حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ. ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ عِيسَى، عَنْ شَرِيكٍ، عَنِ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي زُرْعَةَ، عَنِ الْمُهَاجِرِ الشَّامِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ فِي حَدِيثِ شَرِيكٍ يَرْفَعُهُ، قَالَ: " مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ زَادَ، عَنْ أَبِي عَوَانَةَ ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ "،
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، قَالَ: ثَوْبَ مَذَلَّةٍ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa[1] : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah[2] (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa, dar Syariik[3], dari ‘Utsmaan bin Abi Zur’ah[4], dari Al-Muhaajir Asy-Syaamiy[5], dari Ibnu ‘Umar, ia berkata (secara mauquuf) – dan dalam hadits Syariik ia memarfu’kannya – beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” – dan dalam riwayat Abu ‘Awaanah terdapat tambahan : “kemudian akan dibakar padanya di dalam neraka”.
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami, ia berkata : “Yaitu pakaian kehinaan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4029].
Abu Haatim Ar-Raaziy mentarjih bahwa riwayat mauquuf lebih shahih.[6] 'Utsmaan bin Abi Zur'ah dalam periwayatan marfuu' telah diselisihi oleh Al-Laits bin Abi Sulaim, sedangkan ia seorang yang dla'iif. Oleh karena itu, riwayat marfuu’ ini mahfuudh. Wallaahu a'lam.
Mengomentari hadits di atas, As-Sindiy rahimahullah berkata :
مَنْ لَبِسَ ثَوْبًا يَقْصِد بِهِ الِاشْتِهَار بَيْن النَّاس ، سَوَاء كَانَ الثَّوْب نَفِيسًا يَلْبَسهُ تَفَاخُرًا بِالدُّنْيَا وَزِينَتهَا ، أَوْ خَسِيسًا يَلْبَسهُ إِظْهَارًا لِلزُّهْدِ وَالرِّيَاء
“Yaitu : Orang yang memakai pakaian dengan tujuan kemasyhuran/kepopuleran di antara manusia. Sama saja, apakah pakaian itu bagus yang dipakai untuk berbangga-bangga dengan dunia dan perhiasannya, atau pakaian itu hina/jelek yang dipakai untuk menampakkan kezuhudan dan riyaa’ (di hadapan manusia)” [Hasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Sunan Ibni Maajah, sumber : http://www.yanabi.com/Hadith.aspx?HadithID=30403].
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
قال ابن الأثير : الشهرة ظهور الشيء والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم بالعجب والتكبر
“Ibnul-Atsiir berkata : ‘Asy-Syuhrah adalah tampaknya sesuatu. Maksudnya bahwa pakaiannya populer di antara manusia karena warnanya yang berbeda sehingga orang-orang mengangkat pandangan mereka (kepadanya). Dan ia menjadi sombong terhadap mereka karena bangga dan takabur” [Nailul-Authaar, 2/111 – via Syamilah].
Para ulama telah menjelaskan bahwa salah satu bentuk terlarang pakaian syuhrah ini adalah pakaian yang berbeda dari adat kebiasaan orang-orang setempat. Perhatikan dua riwayat di bawah :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنِ الْحُصَيْنِ، قَالَ: كَانَ زُبَيْدٌ الْيَامِيُّ يَلْبَسُ بُرْنُسًا، قَالَ: فَسَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ عَابَهُ عَلَيْهِ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَلْبَسُونَهَا، قَالَ: " أَجَلْ ! وَلَكِنْ قَدْ فَنِيَ مَنْ كَانَ يَلْبَسُهَا، فَإِنْ لَبِسَهَا أَحَدٌ الْيَوْمَ شَهَرُوهُ، وَأَشَارُوا إِلَيْهِ بِالأَصَابِعِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Al-Hushain, ia berkata : Dulu Zubaid Al-Yaamiy pernah memakai burnus (sejenis tutup kepala). Lalu aku mendengar Ibraahiim mencelanya karena perbuatannya yang memakai burnus tersebut. Aku berkata kepada Ibraahiim : “Sesungguhnya orang-orang dulu pernah memakainya”. Ibraahiim berkata : “Ya. Akan tetapi orang-orang yang memakainya sudah tidak ada lagi. Apabila ada seseorang yang memakainya hari ini, maka ia berbuat syuhrah dengannya. Lalu orang-orang berisyarat dengan jari-jari mereka kepadanya (karena heran)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25655; sanadnya shahih].
أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْن ثابت بْن بندار، نا أبي الْحُسَيْن بْن عَلِيّ، نا أَحْمَد بْن منصور البوسري، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مخلد، ثني مُحَمَّد بْن يوسف، قَالَ: قَالَ عَبَّاس بْن عَبْدِ العظيم العنبري: قَالَ بِشْر بْن الحارث: إن ابْن الْمُبَارَك " دخل المسجد يوم جمعة وعليه قلنسوة فنظر الناس ليس عليهم قلانس فأخذها فوضعها فِي كمه "
Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Tsaabit bin Bundaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku (: Telah mengkhabarkan kepada kami ) Al-Husain bin ‘Aliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Manshuur Al-Buusiriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yuusuf, ia berkata : Telah berkata ‘Abbaas bin ‘Abdil-‘Adhiim Al-‘Anbariy : Telah berkata Bisyr bin Al-Haarits : Sesungguhnya Ibnu Mubaarak pernah masuk ke dalam masjid pada hari Jum’at, dan ia memakai peci. Lalu ia melihat orang-orang tidak ada yang memakai peci. Maka Ibnul-Mubaarak melepas dan menyimpannya di balik bajunya” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Talbiis Ibliis, hal. 184].
