Ahmad bin Hanbal dan Tawassul dengan Perantaraan (Diri) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam


Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah menukil perkataan Ahmad bin Hanbal rahimahumallah:
وسل الله حاجتك متوسلا اليه بنبيه ( صلى الله عليه وسلم ) تقض من الله عز وجل
“Dan mohonlah hajatmu kepada Allah dengan bertawassul melalui perantaraan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan memenuhinya” [Ar-Radd ‘alal-Akhnaa’iy, hal. 168; Al-Mathba’ah As-Salafiyyah, Kairo].
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah berkata :
قولهم في الاستسقاء: لا بأس بالتوسل بالصالحين، وقول أحمد: يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم خاصة، مع قولهم: إنه لا يستغاث بمخلوق
“Dan perkataan mereka tentang al-istisqaa’ : Tidak mengapa bertawassul dengan (perantaraan) orang-orang shalih. Dan perkataan Ahmad (bin Hanbal) : Bertawassul hanya diperbolehkan dengan (perantaraan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja – bersamaan dengan perkataan mereka : Tidak boleh beristighatsah dengan makhluk” [Fataawaa wa Masaail, hal. 68; Terbitan Universitas Muhammad bin Su’uud].
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata :
فأجاز الإمام أحمد التوسل بالرسول صلى الله عليه وسلم وحده فقط وأجاز غيره كالإمام الشوكاني التوسل به وبغيره من الأنبياء والصالحين
“Al-Imaam Ahmad membolehkan bertawassul dengan (perantaraan) Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja. Ada pula yang membolehkan dengan selainnya, seperti Al-Imaam Asy-Syaukaaniy dimana tawassul boleh dilakukan dengan (perantaraan) beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya dari kalangan para nabi dan orang-orang shaalih” [At-Tawassul, hal. 42; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1421 H].
Pendapat ini memang shahih ternukil dari Ahmad, dan beredar menjadi pendapat madzhab (Hanaabilah) sebagaimana ditegaskan beberapa ulama mereka.
Al-Mardawiy rahimahullah berkata :
يجوز التوسل بالرجل الصالح على الصحيح من المذهب، وقيل يُستحب. قال الإمام أحمد للمروذي: يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه
“Dan diperbolehkan bertawassul dengan (perantaraan) laki-laki yang shaalih berdasarkan pendapat madzhab yang shahih. Dan dikatakan : Disunnahkan. Al-Imaam Ahmad pernah berkata kepada Al-Marwadziy : ‘Hendaknya seseorang bertawassul dengan (perantaraan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam doanya” [Al-Inshaaf, 2/456, tahqiq : Muhammad Haamid Al-Faqiy; Cet. 1/1374 H].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
وإذا كانت لك حاجة إلى الله تعالى تريد طلبها منه فتوضأ ، فأحسن وضوءك ، واركع ركعتين ، وأثن على الله عز وجل ، وصلَ على النبي صلى الله عليه وسلم ، ثم قل : لا إِلَهَ إِلاَّ الله الحَلِيمُ الكَريمُ، سُبحَانَ رَبِّ العَرشِ العَظيمِ الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالمِينِ، أَسأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحمَتِكَ وَعَزَائمَ مَغفِرَتِكَ وَالغَنيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لا تَدَعْ لي ذَنباً إِلاَّ غَفَرْتَهْ وَلا هَمَّاً إِلاَّ فَرَّجْتَهْ، وَلا حَاجةً هِيَ لَكَ رِضاً إِلاَّ قَضَيتَهَا يَا أَرحَمَ الرَّاحمين
وإن قلت : اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد صلى الله عليه وسلم نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي فيقضي لي حاجتي،وتذكر حاجتك
“Apabila engkau mempunyai hajat yang hendak engkau minta kepada Allah ta’ala (agar dipenuhi), maka hendaknya engkau wudlulah dan perbaguskanlah wudlumu itu. Shalat lah dua raka’at, pujilah Allah ‘azza wa jalla, dan bershalawatlah kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ucapkanlah : ‘Laa ilaaha illallaahul-haliimul-kariim, subhaana rabbil-‘arsyil-‘adhiim, alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin, as-aluka muujibaati rahmatika wa ‘azaaima maghfiratika wal-ghaniimata min kulli birr, was-salaamata min kulli itsm, laa tada’ lii dzanban illaa ghafartahu, wa laa hamman illaa farrajtahu, wa laa haajatan hiya laka ridlan illaa qadlaitahaa yaa arhamar-raahimiin’. Dan jika engkau ucapkan : ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Nabi rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku dengan perantaraan dirimu, agar Allah memenuhi hajatku’ – dan engkau sebut hajatmu itu....” [Washiyyatu Al-Imaam Ibni Qudaamah Al-Maqdisiy, hal. 92, tahqiq : Muhammad Unais].
Akan tetapi, kita perlu sedikit kritis dalam mencermati perkataan Al-Imaam Ahmad rahimahullah, terutama pada kalimat يتوسل بالنبي (bertawasul dengan perantaraan Nabi). Karena, pendapat yang beredar di dalam madzhab (Hanaabilah), tidak bisa tidak, berpangkal dari pendapat yang ternukil dari beliau (Ahmad bin Hanbal rahimahullah).
Kalimat tersebut sifatnya mujmal, karena beliau sendiri – sependek pengetahuan saya - tidak menyebutkan bentuk kalimat tawassul-nya.
Terkait dengan hal ini, Al-Mardawiy menukil perkataan lain dari madzhab Hanaabilah :
وجعله الشيخ تقي الدين كمسألة اليمين به قال : والتوسل بالإيمان به وطاعته ومحبته والصلاة والسلام عليه ، وبدعائه وشفاعته ، ونحوه مما هو من فعله أو أفعال العباد المأمور بها في حقه : مشروع إجماعا ، وهو من الوسيلة المأمور بها في قوله تعالى اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة. وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ مِنْ الْعُلَمَاءِ : فِي قَوْلِهِ عَلَيْهِ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ { أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ } الِاسْتِعَاذَةُ لَا تَكُونُ بِمَخْلُوقٍ
“Asy-Syaikh Taqiyyuddiin menjadikan permasalahan itu seperti permasalahan bersumpah dengannya (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Ia berkata : ‘Dan tawassul dengan keimanan kepadanya, ketaatan kepadanya, dan kecintaan kepadanya - wash-shalaatu was-salaamu ‘alaihi -. Dan juga bertawassul dengan doanya, syafa’atnya, dan yang semisalnya dari macam perbuatan yang dilakukannya (orang yang bertawassul) atau perbuatan-perbuatan hamba yang diperintahkan (Allah) untuk dilakukan dalam hak beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka hal itu disyari’atkan berdasarkan ijmaa’. Hal itu merupakan wasiilah yang diperintahkan, sebagaimana terdapat dalam firman Allah ta’ala : ‘Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasiilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya’ (QS. Al-Maaidah : 35). Ahmad dan yang lainnya dari kalangan ulama berkata tentang sabda beliau ‘alaihi afdlalush-shalaati was-salaam : A’uudzu bikalimaatillaahi at-taammaati min syarri maa khalaq (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya) : ‘Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan (perantaraan) makhluk” [Al-Inshaaf, 2/456].
Perkataan itu juga dinukil Ibnu Mufliih dalam Al-Furuu’ 2/127. Dhahir perkataan ini mengindikasikan bahwa berdoa kepada Allah tidak boleh dilakukan bertawassul dengan perantaraan makhluk, dan isti’aadzah sendiri merupakan doa.
Perkataan di atas merupakan hal yang lebih terang untuk menjelaskan maksud perkataan Al-Imaam Ahmad di awal tentang bolehnya bertawassul dengan perantaraan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tawassul dimaksud bukanlah tawassul dengan perantaraan diri (dzat atau kemuliaan) Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi bertawassul dengan amalan-amalan kita yang terkait dengan pemenuhan hak beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hal keimanan, kecintaan, ketaatan, dan yang semisalnya kepada beliau.
Wallaahu a’lam.
Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – ciper, ciapus, ciomas, bogor – diedit tanggal 05-11-2014].

Kalimat/paragraf yang dikoreksi (lihat bagian komentar):


Comments

Merakli mengatakan...

assalamu'alaikum, afwan Ustadz. maafkan ana yg bodoh ini.

apakah kesimpulannya boleh bertawassul dengan Nabi dengan mengucapkan seperti yg diucapkan Imam Ibnu Qudamah rahimahullah "Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku dengan perantaraan dirimu, agar Allah memenuhi hajatku"

tidakkah ini sama saja dengan bertawassul dengan orang yang sudah meninggal?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam warahmatullaahi wabarakatuh.

Sebenarnya tujuan tulisan di atas adalah untuk mengetahui apa pendapat Imam Ahmad mengenai tawassul dengan diri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam (setelah wafatnya). Dan antum dapat melihat kesimpulan yang ada di akhir tulisan.

