Kafirnya Seorang Haakim atau Penguasa Tidaklah Melazimkan Kebolehan Keluar Ketaatan dan Mengangkat Senjata Kepadanya



Seandainya benar kata orang-orang bodoh itu bahwa penguasa kita telah kafir (murtad), maka kekafirannya itu tidaklah selalu melazimkan kebolehan untuk keluar ketaatan darinya, atau – bahkan – mengangkat pedang.
Bolehnya keluar ketaatan dari penguasa, sedikitnya jika memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu :

1.        Penguasa itu jatuh dalam perkara kekafiran yang nyata, yang kita memiliki bukti di sisi Allah akan hal itu.
Dalilnya :
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ، قَالَ: " دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ، قُلْنَا: أَصْلَحَكَ اللَّهُ، حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ "
Dari Junaadah bin Umayyah, ia berkata : Kami pernah masuk menemui ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit yang ketika itu ia sedang sakit. Kami berkata : “Semoga Allah memperbaiki keadaanmu. Ceritakanlah kepada kami hadits yang Allah telah memberikan manfaat kepadamu dengannya, yang telah engkau dengar dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memanggil kami, lalu membaiat kami. Dan diantara baiatnya adalah agar kami berbaiat untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara sewenang-wenang. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari ahlinya (orang yang berhak). Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam berkata : ”Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7056 dan Muslim no. 1709].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
قال النووي المراد بالكفر هنا المعصية ومعنى الحديث لا تنازعوا ولاة الأمور في ولايتهم ولا تعترضوا عليهم إلا أن تروا منهم منكرا حققا تعلمونه من قواعد الإسلام فإذا رأيتم ذلك فانكروا عليهم وقولوا بالحق حيثما كنتم انتهى وقال غيره المراد بالإثم هنا المعصية والكفر فلا يعترض على السلطان إلا إذا وقع في الكفر الظاهر
”Telah berkata An-Nawawi : Yang dimaksudkan dengan kufur di sini adalah kemaksiatan. Jadi makna hadits adalah : Jangan kalian menentang ulil-amri (pemimpin/penguasa) dalam kekuasaan mereka dan janganlah kalian membangkang kecuali apabila kalian melihat kemunkaran yang nyata dari mereka, yang kalian ketahui bahwa hal itu termasuk sendi-sendi Islam (min qawaa’idil-Islaam). Apabila kalian melihat yang demikian itu, maka ingkarilah dan sampaikanlah yang benar dimanapun kalian berada” – selesai –…. (Ibnu Hajar melanjutkan : ) Dan berkata ulama selain beliau (An-Nawawi) : ”Bahwasannya yang dimaksudkan dengan dosa adalah kemaksiatan dan kekufuran. Maka dari itu, tidak diperbolehkan melakukan penyerangan kepada sulthan kecuali bila ia telah terjatuh dalam kekufuran yang nyata” [selesai – Fathul-Bari, 13/8].
2.        Telah ditegakkan hujjah padanya.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala :
وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِلّ قَوْماً بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتّىَ يُبَيّنَ لَهُم مّا يَتّقُونَ إِنّ اللّهَ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. At-Taubah : 115].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وليس لأحد أن يكفر أحدًا من المسلمين ـ وإن أخطأ وغلط ـ حتي تقام عليه الحجة، وتبين له المحَجَّة، ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة، وإزالة الشبهة‏.‏
“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/466].
3.        Mempunyai kemampuan untuk menurunkannya atau menggulingkannya.
Dalilnya :
عَنْ أبي سَعيدٍ قال : سَمِعتُ رسولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ يَقولُ : مَنْ رَأَى مِنكُم مُنْكَراً فَليُغيِّرهُ بيدِهِ ، فإنْ لَمْ يَستَطِعْ فبِلسَانِهِ ، فإنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقلْبِهِ ، وذلك أَضْعَفُ الإيمانِ