Al-Mardawiy rahimahullah berkata saat menjelaskan posisi madzhabnya :
يُكْرَهُ لُبْسُ مَا فِيهِ شُهْرَةٌ ، أَوْ خِلَافُ زِيِّ بَلْدَةٍ مِنْ النَّاسِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ
“Dimakruhkan memakai sesuatu yang menimbulkan syuhrah/popularitas atau menyelisihi pakaian penduduk negeri setempat berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah)” [Al-Inshaaf, 2/263].
Oleh karena itu, syari’at menganjurkan kita berpakaian dengan pakaian yang dipakai oleh penduduk negeri tempat kita tinggal, selama tidak ada hal-hal yang menjadi larangan syari’at. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata ketika menjelaskan tentang masalah ‘imamah (surban) :
والسنة لكل إنسان أن يلبس ما يلبسه الناس ما لم يكن محرماً بذاته ، وإنما قلنا هذا ؛ لأنه لو لبس خلاف ما يعتاده الناس لكان ذلك شهرة ، والنبي صلى الله عليه وسلم نهى عن لباس الشهرة ، فإذا كنا في بلد يلبسون العمائم لبسنا العمائم ، وإذا كنا في بلد لا يلبسونها لم نلبسها
“Yang disunnahkan bagi setiap orang adalah memakai pakaian yang dipakai oleh orang-orang kebanyakan selama dzatnya tidak diharamkan. Hanyalah kami mengatakan demikian karena seandainya ia memakai pakaian yang berbeda dengan kebiasaan orang-orang, itu merupakan syuhrah. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang memakai pakaian syuhrah. Seandainya kita berada di negeri yang orang-orangnya memakai ‘imamah (surban), maka kita memakai ‘imamah. Namun apabila kita berada di negeri yang orang-orangnya tidak mamakai ‘imamah, maka kita pun tidak memakainya....” [Liqaa Al-Baab Al-Mafttuh, 23/160].
Termasuk hal yang mengherankan, ada sebagian saudara kita yang melarang – atau bahkan mencela – pemakaian peci hitam sebagaimana lazim dipakai penduduk negeri kita. Padahal telah menjadi pengetahuan jamak bahwa peci hitam merupakan salah atribut pakaian kaum muslimin negeri kita. Tidak ada pula dalil yang melarangnya. Peci hitam tidak ubahnya seperti peci putih, hijau, biru, atau warna-warna yang lainnya.
Apakah peci hitam itu dilarang karena warna hitamnya ?. Jika inii alasannya, maka salah satu sifat ‘imamah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah berwarna hitam sebagaimana riwayat :
حدثنا عَلِيُّ بْنُ حَكِيمٍ الْأَوْدِيُّ، أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَمَّارٍ الدُّهْنِيِّ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ: أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ، وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Hakiim Al-Audiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Syariik, dari ‘Ammaar Ad-Duhniy, dari Abuz-Zubair, dari Jaabir bin ‘Abdillah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memasuki pada hari penaklukan Makkah dengan memakai ‘imaamah (surban) berwarna hitam [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1358].
Bahkan para ulama kita terdahulu telah ada yang memakai peci berwarna hitam. ‘Abdurrahmaan bin Muhammad bin Al-Mughiirah rahimahullah berkata :
رأيت أبا حنيفة شيخاً يفتي الناس بمسجد الكوفة عليه قلنسوة سوداء طويلة
“Aku pernah melihat Abu Haniifah seorang syaikh yang memberikan fatwa kepada manusia di Masjid Kuufah, dimana (waktu itu) ia memakai peci hitam panjang” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 6/399].
حدثنا أَبُو مُسْهِرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ عَلَى الْأَوْزَاعِيِّ قَلَنْسُوَةً سَوْدَاءَ فِي أَيَّامِ ابْنِ سُرَاقَةَ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Mus-hir, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khaalid, ia berkata : “Aku pernah melihat Al-Auza’iy memakai peci hitam pada peristiwa Ibnu Suraaqah” [Diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam Taariikh-nya no. 368 & 2319; shahih].
أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: " كُنْتُ إِذَا رَأَيْتُ دَاوُدَ الطَّائِيَّ لا يُشْبِهُ الْقُرَّاءَ، عَلَيْهِ قَلَنْسُوَةٌ سَوْدَاءُ طَوِيلَةٌ مِمَّا يَلْبَسُ التُّجَّارُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : “Dulu jika aku melihat Daawud Ath-Thaa’iy, ia tidak menyerupai qurraa’, karena ia memakai peci hitam panjang yang dipakai para pedagang” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat, 6/536; shahih].
Hadits, penjelasan ulama, dan contoh-contoh di atas semoga dapat menjadi kejelasan bagi kita tentang diperbolehkannya memakai peci hitam. Bagi yang lebih senang memakai peci putih haji, ya silakan. Bebas memilihnya.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – ciper, ciomas, bogor - direvisi tanggal 22-05-2012, 01:23 WIB].