Adapun permasalahan tawassul tentang diri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang shaalih setelah meninggal, maka ini merupakan perbedaan pendapat di kalangan ulama madzhab. Ada yang memperbolehkan, ada pula yang melarang. Yang memperbolehkan di kalangan Hanaabilah telah saya sebutkan sedikit dalam tulisan di atas.

Terkait dengan pertanyaan antum, yang raajih tidak diperbolehkan - dengan pembahasan yang saya yakin antum telah membaca sebagian besar di antaranya dari para asatidzah kita.

wallaahu a'lam.

Abu Zuhriy mengatakan...

Ustadz, ana ingin lebih jelasnya..

jadi, dalam masalah:

"tawassul dengan perantaraan nabi" atau malah ditambah "tawassul dengan perantaraan orang-orang shalih"

Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulamaa'

- Sebagian ulama (apakah ini mayoritas?) melarangnya.

- Sebagian ulama hanaabilah berpendapat, bolehnya tawassul dengan perantara nabi.

(sehingga mereka membolehkan doa yang maknanya)

"Ya Allah, melalui perantara nabiMu, maka aku meminta ini-itu"

- Sebagian ulama hanaabilah yang lain berpendapat, bolehnya tawassul bukan hanya kepada nabi, tapi juga kepada selain nabi, yaitu orang-orang shalih

(sehingga mereka membolehkan doa yang maknanya)

"Ya Allah, melalui perantara orang-orang shalih, maka aku meminta ini dan itu"

Akan tetapi ustadz:

1. Dalil apakah yang mereka gunakan untuk membolehkan pengamalan ini?

- Apakah dalil qiyas? sebagaimana mereka membolehkan kirim bacaan al qur-aan selain dari dalil yang ditetapkan?

2. Adakah pemahaman atau pengamalan Rasulullah dan para shahabatnya dengan pendapat mereka ini?

3. Bagaimana penyikapan ulama yang berbeda pendapat dengan mereka ini tentang permasalahan ini?

- Apakah ulama (yang berbeda) tersebut menganggap masalah ini termasuk tawassul yang bid'ah atau tawassul yang syirik?

4. Bagaimana sikap kita kepada saudara kita yang mengikuti (baca: taqlid) terhadap madzhab gurunya yang berpendapat dengan pendapat seperti ini?

(pertanyaan diatas memang sebuah pertanyaan yang ingin ana ketahui jawabannya ustadz..

pertanyaan diatas bukan pertanyaan yang sudah ana tahu jawabannya ustadz, tapi benar-benar pertanyaan yang memang ana ingin tanyakan, bukan untuk maksud mendebat

'afwan kalau pertanyaannya tidak berkenan dihati)

Jazaakallaahu khayran ustadz

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Beberapa referensi mengatakan pendapat yang membolehkan bertawassul dengan perantaraan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah pendapat jumhur ulama.

Dalil yang mereka gunakan tentang kebolehan bertawassul dengan diri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah sama dengan dalil yang dipakai oleh pendapat yang melarangnya, sebagaimana sering dibahas oleh para ulama dan ustadz kita. Misalnya doa yang diajarkan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kepada orang buta :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ

"Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadapMu dengan (perantaraan) Nabi-Mu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Sesungguhnya aku menghadap Rabbku denganmu (Nabi Muhammad) di dalam kebutuhanku ini, agar dipenuhi untukku. Wahai Allah, oleh karena itu terimalah permintaan beliau (Nabi Muhammad) untukku" [Al-Hadits].

Perhatikan kalimat yang bercetak tebal, dan kemudian lihat pendalilan Ibnu Qudaamah di atas.

Adapun kemudian pembolehan itu meluas kepada orang-orang shalih, maka itu ditempuh dengan jalan qiyas.

Terlepas dari pentarjihan yang ada, itu adalah realitas bahwasannya para fuqahaa kita berselisih pendapat dalam permasalahan itu.

Melihat realitas itu, penyikapan yang seharusnya diambil tentu saja sebagaimana khilaf-khilaf yang terjadi di kalangan ulama. Dan perlu dicatat bahwa khilaf ini bukanlah khilaf ghairu mu'tabar sebagaimana disangka sebagian orang. Meskipun begitu, tentu saja kita tetap diperintahkan untuk mengambil pendapat yang rajih dengan dalil-dalilnya. Dan sebagaimana yang mungkin antum telah ketahui, beberapa ulama menghukuminya sebagai bid'ah.

Adapun tentang syirik,... ya ini perlu diteliti dulu. Jika tawassul itu disertai dengan kepercayaan bahwa Nabi atau orang yang telah mati dapat memenuhi hajat mereka, menghilangkan segala kesempitan mereka, dan yang semisalnya; maka ini syirik. Namun jika tawassul itu hanya sekedar mengambil wasilah/perantara untuk berdoa kepada Allah, maka ini bukan syirik, dan inilah letak perselisihannya di kalangan ulama kita.

Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Assalamu`alaikum benar dong kalau perkataan Syaikh Hasan Al Banah(Tokoh Ikhwanul Muslimin) yaitu Doa disertai tawassul dengan makhlukhnya adalah perkara fur`iyyah ,bukan masalah aqidah? Bagaimana tanggapan ustadz?
By:Sang Thalibul Ilmi Baru Belajar.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

wa'alaikumus-salaam.

Memutlakkan bahwa masalah tawassul ini adalah masalah furuu'iyyah dan tidak terkait masalah 'aqidah, mungkin saya kurang sependapat. Saya lebih suka mengatakan bahwa perkara ini adalah perkara yang diperselisihkan ulama tentang kebolehannya. Wallaahu a'lam.

ElKa Wedding mengatakan...

afwan ustadz...
apakah maksudnya bahwa masalah tawassul dalam do'a itu masalah aqidah,
adapun masalah bolehnya bertawassul dengan Nabi sholallohu'alaihi wasallam adalah masalah yang ada perselisihan padanya?
ataukah masalah tawassul ini memang masalah furu'iyyah?
dan apakah sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan tersebut?
afwan, ana belum begitu jelas ustadz..
baarokallohufiikum

Anonim mengatakan...

Assalamu`alaikum
Bila anda mengucapkan bahwa masalah ini masih diperselisihakan,knapa beberapa ustadz2 di Indonesia dan beberapa negara lain dalam buku atau majalah yang mereka tulis menuduh bahwa Syaikh Hassan Al Bannah tak mengerti atau bodoh tentang aqidah padahal hal ini cuma beliau (Hassan Al Bannah ) sebutkan hanya posisi tawassul sebagai tata cara berdoa saja??? Silakan lihat pembelaan Farid Nu`man(maaf klo dianggap klo dianggap mengadu domba atau taklid buta pada organisasi tertentu,cuma bermaksud agar kita adil dan memperbaiki kesalahan kita saja dalam jahr wa ta`dil kepada seseorang)yaitu http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=farid%20nu%60man-tawassul&source=web&cd=1&ved=0CCAQFjAA&url=http%3A%2F%2Ffaridnuman.blogspot.com%2F2011%2F07%2Fbolehkah-kita-tawasul.html&ei=fEJCT7HbFcmJrAexsozkBw&usg=AFQjCNF3EluS71oazhzhe6CkyY4PkFTbvg&cad=rja
By: Sang Thalibul Ilmi Yang Masih Belajar

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Cobalah Anda belajar berkomentar sesuai dengan konteksnya. Tepatkah pertanyaan Anda yang bertanya kepada saya kenapa orang lain berbuat begini dan begitu ?. Kalau Anda bertanya - misalnya - kenapa saya mengatakan begini dan begitu, niscaya lebih mudah bagi saya.

Anyway,... kritikan para ulama kepada Syaikh Hasan Albana bukan sekedar masalah tawassul. Tapi ada beberapa permasalahan lainnya.

Anonim mengatakan...

ASSALAMU`ALAIKUM KLO BEGITU SAYA AKAN AJUKAN KE DALAM ARTIKEL JAHR WA TAHDIL ANTUM AKH

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Maaf, komentar ulangan Anda sudah saya masukkan ke spam.

NB : Yang benar adalah jarh, bukan JAHR. Dua kata ini artinya beda jauh.

Anonim mengatakan...

