Tanya : Seandainya
tawassul kepada selain Allah tidak diperbolehkan, lantas mengapa shahabat
pernah beristi’adzah kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, seperti
dalam hadits :
أَعُوذُ
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْ أَكُونَ كَوَافِدِ عَادٍ
“Aku berlindung kepada
Allah dan Rasul-Nya dari menjadi seperti utusan kaum ‘Aad ? ? ?.
Jawab : Isti’aadzah
artinya
: memohon perlindungan dan penjagaan dari hal yang dihindari. Beristi’adzah
kepada Allah ta’ala adalah hal yang disyari’atkan tanpa ada perselisihan
di antara kaum muslimin. Banyak dalil yang menjelaskan hal ini, di antaranya Allah ta’ala berfirman
:
قُلْ
أَعُوذُ بِرَبّ النّاسِ * مَلِكِ النّاسِ * إِلَـَهِ النّاسِ * مِن
شَرّ الْوَسْوَاسِ الْخَنّاسِ * الّذِى يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النّاسِ * مِنَ
الْجِنّةِ وَالنّاسِ
”Katakanlah : Aku berlindung kepada Tuhan (yang
memelihara dan menguasai) manusia, Raja manusia, Sembahan manusia, dari
kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan)
ke dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia” [QS. A-Naas : 1-6].
فَإِذَا
قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّهِ مِنَ الشّيْطَانِ الرّجِيمِ
“Apabila kamu hendak
membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari syaithan
yang terkutuk” [QS. An-Nahl : 98].
Juga dalam hadits shahih :
عَنْ
خَوْلَةَ بِنْتَ حَكِيمٍ السُّلَمِيَّةَ، تَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا، ثُمَّ قَالَ: أَعُوذُ
بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى
يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ "
Dari Khuwailah bintu
Hakiim As-Sulamiyyah, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa slalam bersabda : “Barangsiapa yang tiba di suatu tempat, maka
ucapkanlah : ‘Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari
kejahatan makhluk-Nya’; niscaya tidak ada satu pun yang akan
memudlaratkannya hingga ia beranjak dari tempat tersebut” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 2708, At-Tirmidziy no. 3437, dan yang lainnya].
Namun, bolehkah beristi’adzah
(meminta perlindungan) kepada makhluk ?. Hal ini perlu perincian :
1.
Meminta perlindungan
kepada makhluk dari hal-hal yang hanya Allah ta’ala saja yang dapat
memberikan perlindungan. Seperti misal : Beristi’adzah kepada makhluk dari
kemurkaan Allah, gangguan syaithaan, adzab kubur, siksa neraka, dan yang
semisalnya.
Hukumnya haram, bahkan termasuk kesyirikan. Allah ta’ala
berfirman :
وَإِمَّا
يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan
setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui” [QS. Al-A’raaf : 200].
Setelah menyebutkan ayat tersebut, Al-Imaam Al-Baihaqiy
rahimahullah berkata :
وَلا
يَصِحُّ أَنْ يَسْتَعِيذَ بِمَخْلُوقٍ مِنْ مَخْلُوقٍ
“Dan tidak dibenarkan beristi’adzah kepada
makhluk dari (gangguan) makhluk” [Al-Asmaa’ wash-Shifaat, 1/477].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
لا
يستعاذ إلا بالله أو بصفة من صفاته
“Tidak boleh beristi’adzah kecuali kepada Allah atau
kepada sifat dari sifat-sifat-Nya" [Fathul-Baariy, 11/546].
2.
Meminta perlindungan
kepada makhluk/manusia yang telah mati atau yang tidak hadir atau
makhluk-makhluk lain yang tidak mempunyai kemampuan untuk memberikan
perlindungan.
Hukumnya haram. Allah ta’ala berfirman :
وَأَنَّهُ
كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ
رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di
antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin,
maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” [QS. Al-Jin : 6].