[1] Muhammad bin ‘Iisaa bin Najiih Al-Baghdaadiy, Abu Ja’far bin Ath-Thabbaa’; seorang yang tsiqah lagi faqiih, termasuk orang yang paling tahu hadits Husyaim. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 150 H, dan wafat tahun 224 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Abu Daawud, At-Tirmidziy dalam Asy-Syamaail, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 886-887 no. 6250].
[2] Al-Wadldlaah bin ‘Abdillah Al-Yasykuuriy, Abu ‘Awaanah Al-Waasithiy Al-Bazzaar; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 175/176 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1036 no. 7457].
[3] Syariik bin ‘Abdillah bin Abi Syariik An-Nakha’iy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy Al-Qaadliy; seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya dan berubah hapalannya ketika menjabat qaadliy. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 177 H/178 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2802].
[4] ‘Utsmaan bin Al-Mughiirah Ats-Tsaqafiy, Abul-Mughiirah Al-Kuufiy Al-A’syiy – ia adalah ‘Utsmaan bin Abi Zur’ah; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 669 no. 4552].
[5] Muhaajir bin ‘Amru An-Nabbaal Asy-Syaamiy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : maqbuul. Termasuk thabaqah ke-4. Dipakai oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 975 no. 6971].
Namun yang benar ia seorang yang shaduuq, hasanul-hadiits. Ibnu Hibbaan telah mentsiqahkannya, dan beberapa perawi tsiqaat pun meriwayatkan darinya [Tahriirut-Taqriib, 3/422 no. 6922].
[6] Ibnu Abi Haatim berkata :
وَسألت أبي عَنْ حديث رَوَاهُ شَرِيكٌ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي زُرْعَةَ، عَنْ مُهَاجِرٍ الشَّامِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ ". قَالَ أَبِي: هَذَا الْحَدِيثُ مَوْقُوفٌ أَصَحُّ
“Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadits yang diriwayatkan Syariik, dari ‘Utsmaan bin Abi Zur’ah, dari Muhaajir Asy-Syaamiy, dari Ibnu ‘Umr, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian kehinaan pada hari kiamat’. Ayahku berkata : “Hadits ini dalam periwayatan mauquuf lebih shahih” [Al-‘Ilal, no. 1471].
Comments
di kampung saya dakwah salaf masih asing, masyarakatnya tidak terbiasa melihat lelaki bergamis sebetis/selutut atau wanita berjilbab lebar dan bercadar. Apakah saat saya pulang kampung sebaiknya cukup bersarung dan berbaju koko dan isteri mencopot cadar saja, agar tidak termasuk syuhrah?
Rasanya akan pas dengan tema pertanyaan yang sudah lama ada dibenak ini .
Bagaimana dengan pakaian ala pakistan atau timur tengah yang dipakai oleh sebagian ikhwan ?
Sebagian dari mereka menyatakan ingin berpakaian yang total tidak menunjukan aurat ( bentuk tubuh )nya , namun sebagian yang lainnya ingin menjadikan ciri seorang ahlus sunnah .
Ana tidak menanyakan hati para ikhwan , yang ana tanyakan adalah apakah pakaian tersebut tergolong syuhrah ?
Ada sebagian saudara kita yang lebih ekstrim lagi , dengan tidak mau lagi memakai baju daerah ( indonesia ) dan hanya menggunakan baju ala pakistan dan timur tengah .
Sukron ustadz.
Yang bilang ustadz kita, yuk kita jaga persatuan, biarlah saudara kita mau ngomong apa yang penting kita ngalah biar menjaga persatuan.
Jangan berbantah bantah-bantahan, biarkan aja, utamakan persatuan, kita ngalah aja lah. Kita datangi majelisnya untuk melembutkan hati mereka, toh yang penting ilmukan? Walau mereka menganggap ustadz yang lain itu bermasalah jangan dibantah, ingat jangan membantah didengarkan saja, kalau ga mau ya udah jangan dihiraukan.
Yuk kita ramaikan kajian akhir februari ini di jogja ....
Izin copas ya ustadz...barakallahu fiik...
-Tommi-
@Anonim 21 Februari 2012 07:31,....
Tidak
=======
@Anonim 21 Februari 2012 07:53.....
Ahlus-Sunnah tidaklah mempunyai ciri khas tertentu dalam model pakaian, yang barangsiapa meninggalkannya, artinya meninggalkan salah satu cabang dari ciri Ahlus-Sunnah. Tidak ala Saudi, ala Pakistan, atau ala ala yang lainnya. Pakaian itu semuanya boleh kecuali ada dalil yang diharamkan syari'at.
Pakaian ala Pakistan itu baik dan boleh dipakai. Namun mesti diingat bahwa itu tidak bisa mutlak diperbolehkan di semua tempat. Jika di suatu daerah pakaian itu dianggap asing yang jika ada orang memakainya, maka semua perhatian orang akan tertuju kepadanya; jadilah itu pakaian syuhrah baginya.