Assalamu`alaikum
Ustadz,maaf klo ini gak sesuai tema ana mau tnya berkaitan dengan pernyataan:
toserbayufiid mengatakan...

afwan ustadz...
apakah maksudnya bahwa masalah tawassul dalam do'a itu masalah aqidah,
adapun masalah bolehnya bertawassul dengan Nabi sholallohu'alaihi wasallam adalah masalah yang ada perselisihan padanya?
ataukah masalah tawassul ini memang masalah furu'iyyah?
dan apakah sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan tersebut?
afwan, ana belum begitu jelas ustadz..
baarokallohufiikum

Mas Dwi:tolong dong ustdz jelaskan pertanyaan ini ana juga jadi bingung setahu ana namanya furu`iyyah ya bukan aqidah,maaf ustadz catatan yang ana ketahui selama ini ya antara istighasah dan tawassul jelas berbeda terus berdasarkan ini guru ana di sebuah tarekat menjelaskan pantas wahabi salah memahami tawassul dan menganggapny sebagi akidah ya karena semuanya bertawassul dengan orang mati adalah sebagai akidah tanpa merinci dahulu padahal ada perselisihan terus fatalnya adalah istighasah dimasukkan ke dalam bab tawassul sih,padahal Sikap Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah

Beliau berkata dalam Fatawa wa Masa’il:

التوسل بالصالحين
العاشرة:
قولهم في الاستسقاء: لا بأس بالتوسل بالصالحين، وقول أحمد: يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم خاصة، مع قولهم: إنه لا يستغاث بمخلوق، فالفرق ظاهر جدًا، وليس الكلام مما نحن فيه؛ فكون بعض يرخص بالتوسل بالصالحين وبعضهم يخصه بالنبي صلى الله عليه وسلم، وأكثر العلماء ينهى عن ذلك ويكرهه، فهذه المسألة من مسائل الفقه، ولو كان الصواب عندنا: قول الجمهور: إنه مكروه، فلا ننكر على من فعله؛ ولا إنكار في مسائل الاجتهاد، لكن إنكارنا على من دعا لمخلوق أعظم مما يدعو الله تعالى، ويقصد القبر يتضرع عند ضريح الشيخ عبد القادر أو غيره، يطلب فيه تفريج الكربات، وإغاثة اللهفات، وإعطاء الرغبات

Bertawasssul Dengan Orang Shalih
Kesepuluh:
“Pendapat mereka tentang masalah Istisqa’: tidak apa-apa bertawassul dengan orang-orang shalih. Pendapat Imam Ahmad: Bertawassul hanya khusus dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bersamaan ucapan mereka: tidak dibolehkan istighatsah (meminta pertolongan) dengan makhluk, dan perbedaannya sangat jelas (antara bertawassul dengan istighatsah, pen), dan ini bukanlah perkataan yang sedang kami bahas.
Kebanyakan Ulama melarang itu dan memakruhkannya, dan masalah ini termasuk permasalahan fiqih. Pendapat yang benar menurut pandangan saya adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, bahwa hal itu (tawassul dengan orang shalih) adalah makruh. Kami tidak mengingkari orang yang melakukannya, dan tidak ada pengingkaran dalam permasalahn ijtihad. Tetapi yang kami ingkari adalah orang-orang yang lebih mengagungkan permintaan kepada makhluk dibanding kepada Allah Ta’ala, bertadharru’ (merendahkan diri) kepada kuburan, seperti kuburan Syaikh Abdul Qadir Jaelani dan lainnya, berkeluh kesah atas kesulitan di kuburnya, meminta tolong atas rasa dukanya, dan meminta pemberian berbagai keinginannya. (Fatawa wa Masail, Hal. 68-69, Mausu’ah Ibn Abdil Wahhab)

Mohon penjelasan ya pak ustadz

Anonim mengatakan...

@ Anonim & Toserbayufiid

Bukankah dalam masalah aqidah itu ada ushul dan furu'nya...
sekedar contoh (ushul) dalam aqidah ahlussunnah, bahwasannya adzab dan nikmat kubur itu haq (benar adanya), namun para ulama berselisih pendapat apakah adzab dan nikmat kubur itu dirasakan jasad atau ruh saja, atau kedua-duanya (furu')

dalam permasalahan ini begitu jelas, bahwasannya tawassul dengan nabi (dengan amalan-amalan kita yang terkait dengan konsekuensi persaksian kita kepada beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hal keimanan, kecintaan, ketaatan, dan ittiba', kepada beliau) maka ini diperbolehkan (ushul), namun yang jadi perselisihan ulama yakni boleh atau tidaknya bertawassul dengan kedudukan / dzat nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam (furu')

sebagai pencerahan...silahkan simak,
http://www.box.com/s/7okjvcxjddx3popsml3y#/shared/7okjvcxjddx3popsml3y/1/189772926/1448619496/1

atau rujuk ke
موسوعة الألباني في العقيدة (4/ 264)

Ibnu Ahmad mengatakan...

ustadz, hadits ini diriwayatkan siapa?

Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadapMu dengan (perantaraan) Nabi-Mu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Sesungguhnya aku menghadap Rabbku denganmu (Nabi Muhammad) di dalam kebutuhanku ini, agar dipenuhi untukku. Wahai Allah, oleh karena itu terimalah permintaan beliau (Nabi Muhammad) untukku

kemudian, apakah di antara imam madzhab hanya imam Ahmad yang berpendapat seperti itu? Bagaimanakah pendapat Imam Syafi'i -yang beliau ini diikuti sebagian besar orang yang melakukan/membolehkan tawassul model ini di Indonesia-?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Riwayatnya At-Tirmidziy, Ibnu Maajah, Ahmad, dan yang lainnya.

Ada.

Untuk Asy-Syaafi'iy, wallaahu a'lam, saya belum menelusurinya lebih jauh.

hamba Allah mengatakan...

ustadz,

tapi hadits yang digunakan -mereka yang membolehkan-:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ

"Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadapMu dengan (perantaraan) Nabi-Mu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Sesungguhnya aku menghadap Rabbku denganmu (Nabi Muhammad) di dalam kebutuhanku ini, agar dipenuhi untukku. Wahai Allah, oleh karena itu terimalah permintaan beliau (Nabi Muhammad) untukku" [Al-Hadits].

bukankah itu disaat hidupnya nabi?

jika menggunakannya setelah wafatnya nabi, maka ini qiyas.

Apakah ada para shahabat yang memahami hadits demikian? bahkan 'umar ketika terjadi kemarau, tidak bertawassul kepada nabi, akan tetapi kepada al-abbas; menandakan inilah pemahaman mereka ttg hal ini..

terkecuali jika mereka menggunakan hadits-hadits lemah atau hadits-hadits palsu; untuk mendukung pemahaman mereka akan hal ini..

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya tidak paham kepada siapa pertanyaan antum ditujukan.

Unknown mengatakan...

dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh dijalan Allah mati, tetapi mereka hidup diberi rizki disisi Tuhan mereka (al imran : 169)

Tawasul kepada rasul dan org shalih yang sudah meninggal sama seperti ketika mereka masih hidup. Apakah mereka mati.?

Unknown mengatakan...

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh,,,

ya, abu jauzaa...

saya ingin bertanya mengenai
“Asy-Syaikh Taqiyyuddiin menjadikan permasalahan itu seperti permasalahan bersumpah dengannya (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).

saya berpendapat kalo perkataan anda mengenai bersumpah denganya
diaritkan,mengunakan nama nabi,,itu sungguh tidak benar, karena nabi sendiri melarang bersumpah selain dari menyebut Nama Alloh Azzawajalla

dan berdoalah engkau kepada robbmu dengan nama;namanya kemudian bersholawatlah kepada rosullnya,, apakah pendapat ini lebih rajih,,ketimbang dari tawassull.. moho maaf klo saya ada-kata yg salah dalam bertanya,

Jazakallohu khoir,,


mohon penjelasan apakah benar perkataan saya ini ?

Unknown mengatakan...

Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh..?

al affu ustadz,,,

bagaimana dengan berdoalah engkau dengan menyebut nama yang baik dari asmaul husna dan bersholawatlah kepada Rosullulloh ,,,

apakah dalil dari perkataan ustadz yg saya ruju selama ini,,, mohon penjelasan nya??

apakah bersholawat dengan bertawassul semakna?

mohon penjelasan nya

Qosim Ibn Aly mengatakan...

Lucu neh orang. Wong jelas2 Imam Ahmad Memperbolehkan tawasul dg nabi dan bahkan menurut asyaukani boleh tawasul dengan orang sholih, eh eh... masih saja ngeles...

Imam Ahmad berkata:
وسل الله حاجتك متوسلا اليه بنبيه ( صلى الله عليه وسلم ) تقض من الله عز وجل

Al-Mardawiy rahimahullah berkata :
يجوز التوسل بالرجل الصالح على الصحيح من المذهب، وقيل يُستحب. قال الإمام أحمد للمروذي: يتوسل بالنبي

Abu Jauza'... Dr dua ucapan ulama di atas, silahkan nt tunjukan kalimat mana yg menunjukan bahwa Tawassul dimaksud bukanlah tawassul dengan perantaraan diri (dzat atau kemuliaan) Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi bertawassul dengan amalan-amalan kita...

*Ngeles aja nt kerjaannya... hehe

Qosim Ibn Aly mengatakan...

Tampaknya pak Ustadz mulai bingung. :D

Dalam note pak ustadz membuat kesimpulan sbb:
Tawassul dimaksud bukanlah tawassul dengan perantaraan diri (dzat atau kemuliaan) Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi bertawassul dengan amalan-amalan kita yang terkait dengan pemenuhan hak beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hal keimanan, kecintaan, ketaatan, dan yang semisalnya kepada beliau.

Namun di salah satu komen, pak ustadz bilang begini:
Terlepas dari pentarjihan yang ada, itu adalah realitas bahwasannya para fuqahaa kita berselisih pendapat dalam permasalahan itu.