وَمَا
يَسْتَوِي الأحْيَاءُ وَلا الأمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا
أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
“Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan
orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa
yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang
di dalam kubur dapat mendengar” [QS. Faathir : 22].
Sisi pendalilan : Seandainya orang yang dikubur tidak
dapat mendengar[1],
bagaimana bisa ia dapat memberikan perlindungan ?.
3.
Meminta perlindungan
kepada makhluk (manusia, binatang, tempat, atau yang lainnya) yang mempunyai
kemampuan untuk melindungi dari yang diminta.
Hal ini diperbolehkan. Dalilnya banyak, di antaranya :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" تَكُونُ فِتْنَةٌ النَّائِمُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْيَقْظَانِ، وَالْيَقْظَانُ
فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ، وَالْقَائِمُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي، فَمَنْ
وَجَدَ مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَسْتَعِذْ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Akan terjadi fitnah. Orang yang tidur padanya lebih
baik daripada orang yang bangun/terjaga. Orang yang bangun/terjaga padanya
lebih baik daripada orang yang berdiri. Dan orang yang berdiri padanya lebih
baik daripada orang yang berjalan cepat. Barangsiapa yang mendapatkan tempat
perlindungan, hendaklah ia berlindung (kepadanya)” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 2886].
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " نَحْنُ .... وَيَرْحَمُ اللَّهُ لُوطًا لَقَدْ كَانَ يَأْوِي
إِلَى رُكْنٍ شَدِيدٍ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “….Semoga
Allah merahmati Luuth, sungguh ia telah berlindung pada keluarga yang kuat..”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3372 & 4537, Muslim no. 151, dan yang
lainnya].
Dan telah lewat pembahasan
di blog ini tentang Isti’aadzah.[2]
Kemudian menginjak pada
hadits yang Anda tanyakan.
Beberapa muhaqqiq memberikan
ulasan yang berbeda mengenai hadits tersebut, terutama pada tambahan (ziyaadah)
lafadh : ‘wa Rasuulihi’ (dan Rasul-Nya). Hadits dengan ziyaadah lafadh
itu diriwayatkan oleh Ahmad 3/482 : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin
Al-Hubbaab, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abul-Mundzir Sallaam bin
Sulaimaan An-Nahwiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim bin
Abin-Nujuud, dari Abu Waail, dari Al-Haarits bin Yaziid Al-Bakriy.
Dhahir sanad ini hasan.
Zaid, Sallam, dan ‘Aashim adalah orang-orang yang hasan haditsnya. Adapun Abu
Waail, tsiqah.
Diriwayatkan pula dengan
tambahan lafadh oleh Ath-Thabaraaniy[3]
dalam Al-Kabiir no. 3325, Abul-Fath Al-Azdiy[4]
dalam Al-Makhzuun fii ‘Ilmil-Hadiits no. 20, Abu Nu’aim[5]
dalam Ma’rifatush-Shahaabah no. 2104, dan Ibnul-Atsiir[6]
dalam Usdul-Ghaabah 1/369; semuanya dari Sallaam Abul-Mundzir
Al-Qaariy, dari ‘Aashim, dan selanjutnya seperti di atas.
Riwayat Sallaam dari ‘Aashim
tanpa tambahan lafadh mempunyai mutaba’ah dari Abu Bakr bin ‘Ayyaasy,
sebagaimana diriwayatkan Ath-Thabariy dalam Tafsiir-nya 10/275 dan At-Taariikh
no. 220 dari jalan Abu Kuraib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakr bin ‘Ayyaasy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim, dan
selanjutnya seperti di atas.
Abu Bakr bin ‘Ayyaasy
disebutkan bahwa ia seorang yang shaduuq, namun mengalami ikhtilaath
pada akhir hayatnya.
Ada yang mengatakan bahwa
tambahan lafadh wa Rasuulihi itu tidak mahfuudh, ada juga yang
mengatakan mahfuudh.