Lagi pula, jika niatnya ingin menutupi aurat, toh juga tidak harus mengenakan pakaian ala Pakistan atau Saudi kan ?.
wallaahu a'lam.
ya benar ustadz...
karena itu pulalah ustadz arifin badri hampir selalu memakai peci/kopyah hitam ini (beliau menjelaskan dlm kajian si masjid brimob depok), selain dalil sunnahnya justru lbh banyak yg hitam , jg dlm rangka menjelaskan kpd mereka yg masih 'sempit' dlm hal ini.
Afwan ikut komen ustadz.
Di indonesia para kyai, habib, "wali songo" dan lainnya juga pada pake sorban dan jubah, lihat aja gambar2 mereka, misal para sesepuh aswaja, atau ormas islam seperti muhammadiyah dll. Para pendahulu mereka pada pakai sorban atau kadang jubah, karena mereka juga ada yang menimba ilmu di Arab saudi atau memang berasal dari jazirah arab. Jadi sudah terbetik pada sebagian manusia dinegeri kita, kalau pakaian seperti sorban dan jubah itu tidak asng lagi bahkan kadang menunjukkan keilmuan / kesolehan seseorang... Jadi memakai gamis atau kopyah, peci atau sorban sudah tidak asing dimasyarakat negeri ini, sehingga memakainya menurut ana bukan lagi syuhrah, kecuali dalam hati sipemakai memang ingin syuhrah. Wallahu A'lam. Betul tidak ustadz pernyataan ana ini.. Barokallahu fiik.
Pak Toto
Tidak bisa mutlak dibenarkan. Maksudnya, benar bahwasannya sebagian pakaian itu - misal : surban atau gamis panjang ala Saudi - telah dikenal di Indonesia. Akan tetapi standar syuhrah itu bukan sekedar dikenal atau tidaknya. Akan tetapi, lazimkah ia menjadi pakaian yang dipakai oleh penduduk negeri sehingga orang yang mengenakan tidak akan dipandang aneh ?. Coba antum perhatikan atsar celaan Ibraahiim An-Nakha'iy di atas tentang burnus.
wallaahu a'lam.
ustadz, apa maksud jawaban "tidak" terhadap pertanyaan anonim 21 februari?
di kampung saya, wanita bercadar itu seperti orang asing. jika wanita bercadar lewat seakan semua orang yg melihatnya akan memperhatikannya, bahkan tidak sedikit yg mencelanya. saya yg lebih condong dg pendapat sunnahnya memakai cadar belum berani mengenakannya karna kondisi masyarakat yg seperti itu.
jazakallah khoir atas jawabannya
Maksudnya, itu bukan pakaian syuhrah.
Memakai cadar, celana ngatung, jilbab, dan yang semisalnya bukanlah syuhrah, karena ia memang pakaian yang disyari'atkan oleh Islam berdasarkan nash. Seandainya kita hidup di Papua yang umumnya memakai koteka, lalu kita pakai pakaian lengkap yang menutupi aurat dan istri kita pun berhijab, maka itu bukan syuhrah, meskipun akan dianggap aneh dan dicibir oleh masyarakat sana.
Anjuran untuk memakai pakaian penduduk negeri setempat itu tetap dibatasi syarat : tidak dilarang oleh syari'at.
Sama halnya dengan masalah cadar. Meskipun akan dianggap aneh oleh masyarakat - karena minimnya ilmu agama mereka - , tetap saja wanita disyari'atkan untuk memakainya. Tidak bisa dikatakan cadar merupakan pakaian syuhrah. Pun bagi orang yang memegang pendapat bahwa ia (cadar) hanya disunnahkan saja. Celaan hanyalah ujian, yang akan segera lewat - insya Allah - jika kita terus berinteraksi secara baik dengan mereka. Adapun pilihan mengenakan atau tidak mengenakan cadar, maka tergantung pada yang bersangkutan. Tidak ada kaitannya dengan syuhrah.
wallaahu a'lam.
ini membahas tentang hukum peci hitam namun pembahasan haditsnya tentang pakaian syuhrah?
Kalau saya sih melihat ga nyambung? memangnya ada orang yang mengatakan bahwa peci hitam itu termasuk pakaian syuhrah sehingga di haramkan?
kayanya orang kaya gitu fiqhnya jumud banget kali ya? apa semacam muqollid mutlak ama fatwa timur tengah yang disana ga ada peci hitam. Sehingga di hukumi pakaian syuhroh.
Aneh-aneh sayang di indonesia ini ga ada pengadilan syariah, kalau ada orang kaya gitu dilaporin aja lah biar ga bicara halal-haram se enaknya
Afwan ustadz, Kemeja dan celana pantalon yang biasa dipakai oleh masyarakat udah nyar'i?
Bukankah ketika sujud dengan pakaian seperti itu akan terlihat jelas bentuk ( maaf ) pantat , selangkangan dan apa saja yang ada disitu... Berartikan kurang sempurna menutup auratnya ustadz..
Mohon pencerahanya.
anonim 22 Februari 2012 14:31,
kayaknya yang ga nyambung anda deh, menurut anda peci itu termasuk dari pakaian yang dikenakan bukan?
Hukum mengenakan peci baik ketika shalat ataupun dalam rutinitas keseharian ada sunnahnya gak ustadz ?
Kalau gak salah denger ( dari ceramah ustadz badrussalama) imam bukhory batal mengambil riwayat dari seorang rawi yang gak mengenakan peci...