Kalo ini masalah khilafiyah, maka buat apa artikel ini ditulis???
Bukankah akan lebih baik jika anda menukil kalam ulama yang memberi solusi untuk masalah khilafiyah. Seperti kalam Utsaimin yang berkata:
Masalah khilafiyah dikalangan ulama ahlu sunah, tidak bisa disebut sebagai bid'ah.

Atau menukil kaidah: La yunkar mukhtalaf fih wa inama yankar mujma' alaih.

Kemudian ustadz ngasih saran pada umat islam agar tidak memperuncing masalh ini. Bagi yang mau mengamalkannya, silahkan, Yang kagak mau juga kagak dosa.

Eh eh.. pak ustadz malah memperkeruh keadaan dengan alasan kritis... pkikikk.

Mungkin dalam hayalan pak ustadz, ulama hanbali dan lainnya yang mebolehkan tawasul dengan zat dan pangkat, mereka semua kagak kritis. dan yang kritis cuma ustadz Abul Jauza'... hahai.

AJib neh ustadz :P :P :P

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya kira artikel di atas sudah menjawab apa yang antum komentari.

Qosim Ibn Aly mengatakan...

Artikel ini sama sekali belom menjawab pertanyaan saya pak Ust. Pertanyaan saya, dari ucapan Imam Ahmad, kalimat mana yang mengandung larangan bertawasul dengan zat atau pangkat nabi???

Qosim Ibn Aly mengatakan...

Ust. Abul Jauza membuat kesimpulan sbb:

Tawassul dimaksud bukanlah tawassul dengan perantaraan diri (dzat atau kemuliaan) Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi bertawassul dengan amalan-amalan kita yang terkait dengan pemenuhan hak beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hal keimanan, kecintaan, ketaatan, dan yang semisalnya kepada beliau.

=======
Tanggapan saya:

Menurut Ibn taimiyah dalam Majmu' Fatwa 1/140 Tawasul dengan zat nabi adalah masalah khilafiyah dan Imam Ahmad merupakan salah satu yang Membolehkan Tawasul Dengan Zat Nabi.

Silahkan baca selengkapnya di web saya http://qosimaly.blogspot.com/2014/11/imam-ahmad-membolehkan-tawasul-dengan.html

Qosim Ibn Aly mengatakan...

Mengenai nukilan Muhammad Bin Abdul Wahhab yang oleh Ust. dijadikan sebagai mubayyin dr kemujmalan ucapan Imam ahmad:


قال أحمد إنه يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه، وقال أحمد وغيره في قوله عليه السلام: " أعوذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق ": الاستعاذة لا تكون بمخلوق

Ust. Abul Jauza menerjemahkan teks di atas seperti ini: “Ahmad berkata : ‘Sesungguhnya ia bertawassul dengan (perantaraan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam doanya’. Ahmad dan yang lainnya berkata tentang sabda beliau‘alaihis-salaam : A’uudzu bikalimaatillaahi at-taammaati min syarri maa khalaq : ‘Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan (perantaraan) makhluk”

Kemudian Ust. Abul Jauza membuat kesimpulan berikut: “Dhahir perkataan ini mengindikasikan bahwa berdoa kepada Allah tidak boleh dilakukan bertawassul dengan perantaraan makhluk, dan isti’aadzahsendiri merupakan doa.”
=================
Tanggapan saya:

Dalam menerjemahkan teks di atas ternyata Ust. Abul Jauza melakukan tadlis (Pengkaburan) yang tujuannya untuk menipu para pembaca agar mereka mengira Imam Ahmad melarang tawasul dengan zat atau pangkat Nabi.

Perhatikan kalimat:

الاستعاذة لا تكون بمخلوق

Ust. Abul Jauza menerjemahkan kalimat tersebut begini: ‘Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan (perantaraan) makhluk”.

Ia memberi kata “perantaraan” yang diletakan dalam kurung. Orang yang tidak mengerti bahasa arab tentunya akan tertipu dengan terjemahan tersebut. Mereka akan menganggap bahwa Imam Ahmad melarang tawasul.

Padahal dalam teks arabnya sama sekali tidak ada kalimat yang menunjukan artian perantaraan. Maka terjemahan yang benar dari ucapan imam Ahmad adalah “Meminta perlindungan tidak boleh dengan mahluk.”

Untuk lebih jelasnya silahkan baca artikel saya http://qosimaly.blogspot.com/2014/10/tadlis-ust-abul-jauza-dalam.html

Ucapan Imam Ahmad di atas sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk menolak diperbolehkannya tawasul dengan zat atau pangkat nabi. Justru ucapan itu malah mempertegas bahwa beliau memperbolehkan tawasul dengan zat nabi. Ini ditunjukan oleh teks:

قال أحمد إنه يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه

Sedangkan yang dilarang oleh Imam Ahmad dari ucapan di atas adalah meminta tolong dengan mahluk. Hal ini ditunjukan oleh kalimat:
الاستعاذة لا تكون بمخلوق

Jadi dhohir dari ucapan Imam Ahmad adalah beliau tidak melarang tawasul dengan zat Nabi sebaliknya beliau malah bertawasul dengan zat Nabi. Dan yang beliau larang adalah meminta perlindungan dengan mahluk.

Kesimpulan ini sama kesimpulan Ibn taimiyah dalam majmu fatawa 1/140 http://qosimaly.blogspot.com/2014/11/imam-ahmad-membolehkan-tawasul-dengan.html

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya jelas saja memang diartikan demikian, karena konteksnya di situ adalah tawassul. Sangat jelas bagi orang yang memahami bahasa Arab.

قال أحمد إنه يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه، وقال أحمد وغيره في قوله عليه السلام: " أعوذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق ": الاستعاذة لا تكون بمخلوق

“Ahmad berkata : ‘Sesungguhnya ia bertawassul dengan (perantaraan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam doanya’. Ahmad dan yang lainnya berkata tentang sabda beliau ‘alaihis-salaam : A’uudzu bikalimaatillaahi at-taammaati min syarri maa khalaq : ‘Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan (perantaraan) makhluk” [Fataawaa wa Masaail, hal. 60].

Tidak ada tambahan dari saya karena sudah jelas. Artikel di atas sudah lebih dari mencukupi.

Anonim mengatakan...

ijin menambah sedikit...

Pak Qosim menerjemahkan perkataan Ahmad : "Meminta perlindungan tidak boleh dengan mahluk."

sedangkan Ustadz Abul Jauzaa menerjemahkan : "Meminta perlindungan tidak boleh dengan (perantaraan) mahluk."

keduanya adalah terjemahan yang sama. mungkin yang ingin dimaksud oleh Pak Qosim adalah "Meminta perlindungan tidak boleh KEPADA mahluk."

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Memang susah si ya kalau nggak paham bahasa Arab. Dzauq-nya. Lha itu di kalimat sebelumnya kan juga tertulis :

يتوسل بالنبي

Apa ini mau diterjemahkan tawassul kepada Nabi ?. Yo nggak tepat lah ya.... Kalimat ini artinya, tawassul dengan (perantaraan) Nabi. Begitu dengan kalimat :

الاستعاذة لا تكون بمخلوق

Qosim Ibn Aly mengatakan...

Tampaknya pak ABul Jauza tidak bisa memahami siyakul kalam :P

Saya kasih nt sedikit ilmu ye pak... :)

Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab menukil perkataan lain dari Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah :
قال أحمد إنه يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه، وقال أحمد وغيره في قوله عليه السلام: " أعوذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق ": الاستعاذة لا تكون بمخلوق

konteks Perkataan Imam Ahmad tersebut kagak hanya tawasul pak melainkan juga doa minta pertolongan.

Konteks tawasul:

قال أحمد إنه يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه

Konteks doa minta perlindungan:
وقال أحمد وغيره في قوله عليه السلام: " أعوذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق ": الاستعاذة لا تكون بمخلوق

Pertanyaan saya pak Jauza: Nurut nt, tawasul dan doa minta perlindungan sama kagak? :)

Pak Abul Jauza:
Ada satu komen saya yg tidak nt moderasi.

Saya ulang lagi ya.
Perhatikan kalimat:

الاستعاذة لا تكون بمخلوق

Kalo nt bisa bahasa arab, coba terjemahkan kalimat tersebut perkata. Misalnya:

الاستعاذة artinya apa....
لا تكون artinya apa.....
بمخلوق artinya apa...........

Qosim Ibn Aly mengatakan...

Kasian sekali nt pak ustad. Dalam artikel nt ngajak pembaca untuk kritis terhadap ucapan Imam AHmad, giliran terjehaman nt dikritisi nt malah nuduh orang kagak ngerti bahasa arab. :)

Sekali lagi saya katakan kalimat الاستعاذة لا تكون بمخلوق
Kalimat ini sama sekali kagak membahas tawasul.

Yang membahas tawasul itu kalimat sebelumnya,
قال أحمد إنه يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه

Tapi kalo nt masih ngeyel dan mempertahankan tadlis nt dalam menerjemahkan kalimat, maka saya kasih tau nt bahwa menurut (yg kata nt) Syeikhul Islam Ibn taimiyah dalam majmu fatawanya: Imam Ahmad adalah salah satu ulama yang membolehkan tawasul dengan zat nabi. Monggo di pelototin fatwanya Ibn Taimiyah di blog saya: http://qosimaly.blogspot.com/2014/11/imam-ahmad-membolehkan-tawasul-dengan.html

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya saya mau bilang apa lagi, karena ternyata Anda memang tidak memahami kalimat.

