkan darinya Baqiyyah. Ia adalah Al-Wajiihiy, kadzdzaab (pendusta), laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya)” [As-Suaalaat, hal. 169 no. 574]. Dalam riwayat Ad-Duuriy, ia berkata : “Tidak tsiqah” [At-Taariikh, 2/326 no. 5091].
c. ‘Abdul-A’laa bin Abil-Musaawir Az-Zuhriy (عبد الأعلى بن أبي المساور الزهري).
Telah berkata ‘Abbaas Ad-Duuriy dan Ibraahiim bin ‘Abdillah bin Al-Junaid, dari Yahyaa bin Ma’iin, (ia berkata) : “Laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya)”. Ibraahiim menambahkan : “Kadzdzaab (pendusta)”. Berkata Al-Mufadldlal Al-Ghilaabiy, dari Yahyaa bin Ma’iin : “Tidak tsiqah” [Tahdziibut-Tahdziib, 6/98 no. 204].
2. Bukan Jarh.
Ada sebagian perkataan Ibnu Ma’iin ‘laisa bi-syai’ bermakna bahwa si perawi tersebut tidak mempunyai banyak hadits (haditsnya sedikit). Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata :
وذكر بن القطان الفاسي أن مراد بن معين ب قوله: "في بعض الروايات ليس بشيء يعني أن أحاديثه قليلة جدا
“Ibnul-Qaththaan Al-Faasiy rahimahullah menyebutkan bahwa maksud Ibnu Ma’iin dengan perkataannya dalam sebagian riwayat : laisa bi-syai’, yaitu hadits yang ia punyai sangat sedikit” [Hadyus-Saariy, 1/421. Disebutkan juga oleh As-Sakhaawiy dalam Fathul-Mughiits, hal. 127].
Memutlakkan perkataan Ibnu Ma’iin rahimahullah tersebut pada penjelasan Ibnul-Qaththaan Al-Faasiy, tentu saja keliru berdasarkan penjelasan di point no. 1. Tapi di bawah akan dibawakan 3 (tiga) contoh kasus makna yang dikuatkan Ibnul-Qaththaan rahimahullah tersebut. Misalnya :
a. ‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Mukhtaar Al-Anshaariy (عبد العزيز بن المختار الأنصاري).
Berikut perkataan para ulama tentangnya :
Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Haatim berkata : “Shaalihul-hadiits, mustawal-hadiits, tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Ia sering keliru (yukhthi’)[1]”. Ia telah ditsiqahkan juga oleh Al-‘Ijliy, Ibnul-Barqiy, dan Ad-Daaruquthniy. Berkata Ibnu Abi Khaitsamah, dari Ibnu Ma’iin (ia berkata) : “Laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya)” [Tahdziibut-Tahdziib, 6/355-356 no. 681].
Dengan melihat perkataan para imam yang lain, maka perkataan Ibnu Ma’iin laisa bi-syai’ tersebut dibawa pada makna sedikit haditsnya. Apalagi di riwayat awal Ibnu Ma’iin sendiri telah menyatakan tsiqah.
b. Mua’llaa bin Ziyaad Al-Qurduusiy (معلى بن زياد القردوسي).
Berikut perkataan para ulama tentangnya :
Abu Haatim dan Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-Bazzaar berkata : “Tsiqah”. Muslim memakainya dalam kitab Shahih-nya.
Namun ada riwayat lain dari Ibnu Ma’iin : “Laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya), tidak ditulis haditsnya”. Ibnu ‘Adiy mengomentari perkataan Ibnu Ma’iin tersebut : “Riwayat-riwayatnya tidaklah mengapa. Dan aku tidak tahu dari mana Ibnu Ma’iin berkata : tidak ditulis haditsnya” [Tahdziibut-Tahdziib, 10/237 no. 434].
Ibnu Hajar menyimpulkan : “Shaduuq, sedikit haditsnya, zaahid” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 961 no. 6852].
c. Handhalah bin ‘Abdirrahmaan At-Taimiy (حنظلة بن عبد الرحمن التيمي).