Dari Abu Sa’iid (Al-Khudriy), ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah ia dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka rubahlah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka (tolaklah) dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 49, ‘Abdurrazzaaq no. 5649, Ahmad 3/10, dan yang lainnya].
Ibnu Hajar berkata :
وملخصه أنه ينعزل بالكفر إجماعا " فيجب على كل مسلم القيام في ذلك، فمن قوي على ذلك فله الثواب، ومن داهن فعليه الإثم، ومن عجز وجبت عليه الهجرة من تلك الأرض.
”Dan kesimpulannya, mencopot (seorang pemimpin) karena kekufuran merupakan ijma’. Maka wajib bagi setiap muslim untuk melakukan hal tersebut. Barangsiapa yang mampu melakukanya, maka ia mendapatkan pahala. Barangsiapa yang tidak mau melakukannya (padahal dia mampu), maka ia mendapatkan dosa. Dan barangsiapa yang lemah (tidak memiliki kemampuan), maka ia harus berhijrah meninggalkan negeri tersebut” [Fathul-Baariy, 13/123].
4.        Kerusakan akibat keluar ketaatan darinya tidak boleh lebih besar daripada kerusakan apabila menetapinya (tidak memberontak kepadanya).
Dalilnya adalah :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا: " يَا عَائِشَةُ، لَوْلَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ، لَأَمَرْتُ بالبيت فَهُدِمَ، فَأَدْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ وَأَلْزَقْتُهُ بِالْأَرْضِ، ...... "
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya : “Wahai ‘Aaisyah, seandainya bukanlah karena kaummu baru saja lepas dari Jahiliyyah, niscaya aku akan perintahkan meruntuhkan Ka’bah, lalu aku masukkan ke dalamnya apa yang pernah dikeluarkan daripadanya, dan niscaya aku akan tempelkan (pintunya) ke tanah…” [Diriwayatkjan oleh Al-Bukhaariy no. 1586 dan Muslim no. 1333].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فإذا كان الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر مستلزما من الفساد أكثر مما فيه من الصلاح لم يكن مشروعا وقد كره أئمة السنة القتال في الفتنة التي يسميها كثير من اهل الأهواء الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر فإن ذلك إذا كان يوجب فتنة هي اعظم فسادا مما في ترك الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر لم يدفع أدنى الفسادين باعلاهما بل يدفع أعلاهما باحتمال أدناهما كما قال النبي صلى الله عليه وسلم ألا انبئكم بأفضل من درجة الصيام والصلاة والصدقة والامر بالمعروف والنهي عن المنكر قالوا بلى يا رسول الله قال إصلاح ذات البين فإن فساد ذات البين هي الحالقة لا أقول تحلق الشعر ولكن تحلق الدين
“Apabila amar ma’ruf dan nahi munkar mengkonsekuensikan kerusakan yang lebih banyak daripada kebaikannya, maka perbuatan itu tidaklah disyari’atkan. Para imam Ahlus-Sunnah membenci peperangan dalam masa fitnah yang dinamakan oleh kebanyakan pengikut hawa nafsu sebagai amar ma’ruf nahi munkar; karena yang demikian itu apabila menimbulkan fitnah yang lebih besar kerusakannya daripada meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, tidaklah boleh menolak kerusakan yang lebih kecil dengan mendatangkan kerusakan yang lebih besar. Bahkan seharusnya menolak kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil. Hal itu sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Maukah kalian aku beritahukan sesuatu yang lebih utama daripada derajat puasa, shalat, shadaqah, dan amar ma’ruf nahi munkar ?’. Mereka (para shahabat) menjawab : ‘Tentu, wahai Rasulullah’. Beliau bersabda : ‘Memperbaiki hubungan antara dua orang yang berselisih, karena kerusakan hubungan itu merupakan ‘pencukur’. Aku tidak mengatakannya mencukur rambut, akan tetapi ia adalah mencukur agama” [Al-Istiqaamah, 1/330].
Jika salah satu syarat hilang, maka tidak boleh keluar ketaatan dan/atau mengangkat senjata kepada penguasa.
Semoga empat hal ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, sleman, yogyakarta, bulan baru dzulqa’dah 1432].