Mohon pencerahanya
Assalaamu'alaikum Ustadz,
"Seluruh manusia akan dikumpulkan di padang masyhar dlm keadaan telanjang"(saya lupa haditsnya).Hadits yg Ustadz sebutkan adalah bhw manusia yg berpakaian syuhrah akan dibangkitkan di hari akhir dgn pakaian syuhrah yg dikenakannya.
1. Apakah kedua hadits tdk bertentangan?
2. Apakah Rasulullah selalu mengenakan sorban?
3. Apakah di negara kita, sorban termasuk syuhrah?
Jazakallahu khoiron katsiiro
Apakah pakaian yang dikenakan oleh syaikh Abdurrozzaq, atau syaikh yang lain ketika di Indonesia juga termasuk syuhrah?
@Anonim 22 Februari 2012 19:33,....
Pantalon itu ada yang sempit, ada pula yang longgar. Yang terakhir ini boleh dikenakan.
========
@Anonim 22 Februari 2012 21:20,....
Kalau peci, saya belum mengetahuinya. Yang dipakai Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah imamah. Adapun mengenakan peci sendiri, maka paling banter ia hanya merupakan pelaksanaan sunnah jibliyyah saja. Ia akan diberikan pahala berdasarkan niatnya. Jika niatnya adalah untuk menunjukkan identitas sebagai seorang muslim dan pembeda dengan orang kafir, maka itu baik. Namun jika niatnya hanyalah untuk sok-sokan, riyaa', sum'ah atau semisal, tentu saja ia berdosa dengan hal ini.
Tentang Al-Imaam Al-Bukhaariy, saya belum mengetahuinya.
=======
@Anonim 22 Februari 2012 21:41,....
1. Tidak bertentangan. Karena hadits larangan syuhrah telah disebutkan bahwa maksud pakaian semisal adalah pakaian kehinaan. Ini riwayat Ibnu Maajah :
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا، أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ أَلْهَبَ فِيهِ نَارًا
"Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya PAKAIAN KEHINAAN pada hari kiamat, kemudian akan dibakar padanya di dalam neraka".
Ibnul-Atsiir menjelaskan : Yaitu ia akan diliputi oleh kehinaan pada hari kiamat sebagaimana pakaian meliputi badan. Wallaahu a'lam.
2. Tidak selalu.
3. Negara kita itu adalah dari wilayah yang meliputi Sabang sampai Merauke. Kondisi satu daerah tidaklah sama dengan daerah lainnya. Bisa jadi di satu daerah ia termasuk syuhrah, dan di daerah lain tidak.
==============
@Anonim 23 Februari 2012 05:32.....
Lihat jawaban di atas.
Kalau melihat daerah yang dikunjungi syaikh kemarin (Jogja dan Jakarta), maka pakaian jubah Saudi itu bukan termasuk syuhrah.
wallaahu a'lam.
Subhanallah, saya sih awam, Ustaz. Saya cuma bisa mendoakan semoga ALlah menambah ketaqwaan ustaz dan mengukuhkan ustaz di jalan yang benar. Semoga ustaz termasuk orang yang dipuji Allah di At-Taubah ayat 100.
Ok jadi bagaimana kesimpulannya ini? apakah pakaian syuhrah ini adalah pakaian yang bertentangan dengan adat setempat (ganjil / nyeleneh) atau ia dihukumi syuhroh kembali kepada niat masing-masing individu dalam memakainya? apakah untuk mencari popularitas atau tidak.
jadi walau suatu pakaian itu bertentangan dengan adat setempat atau asing selama pakaian tersebut masih dalam batasan syar'i dan tidak menampakkan aurat atau berasal dari dzat yang haram maka ia tidaklah pakaian syuhrah apa bagitu?
Pakaian syuhrah itu adalah pakaian yang 'mencolok' mata. Bisa karena berbeda dengan pakaian penduduk setempat, atau memakai pakaian yang tidak semestinya. Coba antum refresh kembali artikel di atas. Itu bukan sekedar tergantung dari niat saja [silakan simak kembali atsar Ibraahiim dan Ibnul-Mubaarak di atas].
Kita dianjurkan untuk berpakaian sewajarnya dan tidak menyelisihi pakaian penduduk setempat (baca penjelasan Al-Mardawiy di atas). Tentu saja, ini dibatasi dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syari'at (menutupi aurat, tidak transparan, tidak terlampau ketat, dll.). Jika ternyata sifat pakaian penduduk setempat itu menyelisihi syari'at (misalnya : koteka di Papua), maka berpakaian sesuaai dengan aturan syari'at dengan menutup aurat bukanlah termasuk syuhrah. Wallaahu a'lam.
Mencolok mata itu sifat yang relatif, bisa jadi menggunakan gamis mencolok mata pada daerah tertentu di indonesia yang penduduknya asing dengan pakaian gamis?
padahal pakaian itu bukan pakaian syuhroh dan pemakainnya tidak berniat untuk mencari popularitas.
Apakah jika gamis itu mencolok mata di daerah terntentu yang asing dengan pakaian gamis maka wajib bagi itu meninggalkan pakaian tersebut dan pada waktu itu ia menjadi pakaian syuhroh?
dan ini berkaitan dengan hukum menghukumi wajib dan haram yang berkaitan dengan urf suatu daerah apa begitu?
mohon eksplanasi
Kalau antum benar-benar mencermati artikel di atas dan juga komentar-komentar setelahnya, saya kira tidak perlu menanyakan hal tersebut, karena hanya akan mengulang saja.