Ibnu ‘Adiy menyebutkankan keterangan dirinya dalam Al-Kaamil (3/343 no. 539). Di antaranya disebutkan : Ibnu Ma’iin berkata : “Dla’iif, ditulis haditsnya”. Di lain riwayat ia berkata : “Laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya)”. Kemudian Ibnu ‘Adiy berkata : “Aku tidak melihat Handhalah dari sisi hadits kecuali sedikit haditsnya. Ats-Tsauriy kadang meriwayatkan darinya sesuatu yang sedikit. Dan tidak nampak bagiku kelemahannya dengan sebab sedikitnya hadits yang dimilikinya” [selesai].
Dhahir perkataan Ibnu ‘Adiy rahimahullah menjelaskan bahwa ia menolak pendla’ifan Ibnu Ma’iin. Ia hanya melihat kritik dari sisi sedikitnya hadits yang ia miliki. Dan sesuatu yang sangat mungkin menguatkan perkataan Ibnu ‘Adiy adalah perkataan Ibnu Ma’iin sendiri, bahwa di riwayat lain ia berkata : “Tidak mengapa dengannya, insya Allah” [At-Taariikh min Riwaayaat Ad-Duuriy, 2/6 no. 2844].
Jadi, perkataan laisa bi-syai’ dari Ibnu Ma’iin itu perlu dilihat bersama perkataan para imam yang lain, dan juga perkataan Ibnu Ma’iin yang lain (jika ada). Apabila perkataan-perkataan tersebut mengarah pada tautsiq (pentsiqahan), maka hendaknya membawa perkataannya tersebut pada makna sedikit haditsnya. Wallaahu a’lam.
Ini saja tulisan ringkas yang dapat saya ketik sebelum mematikan lampu dan leptop. Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – mengambil faedah dari Ar-Raf’ut-Takmiil fil-Jarh wat-Ta’diil karya Al-Luknawiy, At-Tankiil karya Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy, dan Al-Khulashah fii ‘Ilmi Al-Jarh wat-Ta’diil karya ‘Aliy Asy-Syuhuud].
[1] Faedah :
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah menjelaskan perkataan Ibnu Hibbaan dalam Ats-Tsiqaat : ‘yukhthi’, maknanya bahwa perawi tersebut (dengan kekeliruannya) haditsnya tidak jatuh dari derajat hasan [lihat : Ar-Raudlud-Daaniy fil-Fawaaidil-Hadiitsiyyah lil-Albaaniy oleh ‘Ishaam Muusaa Haadiy, hal. 67].
Comments
Izin saved ustadz...barakallahu fiik
Semoga Allah Tabaraka wa Ta'ala memberkahi ilmu antum.
--Tommi--
Assalamu'alaikum
dari Nahl Muslim
tentang Fadhilah surat Yasin:
Sunan Darimi 3283: Telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Syuja' telah menceritakan kepadaku ayahku telah menceritakan kepadaku Ziyad bin Khaitsamah dari Muhammad bin Juhadah dari Al Hasan dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena mengharap wajah Allah niscaya ia akan diampuni pada malam hari tersebut."
mas Abu jauza....jadi sampeyan juga ikut menganggap kalau Hasan Al Basri telah berdusta bahwa ia mendengar hadist dari Abu hurairah....? Padahal Beliau adalah perawi Kutubussittah...? Bahkan Malik, Ahmad dan darimi juga memakai jasa beliau.
Imam Bukhari menggunakan jasa beliau sebagai perawi dalam 40 hadist, imam Muslim 26, dan Imam Nasa'i 99 hadist, bahkan Imam Ahmad 515 hadist...?
Masih berani menganggap Hasan Al-basri telah berdusta bahwa ia telah mendengar hadist dari Abu Hurairah...?
terus tentang Muhammad bin Juhadah.....beliau itu juga perawi Kutubussittah....Tsiqoh..
Kemudian tentang AlWalid bin syuja' , Imam muslim memakai beliau 9 kali..Abu Daud rh dan Tirmidzi rh masing masing sekali..darimi rh 11 kali...
