Salah Paham tentang Thaghut


Allah ta’ala berfirman :
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus” [QS. Al-Baqarah : 256].
(Sebagian) orang-orang takfiriy (= gemar mengkafirkan orang) seringkali menggunakan ayat di atas dan ayat-ayat semisal untuk menstigma orang-orang tertentu sebagai thaaghuut. Dan anggapan mereka, semua hal yang disebut thaaghuut oleh para ulama adalah kafir. Atau kongkrit yang akan diangkat dalam artikel ini : Ketika para ulama menjelaskan salah jenis thaaghuut adalah penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka penguasa itu statusnya kafir karena thaaghuut itu berstatus kafir.
Ini adalah kekeliruan deduksi berat yang banyak menjangkiti orang-orang takfiriy.

Benarkah setiap hal yang dinisbatkan kepada thaaghuut itu dihukumi kafir ?
Untuk menjawabnya, kita akan bahas lebih dahulu, apa sebenarnya thaaghuut itu ?. Para ulama mempunyai ragam perkataan sebagaimana disebutkan di bawah :
Ia bisa berupa berhala/patung yang disembah, sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، أَخْبَرَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَضْطَرِبَ أَلَيَاتُ نِسَاءِ دَوْسٍ عَلَى ذِي الْخَلَصَةِ "، وَذُو الْخَلَصَةِ: طَاغِيَةُ دَوْسٍ الَّتِي كَانُوا يَعْبُدُونَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah berkata Sa’iid bin Al-Musayyib : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak akan tegak hari kiamat hingga pantat-pantat wanita suku Daus berjoget di Dzul-Khalashah”. Dzul-Khulashah adalah thaaghuut (berhala) suku Daus yang mereka sembah pada masa Jaahiliyyah [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7116].
Ia bisa berupa syaithaan, sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، عَنْ وَكِيعٍ، عَنْ زَكَرِيَّا، عَنِ الشَّعْبِيِّ: "الطَّاغُوتِ: الشَّيْطَانُ "
Telah menceritakan kepada kami Abu bakr, dari Wakii’, dari Zakariyyaa, dari Asy-Sya’biy : “Thaaghuut, yaitu syaithaan” [Ghariibul-Hadiits oleh Abu Ishaaq Al-Harbiy, 2/643; shahih].
Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata :
وقال ابن قتيبة : كل معبود ؛ من حجر أو صورة أو شيطان : فهو جبتٌ وطاغوتٌ . وكذلك حكى الزجاج عن أهل اللغة
“Ibnu Qutaibah berkata : ‘Segala sesuatu yang disembah baik berupa batu, patung, ataupun syaithaan, maka ia adalah jibt dan thaaghuut’. Dan begitulah yang dihikayatkan oleh Az-Zujaaj dari para pakar bahasa” [Nuzhatul-A’yun An-Nawaadhir, hal. 410].
Ia bisa berupa dukun, sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ سَعِيدٍ: "الطَّاغُوتِ: الْكَاهِنُ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr : Telah menceritakan kepada kami Ghundar, dari Syu’bah, dari Abu Bisyr, dari Sa’iid : “Thaaghuut, yaitu dukun” [idem; shahih].
Ia bisa berupa tukang sihir, sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الأَعْلَى، قَالَ: ثنا دَاوُدُ، عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ، أَنَّهُ قَالَ: " الطَّاغُوتُ: السَّاحِرُ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-A’laa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Daawud, dari Abul-‘Aaliyyah, bahwasannya ia berkata : “Thaaghuut, yaitu tukang sihir” [Tafsir Ath-Thabariy, 4/557; shahih].[1]
Atau berupa segala sesuatu yang disembah selain Allah, sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَةَ، ثنا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، ثنا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: قَالَ لِي مَالِكٌ " الطَّاغُوتُ: مَا يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah : Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Maalik pernah berkata kepadaku : “Thaaghuut adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah” [Tafsir Ibni Abi Haatim, no. 2622; shahih].
Beberapa ulama memutlakkannya dengan semua orang yang menyeru kepada kesesatan, sebagaimana perkataan Al-Qurthubiy rahimahullah :
{وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ} أي اتركوا كل معبود دون الله كالشيطان والكاهن والصنم، وكل من دعا إلى الضلال
“Ayat : dan jauhilah thaaghuut’, maknanya : tinggalkanlah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah, seperti syaithaan, dukun, berhala, dan semua yang menyeru kepada kesesatan” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10/103].
Atau memutlakkannya pada setiap pemimpin kesesatan :
Ibnul-Mandhur rahimahullah berkata :
الطاغوتُ ما عُبِدَ من دون الله عز وجل وكلُّ رأْسٍ في الضلالِ طاغوتٌ وقيل الطاغوتُ الأَصْنامُ وقيل الشيطانُ وقيل الكَهَنةُ وقيل مَرَدةُ أَهل الكتاب
Thaaghuut adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah ‘azza wa jalla.  Dan segala pemimpin kesesatan adalah thaaghuut. Dikatakan, thaaghuut adalah berhala-berhala. Dikatakan pula : syaithaan dan dukun” [Lisaanul-‘Arab, hal. 2722 – materi kata طوغ].
Al-Fairuz Aabaadiy rahimahullah berkata :
والطاغوت : اللات , والعزى , والكاهن , والشيطان , وكل رأس ضلال , والأصنام ، وما عبد من دون الله , ومردة أهل الكتاب
“Dan thaaghuut adalah Laata, ‘Uzza, dukun, syaithaan, semua pemimpin kesesatan, berhala, sesuatu yang diibadahi selain Allah, dan orang-orang durhaka dari Ahlul-Kitaab” [Al-Qaamuus Al-Muhiith, 4/400].
Atau memutlakkannya pada setiap orang yang memalingkan dari jalan kebaikan/kebenaran.
Ar-Raaghib Al-Asfahaaniy rahimahullah sebagaimana dinukil dalam Taajul-‘Aarus berkata :
ويُرَادُ بهِ السّاحِرُ والماردُ منَ الجنِّ والصّارِفُ عنْ طَرِيقِ الخَيْرِ
“Dan yang dimaksudkan dengannya adalah tukang sihir, pentolan jin yang durhaka, dan orang yang memalingkan dari jalan kebaikan” [Taajul-‘Aarus, 1/5685].
Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata :
وعلماءُ السوءِ الذين يدعون إلى الضلال والكفر أو يدعون إلى البدع أو إلى تحليل ما حرم الله أو تحريم ما أحل الله : طواغيتٌ
“Dan ‘ulama suu’ (yang jelek) yang mengajak kepada kesesatan dan kekufuran, atau mengajak kepada kebid’ahan, atau mengajak kepada menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, maka mereka disebut thaaghuut” [Syarh Tsalaatsatil-Ushuul, hal. 151].
Bahkan, thaaghuut itu mencakup orang yang memakan uang suap dan beramal tanpa ilmu, sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah :
والطواغيت كثيرة , والمتبين لنا منهم خمسة : أولهم الشيطان وحاكم الجور وآكل الرشوة ومن عُبدَ فرضيَ والعامل بغير علم
Thaaghuut itu banyak jenisnya, dan yang telah kami jelaskan di antaranya ada lima, yaitu : syaithaan, hakim yang curang, pemakan risywah (uang sogok), orang yang diibadahi (selain Allah) dan ia ridlaa, serta orang yang beramal tanpa ilmu” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/137].
Mencakup juga dinar dan dirham, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
وهو اسمُ جنسٍ يدخل فيه : الشيطان والوثن والكهان والدرهم والدينار وغير ذلك
“Ia (thaaghuut) merupakan isim jenis yang masuk padanya : syaithaan, berhala, dukun, dirham, dinar, dan yang lainnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 16/565].
Mencakup pula orang yang merubah hukum Allah dan/atau tidak berhukum dengan hukum Allah, sebagaimana perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah yang lain :
والطاغوت عام، فكل ما عُبد من دون الله، ورضي بالعبادة من معبود أو متبوع أو مطاع في غير طاعة الله ورسوله، فهو طاغوت.
والطواغيت كثيرة ورؤوسهم خمسة:
(الأول): الشيطان الداعي إلى عبادة غير الله، والدليل قوله تعالى:{أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ}.
( الثاني ): الحاكم الجائر المغير لأحكام الله تعالى، والدليل قوله تعالى:{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالاً بَعِيداً}.
( الثالث ): الذي يحكم بغير ما أنزل الله، والدليل قوله تعالى:{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ}...
( الرابع ): الذي يدعي علم الغيب من دون الله، والدليل قوله تعالى:{عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً}. وقال تعالى:{وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ}.
( الخامس ): الذي يعبد من دون الله وهو راض بالعبادة، والدليل قوله تعالى:{وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِنْ دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ}.
Thaaghuut itu banyak macamnya, dan biang-biangnya ada lima, yaitu : Pertama, syaithaan yang mengajak untuk beribadah kepada selain Allah. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala : ‘Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kamu hai bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaithaan? Sesungguhnya syaithaan itu adalah musuh yang nyata bagimu’. (QS. Yasin : 60). Kedua, penguasa lalim yang merubah hukum-hukum Allah ta’ala, dan dalilnya adalah firman-Nya ta’ala : ‘Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thoghut itu. Dan syaithon bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya’ (QS. An-Nisaa’ : 60). Ketiga, orang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah, dan dalilnya adalah firman Allah ta’ala : ‘Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44). Keempat, orang yang mengklaim mengetahui hal yang ghaib, padahal itu adalah hak khusus Allah; dan dalilnya adalah firman Allah ta’ala : ‘(Dia adalah Rabb) yang mengetahui hal ghoib, maka dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghoib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhoi-Nya, maka sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya’ (QS. Al-Jin : 26-27); dan firman-Nya : ‘Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)’ (QS. Al-An’aam : 59). Kelima, segala sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia rela dengan penyembahan tersebut. Adapun dalilnya adalah firman Allah ta’ala : ‘Dan barangsiapa di antara mereka, mengatakan, 'Sesungguhnya Aku adalah Tuhan selain daripada Allah', maka orang itu kami beri balasan dengan Jahannam, demikian kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim (QS. Al-Anbiyaa’ : 29)” [Majmuu’ Rasaail fit-Tauhiid wal-Iimaan, hal. 377-378].
والطواغيت كثيرة، ورؤوسهم خمسة: إبليس لعنه الله، ومن عبد وهو راض، ومن دعا الناس إلى عبادة نفسه، ومن ادعى شيئا من علم الغيب، ومن حكم بغير ما أنزل الله
Thaaghuut itu banyak macamnya, dan biangnya ada lima : (1) Iblis la’natullah, (2) orang yang diibadahi selain Allah dan ia ridlaa kepadanya, (3) orang yang menyeru manusia untuk meng-ibadahi dirinya, (4) orang yang mengklaim mengetahui ilmu ghaib, dan (5) orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah” [Tsalaatsatul-Ushuul, hal. 195].
Ibnu Katsiir rahimahullah ketika menafsirkan ayat :
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا
“Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” [QS. An-Nisaa’ : 60].
beliau berkata :
والآية أعم من ذلك كله، فإنها ذامة لمن عدل عن الكتاب والسنة، وتحاكموا إلى ما سواهما من الباطل، وهو المراد بالطاغوت هاهنا
“Dan ayat tersebut lebih umum maknanya dari semua yang disebutkan itu, karena ia merupakan celaan bagi orang yang menyimpang dari Al-Qur’am dan As-Sunnah, dan mereka berhukum kepada selain keduanya, yaitu kepada kebathilan. Itulah yang dimaksudkan dengan thaaghuut pada ayat ini” [Tafsir Ibni Katsiir, 2/346].
Abu Ja’far Ath-Thabariy rahimahullah mencoba merangkum pendefinisian thaaghuut : :
والصواب من القول عندي في"الطاغوت"، أنه كل ذي طغيان على الله، فعبد من دونه، إما بقهر منه لمن عبده، وإما بطاعة ممن عبده له، وإنسانا كان ذلك المعبود، أو شيطانا، أو وثنا، أو صنما، أو كائنا ما كان من شيء
“Dan yang benar menurutku tentang perkataan thaaghuut, bahwasannya ia adalah segala sesuatu yang melampaui batas terhadap Allah, lalu diibadahi selain dari-Nya, baik dengan adanya paksaan kepada orang yang beribadah kepadanya, atau dengan ketaatan orang yang beribadah kepadanya. Sesuatu yang diibadahi itu bisa berupa manusia, syaithaan, berhala, patung, atau yang lainnya” [Tafsir Ath-Thabariy, 5/419].
Dan kemudian Ibnul-Qayyim rahimahullah memberikan definisi yang lebih mencakup dengan perkataannya :
والطاغوت كل ما تجاوز به العبد حده من معبود و متبوع أو مطاع فطاغوت كل قوم من يتحاكمون إليه غير الله ورسوله أو يعبدونه من دون الله أو يتبعونه على غير بصيرة من الله أو يطيعونه فيما لا يعلمون أنه طاعة الله
Thaaghuut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas; baik sesuatu itu dari hal yang diibadahi, diikuti, atau ditaati. Maka thaaghuut itu setiap kaum yang berhukum kepadanya selain dari Allah dan Rasul-Nya, atau mereka menyembah selain dari Allah, atau mereka mengikutinya tanpa adanya pentunjuk dari Allah, atau mereka mentaatinya terhadap segala sesuatu yang tidak mereka ketahui bahwasannya hal itu merupakan ketaatan kepada Allah” [I’laamul-Muwaqqi’iin, 1/50].
Rekan-rekan,… dari sini kita dapat tahu kekeliruan orang-orang takfiriy itu. Tidak semua yang disebut thaaghuut itu adalah kafir. Benar, bahwasannya syaithaan, dukun, dan tukang sihir itu kafir, karena dalil-dalil secara jelas menunjukkan akan kekafirannya. Tapi apakah patung itu juga dihukumi kafir ?. Jawabannya : Tentu tidak, karena ia adalah benda mati yang tidak bisa disifati dengan kekufuran, sebagaimana tidak bisa disifati dengan lawannya (iman dan Islam). Hal yang sama dengan dinar dan dirham – yang menjadi thaaghuut bagi orang yang tamak kepadanya - .
Begitu juga dengan pemakan suap. Walaupun ia termasuk pelaku dosa besar[2], namun memakan suap bukanlah jenis dosa yang secara asal menyebabkan pelakunya terjerembab dalam kekafiran (akbar) berdasarkan kesepakatan Ahlus-Sunnah.[3]
Begitu juga dengan ulama suu’ dan mubtadi’ atau ahlul-bid’ah yang menyeru kepada kesesatan. Mereka tidak bisa dimutlakkan kafir, karena para Ahlus-Sunnah telah memerincinya, apakah bid’ah yang didakwakannya itu merupakan bid’ah mukaffirah atau ghairu mukaffirah.[4]
Begitu juga dengan penguasa dhaalim, ia tidak bisa dimutlakkan dengan kekafiran. Rasulullah shallallaallhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang kemunculan atsarah :
إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ
Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat – Abu Al-Jauzaa’). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl”  [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7057 dan Muslim no. 1845].[5]
Perintah bersabar (dan larangan keluar dari ketaatan) merupakan nash bahwa atsarah-atsarah tersebut tidaklah dihukumi kafir (murtad).
dan yang lainnya….
Jika demikian,…. maka pensifatan thaaghuut kepada orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah pun demikian, yaitu tidak bisa dimutlakkan kepada kekafiran, karena ia membutuhkan perincian sebagaimana dimaklumi di kalangan Ahlus-Sunnah. Telah berlalu beberapa artikel di Blog ini yang membahasnya.[6]
Ringkas kata, kekafiran thaaghuut itu harus dikembalikan setiap jenisnya dan dalil yang menopangnya. Barangsiapa yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka wajib bagi kita menghukuminya kafir; namun sebaliknya, barangsiapa yang tidak dikafirkan Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh seorangpun yang menghukuminya kafir. Kekafiran bukan semata-mata pensifatan thaaghuut pada sesuatu.
Jangan Anda terpedaya dengan sebagian omongan mereka yang dikit-dikit bicara thaaghuut, lalu ujungnya : kafir.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, yk].