Seandainya mahfuudh,
maka isti’adzah (meminta perlindungan) pada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam diucapkan shahabat (Al-Haarits bin Yaziid Al-Bakriy) di hadapan
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika masih hidup. Kontentnya
sendiri adalah permintaan para shahabat agar beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak menjadi nabi seperti nabi yang diutus kepada kaum ‘Aad yang
kemudian membinasakan kaumnya sendiri (karena kedurhakaan mereka). Dan ini
termasuk hal yang diperbolehkan sebagaimana perincian penjelasan isti’adzah di
atas.
Terkait dengan tawassul,
maka kurang pas membawa dalil ini kepada tawassul karena tidak tepat
konteksnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ –
sardonoharjo, ngaglik, sleman, yk].
[3] Sanad :
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، ثنا عَفَّانُ بْنُ مُسْلِمٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ
الْحَضْرَمِيُّ أَنَا سَلامٌ أَبُو الْمُنْذِرِ الْقَارِيُّ، ثنا عَاصِمُ بْنُ بَهْدَلَةَ،
عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ حَسَّانَ،
ثنا
الْقَاسِمُ بْنُ زَكَرِيَّا، وَوَقَارُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ عُقْبَةَ الْكِلابِيُّ
بِالرَّقَّةِ، وَالنُّعْمَانُ بْنُ مُدْرَكٍ بِرَأْسِ الْعَيْنِ، قَالُوا ثنا إِبْرَاهِيمُ
بْنُ سَعِيدٍ الْجَوْهَرِيُّ، ثنا ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ سَلامٍ الْقَارِيِّ، عَنْ
عَاصِمٍ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ حَسَّانَ قَالَ
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ، ثنا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، ثنا عَفَّانُ بْنُ
مُسْلِمٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ الْحَضْرَمِيُّ، قَالا: ثنا سَلامٌ أَبُو الْمُنْذِرِ
الْقَارِئُ، ثنا عَاصِمُ بْنُ بَهْدَلَةَ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ
حَسَّانَ، قَالَ
أخبرنا
عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ هِبَةِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ، بِإِسْنَادِهِ إِلَى
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَحْمَدَ، حَدَّثَنِي أَبِي، أخبرنا عَفَّانُ، أخبرنا سَلامُ هُوَ
أَبُو الْمُنْذِرِ الْقَارِيُّ، عن عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ، عن أَبِي وَائِلٍ، عن
الْحَارِثِ بْنِ حَسَّانٍ
حَدَّثَنَا
عَفَّانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا سَلَّامٌ أَبُو الْمُنْذِرِ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ،
عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ حَسَّانَ،
حدثنا
بن أبي عمر حدثنا سفيان بن عيينة عن سلام عن عاصم بن أبي النجود عن أبي وائل عن
رجل من ربيعة قال
حَدَّثَنَا
أَبُو الْقَاسِمِ عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ هَارُونَ الْعَسْكَرِيُّ
الرَّفَّاءُ وَإِمْلاءً، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سِنَانٍ الطَّيَالِسِيُّ،
حَدَّثَنَا عَفَّانُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا سَلامٌ أَبُو الْمُنْذِرِ، عَنْ عَاصِمِ
بْنِ بَهْدَلَةَ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ حَسَّانٍ، قَالَ
Comments
Jazzakallah khair ustadz..
Assalamu 'alaikum...Afwan ustadz ana mau mempertanyakan hadits tentang bertawasulnya Nabi Adam kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Adapun redaksinya adalah sebagai berikut.