Mengenai hukum pakaian syuhrah, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan makruh, adapula yang mengatakan haram. Namun dhahir hadits di awal artikel mengindikasikan syuhrah itu haram - sebagaimana dikatakan Asy-Syaukaaniy. Namun, baik itu makruh ataupun haram, pakaian syuhrah tidaklah layak untuk kita pakai.
wallaahu a'lam.
bismillah,.
afwan ustadz donny,.sedikit tentang libas syuhroh,.dulu ana pernah baca di link http://ustadzaris.com/pakaian-tenar-syuhroh-makruh-atau-haram ada diskusi menarik tentang libas syuhroh antara ustadz aris dengan salah seorang ikhwan,..tapi g tau juga kenapa komentarnya sekarang ditutup,.
kesimpulan yang ana ambil dr diskusi tersebut ialah bahwa libas syuhroh itu diharamkan atau minimal dimakruhkan jika berhubungan dengan i'tiqod,..
afwan,ana "anak baru" yg mengenal manhaj ini
Rifa'i
Libas syuhrah tidaklah selalu tergantung dari i'tiqaad.
Afwan, ana komen dikit. Peci hitam insyaAllah boleh, yang nggak boleh yang udah bau tengik,karna tidak bisa/pernah dicuci dan ke mesjid dilarang membawa bau yang busuk.jadi kalau udah bau ya, cuci. ok. jazakallahu khair.
ustadz, nama ana zikri dari malaysia. kebiasaan penduduk di sini tidak memakai jubah putih atau warna yang lainnya, mereka kebiasaannya memakai tshirt dan celana panjang. adakah jika ana memakai jubah ia termasuk dalam syuhrah?
Jika memang pakaian tersebut tidak pernah dipakai oleh penduduk negeri antum atau tidak ada satu pun yang memakainya di daerah antum selain diri antum; saya khawatir itu termasuk syuhrah. Karena dengan memakai jubah itu, pandangan orang-orang akan tertuju pada antum karena antum 'berbeda' dengan masyarakat kebanyakan.
Sebagaimana dikatakan oleh para ulama, kita dianjurkan untuk memakai pakaian penduduk negeri kita dengan penyesesuaian terhadap syarat-syarat pakaian agar tidak melanggar syari'at (menutup aurat, tidak menyerupai wanita, tidak tipis dan transparan, dan yang lainnya).
wallaahu a'lam.
Bismillah, Ustadz dalam lafadz as-sindy yang antum bawakan terdapat kalimat "dengan tujuan" dan "berbangga-bangga" ini menandakan masuknya niatan didalamnya. Jika seseorang memakai gamis atau jubah dengan niat menutup aurat secara sempurna (baik kulit maupun bentuknya) karena inilah sesempurna-sempurnanya penutup aurat bagi laki-laki, walau dengan konsekuensi berbeda dengan lingkungan sekitarnya, apakah dihukumi libas syuhrah? lalu lebih afdhal mana sholat memakai jubah/gamis dibandingkan mengenakan pantalon? Karena selonggar apapun pantalon/sirwal, ketika sujud dapat dipastikan bentuk/lekukan (afwan) pantat terlihat, kecuali terdapat kain baju (atasannya) yang menutupinya.. Mohon nasihat...
Benar, As-Sindiy mengatakan itu. Tapi menilik dari beberapa atsar yang ada dan juga penjelasan ulama yang lain - wallaahu a'lam - satu pakaian dinamakan syuhrah tidaklah terikat dengan niat. Namun apapun itu, sedapat mungkin kita menghindari pakaian syuhrah.
Jika gamis atau jubah panjang di tempat antum merupakan pakaian telah dikenal oleh masyarakat, gak apa-apa memakainya. Namun jika antum mengatakan bahwa menutup aurat yang paling sempurna adalah dengan memakai gamis/jubah, saya rasa ini kurang tepat. Kita memakaibaju koko dan sarung pun dapat menutup aurat dengan sempurna. Gak percaya ?. Silakan dicoba, he..he..he...
Lantas, afdlal mana gamis dengan pantalon (atasannya cuma baju koko); tentu saja gamis dong.
Ana masih ganjal ustadz, masalahnya jika pada tempat dengan "posisi nanggung", contohnya pada tempat yang urf pakaiannya ketat tapi menutup aurat, semisal pantalon ketat dan tshirt.. Jika kita pakai sarung pun/Pantalon longgar akan jadi "libas syuhrah", karena mencolok mata, dengan sebab dikeluarkannya "niat" dalam masalah ini.. Padahal tujuannya, ingin menutup aurat.. Mohon Nasihat..
Kita dianjurkan untuk mengikuti pakaian pendudukan negeri asalkan tidak melanggar aturan syari'at.