[1]     Namun dalam riwayat lain dengan sanad sama dari ‘Abdul-A’laa disebutkan :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى، عَنْ دَاوُدَ، عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ: " الطَّاغُوتِ: الشَّاعِرُ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa, dari Daawud, dari Abul-‘Aaliyyah, ia berkata : “Thaaghuut, yaitu penyair” [Ghariibul-Hadiits oleh Abu Ishaaq Al-Harbiy, 2/643; shahih].
Kemungkinan, ada tashhiif dalam riwayat ini, wallaahu a’lam.
[2]     Sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: " لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ ". قَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Telah menceritakan kepada kami Abu Muusaa Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir Al-‘Aqadiy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b, dari pamannya (jalur ibu) Al-Haarits bin ‘Abdirrahmaan, dari Abu Salamah, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberikan uang suap dan orang yang menerima uang suap” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1337, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih].
[3]     Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
اتَّفق أهل السنة والجماعة – وهم أهل الفقه والأثر – على أنَّ أحداً لا يُخرجه ذنبُه – وإن عظُمَ – من الإسلام
“Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah – dan mereka adalah ahlul-fiqh wal-atsar - telah bersepakat bahwasannya seseorang tidaklah dikeluarkan dari wilayah Islam akibat dosa yang dilakukannya – meskipun itu dosa besar – “ [At-Tamhiid, 16/315].
[4]     Telah berkata Asy-Syaikh Haafidh Al-Hakamiy dalam kitabnya Ma’aarijul-Qabuul (2/503-504) :
ثم البدع بحسب إخلالها بالدين قسمان:
 مكفرة لمنتحلها.
 وغير مكفرة.
فضابط البدعة المكفرة : من أنكر أمرا مجمعا عليه ، متواترا من الشرع ، معلوما من الدين بالضرورة ، من جحود مفروض ، أو فرض مالم بفرض ، أو إحلال محرم ، أو تحريم حلال ،أو اعتقاد ماينزه الله ورسوله وكاتبه عنه...
والبدعة غير المكفرة: هي مالم يلزم منه تكذيب بالكتاب ، ولابشىء مما أرسل به، ثم مثل لذلك فقال: مثل بدع المروانية، أي – بدع حكام الدولة من بني مروان التي أنكرها عليهم فضلاء الصحابة ، ولم يقروهم عليها- ومع ذلك لم يكفروهم بشىء منها، ولم ينزعوا يدا من بيعتهم لأجلها، كتأخير بعض الصوات عن وقتها ، وتقديمهم الخطبة قبل صلاة العيد...
“Kemudian bid’ah sesuai dengan pengrusakannya terhadap agama dibagi menjadi dua :
a. Mengkafirkan pelakunya
b. Tidak mengkafirkan pelakunya.
Batasan bid’ah yang mengkafirkan pelakunya adalah bila seseorang mengingkari perkara-perkara yang telah disepakati, mutawatir dalam syari’at, diketahui secara pasti termasuk bagian dari agama, mengingkari kewajiban atau mewajibabkan perkara yang tidak wajib, menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, atau meyakini sesuatu yang telah dibersihkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta kitab-Nya.
Sedangkan bid’ah yang tidak mengkafirkan pelakunya adalah bid’ah yang tidak menjadikan seseorang mendustakan Kitab atau sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Seperti bid’ah Marwaniyyah, yaitu bid’ah-bid’ah yang diada-adakan oleh pemerintah Bani Marwan yang diingkari oleh tokoh-tokoh shahabat. Meskipun demikian, para shahabat tidak mengkafirkan mereka dengan sebab bid’ah tersebut, dan juga tidak mencabut bai’at dari mereka akibat bid’ah tadi. Misalnya : bid’ah mengakhirkan waktu shalat dan mendahulukan khutbah sebelum shalat ‘Ied” [selesai].
Selengkapnya, silakan baca : Hukum Mubtadi’ (حكم المبتدع)
[5]     An-Nawawi rahimahullah berkata :
فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه
“Di dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232].

Comments

Anonim mengatakan...

saya jadi ingat waktu dulu di Semarang. ada sebuah kajian dengan judul Thoghut di Bahas di masjid Diponegoro Undip atas, dengan pemateri Ust. Abu Bakar Baasyir. yang menarik ada poster iklannnya dengan judul Thoghut dan dipajang foto Ust Abu Bakar Baasyir di poster tersebut.

Anonim mengatakan...

Ustadz, mungkin orang takfiri ini rancu dalam memahami nash, mereka tidak bisa memahami antara pengkafiran mutlak dan pengkafiran Muayan. contoh sederhana bahwa orang yang mengatakan hukum manusia lebih sesuai dengan perkembangan zaman dibanding hukum Alloh adalah kafir. tentu ini pengkafiran secara mutlak. akan tetapi jika ada Bapak A yang mengatakan demikian tentu tidak semudah membalikkan tangan untuk segera mengkafirkannya. karena ada syarat2 dan apakah sudah tidak ada penghalang2nya. ana tahu sebagian pemuda karena kecemburuan agamanya yang sangat besar tapi sedikit ilmunya, akhirnya mereka menganut pemahaman seperti ini. ana harap antum juga terus memberikan pencerahan kepada mereka dengan tulisan2 yang menghancurkan syubhat2 yang ada di kepala mereka. terus antum lain kali juga membahas tema yang berkaitan dengan Tabi'di (sedikit2 memvonis seseorang Ahlu bid'ah) karena ini juga menjangkiti pemuda2 yang berafiliasi kepada Ahlus sunnah.

Jazakalloh Khoir

Akhukum Fillah

Anonim mengatakan...

bukannya nte2 ya yang pada keblinger...

kan udah jelas ayat Allah,
2:256. Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang kafir kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

2:257. Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah kafir, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

nte bingung2 nyari dalil dari hadits pada 2 Ayat diatas udah jelas...kita diperintahkan untuk KAFIR kepada THAGHUT...

lah kepada THAGHUT aja kita disuruh KAFIR, gimana dengan THAGHUTnya, ya sudah pasti KAFIR...

kalo nte liat Ayat ini :
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.(Q.S.5:44)

KAFIR di dalam ayat ini merupakan ke KAFIRAN yg besar, atau mengeluarkan pelakunya dari Islam, silahkan dibaca tafsirnya...

nte kan udah paham apa itu makna THAGHUT yg udah dijelasin sama seikh muhammad bin abdil wahab

Kedua, penguasa lalim yang merubah hukum-hukum Allah ta’ala, dan dalilnya adalah firman-Nya ta’ala : ‘Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thoghut itu. Dan syaithon bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya’ (QS. An-Nisaa’ : 60). Ketiga, orang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah, dan dalilnya adalah firman Allah ta’ala : ‘Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44).

tulisan ini udah jelas...

janganlah karena nte merubah2 apa2 yg sudah Allah tetapkan,

sudah jelas2 Pemerintahan yg dzalim yg tidak berhukum dengan hukum Allah itu KAfir, mereka tidaklah disebut sebagai Ulil Amri, termasuk orang2 yg tidak berhukum dengan hukum Allah maka dia Kafir,

jadi sangat ane kalo Allah memerintahkan kita untuk KAFIR kepada THAGHUT, tapi THAGHUT itu tidak kafir...

Allah akan meminta pertanggungjawaban atas apa yang nte tulis ini...

wallahu a'lam

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Anda baca aja perkataan Ibnu Jaarir Ath-Thabariy di atas tentang makna thaaghuut. Beliau itu lagi membahasa tentang makna thaghut dalam QS. Al-Baqarah ayat 256. Jika telah selesai baca, pertanyaan saya :

"Apakah patung atau berhala itu hukumnya kafir ?".

Mas,.... perintah ingkar kepada thaghut itu tidaklah melazimi kafirnya thaghut.

Jelas, Allah ta'ala akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang saya lakukan, termasuk tulisan di atas. Saya menulis artikel di atas dengan kesadaran penuh. Begitu pula Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada Anda atas apa yang Anda tulis di atas.

Allah tidak mengharamkan kepada Anda dan orang-orang semacam Anda untuk belajar. So, janganlah Anda mengharamkan diri Anda untuk belajar. Buka jendela dengan membuka kitab-kitab para ulama. Ok ?.

Anonim mengatakan...

Ttg makna bhw thoghut tdk semua bisa dikafirkan mmg betul jika merujuk pd pengertian yg telah diberikan oleh salaf ummah akan tetapi tentulah kita akan salah kaprah jika tdk mendasarkan pd pengertian yg pling lengkap thd masalah ini...sbg contoh dlm alquran dikatakan..yuriduna an yatahakamu ila attthoghuut...mungkinkah thogut yg dimaksud adalah patung atau hal2 lain yg tdk pny kemampuan?? Tentu tdk!! Oleh krn itu kita seharusnya memakai ta'rif yg pling lengkap shg kita dpt menempatkannya disetiap kondisi dr pemakaian kt tsb...spt pengertian ibnu wahhab dan ibn qoyyim akan sangat tepat buat diterapkan disegala keadaan.
Dr tulisan antum diatas yg jelas terlihat adlh bhw antum keberatan dg vonis takfir pd yg tdk berhukum dg hukmullah meskipun untuk mencapai mksd tsb antum kliling kota dl dg bw penafsiran makna thoghut mnrt ulama sdgkan telah jelas bhw salah satu makna thoghut adalah yg tdk berhukum dg hukmullah shg cap kafir golongan yg antum sebut takfiri tnt tdk lepas dr dalil2 yg sorih dan pendapat ulama yg diakui sbg ulama ahli sunnah

Anonim mengatakan...

Seharusnya menempatkan kata thoghut hrs sesuai makna dlm ayatnya mas...knp anda kalau udah giliran thoghut pake merincinya dg detail sampai2 spt memaksakan makna bgmn caranya spy penguasa yg tdk berhukum dg hukum sareat itu thoghut yg belum tentu kafir...giliran menggelari takfiri knp tdk anda rinci?? Knp anda tdk blg bhw yg mengkafirkan juga belum tentu takfiri?? Dr bahasa anda sdh jelas bhw anda keberatan jika yg berhukum dg selain hukmullah disebut sbg thoghut yg kafir murtad

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ta'rif thaghut yang dikemukakan Ibnul-Qayyim memang tepat. Bahkan lebih mencakup dari apa yang disebutkan ulama sebelumnya.

Dan justru,..... dengan ta'rif ini semakin memperjelas dan menguatkan apa yang saya tuliskan. Patung, tukang sihir, dinar, dirham, orang yang memalingkan dari kebenaran, tukang suap, orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, dan yang lainnya yang menyebabkan seseorang melampaui batas kepadanya dalam hal penyembahan atau pengikutan atau pentaatan. Semua jenis ini tidaklah dihukumi sama dengan kekafiran. Kekafiran hal-hal yang disifati dengan thaghut tersebut dikembalikan pada dalil yang ada.Di atas sudah saya jelaskan tentang bagaimana hukumnya mubtadi' atau ulama suu' yang mempunyai pengikut. Tidak akan saya ulang.

Bahwasannya saya keberatan terhadap orang yang gampang mengkafirkan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tanpa perincian, maka itu benar. Mengapa ? karena saya berusaha mengimplementasikan firman Allah ta'ala :

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].

Menghukumi dengan perincian adalah termasuk berhukum dengan syari'at Allah, sedangkan menghukumi tanpa perincian bukan termasuk berhukum dengan syari'at Allah.

Itulah yang dijelaskan oleh para ulama salaf dan khalaf. Tentang QS. An-Nisaa' : 65 di atas, Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

فمن لم يلتزم تحكيم الله ورسوله فيما شجر بينهم فقد أقسم الله بنفسه أنه لا يؤمن ، وأما من كان ملتزماً لحكم الله ورسوله باطناً وظاهراً ، لكن عصى واتبع هواه ، فهذا بمنزلة أمثاله من العصاة . وهذه الآية (فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ ...) مما يحتج بها الخوارج على تكفير ولاة الأمر الذين لا يحكمون بما أنزل الله ، ثم يزعمون أن اعتقادهم هو حكم الله. وقد تكلم الناس بما يطول ذكره هنا ، وما ذكرته يدل عليه سياق الآية

“Barangsiapa yang tidak beriltizam dalam berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya dalam apa yang mereka perselisihkan, sungguh Allah telah bersumpah dengan diri-Nya bahwasannya ia tidak beriman. Adapun orang yang beriltizam dengan hukum Allah dan Rasul-Nya secara lahir dan batin, akan tetapi ia bermaksiat dan mengikuti hawa nafsunya, maka orang ini kedudukannya sama dengan orang yang bermaksiat. Dan ayat ini : ‘Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman …’ (QS. An-Nisaa’ : 65) termasuk ayat yang digunakan hujjah oleh Khawaarij untuk mengkafirkan penguasa (wulaatul-amr) yang tidak berhukum dengan syari’at yang diturunkan Allah, kemudian mereka (Khawaarij) mengira bahwa keyakinan/i’tiqad mereka adalah hukum Allah” [Minhaajus-Sunnah, 5/131].