Hanya saya kasih info, kalimat itu dibawakan para ulama Hanaabilah saat membahas tawassul. Ini perkataan Al-Mardawiy dalam Al-Inshaaf:

وَمِنْهَا : يَجُوزُ التَّوَسُّلُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ ، وَقِيلَ : يُسْتَحَبُّ .
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ : الْمَرُّوذِيُّ يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُعَائِهِ وَجَزَمَ بِهِ فِي الْمُسْتَوْعِبِ وَغَيْرِهِ ، وَجَعَلَهُ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ كَمَسْأَلَةِ الْيَمِينِ بِهِ قَالَ : وَالتَّوَسُّلُ بِالْإِيمَانِ بِهِ وَطَاعَتِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَيْهِ ، وَبِدُعَائِهِ وَشَفَاعَتِهِ ، وَنَحْوِهِ مِمَّا هُوَ مِنْ فِعْلِهِ أَوْ أَفْعَالِ الْعِبَادِ الْمَأْمُورِ بِهَا فِي حَقِّهِ : مَشْرُوعٌ إجْمَاعًا ، وَهُوَ مِنْ الْوَسِيلَةِ الْمَأْمُورِ بِهَا فِي قَوْله تَعَالَى { اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إلَيْهِ الْوَسِيلَةَ } وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ مِنْ الْعُلَمَاءِ : فِي قَوْلِهِ عَلَيْهِ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ { أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ } الِاسْتِعَاذَةُ لَا تَكُونُ بِمَخْلُوقٍ .

Coba perhatikan baik-baik perkataan Al-Mardawiy dari awal. Perkataan Imam Ahmad itu dibawakan saat membahas bab tawassul.

Perlu Anda ketahui bahwa para ulama membolehkan tawassul dalam doa dengan (perantaraan) sifat-sifat Allah ta'ala. Dalilnya adalah doa isti'aadzah yang diajarkan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

Ini isti'aadzah dengan perantaraan kalimat-kalimat Allah ta'ala : A'uudzu bi-kalimaatillaahit-taaammah.

Ini isti'aadzah bertawassul dengan kalimaat Allah. Makanya kemudian ada satu nukilan dari Imam Ahmad terkait dengan doa tersebut :

الاستعاذة لا تكون بمخلوق

"Isti'aadzah tidak boleh dilakukan dengan makhluk".

Ini terjemahan letterlijk, namun maknanya :

"Isti'aadzah tidak boleh dilakukan dengan perantaraan makhluk".

Saya kira jelas ya.....

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Nah, ini juga terlihat jelas dalam penjelasan dari Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab Al-Hanbaliy rahimahullah berikut (maaf tidak diterjemahkan, semoga Anda dapat memahaminya):


قال الشيخ محمد بن عبدالوهاب رحمه الله تعالى في جوابه على سؤال وجه إليه هذا نصه :
السؤال :
العاشرة - قولهم في الاستسقاء : لا بأس بالتوسل بالشيوخ والعلماء المتّقين ، وقوله : يجوز أن يُسْتَشْفَع إلى الله برجل صالح ، وقيل :
يستحب ، قال أحمد : إنه يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه ؛ وقال أحمد وغيره في قوله عليه السلام : "أعوذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق" الاستعاذة لا تكون بمخلوق ، فما معنى هذا الكلام ؟ وما العمل عليه منهما أم على قوله فما المعنى ؟ وقولهم في الشرح : قال إبراهيم الحربي : الدعاء عند قبر معروف الترياق المجرَّب ، فما معنى هذا الكلام ؟ قال في الفروع : قال شيخنا : قصدُه الدعاءَ عنده رجاءَ الإجابة بدعةٌ لا قربة باتفاق الأئمة ، فما معنى هذا الكلام ؟

الجواب :

العاشرة - قولهم في الاستسقاء : لا بأس بالتوسل بالصالحين : وقول أحمد : يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم خاصة ، مع قولهم إنه لا يستغاث بمخلوق ، فالفرق ظاهر جداً ، وليس الكلام مما نحن فيه ، فكون بعضٍ يرخِّص بالتوسل بالصالحين وبعضهم يخصُّه بالنبي صلى الله عليه وسلم ، وأكثر العلماء ينهي عن ذلك ويكرهه ، فهذه المسألة من مسائل الفقه ، ولو كان الصواب عندنا قول الجمهور إنه مكروه فلا ننكر على من فعله ، ولا إنكار في مسائل الاجتهاد ، لكن إنكارنا على من دعا لمخلوق أعظم مما يدعو الله تعالى ، ويقصد القبر يتضرع عند ضريح الشيخ عبد القادر أو غيره يطلب فيه تفريج الكربات ، وإغاثة اللهفات ، وإعطاء الرغبات فأين هذا ممن يدعو الله مخلصاً له الدين لا يدعو مع الله أحداً ، ولكن يقول في دعائه : أسألك بنبيك ، أو بالمرسلين ، أو بعبادك الصالحين ، أو يقصد قبر معروف أو غيره يدعو عنده ، لكن لا يدعو ( إلا ) الله مخلصاً له الدين ، فأين هذا مما نحن فيه ؟ أهـ

مجموع مؤلفات الشيخ محمد بن عبدالوهاب (2/ 41) ط 1 ، دار القاسم

Perhatikan pertanyaan yang diajukan kepada beliau yang sedang membahas 'kontradiksi' beberapa pendapat di kalangan ulama dalam masalah tawassul dengan perantaraan makhluk (maksudnya : ada yang membolehkan, ada juga yang melarang, yang kemudian penanya menukil perkataan Imam Ahmad tersebut).

Kesimpulannya : Kesimpulan Anda yang menegaskan bahwa perkataan Imam Ahmad tadi tidak ada hubungannya dengan tawassul, salah berat.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tanya jawab bersama Syaikh Ibnul-'Utsaimiin rahimahullah terkait tawassul dengan shifat Allah ta'ala:


السائل: إذا كان دعاء صفة من صفات الله عز وجل كفراً، فكيف نفهم الأدعية مثل " أعوذ بعزة الله وقدرته من شر ما أجد وأحاذر "، "وأعوذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق " ؟

الشيخ: نعم، وقوله " أعوذ برضاك من سخطك، وبمعافاتك من عقوبتك "، كل هذا استعاذة بصفات الله، والمراد الموصوف، لأن الدعاء أن تقول: " يا قدرة الله اغفري لي، يا رحمة الله ارحميني "، هذا الذي قال عنه شيخ الإسلام أنه كفر بالإتفاق، لأنك إذا قلت " يا رحمة الله ارحميني"، أو" يا قدرة الله اغفري لي "، كأنه جعلت هذه الصفة شيئاً مستقلاً عن الموصوف، يتصرف فيغفر ويرحم ويغني.

أما إذا قلت " أعوذ بعزة الله " فهذا من باب التوسل بعزة الله عز وجل إلى النجاة من هذا المرهوب الذي استعذت منه، وكذلك " برضاك من سخطك "، وكذلك قوله " يا حي يا قيوم، برحمتك أستغيث "، ليس المعنى أن الإنسان يستغيث بالرحمة المنفصلة عن الله، لكن هذا من باب الوسيلة، من باب التوسل إلى الله بصفات الله عز وجل المناسبة للمستعاذ منه أو للمدعو، وليس دعاء صفة. دعاء الصفة أن تقول " يا رحمة الله ارحميني" ، " يا قدرة الله اعطيني"، وما أشبه ذلك.

انتهى ..

Nah,... kembali, perkataan Imam Ahmad di atas diucapkan setelah membawakan doa isti'adzah yang bertawassul dengan shifat Allah (kalimaat Allah).

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya akan tenggapi artikel di sini : Tadlis Ust. Abul Jauza Dalam Menterjemahkan Ucapan Imam Ahmad.

Penulis berkata :

Perhatikan kalimat:

الاستعاذة لا تكون بمخلوق

Ust. Abul Jauza menerjemahkan kalimat tersebut begini: ‘Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan (perantaraan) makhluk”.

Ia memberi kata “perantaraan” yang diletakan dalam kurung. Orang yang tidak mengerti bahasa arab tentunya akan tertipu dengan Tadlis Ust. Abul Jauza Dalam Menterjemahkan Ucapan Imam Ahmad. Mereka akan menganggap bahwa Imam Ahmad melarang tawasul.

Padahal dalam teks arabnya sama sekali tidak ada kalimat yang menunjukan artian perantaraan. Maka terjemahan yang benar dari ucapan imam Ahmad adalah “Meminta perlindungan tidak boleh dengan mahluk.”