Saya sendiri saat ini sedang membayangkan, seperti apa sih kondisi daerah yang antum maksud itu ?. Kalau dikatakan bahwa pantalon itu sempit, maka bikinlah yang longgar. Ada sebagian ikhwah yang menurut saya keliru dalam memahami pantalon. Mereka katakan bahwa pantalon itu pasti sempit. Padahal, 'urf dan kenyataan yang ada, pantalon itu ada yang sempit, ada pula yang lebar/longgar. Ini untuk bawahan/celana. Kemudian, bisa kita padukan untuk atasan dengan hem/kemeja yang longgar yang kita bikin sedikit panjang menutupi pantat. Kalau pun kita pakai T-Shirt, kita pakai yang tebal dan longgar. Banyak pilihan di toko atau supermarket. Dalam memakainya pun gak perlu dimasukkan ke dalam celana. Ini untuk pakaian keseharian, insya Allah sudah menutupi aurat.
Adapun untuk shalat, kita pakai sarung. Apakah ini syuhrah ?. Ndak tahu juga si. Namun sependek pengetahuan saya, dari beberapa daerah yang pernah saya singgahi, dari Sumatera hingga Papua, sarung ini sudah jamak dipakai untuk shalat. Begitu juga Malaysia dan Thailand.
ustadz katakan: " Kemudian, bisa kita padukan untuk atasan dengan hem/kemeja yang longgar yang kita bikin sedikit panjang menutupi pantat."
Nhaa... kalau yang ini saya setuju.
Karena selonggar apapun pantalon akan tetap menggambarkan bentuk apa ayang ada didalamnya. (kalau ga percaya silahkan antum perhatikan dari belakangnya orang yang sedang sujud).
Setelah ditutup kemeja panjang sampai menutup pantat & paha baru sempurna menutup apa yang ada didalamnya.
Syukron
Antum membicarakan pakaian untuk shalat atau di luar shalat ?.
Kalau di luar shalat, para ulama membolehkan memakai pantalon longgar. Fatwa mereka telah banyak tersebar. Pantalon itu pada hakekatnya sama dengan sirwal atau sarawil (meskipun ada sebagian orang yang membedakan keduanya). Kedua diperbolehkan dipakai dengan syarat tidak ketat.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ، عَنْ أَبِي خَلْدَةَ، قَالَ: رَأَيْتُ أَبَا الْعَالِيَةِ عَلَيْهِ سَرَاوِيلُ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: قَالَ: " إِنَّهَا مِنْ لِبَاسِ الرِّجَالِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubbaab, dari Abu Khaldah : "Aku pernah melihat Abul-'Aaliyyah memakai celana (saraawiil). Aku berkata kepadanya tentang hal itu, dan ia menjawab : "Ia adalah pakaian laki-laki" [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad hasan].
Ini salah satu praktek salaf kita. Adapun secara teori dalam hadits, banyak. Lajnah Daaimah misalnya, mereka telah memfatwakan kebolehan memakai pantalon yang longgar. Silakan baca : http://ustadzaris.com/mungkinkah-salafi-berdasi-berjas-dan-memakai-pantalon.
Adapun hukum memakai sirwal atau pantalon dalam shalat, maka para ulama madzhab berselisih pendapat tentang kebolehannya/keabsahannya.
Tapi ya itu, amannya, kita dobeli sarung atau pakai gamis yang agak panjang.
wallaahu a'lam.
Afwan Ustadz, disinilah yang ana maksud.. Jika penerapannya pada sholat, apakah termasuk "Libas Syuhrah? Dalam atsar dan penjelasan yang ustadz bawakan, ana menangkap bisa diterapkan dalam sebuah komunitas, baik negeri, kampung maupun komunitas kantor misalnya. Contohnya pada lingkup luas (negeri/desa) pakaian itu sudah dikenal (Jakarta misalnya), namun dalam konteks yang lebih kecil (kantor misalnya) hal itu akan menjadi hal yang aneh (menjadi pusat perhatian dan jadi terkenal), kasus dobelan sarung misalnya pada suatu komunitas kantor terkenal hanya satu orang yang melakukannya dalam sholat di masjid kantornya, sehingga dia jadi populer dan dijadikan pembeda dengan orang sekitarnya, padahal orang2 sekitarnya pakai pantalon dalam sholatnya (selonggar apapun pantalon, ketika sujud atau rukuk pasti terbentuk jelas pantatnya). Padahal niatnya untuk menutup aurat. Jikalau dalam kasus ini, niat dikeluarkan dalam tahkimnya, apakah berarti orang ini telah memakai pakaian syuhrah?
yang dijadikan sandaran adalah keumumannya. Maksudnya begini, jika satu pakaian itu dipandang 'aneh' bagi satu penduduk negeri secara umum (sehingga mencolok perhatian dan keheranan mereka), maka pakaian tersebut dapat dikatagorikan syuhrah. Namun jika pakaian itu sudah menjadi hal yang umum diketahui dan telah banyak yang memakai, maka keheranan satu atau dua orang, atau mungkin lebih besar dari itu tidaklah dianggap dan tidak memberikan konsekuensi hukum.
Syuhrah itu berlaku pada pakaian shalat atau di luar shalat. Saya belum mengetahui ada ulama yang membedakannya.