Antum dapat lihat sendiri bahwa Syaikhul-Islaam tidak memutlakkan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah dengan kekafiran. Namun beliau memerincinya.

NB :

1. Perincian kondisi orang yang tidak berhukum dengan syari'at Allah bukanlah hanya dengan perkataan Ibnu Taimiyyah di atas. Tapi, saya hanya mencontohkan saja bahwasannya para ulama memberikan perincian.

2. Perincian penjelasan perkataan ulama tentang makna thaghut beserta contoh-contohnya, itu adalah membuat kita tahu apa sebenarnya yang dimaksud dengan thaghut itu. Mungkin penjelasan di atas belum antum ketahui sebelumnya (selain penjelasan dari Ibnul-Qayyim atau Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab).

3. Saya menggelari takfiriy kepada siapa ?. Kok antum sensitif sekali. Bukankah saya tidak menyebutkan individu, golongan, atau kelompok tertentu ?. Atau,... antum merasa berpemikiran takfiriy ya ?.

Anonim mengatakan...

menurut ana andalah yg salah faham dg perkataan ibnu taimiyah diatas...krn dipenjelasan beliau yg lain dikatakan orang yang mengganti syareat allah dg yg lain hukumnya kufur...sbgmn beliau mencotohkan kaum tartar.

disini ana memberi catatan bhw ntum tidak memahami apa kata beliau dlm hal:

1. orang tsb tdk beriltizam pd hukum allah...artinya dr sisi berhukum dg hukmullah saja orang ini telah melanggar sdg ini beliau golongkan dlm perusak ashlul iman yg menjadikan kafir bagi pelanggarnya.(tdk beriman kata beliau diatas)

2. orng yg beriltizam tapi bermaksiat...tidak dikafirkan krn memang tidak ada dosa mukaffiroh yg merusak ashlul iman, akan tetapi menurut beliau bhw ini adalah maksiat/kabair terbukti bhw beliau menyebutkan kalau khawarij mengkafirkan pelaku maksiat/kabair

3. anda tidak mengerti bhw dosa itu ada yg bikin kafir (mukaffiroh) ada yg tidak bikin kafir (ghairu mukaffiroh/kabair/maksiat)anda rancu dlm memahami ini

4. kedua dosa diatas dikafirkan oleh khawarij tapi disyaratkan membedah hati oleh kalangan murjiah...

5 mungkin anda cuman tahu perkataan ibnu aimiyah yg ini aja shg rancu dlm menjelaskan coba antum cari lagi perkataan beliau dlm mslh ini shg jelas apa yg dimaksud beliau diatas.

6. saya tdk bilang anda menggelari, cuman ketika bicara thoghut anda bnyak membawakan pendapat tapi knp ketika mslh takfir tdk anda jelaskan...spt misal orang yg tdk solat itu kafir tp ibnu baz yg mengkafirkan tarikussolat bukan termasuk takfiri

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Anda tahu tidak definisi 'mengganti' (tabdil) menurut Ibnu Taimiyyah. Jangan sok tahu jika memang tidak tahu. Ini saya kasih tahu kepada Anda.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

والإنسان متى حلّل الحرام المجمع عليه ، أو حرم الحلال المجمع عليه ، أو بدَّل الشرع المجمع عليه : كان كافراً مرتدّاً باتفاق الفقهاء ، وفي مثل هذا نزل قوله تعالى – على أحد القولين (وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ) [ المائدة 44 ] ، أي : هو المستحل للحكم بغير ما أنزل الله

“Dan seseorang ketika menghalalkan yang haram yang telah disepakati keharamannya, atau mengharamkan yang halal yang telah disepakati kehalalannya, atau MENGGANTI SYARI'AT yang telah disepakati : maka ia kafir lagi murtad dengan kesepakatan fuqahaa’. Dan yang semisal dengan ini adalah tentang firman Allah ta’ala – menurut salah satu dari dua pendapat - : ‘Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44), yaitu orang yang MENGHALALKAN untuk berhukum dengan selain yang diturunkan Allah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/267].

Kemudian di tempat lain beliau menjelaskan apa makna tabdiil tersebut :

الشرعُ المبدَّلُ : وهو الكذبُ على الله ورسوله ، أو على الناس بشهادات الزور ونحوها والظلم البيِّن ، فمن قال : ( إن هذا مِن شرع الله ) فقد كفر بلا نزاع

“Syari’at yang diganti (asy-syar'ul-mubaddal) : ia merupakan kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, atau terhdap manusia dengan persaksian-persaksian palsu dan yang semisalnya, dan merupakan kedhaliman yang nyata. Barangsiapa yang berkata : ‘Sesungguhnya ini termasuk syari’at Allah’, sungguh ia telah kafir tanpa ada perselisihan” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/268].

Jadi tabdiil yang dimaksudkan Ibnu Taimiyyah adalah seseorang yang mengganti menerapkan hukum buatan dan kemudian mengatakan bahwa itu merupakan syari'at Allah.

Perkataan Ibnu Taimiyyah ini senada dengan perkataan Ibnul-‘Arabiy rahimahumallah :

وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين

"Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa" [lihat : Ahkaamul-Qur’an, 2/624].

Tentang perkataan Ibnu Taimiyyah ketika menafsirkan QS. An-Nisaa' : 65 juga jelas kok konteknya, yaitu beliau tidak mengkafirkan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak (tanpa perincian). Namun beliau memerinci keadaan pelakunya. Begitu juga dengan perkataan beliau di awal (yaitu ketika menjelaskan QS. Al-Maaidah ayat 44, yaitu bagi orang yang menghalalkan berhukum dengan selain Allah).

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Di kesempatan lain beliau juga berkata :

وإذا كان من قول السلف: (إن الإنسان يكون فيه إيمان ونفاق)، فكذلك في قولهم: (إنه يكون فيه إيمان وكفر) ليس هو الكفر الذي ينقل عن الملّة، كما قال ابن عباس وأصحابه في قوله تعالى: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾ قالوا: كفروا كفراً لا ينقل عن الملة، وقد اتّبعهم على ذلك أحمد بن حنبل وغيره من أئمة السنة

”Ketika terdapat perkataan salaf : Sesungguhnya manusia itu terdapat padanya keimanan dan kemunafikan. Begitu juga perkataan mereka : Sesungguhnya manusia terdapat padanya keimanan dan kekufuran. (Kufur yang dimaksud) bukanlah kekufuran yang mengeluarkan dari agama. Sebagaimana perkataan Ibnu ’Abbas dan murid-muridnya dalam firman Allah ta’ala : ”Barangsiapa yang tidak berhukum/memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” ; mereka berkata : ”Mereka telah kafir dengan kekafiran yang tidak mengeluarkan dari agama”. Hal tersebut diikuti oleh Ahmad bin Hanbal dan selainnya dari kalangan imam-imam sunnah” [Majmu’ Al-Fatawa, 7/312].

Tentang kondisi Tatar yang dikafirkan Ibnu Taimiyyah, maka itu bukan sebagaimana yang Anda bayangkan. Saya telah menyebutkan kondisi tersebut di :

Posisi Al-Hafidh Ibnu Katsir Dalam At-Tahkim ‘Alal-Qawaaniin – Menjawab Sebagian Syubhat Takfiriyyuun.

So, everything's clear...

NB : Menurut Anda, Ibnu Taimiyyah itu juga Murji'ah ya karena mensyaratkan adanya istihlaal kafirnya orang yang berhukum dengan selain Allah ?.

Lain kali, baca-baca buku dulu biar tahu apa itu Muji'ah, apa itu Khawarij, apa itu Ahlus-Sunnah.

Anonim mengatakan...

definisi tabdil ibnu taymiyah memang ada bermacam2 tapi ya jangan anda gabung semua donk!!! menghalalkan yang haram dan sebaliknya ini tabdil
mengganti dan mengakui spt yang anda sebutkan pada bag ke dua juga tabdil...jadi jangan digabung bosss bisa kacau...apalagi digabung dg ibnu aroby..gak kebayang deh kacaunya

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Anda tinggal tunjukkan saja perkataan 'yang bermacam-macam' itu. Betul bermacam-macam seperti kata Anda, atau cuma satu macam seperti yang saya tulis di atas.

Jangan biasakan mereka-reka tanpa bukti. Nanti kalau tidak punya kutub Ibnu Taimiyyah, saya tunjukkan link gratisan yang menghimpun kitab-kitab beliau sehingga Anda bisa berpuas-puas membacanya.

Admin mengatakan...

subhanallah.
Ustadz abu al jauzaa`, syukran atas bantahan antum kepada anonim yang men-jidal anda.
Semoga Allah ta'ala menjaga anda.

Jazakallah khair.

Unknown mengatakan...

termasuk nawaqidul iman menurut Syaikh Bin baz :

الرابع : من اعتقد أن هدي غير النبي صلى الله عليه وسلم أكمل من هديه ، أو أن حكم غيره أحسن من حكمه ، كالذين يفضلون حكم الطواغيت على حكمه ، فهو كافر .

Orang Awam mengatakan...

Bismillah

@ Admin

Siapa salaf anda dlm mengambil kesimpulan ini?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

salaf saya adalah yang tertera dalam artikel.

Orang Awam mengatakan...

Bismillah

@ Admin

Maksud saya..siapa diantara mereka yang mengambil kesimpulan sama seperti anda bahwa Thoghut itu tidak kafir ?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya tidak pernah mengambil kesimpulan bahwa thaghut itu tidak kafir. Aneh, bagaimana Anda bisa menyimpulkan bahwa saya telah menyimpulkan thaghut itu tidak kafir ?. Yang saya katakan adalah : Tidak setiap thaghut itu adalah kafir. Atau lebih jelasnya, ada thaghut yang kafir, ada pula yang tidak kafir. Yang kafir telah saya sebutkan di atas, yang tidak kafir pun telah saya sebutkan di atas.

Orang Awam mengatakan...

Bismillah

@ Admin

Anda menulis "Yang saya katakan adalah : Tidak setiap thaghut itu adalah kafir. Atau lebih jelasnya, ada thaghut yang kafir, ada pula yang tidak kafir"

Dari sekian banyak ulama yang menjelaskan tentang thoghut, mana dari mereka yang mengambil kesimpulan seperti yang Anda tulis..apakah mereka bodoh tidak mengetahui seperti yang Anda ketahui? Apakah mereka bodoh tidak mengetahui ada macam thoghut dari makhluk/benda mati sehingga mereka tidak mengambil kesimpulan seperti yang Anda tulis?

Apakah masih kurang penjelasan para ulama di kitab2 mereka, sehingga kita perlu menambahkan pendapat baru?

Kemudian yg saya tangkap dari artikel anda..thoghut dari benda mati dan thoghut dari para pelaku dosa besar, anda samakan dengan thoghut dlm hukum..bukankah kita tahu bahwa thoghut dlm hukum itu malahan termasuk salah satu dari 5 pentolan2 thoghut dan salah satu amalan pembatal keimanan sbagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab?

Mungkin maksud anda adalah thoghut dari benda mati tidak bisa dikatakan kafir..

Pertanyaan saya :
1. 5 Pentolan2 thoghut yang disebutkan Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab itu semuanya berkenaan dengan benda mati atau mereka makhluk hidup?

2. Benda mati kena beban syariat ga? sehingga bisa dikatakan mu'min atau kafir..

kemudian saya ulangi lg pertanyaan saya diatas

"apakah mereka bodoh tidak mengetahui seperti yang Anda ketahui? Apakah mereka bodoh tidak mengetahui ada macam thoghut dari makhluk/benda mati sehingga mereka tidak mengambil kesimpulan seperti yang Anda tulis? bahwa tdk semua thoghut itu kafir?"

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sebenarnya saya sudah tidak terlalu berminat menampilkan komentar Anda dan kemudian menanggapinya. Dengan istiqra' terhadap pendapat ulama yang saya sebut di atas (ketika menyebutkan definisi dan macam-macam thaghgut) sudah sangat jelas bahwa tidak semua thaghut itu kafir.

Aneh dan lucunya, Anda berkata :

"Kemudian yg saya tangkap dari artikel anda..thoghut dari benda mati dan thoghut dari para pelaku dosa besar, anda samakan dengan thoghut dlm hukum..bukankah kita tahu bahwa thoghut dlm hukum itu malahan termasuk salah satu dari 5 pentolan2 thoghut dan salah satu amalan pembatal keimanan sbagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab?" [selesai]].

Yang saya bold dari kalimat Anda di atas yang menunjukkan bahwa Anda memang tidak mengerti persoalan. Bahkan dalam bahasan sederhana sekalipun. Bukankah kita sedang membahas ta'rif dan hukum yang terambil darinya ?. Jika ulama menyebutkan macam-macam thaghut di antaranya adalah autsaan, maka apa ya tepat kemudian definisi isthilahiy thaghut menyimpulkan hukum bahwa semua thaghut itu kafir ?. Pahami dulu ilmu dasarnya. Dan ingat, Asu-Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab ketika menjelaskan thaghut itu bukan hanya satu tempat saja. Bukankah di atas sudah saya nukil dua di antaranya ?. Jika beliau mengatakan bahwa :

والطواغيت كثيرة , والمتبين لنا منهم خمسة : أولهم الشيطان وحاكم الجور وآكل الرشوة ومن عُبدَ فرضيَ والعامل بغير علم

“Thaaghuut itu banyak jenisnya, dan yang telah kami jelaskan di antaranya ada lima, yaitu : syaithaan, hakim yang curang, pemakan risywah (uang sogok), orang yang diibadahi (selain Allah) dan ia ridlaa, serta orang yang beramal tanpa ilmu” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/137].

Sejak kapan pemakan risywah itu pasti dihukumi kafir keluar dari Islam ?. Sejak kapan orang yang beramal tanpa ilmu pasti dihukumi kafir keluar dari Islam ?. Kaitkan lagi dengan ta'rif-nya (Anda bisa memakai ta'rif yang dipakai Ibnul-Qayyim). Dan ingat, yang menyebutkan penjelasan thaghut itu bukan hanya Asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab.