Semoga Alloh memberikan kepahaman kepada kita semua...
Nahl Muslim,.... Anda ini gimana si.... Kok tiba-tiba ngomong tak beraturan tanpa pola seperti itu. Apa hubungannya saya mendustakan Al-Hasan Al-Bashriy ?.
Ilmu hadits itu memang perlu proses untuk belajar, perlu buku untuk dibaca, dan perlu penjelasan untuk didengar.
Untuk hadits fadliilah Yaasiin itu, saya sebenarnya telah membahas tentang hadits itu. jadi mas,.... Al-Hasan Al-Bashriy itu adalah imam tsiqah. Gak ada perselisihan antara Anda dan saya, insya Allah, dalam hal ini. Namun sebagaimana ma'ruf dalam ilmu hadits, tidak semua perawi tsiqah itu haditsnya mesti shahih. Salah satu faktor ketidakshahihan itu adalah faktor mursal, yaitu keterputusan antara perawi tsiqah itu dengan syaikhnya.
Nah,.... tentang riwayat Al-Hasan Al-Bashriy dari Abu Hurairah, para ulama mutaqaddimiin telah membicarakannya. Saya sebutkan di antaranya :
Abu Zur'ah Ar-Raaziy berkata :
لم يسمع الحسن من أبي هريرة ولم يره. فقيل له: فمن قال حدثنا أبو هريرة؟ قال: يخطىء
"Al-Hasan tidak pernah mendengar dari Abu Hurairah, dan tidak pula pernah melihatnya". Dikatakan kepadanya : "Dan barangsiapa berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah ?". Abu Zur'ah menjawab : "Ia telah keliru" [Al-Maraasil].
Imam Ahmad berkata dalam Al-'Ilal :
ثنا عفان ثنا وهيب قال: قال أيوب: لم يسمع الحسن من أبي هريرة
"Telah menceritakan kepada kami 'Affaan : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib, ia berkata : Telah berkata Ayyuub (As-Sukhtiyaaniy) : 'Al-Hasan tidak mendengar riwayat dari Abu Hurairah".
Abu Haatim berkata :
لم يسمع الحسن من أبي هريرة شيئاً
"Al-Hasan tidak mendengar sedikit pun dari Abu Hurairah" [Al-Maraasil].
Al-'Alaa'iy dalam Jaamiu't-Tahshiil (hal. 164) mengemukakan bahwa Al-Hasan tidak mendengar riwayat Abu Hurairah adalah pendapat jumhur.
Selain itu,.... sanad hadits yang Anda bawakan itu goncang :
- Satu waktu hadits itu diriwayatkan oleh Al-Waliid bin Syujaa', dari ayahnya, dari Ziyaad bin Khaitsamah, dari Muhammad bin Juhaadah, dari Al-Hasan, dari Abu Hurairah (sebagaimana riwayat Ad-Daarimiy yang Anda sebut).
- Satu waktu hadits itu diriwayatkan oleh Al-Waliid bin Syujaa', dari ayahnya, dari Ziyaad bin Khaitsamah, dari Muhammad bin Juhaadah, dari Al-Hasan, dari Jundab (sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 2574).
- Satu waktu hadits itu diriwayatkan oleh Al-Waliid bin Syujaa', dari ayahnya, dari Ziyaad bin Khaitsamah, dari Muhammad bin Juhaadah, dari Al-Hasan, dari 'Athaa' bin Abi Rabbaah (sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 3461).
Matannya pun berlainan. Dalam riwayat Abu Hurairah dan Jundab disebutkan membaca Yasin di malam hari. Dalam riwayat 'Athaa' disebutkan pertengahan siang.
Ini semua merupakan keterangan yang melemahkan hadits yang Anda sebut.
Wallaahu a'lam.
Maaf diluar tema,
bagaimana pendapat anda tentang hadis yg mengatakan org yg berbicara pd saat khatib jumat di mimbar maka di akhirat nanti akan jd keledai yg memikul kitab, apa hadist tsb shahih?
Posting Komentar