Seandainya antum mengangkat kasus celana balapan sebagaimana pernah diangkat di salah satu website, maka itu diambil dari ijtihad ulama. Adakah yang dimaksudkan oleh ulama tersebut adalah kejadian di Saudi dan sekitarnya saja ?. Ini yang harus kita cermati. Mungkin saja ijtihad itu berlaku di satu tempat tapi tidak di tempat yang lain. Dan terus terang, di tempat saya - Bogor - , yang semacam itu sudah biasa dan bukan hal yang aneh. Anak-anak pesantren pun banyak yang berpakain model seperti itu. Baik dilakukan dengan atau tanpa sengaja. Seandainya perbuatan tersebut kemudian disimpulkan sebagai bid'ah, mengada-ada, tidak indah, dan syuhrah; ya menurut saya itu tidak tepat. Patut kita pertanyakan : Apa standar bid'ah, mengada-ada, tidak indah, dan syuhrah tersebut - sementara kita tahu bahwa masalah pakaian itu adalah masalah adat/kebiasaan ?. Seandainya 'balapan' itu dijadikan standar bid'ah, mengada-ada, dan syuhrah; lantas bagaimana dengan pakaian adat di sebagian tempat di Indonesia yang sarungnya hanya sebatas lutut ?. Apa gak lebih mengada-ada, bid'ah, dan syuhrah lagi itu ?.
Intinya, syuhrah itu terkait dengan adat yang berlaku di masyarakat setempat. Tidak perlu saya ulangi kiranya. Coba antum baca penjelasan Syaikh Ibnu 'Utsaimiin rahimahullah di atas.
Dan seandainya antum shalat, sementara antum memahami bahwa jika antum hanya pakai celana kantor saja shalat antum kurang sempurna; dan kemudian antum memakai sarung, apa susahnya antum memakainya tidak 'balapan' - kalau misal ada orang yang mempermasalahkannya ?. Atau seandainya antum hanya bawa gamis Saudi yang panjang, gak punya yang lain, apakah tidak boleh memakainya ? - padahal jika memakainya orang-orang akan memperhatikan antum ?. Tentu saja boleh dan keheranan mereka tidak perlu dihiraukan, karena antum tidak punya yang lain untuk menutupi aurat dalam shalat selain gamis. Ini mendahulukan yang wajib daripada yang sunnah. Atau memilih mafsadat yang lebih kecil dari dua mafsadat. Tapi,... saya kira bukan hal terlalu sulit rasanya - jika antum telah tahu kondisi tersebut - besok-besok lagi antum mempersiapkan sarung dari rumah agar supaya pakaian antum tidak mencolok perhatian teman-teman antum.
Jadi kita abaikan saja kemasyhuran dalam suatu komunitas ini, dengan sebab pakai sarung (walau gak balapan)? Na'am ustadz.. Jazakumullahukhoiron..
celana panjang yang longgar pun tidak perlu terlalu berlebihan disikapi..
sebagian orang sangat berlebihan menyikapinya, sampai-sampai celana perkantoran (yang pada umumnya) dikatakan sempit! (???)
ini sempit batasannya apa? bukannya batasannya adalah ketika membentuk bagian aurat? bukankah 'urf di masyarakat kita adalah ketika berdiri? bukankah 'urf dimasyarakat kita, mengatakan pada umumnya orang-orang perkantoran yang memakai celana panjang itu tidak ketat?!
dan tidak dapat kita pungkiri kalau yang belakangan ini, ada SEBAGIAN (itupun sebagian kecil) yang memakai celana panjang yang nempel ke kakinya sehingga membentuk auratnya; ketika ia berdiri.. maka jika yang dimaksudkan yang ini, kita sama-sama sepakat..
tapi kalau yang dimaksudkan celana panjang secara umum, dikatakan ketat? siapa yang menetapkan standar demikian? apakah benar-benar terlihat membentuk auratnya ketika ia berdiri? ataukah karena membentuk ketika sujud.. setau ana, 'urf dari kaum muslimin di indonesia, dalam menyikapi standar "ketat-tidaknya" adalah ketika berdirinya, bukan ketika ruku', sujud, atau selainnya..
wallaahu a'lam
Mohon dikomentari Tadz. ada seseorang yang berpakaian sebagaimana masyarakat sekitarnya namun dia akan memakai sarung / gamis untuk setiap sholat karena kehati-hatiannya supaya lekukan pada "pantat" - maaf- tidak terlihat. Dan dia sendiri sangat tidak setuju seseorang yang sholat hanya menggunakan pantalon walaupun longgar namun tetap saja ketika sujud kejadian diatas akan terlihat jelas. ketika di informasikan "Kan ada fatwa ulama yang membolehkan sholat berpantalon? dia balik bertanya : Apakah ulama- ulama yang berfatwa tadi memakai pantalon ketika sholat?
Dan dianya tidak setuju bahwa apa yang dipakai sebagian ikhwan adalah "berpakaian ala pakistan/india". Argumen dia : " justru orang pakistan/indialah yang menyesuaikan diri dengan pakaian yang dibawa oleh umat islam ketika dahulu mereka masuk ke negara pakistan/india. Apalagi ada dalil tentang pakaian yang di senangi Rasulullah adalah gamis. Bukankah sebagian ikhwan juga senang dengan pakaian yang disenangi Rasulullah. Namun demikian hindari Libas Syuhrah". Demikian tadz, Mohon pencerahannya tadz.
Artikel dan sebagian komentar saya di atas telah menjawab hal itu.
artikel yang sangat bagus, sangat bermanfaat, salam dari produsen celana sirwal
Posting Komentar