Oleh karena itu Anda dapat memikirkan sekarang, apa ya tepat kalau ada yang mengatakan thaghut itu pasti kafir ?. Jika Anda masih menjawab : pasti kafir; ya saya sarankan Anda belajar dulu dasar-dasar ilmu fiqh sehingga paham apa yang sedang dibicarakan.

Dan ngomong-ngomong tentang nawaaqidlul-Islam, bagian mana yang Anda maksud ?. Bagian yang keempat ini ? :

من اعتقد أن غير هدي النبي صلى الله عليه وسلم أكمل من هديه، أو حكم غيره أحسن من حكمه، كاالذي يفضل حكم الطواغيت على حكمه فهو كافر

"Barangsiapa yang beri'tiqad bahwa selain petunjuk Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam lebih sempurna dari petunjuknya, atau hukum selainnya lebih baik dari hukumnya, seperti orang yang mengutamakan hukum thaghut dari hukumnya; maka ia kafir".

Jika ini yang Anda maksud, maka jauh sekali perkiraan Anda dengan yang dijelaskan Asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab.......

Baarakallaahu fiik

Anonim mengatakan...

السلام عليكم و رحمة الله و بركاته
Mohon maaf, kami permisi untuk ikut memberikan komentar. Mengenai pengertian thaghut marilah kita perhatikan tulisan Syaikh Abu Bashir Al-Thurthusi -semoga Allah menjaga beliau- ;
مسألة: هل يصح إطلاق كلمة الطاغوت على المسلم، أم أن هذه الكلمة لا يجوز أن تُطلق إلا على الكافر الذي له صفة الطاغوت كما تقدم؟!
أقول: الطاغوت على صيغة فعلوت؛ وهو من البغي والعدوان ومجاوزة الحد.. فمن كان بغيه وعدوانه وظلمه دون الكفر يُطلق عليه وصف الطاغوت على اعتبار معناه ودلالاته اللغوية وهي البغي والعدوان ومجاوزة الحد.. كما أطلق بعض السلف على الحجاج وغيره وصف الطاغوت أو الطاغية.. وأرادوا من ذلك المعنى اللغوي الآنف الذكر، ولم يريدوا أنه طاغوت بمعنى أنه كافر ويُعبد من دون الله.

أما إن كان هذا البغي والظلم والعدوان.. بلغ بصاحبه درجة الكفر بالله تعالى، فإن وصف الطاغوت يُحمل عليه بمعناه الاصطلاحي وهو المعبود من دون الله، وبمعناه اللغوي وهو العدوان ومجاوزة الحد.

وللتميز بين الطاغوتين عند قراءة كتب أهل العلم والاستماع إليهم لا بد من النظر إلى مجموع سياق الكلام، والقرائن الواردة فيه التي تُعينك على تحديد نوع الطاغوت المراد من كلامهم.
إلا أنني قد تتبعت كلمة الطاغوت في القرآن الكريم وفي السنة.. فكلها جاءت بمعنى الطاغوت الكافر الذي يُعبد من دون الله تعالى.. والله تعالى أعلم.
Pemasalahan : “Apakah boleh memutlakan kata “Thaghut” kepada seorang muslim, ataukah kata ini tidak boleh dimutlakan kecuali hanya kepada orang kafir yang memiliki sifat-sifat thaghut sebagaimana penjelasan sebelumnya ?.
Aku (Syaikh Abu basir) menjawab :
“ Thaghut berasal dari bentuk kata “فعلوت” , yang berarti kelaliman, permusuhan dan melampaui batas....maka barangsiapa yang kelaliman, permusuhan, kezalimannya tidak sampai kepada kekafiran(besar-pen), dimutlakanlah penyifatan (kata) thaghut kepadanya berdasarkan pengertian dan penunjukkan secara bahasa yaitu kelaliman, permusuhan dan melampaui batas.... sebagaimana sebagian salaf memutlakan penyifatan (kata) thaghut atau thaghiyah kepada Al-Hajaj dan selainnya.....dan yang mereka maksud adalah pengertian dari segi bahasa sebagaimana yang baru disebutkan, dan tidaklah yang mereka maksud thaghut yang kafir dan disembah selain Allah.
Adapun bila kelaliman, kezaliman, dan permusuhannya.... menyebabkan pelakunya sampai pada derajat kafir terhadap Allah Ta’aalaa, maka penyifatan kata thaghut kepadanya diberikan berdasarkan pengertian secara istilah yaitu sesuatu yang disembah selain Allah, dan juga pengertian secara bahasa yaitu permusuhan dan melampaui batas.
Maka itulah, hendaknya dibedakan dua pengertian kata thaghut pada saat membaca kitab-kitab para Ulama atau mendengarkan perkataan (mereka) yang mana harus diperhatikan kumpulan bentuk perkataannya, serta indikasinya yang menentukan pembatasan kata thaghut yang dimaksud dari perkataan mereka.
Kecuali, saya mengikuti pengertian kata thaghut sebagaimana yang berasal dari Al-Quran dan Sunnah........ seluruhnya datang dalam pengertian thaghut kafir yang disembah selain Allah....Wallahu Ta’aalaa a’alam.
(Syuruth La illaha illallah, Syaikh Abu Basir Thurthusy, Minbar Tauhid wal Jihad)

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tafshil Abu Bashiir Ath-Thurthusiy - seorang tokoh takfiriy masa kini - tidak sepenuhnya benar.

[namun ada satu yang saya sepakati dari perkataan di atas bahwa ketika para ulama menyebutkan kata thaghut, maka itu tidaklah berarti kafir]

Perintah mengkufuri thaghut dalam nash tidaklah selalu ekuivalen dengan penghukuman kafirnya thaghut. Misal Allah berfirman :

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" [QS. Al-Baqarah : 256].

Dalam terjemahan, kalimat faman-yakfur bith-thaaghuut itu diterjemahnkan : barangsiapa yang ingkar kepada thaghut. Beberapa ulama salaf mengartikan thaghut itu setan, yang lain tukang sihir. Kalau kita lihat konteks ayatnya sendiri, maka itu lebih luas daripada setan dan tukang sihir, karena ayat itu memerintahkan kepada beriman kepada Allah semata, dan mengingkari seluruh sesembahan selain Allah. Oleh karena itu Ibnu Jariir berkata :

والصواب من القول عندي في"الطاغوت"، أنه كل ذي طغيان على الله، فعبد من دونه، إما بقهر منه لمن عبده، وإما بطاعة ممن عبده له، وإنسانا كان ذلك المعبود، أو شيطانا، أو وثنا، أو صنما، أو كائنا ما كان من شيء

“Dan yang benar menurutku tentang perkataan thaaghuut, bahwasannya ia adalah segala sesuatu yang melampaui batas terhadap Allah, lalu diibadahi selain dari-Nya, baik dengan adanya paksaan kepada orang yang beribadah kepadanya, atau dengan ketaatan orang yang beribadah kepadanya. Sesuatu yang diibadahi itu bisa berupa manusia, syaithaan, berhala, patung, atau yang lainnya” [Tafsir Ath-Thabariy, 5/419].

Ibnu Katsir rahimahullah saat menjelaskan ayat faman-yakfur bith-thaaghuut....dst. berkata :

أي: من خلع الأنداد والأوثان وما يدعو إليه الشيطان من عبادة كل ما يعبد من دون الله، ووحد الله فعبده وحده وشهد أن لا إله إلا هو { فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى } أي: فقد ثبت في أمره واستقام على الطريقة المثلى والصراط المستقيم

"Yaitu barangsiapa yang melepaskan tandingan-tandingan, berhala-berhala, dan segala sesuatu yang diserukan oleh setan berupa peribadahan selain Allah; serta mentauhidkan, mengibadahi Allah semata, dan bersaksi bahwasannya tidak ada tuhak yang berhak disembah selain Dia, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat. Yaitu : perkaranya telah kokoh dan berjalan di atas jalan yang utama lagi lurus" [Tafsir Ibni Katsiir, 1/683].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Penafikan objek penyembahan atau peribadahan kepada selain Allah itu luas. Oleh karenanya, jika ada seseorang yang menjadikan seorang wali/kiyai/ulama/habib sesembahan selain Allah, maka wali/kiyai/ulama/habib tersebut telah menjadi thaghut baginya. Hukum kekafiran ini adalah bagi orang yang menyembahnya. Dan bagi yang disembah, maka ini belum tentu. Sebab, barangkali ia tidak tahu apa yang diperbuat oleh pengikutnya terhadap dirinya. Dan juga kemungkinan yang lain.

Begitu juga dengan 'Iisaa bin Maryam 'alaihis-salaam yang menjadi thaghut bagi kaum Nashara karena mereka telah mempertuhankannya. Padahal, 'Iisaa 'alaihis-salaam berlepas diri dari kesyirikan kaun Nashara.

Apakah 'Iisaa dikafirkan karena ia telah menjadi sesembahan kaum Nashara ?. Tentu saja tidak.

[Ada beberapa ulama yang memberikan taqyid 'kerelaan' dari objek yang disembah. Akan tetapi jika kita konteks ayat secara umum, pentaqyidan ini kurang pas. Wallaahu a'lam].

Dan yang lebih jelas sebagaimana telah saya tuliskan beberapa kali di atas, adalah thaghut dari jenis berhala. Wajib hukumnya mengingkari peribadahan kepadanya (berhala). Hukum kekafiran berlaku bagi orang yang menyembahnya. Tapi bagi berhala sendiri, maka tidak ada hukum apapun yang bisa diikatkan kepadanya karena ia benda mati.

So, perkaranya adalah jelas, insya Allah.....

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum Ustadz,
Saat ini banyak sekali pengkaburan makna "thagut" oleh sebagian aktifis islam,terutama setelah beredarnya buku"Ya...Mereka Memang Thagut" karya Aman Abdurahman. Jika ustadz memungkinkan, mohon dibuat bantahannya, karena mengingat syubhat didalamnya sangat dahsyat bagi orang awam. Syukron Jazakallahu

Unknown mengatakan...

Bismillahirrahmaanirrahim,
Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarokaatuh.

ana ingin minta penjelasan ustadz Abul jauza mengenai sebuah statement kepala lembaga resmi pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, dalam statementnya orang ini menyatakan "siapa saja yang bercita cita tegaknya syariah islam termasuk teroris"
bagaimana pendapat ustadz mengenei statement ini?.

terimakasih atas waktunya ustadz,
wassalaamu'alaikum warahmatullahi wabarokaatuhu.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam warahmatullaahi wabarakatuh.

Jika benar statement itu pernah diucapkan, maka isi statement itu keliru..

Ali Dzulfikar mengatakan...

saya tidak mengerti dengan Abu Al-Jauzaa'.... memaksa berbagai hal dengan membawa berbagai dalil untuk membela Negara yang sudah jelas menolak berhukum kepada hukum Allah, bahkan berusaha bersekutu dengan mereka melawan para Mujahidin yang memeranginya... menuduh khawariz dan Takfirin, tapi tidak ada satu dalilpun dalam mengomentari NKRI yang melegalkan maksiat dan bid'ah, bahkan tidak ada komentar sedikitpun ketika pemerintah Jahil ini bersekutu dengan Amerika. Apakah Abu Al Jauzaa' pernah berteriak sekencang ini (seperti dalam blog ini) di mimbar atau dunia maya dalam mengomentari Kekafiran, kedzaliman, kejahiliyahan NKRI ataupun NEgara lainnya yang memakai Hukum Jahiliyah? atau ketika Negara2 itu menindas rakyatnya dengan hukum2 dzalim? atau ketika Negara2 itu memaksa Kaum Muslimin membayar Pajak atau disumpal dengan Riba? atau membiarkan zinah dan khamr dinikmati dengan bebas oleh generasi kaum muslimin?

Apakah pernah anda Al Jauzaa' berethorika sekeras blog ini terhadap kedzaliman2 mereka????

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kalau Anda tidak mengerti, ya lain kali saya harapkan dapat mengerti.

Nasihat saya : Lain kali, sering-seringlah baca kitab-kitab para ulama.

Anonim mengatakan...

assalamu'alaikum....

ustadz saya yakin anda sudah tahu tentang sebuah buku dari almaqdisi yang diterjemahkan dengan judul salafy mengkhianati salafussholeh...bagaimana menurut antum buku tersebut..??
syukron ....

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya belum pernah baca. Tapi kalau penulisnya (Abu Muhammad Al-Maqdisiy), saya mengenal. Dan dia adalah orang yang berpemikiran Khawarij (takfiriy).

wallaahu a'lam.

Unknown mengatakan...

mau tanya om... kalo hukum di indonesia termasuk thogut gak?

Anonim mengatakan...

Buat ust. Abul jauza. Ana akan taati "ulil amri" versi antum jika antum bisa menjawab pertanyaan ana ini. Sebelum itu perlu ana uraikan dulu hal2 berikut ini :
1. dalam sistem demokrasi itu ada pelegalan dan perlindungan serta mengambil pajak dari bank riba, judi, khomer.
2. Dalam sistem kufur ini ada pembiaran orang murtad, nikah beda agama, pembiaran ahmadiyah, syiah, JIL, dsb

Yang ana tanyakan : Sah-kah penguasa yg bersumpah dg menggunakan quran tp ISI SUMPAHNYA untuk meneguhkan hukum kufur ?.

Bagaimana jika sumpahnya itu berisi "Saya bersumpah demi Alloh bhw saya akan menerapkan hukum injil dan taurat"...tafadhol tadz...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dikarenakan saya merasa tidak punya versi sendiri tentang ulil-amri - entah dengan Anda - maka saya tidak merasa menjadi bagian objek dari komentar Anda. Tapi ada baiknya juga jika Anda sempatkan baca beberapa bahasan tentang yang sedikit banyak menyinggung komentar Anda di artikel :

Posisi Al-Hafidh Ibnu Katsir dalam At-Tahkim ‘alal-Qawaaniin – Menjawab Sebagian Syubhat Takfiriyyuun.

Terutama di bagian kolom komentar (dari orang yang menamakan dirinya : Laboratory).

# perbuatan kufur tidaklah selalu mengkonsekuensikan pelakunya menjadi kafir.

Anonim mengatakan...