Comments

Anonim mengatakan...

Ust. apakah tindak korupsi yang banyak dilakukan para petinggi sebuah negeri dapat dikategorikan kekufuran yang nyata, yang dengannya dapat dijadikan alasan kebolehan keluar dari ketaatan? barakallaahu fikum.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

bukan.

Anonim mengatakan...

Ustadz al habib, mungkin minal ahsan kalo di tambah, menyampaikan hujjah itu juga tidak hanya buluugh saja -yang kebanyakan mereka cuman bilang buluugh saja sudah cukup-... Baarakallahu fiikum

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Menegakkan hujjah tidak sama dengan menyampaikan hujjah. Sama halnya dengan menegakkan shalat tidak sama dengan mengerjakan shalat.

Para ulama memilih kata 'menegakkan', bukan 'menyampaikan'. Tentu saja ini ada syarat-syaratnya.

terima kasih atas saran dan masukannya.

Anonim mengatakan...

Menegakkan hujjah tidak sama dengan menyampaikan hujjah. Sama halnya dengan menegakkan shalat tidak sama dengan mengerjakan shalat.

Para ulama memilih kata 'menegakkan', bukan 'menyampaikan'. Tentu saja ini ada syarat-syaratnya.

terima kasih atas saran dan masukannya.

ASSALAMU`ALAIKUM
YANG ANA TANYAKAN DARI PERNYATAAN DI ATAS BAGAIMANA BENTUK "MENEGAKKAN" HUJJAH ITU KARENA SBG PELAJAR ANA GAK TAU BEDANYA ANTARA 'MENEGAKKAN' DAN `MENYAMPAIKAN`?

Anonim mengatakan...

'afwan ustadz mungkin perlu juga dibikin artikel tentang adab-adab bertanya dan berkomentar di internet.

Jadi kalo ada yang berkomentar atau bertanya dengan adab yang kurang baik bisa disarankan untuk membaca dulu artikel tsb. Syukron.

Abu 'Abdillah

Abul Abbas mengatakan...

Ustadz berkata; "Para ulama memilih kata 'menegakkan', bukan 'menyampaikan'. Tentu saja ini ada syarat-syaratnya."

Afwan stadz, syarat2nya apa saja???

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Diantaranya adalah syarat kepahaman dari objeknya. Contoh ekstrimnya begini :

Ada orang yang menyampaikan dalil begini dan begitu dengan bahasa Inggris dan Arab, sementara orang yang ia dalili tidak paham bahasa Inggris dan Arab. Kalau dikatakan sampai hujjahnya, benar, sudah sampai. Namun kalau dikatakan hujjahnya telah tegak padanya, ya belum.

Anonim mengatakan...

Annisa Taufiq

Assalamu'alaikum.
Ustadz,semisal yang terjadi di Syriah sekarang ini bagaimana ?
Mohon,penjelasannya.

Semoga Allah selalu menjaga antum sekeluarga.Aamiin

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Para ulama telah menjelaskan bahwa Basyar Al-Asad adalah kafir.

Anonim mengatakan...

ASSALAMU'ALAIKUM.
BAGAIMANA DENGAN SEBAGIAN KELOMPOK ISLAM BAHWA JIKA SISTEMNYA KAFIR (SEPERTI DEOKRASI) MAKA PRESIDENNYA BUKAN SEBAGAI ULIL AMRI. MEREKA MEYAKINI BAHWA MESKIPUN TIDAK BISA BISA DIKAFIRKAN SECARA TA'YIN (KARNA BELUM TEGAKNYA HUJJAH)TAPI SECARA PERBUATAN JELAS PERBUATAN PRESIDEN TSB ADALAH KEKUFURAN YANG NYATA. DAN KELUAR DARI KETAATAN (KARENA MEMANG BUKAN UIL AMRI)TIDAK HARUS MENUNGGU DIKAFIRKANNYA PRESIDEN TSB. BAGAIMANA TANGGAPAN ABUL JAUZAA? UJANG

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Kekufuran adalah kemaksiatan, dan kemaksiatan yang dilakukan bukanlah penentu apakah si Fulan itu ulil amri ataukah tidak.

Bolehnya keluar ketaatan dari seorang pemimpin muslim itu bukan karena perbuatan kufur yang ia lakukan, karena perbuatan kufur itu belum tentu melazimkan pelakunya kafir. Namun,... bolehnya keluar ketaatan itu karena status kafir yang ada pada dirinya. Pendek kata, jika pemimpin tersebut sudah beralih status dari muslim menjadi kafir, maka ketaatan padanya (secara asal) gugur, karena imamah (kepemimpinan) tidak boleh diserahkan kepada orang kafir. Al-Qadli ’Iyadl :

أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر

”Para ulama telah bersepakat bahwasannya imamah tidak bisa diserahkan kepada orang kafir” [Syarh Shahih Muslim juz 12 hal. 229].

Tentu saja, penerapannya mesti memperhatikan apa yang disebutkan pada artikel di atas.

wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

assalamu'alaikum ustadz,
ada yang mengatakan klo syarat pemimpin yang boleh diikuti itu minimal ada 3
1. masih menegakkan kitabullah dan sunnah
"Hendaklah kalian mendengar dan taat sekalipun yang memerintah atas kalian adalah seorang budak habasyi yang kepalanya mirip anggur kering, selama ia menegakkan diantara kalian kitabullah." (HR. Al-Bukhariy, hadits nomer 696)
2. masih melakukan jihad
"...Dan jihad tetap berlangsung sejak Aku diutus oleh Allah sampai yang terakhir dari umatku memerangi dajjal, (jihad) tidak bisa dibatlkan oleh kezhaliman pemimpin yang zhalim serta keadilan pemimpin yang adil." (HR. Abu Dawud, hadits nomer 2532)
3. masih menegakkan sholat
klo tidak terpenuhi maka tidak wajib ditaati. bahkan dibolehkan melakukan qitaal dan jihad.
fatwa yang disebutkan Al-Qadhi 'Iyadh dalam mensyarah hadits "ubadah:

أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل إلى قوله فلو طرأ عليه كفر وتغيير للشرع أو بدعة خرج عن حكم الولاية وسقطت طاعته ووجب على المسلمين القيام عليه وخلعه ونصب إمام عادل إن أمكنهم ذلك

Artinya: "Para ulama telah ijma' bahwa kepemimpinan (imamah) tidak sah bagi orang kafir. Begitupun, kalau muncul kekufuran pada dirinya maka dia dilengserkan karena ucapannya. Dan seandainya muncul kekufuran dan pengubahan syara' atau bid'ah, maka dia keluar dari hukum kekuasaan dan gugur ketaatan padanya. Dan wajib atas kaum muslimin memberontak kepadanya dan melengserkannya, serta mengangkat pemimpin yang adil jika hal tersebut bisa dilakukan." (Al-Minhaaj: 12/29)

mohon tanggapannya ustadz
jazakallahu khair

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Pemimpin yang gugur kewajiban taat kepadanya adalah pemimpin yang telah kafir atau tidak lagi menegakkan shalat. Itu yang ada dalam nash beserta penjelasna para ulama.

Meninggalkan jihad itu adalah kefasiqan dan dosa, akan tetapi ia sama sekali bukan merupakan sebab kekafiran seseorang berdasarkan ijma'.

Tentang sabda Nabi :

لو استعمل عليكم عبد يقودكم بكتاب الله، فاسمعوا له وأطيعوا

“Seandainya yang memerintah kalian seorang budak Habsyi berdasarkan Kitabullah, maka dengar dan taatilah” [HR. Muslim no. 1838].

Para ulama menjelaskan bahwa maksudnya adalah selama ia berpegang pada Islam dan mengajak pada Kitabullah, maka kita mesti taat [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawiy]. Sebagian ulama lain menjelaskan bahwa sabda beliau tersebut merupakan isyarat tidak ada ketaatan terhadap apa saja yang menyelisihi syari'at/hukum Allah ta'ala [Hasyiyah As-Sindiy].

Intinya, hadits itu bicara masalah ketaatan pada hal yang ma'ruf. Ini sesuai dengan sabda nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam yang lain :

على المرء المسلم السَّمعُ والطاعَةُ فيما أحَبَّ أو كَرِهَ ، إِلا أَنْ يُؤمَرَ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِن أُمِرَ بِمعصيةٍ، فلا سَمْعَ ، ولا طَاعَةَ

“Wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada pemimpin) dalam urusan yang dia suka atau benci, kecuali jika dia diperintah untuk melakukan maksiat maka jika dia disuruh melakukan maksiat, maka tidak wajib dengar dan tidak wajib taat".

Adapun batas minimal ketaatan tetaplah pada batas kekufuran yang ada pada pemimpin tersebut atau ia meninggalkan shalat :


خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kamu adalah dimana kamu mencintainya dan mereka mencintaimu. Kamu mendoakannya dan mereka pun mendoakanmu. Adapun sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu membencinya dan mereka pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun melaknatmu”. Dikatakan : Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja dengan pedang ?”. Beliau menjawab : “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu benci, maka bencilah perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan”

عَن عبَادَةَ ابن الصَامت – رَضيَ الله عَنه -، قَالَ : دَعَانَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَبَايَعنَاه فَكَانَ فيمَا أَخَذَ عَلَينَا أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان

Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiat kepada beliau. Adapun bai’at kami terhadap beliau adalah untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang dan benci; dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang jelas/nyata berdasarkan keterangan dari Allah” [HR. Al-Bukhari no. 7005 dan Muslim no. 1709]

NB : Apabila dikatakan menegakkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai syarat seseorang disebut waliyyul-amri yang mewajibkan ketaatan kepadanya, pertanyaannya, apa ukurannya ?. Apakah menegakkan semua hukum yang ada di dalamanya ?. Kalau ini yang dimaksud, maka tidak ada yang namanya pemimpin yang wajib ditaati setelah era Al-Khulafaaur-Raasyidiin, karena seiring perjalanan waktu, beberapa hukum Islam 'digugurkan' pelaksanaannya yang kadarnya sesuai dengan keshalihan atau kefajiran si pemimpin.

Anonim mengatakan...

Ustad, apakah batasan tersebut di atas salah satunya adalah menegakkan sholat? Bagaimana penjelasannya menegakan sholat tsb? apakah sama dgn hanya melaksanakan sholat? Apakah jika hanya melaksanakan sholat sudah bisa dianggap masih menegakkan sholat?