Dua Belas Orang Munafik


Al-Imaam Muslim rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ بْنُ الْحَجَّاجِ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِى نَضْرَةَ عَنْ قَيْسٍ قَالَ قُلْتُ لِعَمَّارٍ أَرَأَيْتُمْ صَنِيعَكُمْ هَذَا الَّذِى صَنَعْتُمْ فِى أَمْرِ عَلِىٍّ أَرَأْيًا رَأَيْتُمُوهُ أَوْ شَيْئًا عَهِدَهُ إِلَيْكُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ مَا عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَيْئًا لَمْ يَعْهَدْهُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً وَلَكِنْ حُذَيْفَةُ أَخْبَرَنِى عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « فِى أَصْحَابِى اثْنَا عَشَرَ مُنَافِقًا فِيهِمْ ثَمَانِيَةٌ لاَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِى سَمِّ الْخِيَاطِ ثَمَانِيَةٌ مِنْهُمْ تَكْفِيكَهُمُ الدُّبَيْلَةُ وَأَرْبَعَةٌ ». لَمْ أَحْفَظْ مَا قَالَ شُعْبَةُ فِيهِمْ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Aamir : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah bin Al-Hajjaaj, dari Qataadah, dari Abu Nadlrah, dari Qais, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Ammaar : “Bagaimana pendapat kalian tentang peperangan ‘Aliy ini ? Atau, adakah sesuatu yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pesankan kepada kalian ?”. Ia menjawab :  “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam tidak pernah memberikan pesan kepada kami yang tidak beliau pesankan kepada manusia. Akan tetapi Hudzaifah telah mengkhabarkan kepadaku, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Di kalangan shahabatku, ada duabelas orang munafik yang delapan orang di antaranya tidak masuk surga hingga onta dapat masuk ke lubang jarum dimana mereka (delapan orang tersebut) akan tertimpa dubailah”. (Perawi berkata) : “Adapun yang empat orang, aku tidak hapal apa yang Syu’bah katakan tentang mereka” [Shahih Muslim no. 2779 (9)].
Orang Syi’ah menggunakan riwayat ini untuk menjustifikasi bahwa di kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada dua belas orang munafik.
Melalui artikel ini – dengan pertolongan Allah – akan kami tunjukkan kepada Pembaca budiman tentang kebodohan Syi’ah terhadap hakekat permasalahan ini.
1.      Kata ‘shahabat’ dalam nash, ada beberapa macam makna. Di antaranya : Pertama, ia dimaksudkan untuk arti shahabat dalam perkumpulan secara fisik. Makna pertama ini adalah makna secara ashl dalam bahasa. Dalil yang menunjukkan hal ini antara lain firman Allah ta’ala :
أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا مَا بِصَاحِبِهِمْ مِنْ جِنَّةٍ إِنْ هُوَ إِلا نَذِيرٌ مُبِينٌ
“Apakah (mereka lalai) dan tidak memikirkan bahwa shahabat mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila. Dia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pemberi penjelasan” [QS. Al-A’raaf : 184].
Yaitu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah shahabat dan (termasuk di antara) keluarga mereka (kaum Quraisy) yang tidak mempunyai penyakit gila.
وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالا وَأَعَزُّ نَفَرًا
Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada shahabatnya (yang mukmin) ketika ia bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat" [QS. Al-Kahfi : 34].
قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلا
Shahabatnya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? [QS. Al-Kahfi : 37].
Kedua, ia dimaksudkan untuk arti orang yang mengikuti satu jalan tertentu atau yang semisalnya. Makna kedua ini didasarkan oleh firman Allah ta’ala :
فَإِنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذَنُوبًا مِثْلَ ذَنُوبِ أَصْحَابِهِمْ فَلا يَسْتَعْجِلُونِ
“Maka sesungguhnya untuk orang-orang lalim ada bahagian (siksa) seperti bahagian shahabat-shahabat mereka (dahulu); maka janganlah mereka meminta kepada-Ku menyegerakannya” [QS. Adz-Dzaariyaat : 59].
Dalam Al-Mu’jamul-Wasiith disebutkan :
ويطلق على من اعتنق مذهبا أو رأيا فيقال أصحاب أبي حنيفة وأصحاب الشافعي
“Dan dimutlakkan terhadap siapa saja yang menetapi suatu madzhab atau pendapat. Maka dikatakan ashhaab Abi Haniifah dan ashaab Asy-Syaafi’iy” [1/507].
2.      Hadits di atas disebutkan dengan lafadh : fii ashhaabiy, dan ini merupakan lafadh yang dibawakan Aswaad bin ‘Aamir (dari Syu’bah). Dalam lafadh lain disebut : fii ummatii (di kalangan umatku), yang dibawakan oleh Hajjaaj bin Muhammad (tsiqah tsabat) dan Muhammad bin Ja’far (tsiqah).