Yang ana ingiinkan adl ulil amri versi alloh dan rosulnya tadz. Kt ketahui bersama bhw setiap penguasa sekuler terpilih, mk ia dpt dipastikan akan menjaga, melestarikan dan melindungi sistem kufur buatan siapa ?. Buatan org kafir tentunya. Blm lg sumpahnya menggunakan nama alloh tp Isi sumpahnya utk Meneguhkan uu org kafir. Dan fakta serta realita dari itu semua adl, dilindunginya bank ribawi, judi, khomer, syiah, ahmadiyah, jil atas nama ham. Ditambah lg budaya syirik atas nama pariwisatA yg dilakukan org islam. Jadi kesimpulannya bhw penguasa sekuler akan melindungi, melestarikan, menjaga kesyirikan dan kekufuran tsb.. Dan kt paham realita itu semua kecuali bg org yg tlah dibutakan mata hatinya oleh alloh. Pertanyaan ana, sejak kapan alloh dan rosulnya mensahkan kesyirikan dan kekufuran atas dasar kepemimpinan ?. Yang artinya dg kata lain, biarlah ulilamri melegalkan dan melindungi kesyirikan yg ptg kt pny pemimpin...tafadhol tadz..kalo antum bs jwb dg dalil, mk nanti akan ada kaitannya dg tuduhan antum ttg khowarij. Istilahnya ngapain ribut ttg status penguasa dan ttg khowarij kalo proses pemilihannya saja masih bermasalah dari sisi tauhid ?..

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Berhubung pertanyaan seperti yang Anda kemukakan itu dah berulang, sekarang gini saja. Saya tanya kepada Anda dulu :

1. Apakah setiap orang yang berbuat kekufuran itu mesti dihukumi kafir (murtad) ?.

2. Bagaimana pandangan Anda tentang Khalifah Ma'muun yang 'melegalkan' paham kufur 'aqidah Jahmiyyah ?. Mengapa para ulama Ahlus-Sunnah dulu tetap menganggap Al-Ma'muun sebagai ulil-amri meski ia berbuat kufur akbar ?.

3. Meminjam pertanyaan Anda : sejak kapan alloh dan rosulnya mensahkan kesyirikan dan kekufuran atas dasar kepemimpinan ?. Yang artinya dg kata lain, biarlah ulilamri melegalkan dan melindungi kesyirikan yg ptg kt pny pemimpin.

Kalau Anda dapat menjawab 3 pertanyaan di atas, insya Allah saya mudah menjawab pertanyaan Anda sebelumnya.



NB : Saya mengingatkan satu fakta : Al-Ma'muun itu lebih berilmu dibandingkan dengan pemimpin kita sekarang. Kata ulama, orang bodoh itu lebih diterima 'udzur-nya dibandingkan orang yang berilmu.

Anonim mengatakan...

ana heran dg antum, semua pertanyaan ana tidak dijawab tp malah balik bertanya, antum kan mengakui ulil amri antum kan ?. maka ana tanya SAH menurut siapa ull amri antum itu ? menurut Demokrasi kufur atau menurut Alloh dan rosulNya ?. ana uangi pertanyaan ana :

1. Sah kah (dari SISI TAUHID yang antum dengung2kan itu) penguasa yg bersumpah tp isi sumpahnya utk meneguhkna hukum kufur ?

2. Bagaimana jika isi sumpahnya "Saya bersumpah demi Alloh, bhw saya akan menjalan sistem/syariat nabi musa/nabi isa". bukankah syariat nabi musa dan isa itu LEBIH BAIK dari syariat org kafir ?


Nanti baru stlh kt bahas LEGALITAS dari sisi tauhid dan syar'inya, akan ana jawab pertanyaan antum. karena antum ana lihat (dalam kasus almakmun) TIDAK BISA MEMBEDAKAN antara kekeliruan penguasa SECARA INDIVIDU dg SISTEM PEMERINTAHAN. Itu dulu antum jawab dari sisi dalil syar'i dan dari SISI TAUHID...tafadhol tadz...(Ana mohon demi sisi ilmiyah komentar ana ini antum cantumkan. kt mencari kebenaran, bukan pembenaran)

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya pun gak kalah heran dengan Anda. Di atas sudah jelas saya katakan bahwa saya akan mudah untuk menjawab pertanyaan Anda jika Anda menjawab dulu pertanyaan saya. Anda jangan melebar kemana-mana dulu. Konsisten dulu lah. Bukankah Anda menginginkan jawaban ?. Jangan khawatir,.... jika Anda telah menjawab pertanyaan saya (dengan benar), saya akan menjawab pertanyaan Anda.

NB :

1. Yang punya hak bertanya bukan hanya Anda.

2. Bertanya balik merupakan salah satu metode untuk menjawab.

3. Pertanyaan yang saya ajukan adalah dalam rangka menyamakan persepsi agar tidak terjadi debat kusir yang berkepanjangan. Kalau persepsi belum disamakan, maka apapun jawaban saya, pasti akan Anda tolak.

Anonim mengatakan...

Inikah amanat ilmiyah yang anda sering gembar gemborkan itu ?

Inikah hasil dari ilmu tauhid yang sering antum dengungkan itu ?...

Bagaimana bisa seorang yang "ilmiyah" dan "mengaku" bermanhaj salaf serta "paham tauhid" tidak bisa menjawab dari "Sisi ilmiyah apalagi dari sisi tauhid" "Apakah Penguasa ygn bersumpah dg NAMA ALLOH tp ISI SUMPAHNYA untuk meneguhkan hukum kufur buatan orang kafir itu sah ?...

Antum itu ustad yg mestinya ketika seorang muris bertanya, haruslah menjawab, bukan dg balik bertanya...inikah cara antum mengajarkan murid2 antum ?...:)

baru 1 pertanyaan saja antum sudah kelimpungan utk menjawabnya. belum lagi kalo ana bertanya, "Khalifah Ali sblm memerangi khowarij, beliau mengutus ibnu abbas utuk melakukan DEBAT TERBUKA dg khowarij. Sudahkah antum lakukan CARA SALAF kita yaitu ibnu abbas ?...:). Jika 1 pertanyaan spt ini saja antum tidak mampu menjawab gimana mau membantah syubhat khowarij yaa ustad ????....:)

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Anda paham gak si apa namanya amanat ilmiah itu ?. Menunda jawaban itu bukan berarti gak amanat ilmiah. Anda memahami arti 'amanat ilmiah' saja masih bingung, lantas bagaimana mau membahas hal-hal yang lebih besar dari itu ?.

Di atas sudah saya berikan 'clue' berupa 3 point alasan saya. Anda jarang buka kitab ulama ya ?. Kan sudah saya katakan bahwa salah satu cara menjawab yang diberikan ulama adalah dengan bertanya balik.

Saya kasih bocoran ya.... Jawaban saya atas pertanyaan Anda itu erat kaitannya dengan sisi pendalilan para ulama atas sikap Ahmad dan ulama Ahlus-Sunnah semasanya kepada Al-Ma'mun.

Kalau Anda gak paham realita kisah Ahmad dengan Al-Ma'muun, bagaimana bisa Anda memahami penyikapan terhadap hukkam di masa kontemporer.

Tentang sikap Ibnu 'Abbaas,... he..he.. nampaknya Anda cuma dengar-dengar lalu berkata-kata sesuai dengan apa yang Anda dengar. Saya dah mengomentarinya di :

Posisi Al-Hafidh Ibnu Katsir dalam At-Tahkim ‘alal-Qawaaniin – Menjawab Sebagian Syubhat Takfiriyyuun.

Baca di bagian komentar (4 Desember 2012 21:01 dan 4 Desember 2012 21:03).



NB : Saya kok hampir yakin bahwa Anda bertanya byukan karena belum mempunyai jawaban. Anda justru bertanya karena sudah mempunyai jawaban sendiri. Iya apa iya ?.

Anonim mengatakan...

Baiklah ana akan jawab pertanyaan antum tadz. Tentunya sesuai dg yang ana pahami. Tapi ana harap antum menjawab pertanyaan ana ya..

1. Tidak semua ucapan kekufuran itu membuat pelakunya otomatis menjadi kafir spt ucapan al-makmun, karena disana ada penghalang (mawani’) yaitu salah takwil. Dan untuk ucapan kekufuran yg tidak mengandung unsur khofi (samar) spt menghina Alloh, rosul dan kitabnya tidak dibutuhkan mawani lagi (QS 9 : 65-66). Dan takfir itu ada takfir mutlak dan muayyan. Ana meyakini dan belajar ttg hal itu, begitupun org2 yg antum tuduh takfiri jg paham akan hal itu. hanya saja antum tidak mau berdialog dg mereka dg dalih yg dibuat2, tp antum su udzon dg mereka...afwan, karena apa ? karena ana jg sudah masuk ke “lingkaran” mereka. Ternyata mrk jg belajar mawani takfir, takfir mutlak dan muayyan, ghuluw fit takfir, dzawabit takfir dsb. Dan jika ada dari mereka yg ghuluw, ana katakan “Ya”. Dan ana tidak masuk kejamaah manapun. Ana org yang merdeka dan Ana hanya taqlid kpd kebenaran. Ana belajar jg dari salafi dalam masalah sunnah dan membaca majalah assunnah dan alfurqon Walopun FAKTANYA salafi itu berpecah belah, khususnya dalam masalah dana Ihya Uth Turots (baik itu salafi ust. Hakim, Ustad Umar sewed dan Salafi Ust. Jafar). Dan wallohi ana kenal ulama kibar spt syaikh bin baz, syaikh utsaimin, syaikh fauzan dsb justru dari temen2 ana di salafi. Jadi ana Insya Alloh berusaha adil dlm menilai.

2. Al makmun mengatakan “quran itu makhluk”, karena salah takwil. SANGAT BERBEDA dengan penguasa sekuler. BEDANYA :

a. Penguasa sekuler MENEGUHKAN, MELESTARIKAN, MENJAGA hukum kafir dan MENGHUKUM SIAPA SAJA yang TIDAK MAU berhukum dgnya. Dan sumpah ini DIKETAHUI SEBELUM penguasa “dibaiat”. BUKTINYA ? sangat mudah tadz, asal pake akal dan fakta dilapangan. Kalo salah satu keluarga saya mencuri dan dia ingin hukum hudud ditegakkan, maka apa yang ia akan dapatkan ?. Dia dapat dipastikan masuk penjara karena melanggar KUHP. Belum lagi kalo ada orang mau hukum qishos, maka penguasa TIDAK AKAN memenuhi keinginannya. Kalo itu dipenuhi dpt dipastikan dia kena pasal KUHP. Jika kita katakan “Itu kan hak asasi manusia saya pak”. Apa kata mereka (penguasa). “Tidak ada HAM bagi umat islam untuk menjalankan hukum islam, karena ini BUKAN NEGARA AGAMA!“

b. Al makmun melakukan ucapan kekufuran SESUDAH ia menjadi khalifah, (dan lagi2 itu karena salah takwil, bukan unsur kesengajaan. Makanya imam ahmad tk mengkafirkan scr ta’yin) dan almakmun sblm di baiat TIDAK ADA SUMPAH / JANJI untuk meneguhkan hukum kufur. PERHATIKAN BEDANYA !.

c. Jadi sebelum kt membahas masalah status penguasa sekuler maka kita bahas dulu SISI LEGALITAS DARI SISI TAUHID proses pemilihannya. Jadi kt tidak debat kusir yg tak akan berujung. Kalo kt sepakati sisi legalitasnya dari sisi TAUHID, maka mari kt dialog ttg statusnya. Ibarat kata “kita ribut2 ttg penguasa sekuler tp SISI LEGALITAS DARI SISI TAUHID saja MASIH BERMASALAH”. Apalagi jk kt tidak ikut pemilu, tidak membai’at karena SISTEM PARLEMENTER itu adl system PERWAKILAN. Gimana mau punya perwakilan ? wong kita TIDAK IKUT NYOBLOS kok ?... Mari kita punya TIMBANGAN YG PASTI BENARNYA yaitu QURAN SUNAH …



Masalah ana tidak paham “Amanat ilmiyah’ spt yg antum tuduhkan itu, karena ana kurang baca kitab2 para ulama, tidak perlu ana bantah. Biar saja sodara2 kt menilai komentar2 kita tadz…

Maka ana bertanya, DARI SISI TAUHID Sah-kah penguasa yg disumpah dg MENGGUNAKAN QURAN tapi ISI SUMPAHNYA untuk meneguhkan, menjaga dan melestarikan hukum kufur ?.

Dan bagaimana jika isi sumpah tersebut “Saya bersumpah demi Alloh, bhw saya akan menjalankkan, meneguhkan dan memaksakan hukum undang/syariat nabi musa/isa” (Syariat nabi musa/isa adalah WAHYU ALLOH yang tentunya LEBIH BAIK dari syariat orang kafir bukan ????....:)

Dan apakah sumpah dg quran tapi ISI SUMPAHNYA untuk meneguhkan hukum kufur itu bentuk pelecehan terhadap kitabulloh ?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kalau mau menjawab, silakan jawab langsung pada pertanyaan saja. Gak usah cerita tentang pengalaman, pengakuan, atau yang semisalnya. Gak usah ngaku bahwa Anda orang merdeka, tidak ikut jama'ah ini dan itu, dan yang lainnya. Toh saya gak akan memperdulikannya juga. Karena, siapa yang akan mengecek validitasnya ?. OK ?.

1. Pertanyaan saya di atas bunyinya :

Apakah setiap orang yang berbuat kekufuran itu mesti dihukumi kafir (murtad) ?..

Tinggal dijawab ya atau tidak. Singkat saja. Tapi yang dapat saya simpulkan dari perkataan Anda bahwa jawabannya adalah : tidak. Tapi Anda malah memberi informasi tambahan yang justru merusak jawaban yang saya harapkan. Terutama perkataan Anda :

Dan untuk ucapan kekufuran yg tidak mengandung unsur khofi (samar) spt menghina Alloh, rosul dan kitabnya tidak dibutuhkan mawani lagi (QS 9 : 65-66).

Apa si isi QS. At-Taubah 65-66 ?. Allah ta'ala berfirman :

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ

لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

"Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa" [QS. At-Taubah : 65-66].

Mas,... ayat ini hanyalah menafikkan adanya udzur main-main (bercanda) dalam perkara istihzaa'. Darimana saya dapatkan statement ulama yang menyatakan berdasarkan ayat di atas mawaani' takfi dalam masalah istihzaa' gak berlaku ?.
Katanya dah (merasa) belajar...