Imam Al Hakim –rahimahullah- berkata dalam Al Mustadrak :
حدثنا أبو سعيد عمرو بن محمد بن منصور العدل ثنا أبو الحسن محمد بن إسحاق بن إبراهيم الحنظلي ثنا أبو الحارث عبد الله بن مسلم الفهري ثنا إسماعيل بن مسلمة أنبأ عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن أبيه عن جده عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "لما اقترف آدم الخطيئة قال يا رب أسألك بحق محمد لما غفرت لي ,فقال الله : "يا آدم و كيف عرفت محمدا ولم أخلقه ؟ قال : يا رب لأنك لما خلقتني بيدك ونفخت في من روحك ورفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوبا لا إله إلا الله محمد رسول الله فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق إليك, فقال الله : صدقت يا آدم إنه لأحب الخلق إليَّ, ادعني بحقه فقد غفرت لك ولولا محمد ما خلقتك".
Artinya : "Mengabarkan kepada kami Abu Said 'Amr bin Muhammad bin Manshur Al 'Adl : Mengabarkan kepada kami Abul Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim Al Handzhali : Mengabarkan kepada kami Abul Harits Abdullah bin Muslim Al Fihry : Mengabarkan kepada kami Ismail bin Maslamah ; Mengabarkan kepada kami Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya dari Umar bin Al Khaththab –radhiyallahu 'anhu- berkata : Rasulullah –shallallahu'alaihi wasallam- bersabda : "Ketika Adam berbuat dosa , ia berdoa : "Wahai Rabbku,saya memohon padamu dengan washilah (perantaraan) hak Muhammad agar Engkau mengampuniku." Allah berfirman : (Wahai Adam bagaimanakah engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakannya ?),Adam menjawab : "Wahai Rabbku sebab ketika Engkau menciptakanku dengan kedua tangan-Mu dan meniupkan ruh (ciptaan)Mu kedalam jasadku,akupun menengadahkan kepalaku dan melihat di tiang-tiang Arsy-Mu tertulis (Laailaaha illallah , Muhammadan Rasulullah) , maka saya pun tahu bahwa Engkau tidaklah menyandangkan satu nama bersama nama-Mu kecuali makhluk yang paling Engkau cintai," Maka Allah berfirman ; (Engkau benar wahai Adam,sesungguhnya ia adalah makhluk yang paling Aku cintai,maka berdoalah kepadaKu dengan berwasilah (melalui perantaraan) haknya niscaya Aku mengampunimu,dan kalau bukan karena Muhammad Aku tidak akan menciptakanmu)."
Hadis ini diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadraknya dan dari jalurnya diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Ad Dalaail kemudian melalui jalur keduanya diriwayatkan Ibnu 'Asakir dalam Tarikh Dimasyq.
Ana berharap ustadz berkenan memberikan bantahan terhadap kaum muslimin yang menjadikan hadits tersebut sebagai dalil dibolehkannya bertawasul dengan kedudukan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Jazakallahu khair
Silakan baca :
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/07/kepalsuan-riwayat-bertaubatnya-nabi.html.
Semoga ada manfaatnya.
Jazakallahu khairan katsiran ustadz. Subhanallah, artikelnya sangat bermanfaat bagi ana. Semoga artikel ini juga bisa bermanfaat bagi kaum muslimin yang lain juga dan semoga artikel ini bisa jadi amal jariyah ustadz. Aamiin
Ass wr wb,
@Abu Al-Jauzaa'
Pada artikel point 2 ada ayat:
1)QS. Al-Jin : 6
2)QS. Faathir : 22
1)Apakah orang sholeh yang sudah meninggal sama dengan jin ?
2)a.Mengapa anda menampikkan kata"..yang dikehendaki-Nya"
b.Bukankah dalam ayat itu maksudnya
" Nabi Muhammad tidak dapat memberi petunjuk kepada ORANG-ORANG MUSYRIKIN YANG TELAH MATI HATINYA"
Jadi menurut saya anda TIDAK TEPAT dalam "SISI PENDALILAN"
Pada ayat itu:
1.YANG "DIKUBUR" ADALAH HATINYA YANG TELAH "MATI".
2.Ditujukan pada ORANG-ORANG MUSYRIKIN.
Jadi ayat QS. Faathir : 22 tidak ada hubungannya dengan tawassul.