Seandainya kalimat Al-Isti’adzah La takun bimakhluq diterjemahkan seperti Tadlis Ust. Abul Jauza Dalam Menterjemahkan Ucapan Imam Ahmad maka terjemahan ini sangat tampak kerancuannya. Sebab di awal kalimat telah dikatakan bahwa Imam Ahmad menjadikan Nabi sebagai perantara dalam doanya.

Perhatikan kalimat :

قال أحمد إنه يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه

“Ahmad berkata : ‘Sesungguhnya ia bertawassul dengan (perantaraan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam doanya’.

Dengan demikian, Imam Ahmad tidak melarang tawasul dengan mahluk melainkan beliau melarang meminta perlindungan dengan mahluk. Meminta perlindungan dengan mahluk jauh berbeda dengan menjadikan mahluk sebagai perantaraan untuk mendapatkan perlindungan dari Alloh.


[selesai kutipan]

Perhatikan kalimat yang saya cetak tebal (bold).

Harap diketahui,..... itu bukan rangkaian perkataan dari Imam Ahmad secara langsung. Tapi merupakan nukilan dari pertanyaan yang disampaikan kepada Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab terkait beberapa perkataan yang nampak konteradiktif yang ternukil dari Imam Ahmad dan para ulama Hanaabilah.

Sehingga perkataan :

قال أحمد إنه يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه، وقال أحمد وغيره في قوله عليه السلام: " أعوذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق ": الاستعاذة لا تكون بمخلوق

“Ahmad berkata : ‘Sesungguhnya ia bertawassul dengan (perantaraan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam doanya’. Ahmad dan yang lainnya berkata tentang sabda beliau ‘alaihis-salaam : A’uudzu bikalimaatillaahi at-taammaati min syarri maa khalaq : ‘Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan (perantaraan) makhluk” [Fataawaa wa Masaail, hal. 60].

itu bukan merupakan perkataan Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab.

Ini merupakan kekeliruan penulisan artikel, bukan kekeliruan terjemahan (karena terjemahannya sudah betul).

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Berikut pertanyaan dimaksud yang dilayangkan kepada Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab :

قولهم في الاستسقاء : لا بأس بالتوسل بالشيوخ والعلماء المتّقين ، وقوله : يجوز أن يُسْتَشْفَع إلى الله برجل صالح ، وقيل :
يستحب ، قال أحمد : إنه يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه ؛ وقال أحمد وغيره في قوله عليه السلام : "أعوذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق" الاستعاذة لا تكون بمخلوق ، فما معنى هذا الكلام ؟
وما العمل عليه منهما أم على قوله فما المعنى ؟ وقولهم في الشرح : قال إبراهيم الحربي : الدعاء عند قبر معروف الترياق المجرَّب ، فما معنى هذا الكلام ؟ قال في الفروع : قال شيخنا : قصدُه الدعاءَ عنده رجاءَ الإجابة بدعةٌ لا قربة باتفاق الأئمة ، فما معنى هذا الكلام ؟

Perhatikan khususnya yang saya cetak tebal. Pertanyaan :

"Perkataan mereka dalam masalah istisqaa' : Tidak mengapa bertawassul dengan perantaraan para syaikh, ulama, dan orang-orang bertaqwa. Dan perkataannya : Diperbolehkan minta syafa'at kepada Allah dengan perantaraan orang yang shaalih. Dan dikatakan : disunnahkan. Ahmad berkata : 'Sesungguhnya ia (boleh) bertawassul dengan (perantaraan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam doanya’. Ahmad dan yang lainnya berkata tentang sabda beliau ‘alaihis-salaam : A’uudzu bikalimaatillaahi at-taammaati min syarri maa khalaq : ‘Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan (perantaraan) makhluk'. Apa makna perkataan ini ....?.....dst".

[diterjemahkan seperlunya]

Ini pertanyaan terkait tawassul.

Nah,.... sekali lagi, perkataan yang dibahas Penulis itu dengan menukil dari artikel saya bukan merupakan perkataan Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab, bukan pula rangkaian perkataan Imam Ahmad. Paham ya.....

Maka di sini dapat diketahui kesalahan pemahaman dari Penulis itu ketika mengatakan:

Seandainya kalimat Al-Isti’adzah La takun bimakhluq diterjemahkan seperti Tadlis Ust. Abul Jauza Dalam Menterjemahkan Ucapan Imam Ahmad maka terjemahan ini sangat tampak kerancuannya. Sebab di awal kalimat telah dikatakan bahwa Imam Ahmad menjadikan Nabi sebagai perantara dalam doanya.

[selesai kutipan]

Ini adalah salah. Ini bukan rangkaian kalimat Imam Ahmad yang satu. Tidak ada hubungannya antara kalimat pertama dan kedua.

Harap diketahui,…. kalimat pertanyaan di atas sumbernya dari rangkuman pendapat-pendapat yang beredar di kalangan ulama madzhab Hanaabilah. Diantaranya bersumber dari perkataan Al-Mardawiy:

وَمِنْهَا : يَجُوزُ التَّوَسُّلُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ ، وَقِيلَ : يُسْتَحَبُّ .
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ : الْمَرُّوذِيُّ يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُعَائِهِ وَجَزَمَ بِهِ فِي الْمُسْتَوْعِبِ وَغَيْرِهِ ، وَجَعَلَهُ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ كَمَسْأَلَةِ الْيَمِينِ بِهِ قَالَ : وَالتَّوَسُّلُ بِالْإِيمَانِ بِهِ وَطَاعَتِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَيْهِ ، وَبِدُعَائِهِ وَشَفَاعَتِهِ ، وَنَحْوِهِ مِمَّا هُوَ مِنْ فِعْلِهِ أَوْ أَفْعَالِ الْعِبَادِ الْمَأْمُورِ بِهَا فِي حَقِّهِ : مَشْرُوعٌ إجْمَاعًا ، وَهُوَ مِنْ الْوَسِيلَةِ الْمَأْمُورِ بِهَا فِي قَوْله تَعَالَى { اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إلَيْهِ الْوَسِيلَةَ } وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ مِنْ الْعُلَمَاءِ : فِي قَوْلِهِ عَلَيْهِ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ { أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ } الِاسْتِعَاذَةُ لَا تَكُونُ بِمَخْلُوقٍ

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

“Diantaranya : Diperbolehkan bertawassul dengan orang shaalih, menurut pendapat yang shahih dari madzhab. Dikatakan : disunnahkan.

Imam Ahmad berkata : Al-Marrudziy bertawassul dengan perantaraan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam doanya. Dan ia menjazmkannya dalam kitab Al-Mustau’ib dan yang lainnya. Asy-Syaikh Taqiyyuddiin (yaitu Ibnu Taimiyyah) menjadikan permasalahan itu seperti permasalahan bersumpah dengannya (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Ia berkata : ‘Dan tawassul dengan keimanan kepadanya, ketaatan kepadanya, dan kecintaan kepadanya - wash-shalaatu was-salaamu ‘alaihi -. Dan juga bertawassul dengan doanya, syafa’atnya, dan yang semisalnya dari macam perbuatan yang dilakukannya (orang yang bertawassul) atau perbuatan-perbuatan hamba yang diperintahkan (Allah) untuk dilakukan dalam hak beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka hal itu disyari’atkan berdasarkan ijmaa’. Hal itu merupakan wasiilah yang diperintahkan, sebagaimana terdapat dalam firman Allahta’ala : ‘Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasiilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya’ (QS. Al-Maaidah : 35). Imam Ahmad dan yang lainnya dari kalangan ulama berkata tentang sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : A’uudzu bikalimaatillaahi at-taammaati min syarri maa khalaq (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya) : ‘Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan (perantaraan) makhluk” [Al-Inshaaf, 2/456].

Terlihat di sana Al-Mardawiy mengemukakan pendapat madzhabnya, dan ia sendiri merajihkan bahwa tawassul dengan perantaraan orang shalih itu diperbolehkan. Namun bukan di sini letak permasalahannya. Al-Mardawiy – sebagaimana kebiasaannya dalam kitab Al-Inshaaf – mengemukakan variasi pendapat yang beredar di madzhabnya. Ia membawakan perkataan Imam Ahmad yang menjelaskan bahwa Al-Marrudziy. Membolehkan bertawassul dengan perantaraan Nabi dalam doanya. Kemudian ia (Al-Mardawiy) juga membawakan pendapat Ibnu Taimiyyah bahwa kebolehan bertawassul itu adalah bertawassul dengan keimanan, ketaatan, dan kecintaan kepada beliau. Dan tawassul ini memang diperbolehkan berdasarkan ijma’. Kemudian Al-Mardawiy membawakan perkataan Imam Ahmad dan yang lainnya – masih dalam perkara tawassul – dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : A’uudzu bikalimaatillaahi at-taammaati min syarri maa khalaq : ‘Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan (perantaraan) makhluk’.

Jelas ya runtutannya…..

Maka,….

Pertama, kalau mas Qosim bin ‘Aly mengatakan perkataan Imam Ahmad yang ia masalahkan itu nggak ada hubungannya dengan bahasan tawassul, lha ngapain juga dibawakan Al-Mardawiy dalam bahasan tawassul ?. Begitu juha Ibnu Mufliih dalam Al-Furuu’ ?. Kok logikanya nggak nyambung ya……

Kedua,…. dari kalimatnya sendiri sudah bisa dipahami kok.