2. Pertanyaan saya selanjutnya adalah :

Bagaimana pandangan Anda tentang Khalifah Ma'muun yang 'melegalkan' paham kufur 'aqidah Jahmiyyah ?. Mengapa para ulama Ahlus-Sunnah dulu tetap menganggap Al-Ma'muun sebagai ulil-amri meski ia berbuat kufur akbar ?. [selesai].

Kemudian Anda menjawab bahwa kasus Al-Ma'mun itu beda dengan penguasa muslim saat ini. Karena, kata Anda, Penguasa sekuler MENEGUHKAN, MELESTARIKAN, MENJAGA hukum kafir dan MENGHUKUM SIAPA SAJA yang TIDAK MAU berhukum dgnya.

Inilah kesesuaian perkataan saya dengan waqi' yang ada pada diri Anda. Makanya, buka kitab-kitab ulama dong !. Bung, paham Jahmiyyah Mu'tazillah yang diusung Al-Ma'mun itu pahgam kufur atau tidak kufur ?. Ini yang jadi mahallun-nizaa'-nya. Kalau Anda menjawab paham itu adalah kufur, maka itu ndak ada bedanya dengan paham kufur lainnya seperti demokrasi, liberal, Syi'ah, dan yang lainnya. Aneh sekali Anda berusaha membedakan kekufuran yang dijalankan sebelum atau di tengah-tengah masa pemerintahan. Maksain banget logikanya. Kalau penguasa memang sudah murtad ketika ia menjalankan pemerintahannya, maka otomatis kewajiban taat kepadanya dah gugur. Lagi pula bung - kalau Anda baca kitab-kitab sejarah - para khalifah yang memenjara Imam Ahmad itu sebagian besar sudah komit menegakkan 'aqidah Jahmiyyah semenjak ia menjabat.

Nah, apakah menurut impian Anda Al-Ma'muun dan juga khalifah 'Abbaasiyyah yang lain tidak MENEGUHKAN, MELESTARIKAN, MENJAGA hukum kafir dan MENGHUKUM SIAPA SAJA yang TIDAK MAU berhukum dgnya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Coba simak perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang ini yang barangkali belum pernah Anda baca :

ومع هذا، فالذين كانوا من ولاة الأمور يقولون بقول الجهمية‏:‏ أن القرآن مخلوق، وأن الله لا يري في الآخرة، وغير ذلك‏.‏ ويدعون الناس إلى ذلك، ويمتحنونهم، ويعاقبونهم، إذا لم يجيبوهم، ويكفرون من لم يجبهم‏.‏ حتى أنهم كانوا إذا أمسكوا الأسير، لم يطلقوه حتى يقر بقول الجهمية‏:‏ إن القرآن مخلوق، وغير ذلك‏.‏ ولا يولون متولياً ولا يعطون رزقاً من بيت المال إلا لمن يقول ذلك‏.‏ ومع هذا، فالإمام أحمد ـ رحمه الله تعالي ـ ترحم عليهم، واستغفر لهم، لعلمه بأنهم لم يبن لهم أنهم مكذبون للرسول، ولا جاحدون لما جاء به، ولكن تأولوا فأخطأوا، وقلدوا من قال لهم ذلك

“Dan bersamaan itu, para penguasa berkata dengan perkataan Jahmiyyah (yaitu) : Al-Qur’an adalah makhluk, Allah tidak dapat dilihat kelak di akhirat, dan yang lainnya; mengajak manusia pada pemahaman/perkataan tersebut, menguji dan menyiksa mereka apabila tidak menyambut seruannya, mengkafirkan orang yang menyelisihinya, hingga orang-orang yang dijebloskan ke penjara tidak akan dilepas sampai mereka mengatakan perkataan Jahmiyyah : ‘Al-Qur’an adalah makhluk’, dan yang lainnya. Mereka (para penguasa) tidak mengangkat pejabat dan tidak memberikan santunan dari Baitul-Maal kecuali pada orang yang mengatakan perkataan Jahmiyyah tersebut. Bersamaan dengan itu, Al-Imaam Ahmad – rahimahullahu ta’ala – tetap mendoakan rahmat kepada mereka dan mendoakan agar mereka mendapatkan ampunan (dari Allah) karena ia mengetahui bahwa belum nampak pada diri mereka adanya pendustaan terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan pengingkaran terhadap apa yang beliau bawa. Akan tetapi mereka melakukan ta’wil lalu keliru, dan bertaqlid kepada orang-orang yang mengatakan hal itu pada mereka” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 23/348-349].

Baca kalimat yang saya cetak tebal baik-baik. Bahkan, para khalifah itu tidak sekedar memenjara dan menyiksa, tapi juga membunuhnya. Apakah Anda mendapati yang seperti ini di negara kita ini ?. Kalau keluarga Anda misalnya mencuri sepeda motor, kemudian Anda merengek-rengek untuk dipotong tangannya, paling Anda tidak akan dihukum karena rengekan Anda, karena yang salah adalah keluarga Anda (sehingga ia paling hanya dihukum penjara). Tapi kalau Anda hidup di jaman Imam Ahmad dan mengatakan tidak seperti yang dikatakan khalifah, Anda akan dipenjara, disiksa, atau bahkan dibunuh.

Bung, buka mata Anda yang sebelah. 'Aqidah Jahmiyyah yang kufur di waktu itu merupakan 'aqidah yang melembaga dan menjadi sistem tegaknya daulah 'Abbaasiyyah (waktu itu).

Imam Ahmad memaafkan Al-Ma'mun karena ia keliru dalam ta'wil. Padahal telah diketahui, waktu itu ulama masih melimpah dan ilmu demikian menyebar. Hanya saja orang-orang yang ada di sekitar Al-Ma'mun itulah yang selalu mempengaruhi Al-Ma'mun.

Bandingkan dengan negara kita !. Apakah menurut Anda pemimpin negara kita lebih pandai daripada Al-Ma'muun ?. Apakah ulama dan ilmu di negara kita ini melimpah seperti di jaman imam Ahmad ?. Apakah menurut Anda pemimpin negara kita itu menganggap sebagian besar kebijakan yang dilakukannya salah ?. Apakah menurut Anda orang-orang yang melingkari pemimpin negara kita adalah orang-orang yang berilmu dalam agama ?.

Jika jawaban Anda adalah tidak, mengapa Anda tidak memberi 'udzur pada pemimpin negara kita ?. Simpel bukan ?.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sebenarnya banyak kemungkinan mengapa pemimpin negara kita tidak berhukum dengan hukum Islam. Ahlus-Sunnah senantiasa mencari 'udzur atas kekafiran yang dilakukan saudaranya, karena perkara takfir adalah perkara yang berat. Lihat bagaimana Imam Ahmad memberi 'udzur kepada Al-Ma'muun hingga pada batas yang mungkin tidak pernah kita bayangkan. Barangkali masalah 'aqidah Jahmiyyah menurut Anda adalah perkara yang remeh-temeh, sehingga ia kalah dengan perkara yang Anda sebutkan. Namun para ulama salaf menganggap perkara itu adalah perkara yang besar, hingga 'Abdurrahmaan bin Mahdiy rahimahullah berkata :

لو كان لي من الأمر شيء لقمت على الجسر فلا يمر بي أحد من الجهمية إلا سألته عن القرآن فان قال انه مخلوق ضربت رأسه ورميت به في الماء

“Seandainya aku mempunyai kekuasaan, sungguh aku akan berdiri di atas jembatan. Tidak ada seorangpun yang melewatiku dari kalangan Jahmiyyah kecuali akan aku tanya kepadanya tentang Al-Qur’an. Seandainya ia menjawab makhluk, aku penggal kepalanya, lalu aku buang ke air sungai” [Diriwayatkan oleh ’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah, 1/120 no. 46, tahqiq & takhrij : Dr. Muhammad bin Sa’iid Al-Qahthaaniy; Daar ’Aalamil-Kutub, Cet. 4/1416 H - shahih].

Apakah Anda tidak melihat kasus Raja Faishal dan Jenderal Ziaul-Haq ?.

NB : Tolonglah kalau nyusun kalimat dan membuat fokus pembicaraan itu yang runtut dan sistematis. Jangan ngalor-ngidul gak karu-karuan seperti di atas. Perkataan Anda itu intinya adalah bahwa SBY itu tidak berhukum dengan hukum Allah, dan telah melakukan beberapa tindakan yang secara dhahir dihukumi kufur (akbar). Gitu saja kok repot.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sedikit tambahan tentang perkataan Anda yang menurut saya lucu :

. Al makmun melakukan ucapan kekufuran SESUDAH ia menjadi khalifah, (dan lagi2 itu karena salah takwil, bukan unsur kesengajaan. Makanya imam ahmad tk mengkafirkan scr ta’yin) dan almakmun sblm di baiat TIDAK ADA SUMPAH / JANJI untuk meneguhkan hukum kufur. PERHATIKAN BEDANYA !.

Kalimat lucunya adalah bahwa anggapan Anda (sekali lagi : Anggapan Anda) bahwa Imam Ahmad tidak mengkafirkan secara ta'yin pada Al-Ma'mun hanya karena dalam masalah baiat Al-Ma'mun tidak bersumpah atau berjanji menegakkan hukum kufur.

Anda simpulkan perkataan itu darimana ?.

Mas,.... saya kasih masukan agar buka buku-buku sejarah ya. Di kitab Siyaru A'laamin-Nubalaa dan Manaaqib Al-Imaam Ahmad pun telah disebutkan kok kisah Imam Ahmad, termasuk kisahnya dengan dengan 3 khalifah 'Abbaasiyyah.

Kemudian,... sejak kapan takfir mu'ayyan itu tidak dijatuhkan pada pemimpin hanya karena ia tidak mengucapkan sumpah di awal baiat seperti kata Anda. Bahkan, ketika kekufuran itu tetap bisa jatuh baik di awal ataupun di akhir pemerintahan. Yang membedakan itu adalah tegaknya syarat-syarat pengkafiran dan hilangnya mawaani'-nya.

Juga, Al-Ma'mun itu meyakini, mengamalkan, dan menegakkan hukum kufur di negaranya itu dengan sengaja. Bukan tidak sengaja seperti kata Anda. Hanya saja benar, ia salah karena melakukan ta'wil. kelihatan sekali Anda masih bingung dan rancu dalam membedakan mawaani' takfir antara kesengajaan dan ta'wil. Pantesan saja bahasannya ruwet, seperti umumnya orang seperti Anda.

Seperti kata Anda :

Masalah ana tidak paham “Amanat ilmiyah’ spt yg antum tuduhkan itu, karena ana kurang baca kitab2 para ulama, tidak perlu ana bantah. Biar saja sodara2 kt menilai komentar2 kita tadz.

Semoga Anda bisa menyimpulkan diri Anda sendiri.

Anonim mengatakan...

Wah penjelasan yg sangat bagus tapi sayangnya TIDAK MENJAWAB SUBSTANSI PERTANYAAN ana diatas. Ana ulangi ya tadz :

1. Dari SISI TAUHID, SAH-KAH penguasa yg bersumpah DG KITABULLOH tp ISI SUMPAHNYA untuk MENEGUHKAN, MELSTARIKAN DAN MENJAGA HUKUM KUFUR ?

2. Bagaimana jika ISI SUMPAHNYA "Demi Alloh saya bersumpah, bhw saya akan MENJAGA, MELESTARIKAN DAN MENEGUHKAN hukum kufur !.

Antum tinggal jawab saja Sah atau tidak. Kalo sah dalilnya apa dan kalo tidak dalilnya apa. Ingat ya tadz DARI SISI TAUHID.

Karena sayang sekali org yg baca kitab byk, gelarnya Lc,tp TIDAK BISA MEMBEDAKAN negara islam dg negara sekuler. Ketika "Mereka" bilang "Ini negara islam". Sewaktu ana tanya, ADAKAH NEGARA ISLAM DIMANA PENGUASANYA MELEGALKAN BANK RIBAWI, JUDI, KHOMER DAN MENGAMBIL PAJAKNYA pdhl semua JELAS DAN TEGAS KEHARAMANNYA ?...Mereka terdiam tadz...:)

Anonim mengatakan...

buat mas anonim pendukung takfiry,

bagaimana mas...?
sudah mengerti dengan penjelasan ustadz..?
makanya berilmu dulu sebelum beramal supaya ndak salah faham,
berawal dari salah faham akhirnya salah jalan deh

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Memangnya saya sedang direct menjawab pertanyaan Anda ?. Baca baik-baik ya bung, saya di atas sedang mengomentari jawaban Anda yang ngawur.

Selain itu, kalau Anda perhatikan baik-baik dan Anda mampu mencerna kalimat yang saya tuliskan, komentar saya di atas sebenarnya sudah menyinggung substansi pokok (bukan hanya sekedar case) pertanyaan Anda. Kalau Anda memang tidak paham, maka tidak heran kalau Anda merasa bingung.

Ma'as-salaamah.

Anonim mengatakan...

Antum kan sudah menjelaskan panjang lebar. dan ana sudah menjawab keinginan dari pertanyaan antum diatas. "Anggaplah jawaban ana atas pertanyaan antum itu keliru (menurut antum), Tapi MASALAHNYA adalah kenapa antum maunya dijawab pertanyaannya tapi TIDAK MAU atau mungkin TIDAK BERANI MENJAWAB pertanyaan ana diatas ?.

Apa mungkin antum TIDAK KETEMU DALIL yang MENSAHKAN penguasa yg bersumpah dg KITABULLOH tapi ISI SUMPAHNYA UNTUK MENEGUHKAN HUKUM KUFUR ?...Diskusi itu mbok ya berimbang tadz, antum itu seorang pendidik. ketika anak didiknya bertanya dg JELAS mestinya antum jawab jg DENGAN JELAS.

Kan mudah, tinggal jawab saja SAH dalilnya ini, tidak sah dalilnya ini...:)

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Apakah Anda lupa kalau saya pernah mengatakan :

1. Yang punya hak bertanya bukan hanya Anda.

2. Bertanya balik merupakan salah satu metode untuk menjawab.

3. Pertanyaan yang saya ajukan adalah dalam rangka menyamakan persepsi agar tidak terjadi debat kusir yang berkepanjangan. Kalau persepsi belum disamakan, maka apapun jawaban saya, pasti akan Anda tolak.
[selesai].