Lafadh kedua lebih kuat, namun bisa dijamak karena pengertian keduanya tidaklah bertentangan. Oleh karena itu, lafadh ‘shahabat’ dalam hadits di atas bukan dalam pengertian isthilahiy sebagaimana dijelaskan para ulama, namun merujuk makna perkumpulan fisik secara umum sebagaimana dijelaskan pada nomor 1.
Yang menunjukkan hal ini adalah riwayat :
حَدَّثَنَا عَلِيٌّ ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، قَالَ عَمْرٌو : سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : كُنَّا فِي غَزَاةٍ ، قَالَ سُفْيَانُ : مَرَّةً فِي جَيْشٍ ، فَكَسَعَ رَجُلٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ ، فَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ : يَا لَلْأَنْصَارِ ، وَقَالَ الْمُهَاجِرِيُّ : يَا لَلْمُهَاجِرِينَ ، فَسَمِعَ ذَاكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : " مَا بَالُ دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ " ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَسَعَ رَجُلٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ ، فَقَالَ : " دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ " ، فَسَمِعَ بِذَلِكَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ، فَقَالَ : فَعَلُوهَا أَمَا وَاللَّهِ لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ ، فَبَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَامَ عُمَرُ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " دَعْهُ لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أَنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ".
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan : Telah berkata ‘Amru : Aku mendengar Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa berkata : Kami pernah berada dalam satu peperangan – Sufyaan berkata : dalam perkumpulan pasukan - , lalu tiba-tiba ada seorang laki-laki dari kalangan Muhaajiriin mendorong seseorang dari kalangan Anshaar. Lalu orang Anshaar itu berkata : “Wahai orang-orang Anshaar !”. Dan orang Muhaajirin itu juga berkata : “Wahai orang-orang Muhaajiriin !”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun mendengar hal tersebut, lalu bersabda : “Ada apa dengan seruan-seruan Jaahiliyyah ini ?!”. Mereka berkata : “Wahai Rasulullah, seorang laki-laki dari kalangan Muhaajiriin mendorong seseorang dari kalangan Anshaar”. Beliau bersabda : “Tinggalkanlah hal itu, karena ia sesuatu yang busuk”. Lalu ‘Abdullah bin Ubay mendengarnya dan berkata : “Lakukanlah, demi Allah, seandainya kita kembali ke Madinah, niscaya orang-orang mulia akan mengusir orang-orang hina”. Sampailah perkataannya itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu berdirilah ‘Umar dan berkata : “Wahai Rasulullah, biarkan aku menebas leher orang munafik itu !”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Biarkanlah ia, sehingga orang-orang tidak mengatakan bahwa Muhammad telah membunuh shahabatnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4905].
Padahal, kaum muslimin sepakat bahwa ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul bukan termasuk dalam definisi shahabat secara ishthilah, karena ia seorang munafik yang jelas kemunafikannya. Beliau menyebut ‘shahabat’ yang dinisbatkan kepada Ibnu Saluul, karena itulah yang dipahami secara bahasa oleh orang ‘Arab.
Kaum munafik yang hidup di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah masyhur diketahui, siapakah mereka ini. Orang munafik bukan shahabat[1], dan shahabat bukanlah orang munafik.
Allah ta’ala berfirman :
مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّى يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar” [QS. Aali ‘Imraan : 179].
Membawa makna ‘shahabat’ dalam hadits di atas pada makna ishthilahiy adalah musykil, sebab tidak mungkin seorang munafik dikatakan beliau :
لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas sebesar bukit Uhud, tidak akan ada yang menyamai satu timbangan (pahala) seorangpun dari mereka, juga tidak akan sampai setengahnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3673, Muslim no. 2541, Ahmad 3/11, Abu Dawud no. 4658, At-Tirmidziy no. 3860, Abu Ya’laa no. 1171 & 1198, dan yang lainnya].
3.      Dalam Lisaanul-‘Arab, ad-dubailah didefinisikan sebagai :
خراج ودمل كبير تظهر في الجوف فتقتل صاحبها غالبا
“Bisul besar yang nampak/muncul pada perut yang umumnya menyebabkan kematian bagi orang yang terkena” [lihat : sini].