وَقَالَ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ ، فِي قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ } الِاسْتِعَاذَةُ لَا تَكُونُ : بِمَخْلُوقٍ

Yuk kita coba bahas dulu doa isti’adzah yang diajarkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya”.

Ini termasuk tawassul dengan sifat-sifat Allah. Tidak bisa dipahami maknanya adalah : “Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah”. Tapi maknanya adalah : “Aku berlindung kepada Allah dengan perantaraan kalimat-kalimat Allah yang sempurna”. Oleh karena itu, para ulama Hanaabilah menyitirnya dalam bab tawassul. Kalau dipahami dengan makna pertama, maka itu bukan tawassul.

Ini sama seperti doa yang lain:

يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ

“Wahai Dzat Maha Hidup wahai Dzat Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan”.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...


Ini berisitighatsah tawassul dengan sifat Allah. Yaitu, kita memohon pertolongan kepada Allah dengan perantaraan sifat Rahmat-Nya. Bukan artinya kita beristighatsah kepada Rahmat Allah.

Sehingga…… ketika dikatakan :

وَقَالَ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ ، فِي قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ } الِاسْتِعَاذَةُ لَا تَكُونُ : بِمَخْلُوقٍ

Tentu saja terjemahannya adalah sebagaimana yang saya bawakan di artikel, yaitu : “Ahmad dan yang lainnya dari kalangan ulama berkata tentang sabda beliau ‘alaihis-salaam : A’uudzu bikalimaatillaahi at-taammaati min syarri maa khalaq : ‘Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan (perantaraan) makhluk”.

Kalau mas Qosim bin ‘Aly maui perkataan Imam Ahmad itu tidak berkaitan dengan tawassul, mungkin makna perkataan Ahmad yang letterlijk nya adalah : Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan makhluk adalah : Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan KEPADA makhluk - sehingga ia menghukuminya dengan syirik.

Ya ini KELIRU, nggak nyambung dengan doa yang dikomentari. Doanya berbicara tawassul, tapi komentarnya tidak berkaitan dengan tawassul. Anehkan ?.

Memang kalau memaksakan diri menyalahkan apa tidak salah, jadi agak lucu logikanya.

O iya,….. sekaligus diberitahukan bahwa saya akan mengedit nukilan Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab di atas dengan perkataan Al-Mardawiy yang lebih lengkap. Ini sebagai amanat ilmiah memperbaiki apa yang salah. Saya tetap akan membawakan artikel versi lama di Screen Shot nya di bawah.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Catatan :

Dalam teks lain dalam Al-Inshaaf perkataan yang dinukil Al-Marwadziy adalah:

قال الإمام أحمد للمروذي: يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه

“Al-Imaam Ahmad pernah berkata kepada Al-Marwadziy : ‘Hendaknya seseorang bertawassul dengan (perantaraan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam doanya” [Al-Inshaaf, 2/456

Qosim Ibn Aly mengatakan...

Ya komen saya kagak di moderasi :D

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Yang benar, komentar Anda ada yang tidak saya tampilkan karena berisi pengulangan saja. Tidak ada esensi baru yang muncul. Lagi pula, apa yang Anda komentari di blog Anda sudah ada link nya di atas. Tinggal merujuk saja.

Qosim Ibn Aly mengatakan...

Dasar Penipu....

Ok saya ulang lagi komen saya yg tidak nt moderasi.

Komentar Ust. Abul Jauza meruntuhkan artikelnya sendiri.

Dalam komen si Ust. Menulis jawaban Ibn Abdul Wahhab tentang pertanyaan tawasul dengan orang sholih sebagai berikut:

لعاشرة - قولهم في الاستسقاء : لا بأس بالتوسل بالصالحين : وقول أحمد : يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم خاصة ، مع قولهم إنه لا يستغاث بمخلوق ، فالفرق ظاهر جداً

Ibn Abdul Wahhab membolehkan tawasul dengan zat orang sholih dengan dalil pendapat Imam AHmad bahwa beliau bertawasul dengan Nabi padahal beliau melarang meminta dengan mahluk. Kemudian Ibn Abdul Wahhab berkata bahwa perbedaan keduanya sangat jelas.

Itu artinya, menurut Ibn Abdul Wahhab, Imam Ahmad Membolehkan tawasul dengan Zat Nabi. Namun beliau melarang meminta dengan mahluk.

Perbedaan antara tawasul dengan zat nabi dan meminta dengan mahluk itu sangat jelas.

Komentar itu yang kemaren tidak dimoderasi oleh ust. abul jauza...

Qosim Ibn Aly mengatakan...

Silahkan tunjukan teks komen saya yg anda anggap berisi pengulangan?? Monggo pak ust. :D

Qosim Ibn Aly mengatakan...

Tadi sore saya telah mengetik ulang komentar saya yang tidak dimoderasi oleh Ust. ABul Jauza kemudian saya minta beliau untuk menunjuk kalimat mana yang beliau anggap sebagai pengulangan.

Namun lagi-lagi pak ustad tidak memoderasi komen saya, apalagi menunjukan kalimat yang ia anggap sebagai pengulangan.

Saya ulang lagi komentar saya ya pak Ustad.

Perhatikan kalimat:

قال أحمد : إنه يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه ؛ وقال أحمد وغيره في قوله عليه السلام : "أعوذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق" الاستعاذة لا تكون بمخلوق ، فما معنى هذا الكلام ؟

Artinya: Imam Ahmad berkata: sesungguhnya Imam Ahmad bertawasul dengan lantaran Nabi di dalam do’anya. Imam Ahmad dan yang lainnya juga berkata mengenai sabda Nabi SAW : “Aku Berlindung dengan kalimat-kalimat Alloh dari keburukan makhluk”; meminta pertolongan tidak boleh dengan makhluk, apa makna kalimat ini?

Muhammad Bin Abdul Wahhab menjawab:

وقول أحمد : يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم خاصة ، مع قولهم إنه لا يستغاث بمخلوق ، فالفرق ظاهر جداً

Artinya: Adapun pendapat Imam Ahmad bahwa ia bertawasul dengan nabi secara husus serta ucapan para ulama bahwa tidak boleh meminta tolong dengan makhluq, maka perbedaannya sangat jelas.

Dari jawaban tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Muhammad Bin Abdul Wahhab membedakan antara tawasul dengan zat Nabi dan meminta tolong dengan mahluk.
Ini menunjukan bahwa dalam pandangan Muhammad Bin Abdul Wahhab, Imam Ahmad membolehkan tawasul dengan zat Nabi. Ini ditunjukan oleh kalimat:

وقول أحمد : يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم خاصة

Sedangkan yang dilarang oleh Ulama termasuk Imam Ahmad adalah meminta tolong atau perlindungan dengan makhluk. Ini ditunjukan oleh kalimat:

مع قولهم إنه لا يستغاث بمخلوق

Menurut Muhammad Bin Abdul Wahhab, tawasul dengan zat nabi dan meminta dengan mahluk adalah dua hal yang sangat jelas perbedaannya. Karenanya, ia berkata:

فالفرق ظاهر جداً

Penjelasan Muhammad Bin Abdul Wahhab selanjutnya semakin memperjelas bahwa yang dimaksud tawasul oleh Imam Ahmad adalah tawasul dengan zat Nabi. Perhatikan kalimat:

فكون بعضٍ يرخِّص بالتوسل بالصالحين وبعضهم يخصُّه بالنبي صلى الله عليه وسلم ، وأكثر العلماء ينهي عن ذلك ويكرهه ، فهذه المسألة من مسائل الفقه

Artinya: adanya pendapat sebagian ulama yang merukhsoh tawasul dengan zat orang sholih dan sebagian menghususkan tawasul dengan zat nabi dan kebanyakan ulama mencegah tawasul dengan zat nabi dan orang sholih dan menghukuminya makruh maka ini adalah termasuk masalah fiqih.

Perhatikan kalimat:

وبعضهم يخصُّه بالنبي صلى الله عليه وسلم

Artinya: “Sebagian ulama menghususkan tawasul dengan zat nabi.”

Siapa ulama yang memperbolehkan tawasul dengan zat Nabi? Jawabannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Ini dibuktikan oleh penjelasan Muhammad Bin Abdul Wahhab sebelumnya, sebagai berikut:

وقول أحمد : يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم خاصة

Artinya: “Pendapat Imam Ahmad bahwa sesungguhnya tawasul husus dengan zat Nabi.”