Perhatikan kalimat yang saya cetak tebal. Saya yakin Anda bukan termasuk golongan buta huruf yang kesulitan membaca kalimat di atas.

Jadi, pertanyaan saya di atas adalah untuk menyamakan persepsi dasar. Mengapa ?. Karena jawaban atas pertanyaan Anda sedikit banyak akan berkaitan dengan manhaj para ulama Ahlus-Sunnah dalam menyikapi kekeliruan dan kekufuran penguasa, dan itu tercermin dalam kisah Al-Imaam Ahmad dan para ulama semasanya terhadap tiga khalifah Dinasti 'Abbaasiyyah. Kalau dalam hal ini saja kita belum sama persepsinya, bagaimana saya akan berhujjah dalam menjawab pertanyaan Anda ?. Paham Anda akan konstruksi logikanya ?.

Mas Anonim yang baik, berhentilah berapologi dengan berkata :

Anggaplah jawaban ana atas pertanyaan antum itu keliru (menurut antum) [selesai kutipan].

Memangnya Anda gak merasa salah ya ?. Apakah Anda tidak merasa salah dengan perkataan Anda :

Dan untuk ucapan kekufuran yg tidak mengandung unsur khofi (samar) spt menghina Alloh, rosul dan kitabnya tidak dibutuhkan mawani lagi (QS 9 : 65-66)

???????

Ini pengetahuan dasar. Kalau masih keliru, ya pantesan melahirkan generasi muda Islam seperti Anda. Simak perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah berikut :

فإنَّا نعلم أَنَّ من سبَّ الله ورسولَه طوعاً بغير كَرْه، بل من تكلَّم بكلمات الكفر طائعاً غير مُكْرَهٍ ، ومن استهزأ بالله وآياته ورسوله فهو كافرٌ باطناً وظاهراً

"Sesungguhnya kita mengetahui bahwasannya barangsiapa yang mencela Allah dan Rasul-Nya dengan kemauannya sendiri tanpa paksaan, mengatakan kalimat kekufuran dengan sadar tanpa paksaan, mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya; maka ia kafir secara lahir dan batin..." [Majmuu' Al-Fataawaa, 7/557].

Perhatikan kalimat yang bercetak tebal. Beliau rahimahullah tetap mempertimbangkan mawaani' takfir dalam hal perbuatan kufur yang beliau sebutkan di atas.

Yang lain, Ibnul-Kiyaa Al-Harraasiy Asy-Syaafi'iy (w. 504 H) berkata setelah membawakan QS. At-Taubah ayat 65-66 :

فيه دلالةٌ على أنَّ اللاَّعب والخائض سواءٌ في إظهار كلمة الكفر على غير وجه الإكراه ، لأَنَّ المنافقين ذكروا أَنَّهم قالوا ما قالوه لَعِباً ، فأخبر الله تعالى عن كفرهم باللَّعِب بذلك ، ودلَّ أنَّ الاستهزاءَ بآياتِ الله تعالى كفرٌ

"Dalam ayat tersebut terdapat dalil bahwa orang yang bermain-main dan yang sungguh-sungguh hukumnya sama dalam hal menampakkan kalimat kekufuran selama tidak dipaksa.....dst." [Ahkaamul-Qur'aan].

Masih banyak perkataan para ulama yang semisal.

Apakah Anda masih berapologi bahwa perkataan Anda itu salah menurut saya (saja) ?. Kalau memang itu hanya salah menurut saya, lantas yang benar seperti apa ?. Kasih saya referensi secukupnya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Apakah Anda tidak merasa salah dalam ucapan Anda :

"karena antum ana lihat (dalam kasus almakmun) TIDAK BISA MEMBEDAKAN antara kekeliruan penguasa SECARA INDIVIDU dg SISTEM PEMERINTAHAN"

Juga :

Al makmun mengatakan “quran itu makhluk”, karena salah takwil. SANGAT BERBEDA dengan penguasa sekuler. BEDANYA :

a. Penguasa sekuler MENEGUHKAN, MELESTARIKAN, MENJAGA hukum kafir dan MENGHUKUM SIAPA SAJA yang TIDAK MAU berhukum dgnya.....
[selesai kutipan].

??????

Apakah Anda tidak merasa salah akan hal itu ?. Ya, karena Anda memang tidak pernah baca dengan benar kisah Imam Ahmad dari sumbernya. Padahal di atas telah saya sebutkan penjelasan Ibnu Taimiyyah bahwa penguasa di masa Imam Ahmad itu memberlakukan 'aqidah Jahmiyyah itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi memberlakukannya secara wajib bagi rakyatnya (baca : Tasyrii' 'aam). 'Aqidah Jahmiyyah itu merupakan sistem dan undang-undang negara. Apa buktinya ?. Sebagaimana telah saya tuliskan di atas : Al-Ma'muun menghukum orang yang menyelisihi 'aqidah Jahmiyyah yang ia pegang dan bahkan membunuhnya. Ia juga tidak mengangkat pembantu (dalam urusan negara) kecuali orang yang mengikuti 'aqidahnya. Apakah bentuk seperti ini bukan merupakan bentuk tasyrii' 'aam dan undang-undang menurut Anda ?.

Seandainya Anda menganggap 'aqidah sekuler itu adalah 'aqidah kufur, lantas apa bedanya dengan 'aqidah Jahmiyyah ?. Jika Anda menganggap penguasa yang menerapkan 'aqidah sekuler itu kafir dan tidak layak dijadikan ulil-amri; lantas apa bedanya dengan Al-Ma'muun yang memberlakukan 'aqidah Jahmiyyah dalam membangun sistem dan undang-undang bagi negaranya ?.

Simak sekali lagi penjelasan Ibnu Taimiyyah rahimahullah :

مع أن أحمد لم يكفر أعيان الجهمية،ولا كل من قال‏:‏ إنه جهمي كفره، ولا كل من وافق الجهمية في بعض بدعهم، بل صلى خلف الجهمية الذين دعوا إلى قولهم، وامتحنوا الناس وعاقبوا من لم يوافقهم بالعقوبات الغليظة، لم يكفرهم أحمد وأمثاله، بل كان يعتقد إيمانهم، وإمامتهم، ويدعو لهم،

"Namun demikian, Ahmad tidaklah mengkafirkan individu-individu tertentu yang beraqidah Jahmiyyah. Tidak pula beliau mengkafirkan setiap orang yang ia vonis sebagai orang Jahmiy. Tidak pula beliau mengkafirkan orang yang menyepakati Jahmiyyah dalam sebagian bid'ah mereka. Bahkan beliau (Ahmad bin Hanbal) tetap shalat di belakang orang Jahmiyyah yang mengajak dalam bid'ah mereka, menguji manusia, lalu menghukum orang yang tidak menyepakati mereka dengan hukuman yang keras. Ahmad tidaklah mengkafirkan mereka dan orang yang semisalnya. Dan bahkan, Ahmad tetap berkeyakinan akan keimanan dan keimaman mereka, serta mendoakan kebaikan bagi mereka" [Majmuu' Al-fataawaa, 7/507-508].

Ibnu taimiyyah di sini sedang membicarakan sikap Ahmad terhadap Al-Ma'muun.

Jika Anda menganggap bahwa perkataan Anda di atas hanya salah menurut saya; lantas yang bener menurut Anda seperti apa ?. Berikan saya referensinya.

Dan yang seterusnya....

Anda itu telah salah dalam waqi' dan salah dalam memandang serta menyikapi waqi'.

Yang dipertimbangkan dalam status kepemimpinan adalah keimanannya. Selama ia masih dianggap muslim, maka statusnya masih dipertimbangkan sebagai ulil-amri. Jika statusnya sudah berubah menjadi kafir, maka pada asalnya status ulil-amri itu hilang bersamaan dengan hilangnya kewajiban taat kepadanya. Al-Qaadli ’Iyadl rahimahullah :

أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر

”Para ulama telah bersepakat bahwasannya imamah tidak bisa diserahkan kepada orang kafir. [Syarh Shahih Muslim juz 12 hal. 229].

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum para ustadz . saya mengikuti diskusi anda semua yang sangat panjang ini. Tapi saya merasakan aura yang berbeda, ada yang saya rasakan sangat tendensius dan ada yang ikhlas.
teringat ketika pertama kali saya belajar sama dua orang ustad yang berbeda, ustad yang satu selalu memberi pinjaman majalah Asy Syariah dan yang satu memberi pinjaman An Najah, subhanallah ana sangat merasakan suatu aura yang sangat berbeda di keduanya. dan saya cenderung lebih menerima An Najah daripada As Syariah yang terkesan banyak mencela dan terasa sangat tendensius. Wallahu'alam.
oh ya saya pingin tanya kepada Ustad Abu al-Jauzaa', Pemimpin negeri ini (sby) mengatakan pada sebuah komunitas kristen yang intinya bahwa dia menolak syariat islam di tegakkan di Indonesia, apa konsekuensi dari pernyataanya?
kalo perlu videonya bisa saya kirim. Wallahu'alam.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Jadi, sungguh sangat salah kalau Anda malah mempermasalahkan status dalam pengangkatan dan seterusnya. Ini namanya tidak memahami mahallun-nizaa' permasalahan. Kenapa ?. Karena, seandainya ada penguasa yang memberontak, menggulingkan pemerintah yang sah, dan mengangkat dirinya sendiri tanpa melalui proses yang syar'iy; maka kita tetap wajib taat kepada penguasa baru tersebut.Silakan baca penjelasan ulama terkait dengan hal ini dalam artikel : Syubhat Klasik.

Intinya, pertanyaan Anda itu sudah didasari dari pandangan dan pemahaman yang salah. Bahkan salah kaprah. Maka dari itu, untuk menata pemahaman dan sekaligus menunjukkan kesalahan Anda, saya utarakan pertanyaan saya di atas. Paham ?.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Anonim 10 Desember 2012 21:01,....

Silakan menilai. Baik yang tendensius maupun yang ikhlash.

[Comment : tendensius itu artinya condong, berpihak, melawan, atau rewel. Saya tidak paham maksud Anda dalam konteks ini. Dan tentang ikhlash, saya tidak tahu bagaimana seseorang bisa melihat aura keikhlasan, padahal ikhlash adalah amalan hati].

Saya tidak mau ambil pusing dan berkomentar tentang kisah Anda antara majalah An-Najah atau Asy-Syari'ah. Tidak terlalu ada relevansinya dengan pembicaraan yang ada di sini. Yang ada malah, menimbulkan opini.

Tentang masalah video, sudah ada pembicaraan tentang hal itu di sini :

Posisi Al-Hafidh Ibnu Katsir dalam At-Tahkim ‘alal-Qawaaniin – Menjawab Sebagian Syubhat Takfiriyyuun.

(lihat bagian komentar 21 Desember 2011 08:40).

Semoga bermanfaat.

Anonim mengatakan...

http://arrahmah.com/read/2011/12/19/16917-makna-thoghut-ditengah-perang-melawan-teror.html

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Artikel di atas sudah culup mengimbangi penjelasannya.

Anonim mengatakan...

Boleh nanya ustadz..klo.pemerintah sekarang boleh disebut thoghut ndak? :-)

Sari mengatakan...

Brrti dr artikel d atas hy membantah terkait penyebutan KAFIr brrti munafik dna sbgainya tdk mslh y?

Sari mengatakan...

Tp ustadz, di poin yg plg terakhir bhwa bolehnya taat kpd pmimpin slma tdk mlkukan kemaksiatan, faktnya dalam demokrasi skrg , legalisasi adalah bgian dr demokrasi sprti legalisasi wilyh pelacuran sprti di mkssar,dsb. Miras, hiburan malam,dsb.

Kemudian pajak jg bgian demokrasi sdgkn menurut hdits pajak yg dibebabkn kpd kaum muslimin adalah haram.
Nah, presiden kita kan ridho akn hal itu, dan tntunya sgala kptsan adalah lwt presiden dna MPR,DPR jg. Jd gmn?
Apa msh mau ditaati?

Anonim mengatakan...

Lantas bagaimana hukumnya belajar atau mengambil ilmu dari takfiri ?


dari Abu Unaisah.

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum Pak Ustadz,

Saya mau nanya apakah bangsa Arab yg membantu Inggris melawan kekhalifahan Turki Utsmaniyyah pd thn 1916 bisa dibilang berpaham khawarij?

syukron,

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaykum Ustadz, Afwan Ustadz, mohon Izin untuk bertanya dan mungkin sedikit berdiskusi,

Melihat dari Artikel Ustadz, kalau boleh Ana menyimpulkan Ustadz mencoba mengatakan bahwa ada Orang atau benda yang dianggap sebagai Thaghut namun dia tetap Mu'min (klu Org) dan tidak Kafir (klu benda mati), mhn di koreksi klu salah.

Pertanyaan Ana, lantas bagaimana cara kita mengkufuri Thaghut yang mu'min? Bagaimana kita berkata "saya ber Baroo', ingkar dan benci kepada kamu, namun kamu tetap saudara saya se-iman?

Selanjutnya ustadz mengutip perkataan 'Ulama tentang Thaghut, dimana diantaranya yg dimaksud Thaghut adalah; Penerima suap,Ahlul Bid'ah, Org yg beramal tanpa 'ilmu, pendek kata para pelaku dosa besar yg tidak mukaffirah pun disebut Thaghut.

Pertanyaan saya; Apakah org yang sering berzinah, Peminum Khomr, pemakan riba, pencuri juga dapat disebut Thoghut? Klu iya, apakah kita wajib kufur kepada mereka juga, padahal mereka masih Mu'min? klu tdk, kenapa terjadi pembedaan antar pelaku Dosa besar yg satu dengan yg lainnya, yg satu disebut Thoghut namun yang lain tidak?

Berikutnya, Ustadz juga mengutip 5 biang Thoghut menurut Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah, yaitu:
1. Syaiton
2. Penguasa lalim yang merubah hukum ALLOOH
3. orang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah
4. Org yg mengklaim mengetahui yang Ghoib
5. Segala sesuatu yg disembah selain ALLOOH, dan dia rela terhadapnya

Kemudian Ustadz juga mengutip dari Tsalaatsatul-Ushuul, hal. 195, bahwa thoghut itu biangnya ada 5, yaitu:
1. Iblis
2. orang yang diibadahi selain Allah dan ia ridlaa kepadanya
3. orang yang menyeru manusia untuk meng-ibadahi dirinya
4. orang yang mengklaim mengetahui ilmu ghaib
5. orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah

Klu melihat pengelompokan di atas, seluruhnya (Ana rasa kita sepakat)adalah kekafiran mutlak kecuali orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan ALLOOH dan Penguasa lalim yang merubah hukum ALLOOH.