Maaf kalau ada salah kata.
Wa'alaikumus-salaam.
1. Coba Anda baca kepala point-nya :
"Meminta perlindungan kepada makhluk/manusia yang telah mati atau yang tidak hadir atau makhluk-makhluk lain yang tidak mempunyai kemampuan untuk memberikan perlindungan".
Apakah di situ saya hanya mengkhususkan pada manusia mati saja ?. Bahkan yang menjadi 'illat adalah makhluk yang tidak mempunyai kemampuan untuk memberikan perlindungan. Dan orang yang telah mati termasuk di dalamnya.
2. Saya tidak menafikkannya. Namun jika yang antum maksud adalah orang mati tetap bisa mendengar, maka yang menafikkannya adalah Allah ta'ala sendiri dalam kelanjutan ayatnya.
Tentang tanggapan Anda selanjutnya akan saya ringkas di 2 point berikut :
1. Sebenarnya, tidak tepat-tepat benar kata anda itu. Namun inti yang hendak anda katakan telah saya tangkap. Memang benar bahwa ayat itu berbicara mengenai orang yang kafir yang hati dan telinganya telah tertutup.
2. Akan tetapi, ayat itu mempunyai kandungan hukum tentang peniadaan pendengaran dari orang yang telah mati sesuai dengan keumuman lafadhnya. Allah ta'ala telah menyamakan antara orang kafir dengan orang yang mati yang tidak bisa mengambil manfaat dari petunjuk yang disampaikan. Allah ta'ala telah menjelaskan bahwa kita tidak bisa menjadikan orang kubur itu mendengar seruan secara hakiki, sehingga seruan (petunjuk) itu sia-sia.
Itulah yang kemudian disamakan dengan kondisi orang kafir, yang walaupun mereka bisa mendengar secara hakiki, namun kondisi mereka seperti orang yang mati yang tidak bisa mengambil manfaat dari petunjuk yang disampaikan kepada mereka.
Silakan baca penjelasan Ibnu Katsir tentang ayat ini.
wallaahu a'lam.
Ass wr wb,
@Abu Al-Jauzaa'
1)Yang khusus adalah ayatnya..tidak bolehnya bertawassul kepada jin. Maaf..bukankah selama ini yang menjadi perdebatan antara sesama muslim adalah masalah tawassul. Sedangkan tawassul yang diperbolehkan itu bukan kepada jin.
Jadi menurut saya ayat itu tidak ada sangkut pautnya dengan tawassul kepada orang-orang sholeh yang sudah meninggal.
Membicarakan "kemampuan.."....jangankan yang sudah meninggal..tawassul kepada yang hiduppun tidak ada gunanya kalau Allah SWT tidak menghendakinya.
2)Pada ayat itu yang ditampikkan adalah orang-orang musyrikin.
Bagaimana dengan yang lain ?
QS.3:169
===================================
1)Terima kasih koreksinya. Alhamdulillah ada kesepakatan.
2)Kecuali..."[..]kepada siapa yang dikehendakinya[..]"
Muslim atau kafir bagi Allah SWT tidak ada kata mati.
Kalau mati..mengapa ada malaikat penanya yang datang..mengapa harus ada siksa kubur. Berlakukah kata "tanya" pada orang mati..berlakukah kata "siksa" pada orang mati.
Lalu untuk siapa kita bersholawat..sedang sholawat itu adalah sebuah"salam" dan bukanlah sebuah do'a.Bukankah "salam" ditujukan kepada seseorang.
Mendengarkah orang yang kita berikan salam ?
Maaf kalau ada salah kata.
Pak Husaini cukup baca ini :
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
لا يستعاذ إلا بالله أو بصفة من صفاته
“Tidak boleh beristi’adzah kecuali kepada Allah atau kepada sifat dari sifat-sifat-Nya" [Fathul-Baariy, 11/546].
Aditya Siregar
Posting Komentar