Jadi jelas bahwa menurut Muhammad Bin Abdul Wahhab Imam Ahmad membolehkan tawasul dengan zat Nabi secara husus dan tawasul dengan zat nabi tidak sama dengan meminta pertolongan atau perlindungan dengan makhluk. Maka Komentar Ust. Abul Jauza Meruntuhkan Artikelnya Sendiri. Selengkapnya baca di blog saya pak Ustad. http://qosimaly.blogspot.com/2014/11/komentar-ust-abul-jauza-meruntuhkan.html

Kesimpulan bahwa maksud ucapan Imam Ahmad adalah tawasul dengan zat nabi juga dikatakan oleh Ibn Taimiyah. Silahkan baca artikel saya http://qosimaly.blogspot.com/2014/11/imam-ahmad-membolehkan-tawasul-dengan.html

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Komentar Anda paling akhir itu ya cuma di atas saja mas. Nggak ada komentar seperti yang barusan Anda ketika itu.

Anyway,.....

Tak usah berputar-putar,....

Mas,.... kan sudah dikatakan di atas bahwa perkataan Imam Ahmad yang Anda masalah berulangkali itu asalnya dari Al-Furuu'-nya Ibnu Muflih dan Al-Inshaaf nya Al-Mardawiy.... Jadi tulung itu dibahas di situ, jangan melebar kemana-mana.

Anda katakan bahwa perkataan Imam Ahmad itu tidak ada hubungannya dengan tawassul. Ya kan ?. Saya ndak setuju. Pertama, karena perkataan Imam Ahmad itu dibawakan Al-Mardawiy dan Ibnu Muflih dalam masalah tawassul. Ini yang dari kemarin tidak Anda tanggapi. Yang kedua, makna perkataan Imam Ahmad sendiri memang menunjukkan tawassul karena ia sedang mengomentari doa tawassul dengan sifat Allah. Saya sudah menuliskan bahasannya sendiri di sini : Tawassul dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah ta’ala.

Tidak perlu saya ulangi (karena memang sudah jelas).

Dari sini saja sudah selesai masalahnya.

Adapun masalah kembangan dari pertanyaan yang dilontarkan kepada Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab berikut jawabannya, itu hanya cara ngeles saja. Coba saja terjemahkan secara utuh pertanyaan dan jawabannya. Biar pembaca yang menilai. Tulisan Anda itu adalah penafsiran Anda saja.

Saya ambil versi terjemahan Anda dari jawaban Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab (dengan tambahan dari saya):

العاشرة - قولهم في الاستسقاء : لا بأس بالتوسل بالصالحين : وقول أحمد : يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم خاصة ، مع قولهم إنه لا يستغاث بمخلوق ، فالفرق ظاهر جداً ، وليس الكلام مما نحن فيه ، فكون بعضٍ يرخِّص بالتوسل بالصالحين وبعضهم يخصُّه بالنبي صلى الله عليه وسلم ، وأكثر العلماء ينهي عن ذلك ويكرهه ، فهذه المسألة من مسائل الفقه ، ولو كان الصواب عندنا قول الجمهور إنه مكروه فلا ننكر على من فعله ،

"Dan perkataan mereka tentang al-istisqaa’ : Tidak mengapa bertawassul dengan (perantaraan) orang-orang shalih. Adapun pendapat Imam Ahmad bahwa ia bertawasul dengan nabi secara khusus serta ucapan para ulama bahwa tidak boleh meminta tolong dengan makhluq, maka perbedaannya sangat jelas. Kami tidak akan berkomentar padanya. Maka, ada pendapat sebagian ulama yang merukhsoh tawasul dengan zat orang sholih dan sebagian menghususkan tawasul dengan zat nabi dan kebanyakan ulama mencegah tawasul dengan nabi dan orang sholih dan menghukuminya makruh maka ini adalah termasuk masalah fiqih. Meskipun pendapat yang benar menurut saya adalah pendapat jumhur ulama yaitu makruh. Kami tidak mengingkari orang yang melakukannya...".

[selesai].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Pertanyaan saya : Apa maksud perkataan فالفرق ظاهر جداً (perbedaannya sangat jelas)"

sehingga beliau tidak akan berkomentar padanya ?.

Kalau yang saya tanggap dari pemahaman Anda,... perbedaannya adalah masalah tawassul (mengambil perantara) dengan istighatsah bi-makhluq - yang Anda terjemahkan : meminta tolong dengan makhluk. Ini terjemahan terlalu letterlijk, karena maksud Anda adalah istighatsah kepada makhluk. Sehingga yang Anda inginkan dari perbedaan tersebut adalah tawassul itu boleh, istighatsah kepada makhluk itu syirik, tidak boleh, dan tidak ada hubungannya dengan bahasan tawassul (dalam konteks bahasan ulama yang menukil perkataan Imam Ahmad). Ini tidak ada hubungannya dengan masalah tawassul. Begitu kan ?.

Komentar saya :

Analisis Anda itu terlalu dipaksakan. Kalau memang maksudnya istighatsah bi-makhluq dalam perkataan Ibnu 'Abdil-Wahhaab itu seperti yang Anda kemukakan (yaitu syirik) sehingga tidak perlu lagi ada komentar/pembahasan, kenapa di bawahnya beliau malah membahas masalah itu ?. Ini lanjutan perkataan beliau :

لكن إنكارنا على من دعا لمخلوق أعظم مما يدعو الله تعالى ، ويقصد القبر يتضرع عند ضريح الشيخ عبد القادر أو غيره يطلب فيه تفريج الكربات ، وإغاثة اللهفات ، وإعطاء الرغبات

"Akan tetapi pengingkaran kami adalah terhadap orang yang lebih mengagungkan untuk berdoa kepada makhluk dibandingkan berdoa kepada Allah ta'ala........... dst.

Jika demikian, istighatsah bi-makhluk yang disebutkan di awal bukan seperti persepsi Anda. Paham ?.

Ingat, istighatsah sendiri termasuk doa.

Lantas apa maksud dari perbedaan yang jelas sehingga tidak perlu dibahas ?. Yang saya pahami di situ bahwa perbedaan yang dimaksud beliau (Ibnu 'Abdil-Wahhaab) adalah antara tawassul dalam istisqaa' dan tawassul dalam istighatsah. Tawassul dalam masalah istisqaa', maka di situ para ulama ada yang membolehkan. Tapi kalau tawassul dalam masalah istighatsah, maka itu dikarang (haram), bahkan syirik.

Dengan demikian, ini sinkron dengan apa yang dibahas Ibnu Muflih dan Al-Mardawiy yang memasukkan perkataan Imam Ahmad itu dalam masalah tawassul.

Tawassul dalam masalah istighatsah dengan makhluk itu haram, syirik. Ada pembahasan tersendiri. Perbedaan pemahaman antara saya dan Anda tentang masalah istighatsah yang dimaksudkan oleh Ibnu 'Abdil-Wahhaab - meski sama-sama memandangnya sebagai satu kesyirikan - , Anda tidak memandangnya sebagai satu bahasan tawassul, sedangkan saya memasukkan dalam bahasan tawassul (yaitu tawassul yang diharamkan).

Anyway,.... sebenarnya yang disinggung Imam Ahmad adalah masalah isti'aadzah, bukan istighaatsah. Nanti kalau ada waktu, akan dibahas tersendiri.

OK ?.

Kembali kepada konteks awal yang dipermasalahkan :

"Apakah perkataan Imam Ahmad itu masuk dalam bab tawassul apa nggak ?".

NB : Artikel di atas mencoba memahami apa maksud tawassul bin-nabiy di sini. Apakah tawassul dengan dzat Nabi, ataukah tawassul dengan amalan-amalan kita yang terkait dengan pemenuhan hak beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hal keimanan, kecintaan, ketaatan, dan yang semisalnya kepada beliau ?.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Hanya untuk membantu pemahaman bahwa Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab itu menganggap tawassul dalam istighatsah itu haram lagi syirik. Beliau rahimahullah berkata tentang pembatal Islam yang kedua:

من جعل بينه وبين الله وسائط يدعوهم
ويسالهم الشفاعة ويتوكل عليهم كفر اجماعا

"Barangsiapa yang mengangkat perantara antara dirinya dengan Allah, dimana dia berdoa kepada perantara itu, memohon syafaat kepada mereka, dan bertawakal kepada mereka, maka dia telah kafir berdasarkan ijma’"

Silakan baca : نواقض الإسلام.

Syarahnya yang berbahasa Indonesia ada di sini : Pembatal Islam Kedua: Beribadah Kepada Perantara.

Intinya, beliau rahimahullah memasukkan itu dalam bab tawassul yang diharamkan.

Maka, yang dimaksud 'perbedaan yang jelas' dari perkataan Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab sebelumnya adalah perbedaan antara istisqaa' dan istighatsah dalam hal tawassul.

So, kesimpulannya yang sudah panjang lebar kemana-mana,.... perkataan Imam Ahmad itu masuk dalam bab tawassul, yaitu tawassul dalam isti'aadzah yang dilarang.

Anonim mengatakan...

Ust, untuk lebih jelas lagi.

Mohon berikan contoh kalimat:

- "tawassul dengan istisqa`" (yang diperselisihkan 'ulamaa`; yang ini dihukumi makruuh oleh hanabilah, dan tidak ada pengingkaran padanya sebagaimana kata syaikh ibnu 'abdil wahhab)

dan

- "tawassul dengan istighaatsah" (yang merupakan haram, lagi syirik berdasarkan ijma)

Jazaakallahu khairan