Dalam lafadh lain hadits yang dibawakan Muslim disebutkan :
سراج من النار يظهر في أكتافهم. حتى ينجم من صدورهم
“(Dubailah adalah) pijaran api yang menyengat bagian belakang pundak hingga tembus ke dada mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2779 (10)].
Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, Az-Zubair, ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf, Thalhah, Mu’aawiyyah, ‘Aaisyah, Abu Muusaa Al-Asy’ariy, dan yang lainnya tidak ada yang meninggal karena penyakit dubailah. Begitu juga dengan shahabat-shahabat besar lain yang ma’ruf status kebershahabatannya dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Seandainya benar ada di antara shahabat ada yang munafik, maka Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum lah yang layak pertama kali terkena dubailah sebagai tanda hukuman bagi gembong munafik ! – karena mereka adalah gembong kemunafikan, kedustaan, dan bahkan kekafiran di mata orang Syi’ah.
Allah ta’ala berfirman :
لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلا قَلِيلا * مَلْعُونِينَ أَيْنَمَا ثُقِفُوا أُخِذُوا وَقُتِّلُوا تَقْتِيلا
“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang- orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya” [QS. At-Taubah : 60-61].
4.      Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : {فِيهِمْ ثَمَانِيَةٌ لاَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِى سَمِّ الْخِيَاطِ} ‘delapan orang di antaranya tidak masuk surga hingga onta dapat masuk ke lubang jarum’; maka mafhum mukhalafah-nya adalah : empat orang sisanya masuk surga[2] – dimana hal ini menunjukkan adanya taubat.
Kemudian, perhatikan riwayat berikut :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ وَهْبٍ ، قَالَ : كُنَّا عِنْدَ حُذَيْفَةَ ، فَقَالَ : " مَا بَقِيَ مِنْ أَصْحَابِ هَذِهِ الْآيَةِ إِلَّا ثَلَاثَةٌ ، وَلَا مِنَ الْمُنَافِقِينَ إِلَّا أَرْبَعَةٌ ، فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ : إِنَّكُمْ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُخْبِرُونَا فَلَا نَدْرِي ، فَمَا بَالُ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَبْقُرُونَ بُيُوتَنَا ، وَيَسْرِقُونَ أَعْلَاقَنَا ، قَالَ أُولَئِكَ الْفُسَّاقُ ، أَجَلْ لَمْ يَبْقَ مِنْهُمْ إِلَّا أَرْبَعَةٌ ، أَحَدُهُمْ شَيْخٌ كَبِيرٌ ، لَوْ شَرِبَ الْمَاءَ الْبَارِدَ لَمَا وَجَدَ بَرْدَهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Wahb, ia berkata : Kami pernah berada di sisi Hudzaifah, lalu ia berkata : “Tidaklah tersisa orang yang dimaksud dalam ayat ini (yaitu QS. At-Taubah : 12) kecuali tiga orang, dan tidak pula tersisa orang-orang munaafik kecuali hanya empat orang saja”. Seorang A’rabiy berkata : “Sesungguhnya kalian adalah shahabat-shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kalian mengkhabarkan kepada kami, lalu kami tidak mengetahuinya. Lantas, bagaimana dengan mereka yang telah merusak rumah-rumah kami dan mencuri perhiasan-perhiasan kami ?”. Hudzaifah menjawab : “Mereka itu orang-orang fasik. Ya, tidaklah tersisa dari mereka (kaum munafik) kecuali empat orang, yang salah seorang dari mereka adalah seorang yang telah tua. Seandainya ia meminum air yang dingin, tentu ia tidak akan mendapati rasa dingin air itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4658].
Hudzaifah bin Al-Yamaan wafat tahun 36 H; sedangkan perang Jamal terjadi tahun 36 H dan perang Shiffiin terjadi tahun 37 H. Maka, empat orang munafiqiin tersisa yang disebutkan Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu yang hidup di jaman konflik ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu, masuk dalam konsekuensi mafhum mukhaalafah yang disebutkan sebelumnya.
Anyway, pendalilan orang Syi’ah dengan hadits di atas adalah pendalilan kosong tanpa faedah yang berasal dari orang yang patut diduga punya penyakit kronis kenifakan dalam hatinya....
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciapus, ciomas bogor, pertengahan bulan Ramadlaan 1432 H].


[1]      Dalam pengertian ishthilahiy.
[2]      Karena kedudukan seseorang di akhirat hanyalah dua pilihan : surga dan neraka.
Pemahaman kalimat ini seperti ketika dinyatakan :
Jumlah murid dalam kelas ada 50 orang, dan 5 orang di antaranya tidak naik kelas.
Maka mafhum mukhalafah-nya, 45 orang sisanya naik kelas.

Comments

Abu Yahya Mujahid mengatakan...

jazakallohu khoir... ditunggu terus artikel terbarunya