Dikatakan :
“Seorang wanita, pada usia 9 tahun, telah mencapai tingkat intelektual (akal), pemahaman, penerimaan, di mana Tuhan mengajaknya berbicara, ‘Wahai orang-orang yang beriman…’ Apakah pria sudah mencapai tingkat tersebut? Belum. Pria harus menunggu 6 (enam) tahun sampai dia mencapai tingkatan tersebut sehingga barulah pria dapat dipanggil dengan sapaan, ‘Wahai orang-orang yang beriman.’
“Saudaraku, inilah logika ahlulbait, logika Alquran, logika Ali. Tidak seperti mereka yang… jika wanita mengemudi maka harus dicambuk sepuluh kali kemudian waliul amr (menurut istilah mereka) harus ikut campur dan seterusnya… Lihatlah perbedaan antara logika tersebut dengan logika ahlulbait.”
Ini adalah kalimat yang – konon - dikatakan oleh Ayatullah (baca : Ayatusy-Syi’ah) Kamaal Al-Haidariy. Menurutnya, logika Ahlul-Bait dan logika ‘Aliy sangat memuliakan wanita, berbeda dengan ‘mereka’ yang tidak mengikuti logika Ahlul-Bait dan logika ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Betapa ‘mulia’ kedudukan wanita menurut madzhab Ahlul-Bait. Akan tetapi,.......
Imam Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam berkata :
لا بأس أن ينام الرجل بين أمتين والحرتين، وإنما نساؤكم بمنزلة اللعب
“Tidak mengapa seorang laki-laki tidur dengan dua budaknya atau dua istrinya, karena wanita-wanita kalian hanyalah berkedudukan sebagai mainan (bagi laki-laki)” [sumber : sini].[1]
عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنَ الْمَرْأَةِ وَ هِيَ حَائِضٌ قَالَ كُلُّ شَيْءٍ غَيْرَ الْفَرْجِ قَالَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا الْمَرْأَةُ لُعْبَةُ الرَّجُلِ
Dari ‘Abdul-Malik bin ‘Amru, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) apa yang diperbolehkan bagi laki-laki dari istrinya ketika sedang haidl ?. Ia menjawab : “Segala sesuatu kecuali farjinya”. Kemudian ia berkata : “Wanita itu hanyalah mainan bagi laki-laki” [sumber : sini].
عَنْ عُمَرَ بْنِ أُذَيْنَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ كَمْ تَحِلُّ مِنَ الْمُتْعَةِ قَالَ فَقَالَ هُنَّ بِمَنْزِلَةِ الْإِمَاءِ
Dari ‘Umar bin Adzainah, dari Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam); ia (‘Umar) berkata : “Berapa banyak (wanita) yang diperbolehkan dari mut’ah ?”. Ia (Abu ‘Abdillah) menjawab : “Mereka (para wanita) berkedudukan seperti budak” [sumber : Al-Kaafiy, 4/451].[2]
Mungkin, menurut Al-Haidariy bahwa logika Ahlul-Bait dalam pemuliaan wanita termasuk anggapan bahwa kedudukan wanita hanyalah mainan bagi laki-laki.
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, awal Muharram 1433 H].
[1] Atas dasar ini Ash-Shiiraziy – salah seorang marja’ terkenal Syi’ah – berkata ketika ditanya batasan yang harus di perhatikan seorang laki-laki yang mengumpulkan dua istri dalam satu tempat :
حدوده ان لا يقع نظر احداهما على عورة الأُخرى
“Batasannya adalah tidak terjadinya pandangan salah seorang di antara mereka (istri) pada aurat (istri) yang lainnya” [sumber : sini].
[2] Maksudnya adalah, seorang laki-laki boleh menikahi wanita secara mut’ah dengan jumlah tak terbatas sebagaimana ia menjimai budak; karena seorang laki-laki boleh menjimai budak-budaknya sekehendaknya tanpa ada batasan. Ini tersirat dalam riwayat lain dari Abu ‘Abdillah :
عَنْ بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْأَزْدِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا الْحَسَنِ ( عليه السلام ) عَنِ الْمُتْعَةِ أَ هِيَ مِنَ الْأَرْبَعِ فَقَالَ لَا
Dari Bakr bin Muhammad Al-Azdiy ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abul-Hasan (‘alaihis-salaam) tentang mut’ah, apakah ia maksimal empat dilakukan kepada wanita, maka ia menjawab : “Tidak” [Al-Kaafiy, 5/451].
عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَعْيَنَ قَالَ قُلْتُ مَا يَحِلُّ مِنَ الْمُتْعَةِ قَالَ كَمْ شِئْتَ
Dari Zuraarah bin A’yan, ia berkata : Aku pernah bertanya : “Apa yang diperbolehkan dari mut’ah ?”. Imam menjawab : “Berapapun yang engkau kehendaki” [idem].
Comments
Mungkin Ayatusy-Syi’ah Kamaal Al-Haidariy itu belum baca hadits tersebut , sehingga membuat pernyataan yang saling bertentangan ??
Ana mau tanya namun agak keluar dari topik : apa yang sebaiknya kita lakukan ( sebagai warga dan pemerintah ) dalam mensikapi musibah yang sekarang terjadi di Yaman itu ?
Banyak saudara kita ( Indonesia maupun Non Indonesia )yang sedang belajar disana menjadi korban serangan kaum syi'ah ?
Atau mungkin ustad punya fatwa ulama mengenai hal tersebut ?
Sukron.
Sabar, introspeksi, dan selalu berhusnudhdhan pada Allah ta'ala. Allah ta’ala telah berfirman :
وَمَآ أَصَابَكُمْ مّن مّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْ عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syuuraa : 30).
Dr. Muhammad bin Sulaiman Al-Asyqaar berkata dalam Zubdatut-Tafsiir tentang ayat di atas : “Yaitu bahwa musibah-musibah apa saja yang menimpa kalian, maka sesungguhnya (kalian ditimpa musibah itu) sebagai hukuman bagi kalian karena kemaksiatan-kemaksiatan yang dikerjakan tangan-tangan kalian, dan Dia memaafkan sebagian dari kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukan oleh para hamba, sehingga tidak dihukum/dibalas” [sebagai suplemen, bisa dibaca di sini].
Kewajiban membantu bertingkat-tingkat. Yang paling besar tanggung-jawabnya adalah yang paling dekat kedudukannya dengan mereka (yaitu Ahlul-Yamaan), kemudian setelahnya, kemudian setelahnya. Kita, sebagai kaum mauslimin, membantu menurut kadar kemampuan kita. Yang dapat membantu dengan jiwa, tenaga, dan harta; maka hendaklah ia membantu mereka dengan itu. Jika tidak bisa membantu dengan jiwa, maka bisa tenaga dan harta. Jika tidak bisa membantu dengan jiwa dan tenaga, maka bisa dengan harta. Jika tidak bisa membantu dengan jiwa, tenaga, dan harta; maka ia bisa membantu dengan doa, karena doa kita yang ikhlash sangat dibutuhkan dalam jihad yang mereka lakukan.
Tentang fatwa-fatwa ulama mengenai hal ini, silakan dibaca :
http://basweidan.wordpress.com/2011/12/01/fatwa-syaikh-al-allamah-abdul-muhsin-al-abbad-ttg-jihad-di-dammaj/.
http://basweidan.wordpress.com/2011/11/28/khutbah-jihad-syaikh-yahya-beserta-terjemahannya/.
Semoga Allah senantiasa memberikan kesabaran dan kemenangan bagi Ahlus-Sunnah dimanapun mereka berada.
mungkin bagi Ayatu Syiah, menjadi mainan bagi lelaki adalah tanda wanita beriman.
sejak awal, kalau umur menjadi penentu beriman tidaknya seseorang sepertinya ada yang aneh dengan konsepsi keimanan mereka
Dari ‘Abdul-Malik bin ‘Amru, ia berkata : Aku pernah kepada Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam)
>> sepertinya ada kata yang terlupa diketik, Ustadz. Barokallohu fik ...
Dari ‘Abdul-Malik bin ‘Amru, ia berkata : Aku pernah BERTANYA kepada Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam)
Benar, telah saya perbaiki. Terima kasih atas koreksiannya. Jazaakallaahu khairan.
Posting Komentar