Pertanyaan Ana, bagaimana Ustadz dapat menyimpulkan 2 biang Thaghut yaitu, orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan ALLOOH dan Penguasa lalim yang merubah hukum ALLOOH, bukan merupakan kekafiran mutlak? Padahal Asy-Syaikh mengelompokkannya menjadi satu kategori dengan biang Thaghut yg lain, dimana tdk diragukan lagi tentang kekafirannya (seperti Iblis, Org yg diibadahi selain ALLOOH dan yg td sudah Ana sebutkan di atas)?

Sekian dulu pertanyaan Ana, BarakaLLOOHU Fiik

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Coba perbaiki cara pengambilan kesimpulan Anda dengan melihat penjelasan ulama yang saya kutip di atas.

Sebelumnya, perlu kita samakan persepsi dulu, apa pemahaman Anda tentang makna 'mengkufuri' thaghut dalam ayat :

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا

“Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus” [QS. Al-Baqarah : 256].

Saya fokus pada kata 'yakfur', bukan pada thaghutnya.

Jika kita tidak samakan persepsi ini, khawatirnya saya bicara ke kanan, Anda bicara ke kiri, karena dasar pemahaman yang tidak sama.

Unknown mengatakan...

mau tanya ustadz..

Kenapa Abu Bakar mengkafirkan dan memerangi hanya karena orang yang tidak membayar zakat ??

(SHAHIH BUKHARI No. 1312)
Setelah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam wafat yang kemudian Abu Bakar radliallahu 'anhu menjadi khalifah maka beberapa orang 'Arab ada yang kembali menjadi kafir (dengan enggan menunaikan zakat)

Unknown mengatakan...

syukron ustadz atas artikelnya, sangat mencerahkan :)

ArIf mengatakan...

Yaa ayyuhal ustadziy,

Berlainan dengan sebagian besar komentar di atas, saya ada pertanyaan yang tidak begitu terkait. Tetapi saya tidak tahu harus ditanyakan di mana.

Pertanyaan terkait penggunaan lafazh من دون الله yang diartikan sebagai "selain Allah". Adakah tafsiran khusus mengenai penggunaan من دون الله dan غير الله? Karena yang sampai kepada saya adalah bahwasanya دون = تحت ≠ فوق.

Terima kasih telah berkenan membaca komentar ini. الله يجزيك خيرا

Anonim mengatakan...

Pertanyaan utamanya:
"apakah orang kafir lantas boleh dibunuh begitu saja?"

Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menangisi iring-iringan Jenazah orang Yahudi yang lewat didepan beliau, karena beliau kasian orang Kafir itu meninggal dalam keadaan belum bertaubat.

Anonim mengatakan...

@Rhezi Ramdhani
Ada baiknya antum membaca tarikh dengan lebih detail mas, karena kalau sepotong-potong maka orang awam akan berfikir kalau Islam itu barbar. Silahkan antum baca Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Ibnu Katsir yang versi asli & komplit.

1) Yang mengaku Muslim wajib membayar Zakat.
2) Yang tak mengaku Muslim wajib membayar Jizyah.
3) Orang yang enggan bayar Zakat lalu Murtad, bahkan menjadi Bughot setelah Rasul tiada (enggan membaiat Pemimpin yang ada dan enggan mentaati peraturan dari Pemimpin yang ada), maka hak perlindungan darahnya hilang.

Kelompok nomor tiga inilah yang diperangi oleh Abu Bakar.

Anonim mengatakan...

@Muslimah Energic:
Bukan "selama tidak melakukan maksiat".
Tapi, "selama tidak menyuruh kepada kemaksiatan".

Hati hati ya..
Karena meleset kata-katanya bisa jadi fatal.

Seseorang wajib taat dalam keadaan apapun, kecuali jika orang itu disuruh melakukan maksiat.
Tak boleh taat pada perkara maksiat bukan berarti boleh memberontak.

DALIL:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً.
"Barangsiapa melihat sebuah perkara yang membuat ia benci pada pemimpinya, maka hendaknya ia bersabar dan janganlah ia membangkang kepada pemimpinnya. Sebab, barangsiapa melepaskan diri dari jama’ah, lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah." [HR. Bukhari dan Muslim]

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
"Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada umara) ketika lapang maupun sempit pada perkara yang disukainya ataupun yang dibencinya, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat." [HR. Bukhari dan Muslim].

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ.
“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.”
[HR. Al-Bukhari (no. 2955, 7144), Muslim (no. 1839), at-Tirmidzi (no. 1707), Ibnu Majah (no. 2864), an-Nasa-i (VII/160), Ahmad (II/17, 142) dari Saha-bat Ibnu ‘Umar c. Lafazh ini adalah lafazh Muslim.]

لاَطاَعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ.
“Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiyat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan”
[HR. Al-Bukhari (no. 4340, 7257), Muslim (no. 1840), Abu Dawud (no. 2625), an-Nasa-i (VII/159-160), Ahmad (I/94), dari Sahabat ‘Ali Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (1/351 no. 181) oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah.]

Rasul tak pernah memerintahkan untuk tidak taat sepenuhnya pada pemimpin yang bermaksiat.
Kita hanya tak boleh taat JIKA Pemimpin itu MENYURUH kita melakukan maksiat, namun sepanjang yang mereka perintahkan adalah kebaikan atau hal mubah, maka wajib bagi kita taat dalam keadaan apapun.

Unknown mengatakan...

Muslim WAJIB berhukum kepada hukum Allah dan mengingkari segala macam Thaghut. Kalimat Tauhid “Laa Ilaaha Illa Allah” artinya tiada sesuatupun yang diikuti aturannya, dijauhi larangannya atau disembah/diabdi selain Allah.

…Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak berhukum (memutuskan perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 44)

WAJIB baca sampe tuntas: https://hukumallah.wordpress.com/wajib-syariat-islam/

Anonim mengatakan...

BERHUKUM DENGAN SELAIN HUKUM ALLAH TERMASUK SYIRIK

Perhatikan firman-firman Allah yang saling berkaitan ini:

...Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim (musyrik). (QS. Al-Maidah: 45)

Dan janganlah kamu memohon kepada selain Allah, yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan bahaya kepadamu, jika kamu berbuat (hal itu), maka sesungguhnya kamu, dengan demikian, termasuk orang-orang yang zalim (musyrik). (QS. Yunus: 106)

...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang yang zalim (musyrik) itu seorang penolongpun. (QS. Al-Maaidah: 72)

Dan barangsiapa di antara mereka, mengatakan: 'Sesungguhnya Aku adalah tuhan selain daripada Allah', maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang yang zalim (musyrik). (QS. Al-Anbiya: 29)

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman (kesyirikan), Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka, kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. An-Nisa: 168-169)

Berdasarkan keterangan ayat-ayat di atas, di mana orang yang menyekutukan Allah (musyrik) dalam ayat-ayat tersebut disebut sebagai orang zalim, maka dapat disimpulkan bahwa berhukum (memutuskan perkara) dengan selain hukum Allah sebagaimana dimaksud pada QS. Al-Maidah: 44, 45 dan 47 termasuk perbuatan syirik.

Selanjutnya baca: http://justpaste.it/zalim

Yordan mengatakan...

>> Jaka Tengger
saya belum pernah dengar kalau zalim = musyrik.

kalau musyrik jelas termasuk bentuk kezaliman.

tapi saya baru dengar kali ini kalau zalim itu secara umum bimakna musyrik.

Anonim mengatakan...

Assalamu alaykum Wr Wb.
Saya ingin berkomentar tadinya. Namun karena panjang, maka saya buat saja sebagai postingan di blog saya. Silakan berkunjung ke blog daya dan menanggapi apa yang telah saya tulis.

Anonim mengatakan...

Patung dan berhala hanya benda biasa. Allah mencap berhala dan patung sebagai thaghut karena manusia menjadikannya tandingan bagi Allah. Jika penguasa menjadikan aturan dirinya sebagai tandingan dari aturan-aturan Allah, maka penguasa itu adalah penguasa zalim dan juga termasuk penguasa yang thaghut

siapa.akyu mengatakan...

ini yg pade debat kayaknye kudu nambain rukun iman nih jadi 7, "iman kepada para ulama"

Anonim mengatakan...

yg pade debat, kayaknye kudu ditambain rukun imannye jadi 7. "iman kepada para ulama"

Unknown mengatakan...

Jadi ulil amri ente yg doyan berhukum dgn selain hukum Allah itu patung apa mahluk? Sehingga tdk boleh dikafirkan. Murjiah dari dulu sama aja pemikiran dan pembelaannya, biarpun pake kedok ahlusunnah.

Anonim mengatakan...

Assalamalaikum,

Udah jelas dan nampak yang dijelaskan Rasulullah, bahwa kita terbagi menjadi beberapa golongan, dan yang selamat adalah yang berlepas dari golongan2 tersebut dan kembali kepada Jamaah.

Telah nyata, Anda Ust. Abul Jauza adalah dari golongan Wahabi yang selalu taqlid kepada Ulama-ulama pilihan Anda, dan kita sama-sama tahu dari mana pemahaman atau ideologi itu lahir, yaitu dari negara yang selalu taat kepada thagut internasional.

Awas!!! Iman anda jadi ada 7 (iman kepada Ulama).

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan tentang Imam Asy-Syafii rahimahullah:
وَكَتَبَ إلَيْهِ رَجُلٌ يَسْأَلهُ عَنْ مُنَاظَرَة أَهْلِ الْكَلَامِ ، وَالْجُلُوس مَعَهُمْ، قَالَ: وَاَلَّذِي كُنَّا نَسْمَع وَأَدْرَكْنَا عَلَيْهِ مَنْ أَدْرَكْنَا مِنْ سَلَفِنَا مِنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ كَانُوا يَكْرَهُونَ الْكَلَامَ وَالْخَوْضَ مَعَ أَهْل الزَّيْغ وَإِنَّمَا الْأَمْر فِي التَّسْلِيم وَالِانْتِهَاء إلَى مَا فِي كِتَابِ اللَّه عَزَّ وَجَلَّ وَسُنَّةِ رَسُوله لَا تَعَدَّى ذَلِكَ .

Imam Syafii berkata: “Yang kami dengar dan kami dapati dari salaf (pendahulu) kami dari para ulama, bahwa mereka membenci ilmu kalam dan berdebat dengan orang-orang menyimpang. Agama itu hanyalah dalam tunduk dan berhenti kepada apa yang ada di Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak melampuinya.”

Berlepas lah dari thagut ustadz...

Saya membaca dari awal dan saya sudah tau akan kemana ustadz akan berpemahaman, ini adalah produk ideologi, sedangkan Al-Quran dan Sunnah adalah Agama yang benar disisi Allah SWT.

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum, keliling2 berdebat, sejumlah hujjah/dalil dikemukakan, sy cuma menyimpulkan semua komentator berikut penulisnya cuma dibagi kedlam 2 golongan saja:
1.Hizbullah 2. Hizbusy-syaithon
golongan yg pertama sangat cemburu melihat agamanya/hukum Allah disepelekan, sedang golongan kedua, justru sangat menyenangkan hati para musuh Allah.
Wallahu a'laam

Unknown mengatakan...

Assalamu'alaikum,
Saya mengikuti diskusi yg terjadi.Kesimpulan saya, para komentator berikut penulis PASTI tak terlepas dari kedua kubu ini: Kubu HIZBULLAH & kubu hizbusy-syaithon. Yg sangat mendambakan hukum Allah/syariat suci tegak adalah pribadi2 yg tak rela melihat agamanya dinista dan membenci rezim yg justru membebek big bosnya "setan besar" Amerika/zionis/yahudi & konconya. lalu mereka turut mendukung proyek anti penegakan syariat Islam. Penguasa yg dg letih mencari2 dalil pembenaran bagi proyek pemberangusan Islam ini acap didukung oleh kubu kedua. Dan mirisnya, kubu kedua ini justru mereka2 yg acap menggunakan dalil2 agamis,bahkan da'i yg menjadi panutan umat. Kelak di yaumil akhir, perbantahan di atas akan dihakimi Allah dengan seadil2nya. Wallahu a'laam

Anonim mengatakan...

cuma ada dua gol manusia: Hizbullah & hizbusysyaithon. gol kedua ini acap membela rezim thoghut dg sejuta dalil. Titik. kelak di yaumi akhir, Allah SWT akan menghakimi dg seadil2nya. Wallahu a'laam

rofi mengatakan...

Akhi Go Tong Gok
Hizbullah itu hanya ada 1, yaitu yang bersikap wasithiyyah (pertengahan), sedangkan Hizbus Syaithon terbagi menjadi 2, yaitu yang berlebih-lebihan dan yang meremehkan.

bagi Hizbus Syaithon yang berlebih-lebihan, mereka akan menganggap Hizbullah itu bersikap meremehkan.
dan bagi Hizbus Syaithon yang meremehkan, mereka menganggap Hizbullah itu bersikap berlebih-lebihan.

contoh,
1. Syi'ah menjuluki Ahlus Sunnah dengan Nawashib, dan Nawashib menjuluki Ahlus Sunnah dengan Syi'ah.
2. Jahmiyyah menjuluki Ahlus Sunnah dengan Mujassimah, dan Mujassimah menjuluki Ahlus Sunnah dengan Jahmiyyah.
3. Khawarij menjuluki Ahlus Sunnah dengan Murji'ah, dan Murji'ah menjuluki Ahlus Sunnah dengan Khawarij.

Anonim mengatakan...

takfiriy = yg suka/mudah mengkafirkan orang lain
khwarijiy = yg suka mengkhawaijkan orang lain
bid'iy = yg suka membid'ahkan orang lain

Anonim mengatakan...

Ketika satu permasalahan ( thogut ) ada berbeda pendapat " ikutilah ulama yg berjihad d jalan Allah "

Unknown mengatakan...

Bertaqwalah kepada Allah yaa Akhiy

Unknown mengatakan...

Maa Syaa Allah, Baarokallahu fiik Ustadz