Orang-orang Syi’ah sangat gemar menuduh, mencaci, dan memfasiqkan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu. Kata mereka, ‘Umar adalah orang yang besar perannya dalam mengacak-acak syari’at. Menetapkan apa yang tidak disyari’atkan Nabi, dan menghapus apa yang justru disyari’atan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Saya tidak akan membahas sanggahan terhadap perkataan mereka. Di sini, saya akan memakai logika yang mereka pakai terhadap ‘Umar, untuk diterapkan kepada sang imam ma’shum, ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
وحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ ، وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ ، قَالُوا : حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَهُوَ ابْنُ عُلَيَّةَ ، عَنْ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ ، عَنْعَبْدِ اللَّهِ الدَّانَاجِ . ح وحَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ ، أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُخْتَارِ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ فَيْرُوزَمَوْلَى ابْنِ عَامِرٍ الدَّانَاجِ ، حَدَّثَنَا حُضَيْنُ بْنُ الْمُنْذِرِ أَبُو سَاسَانَ قَالَ : "شَهِدْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَأُتِيَ بِالْوَلِيدِ قَدْ صَلَّى الصُّبْحَ رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ قَالَ : أَزِيدُكُمْ فَشَهِدَ عَلَيْهِ رَجُلَانِ أَحَدُهُمَا حُمْرَانُ أَنَّهُ شَرِبَ الْخَمْرَ وَشَهِدَ آخَرُ أَنَّهُ رَآهُ يَتَقَيَّأُ ، فَقَالَ عُثْمَانُ : إِنَّهُ لَمْ يَتَقَيَّأْ حَتَّى شَرِبَهَا ، فَقَالَ : يَا عَلِيُّ قُمْ فَاجْلِدْهُ ، فَقَالَعَلِيٌّ : قُمْ يَا حَسَنُ فَاجْلِدْهُ ، فَقَالَ الْحَسَنُ : وَلِّ حَارَّهَا مَنْ تَوَلَّى قَارَّهَا فَكَأَنَّهُ وَجَدَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ : قُمْ فَاجْلِدْهُ ، فَجَلَدَهُ وَعَلِيٌّ يَعُدُّ حَتَّى بَلَغَ أَرْبَعِينَ ، فَقَالَ : أَمْسِكْ ثُمَّ ، قَالَ : جَلَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ ، وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ ، وَعُمَرُ ثَمَانِينَ وَكُلٌّ سُنَّةٌ وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ "
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan ‘Aliy bin Hujr, mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ulayyah, dari Ibnu Abi ‘Aruubah, dari ‘Abdullah Ad-Danaaj (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim Al-Handhaliy – dan lafadh ini miliknya - : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Hammaad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Mukhtaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Fairuuz maulaa Ibni ‘Aamir Ad-Danaaj : Telah menceritakan kepada kami Hudlain bin Al-Mundzir Abu Saasaan, ia berkata : “Aku menyaksikan ‘Utsmaan bin ‘Affaan, yang waktu itu Al-Waliid dibawa ke hadapannya yang baru saja menyelesaikan shalat Shubuh dua raka’at. (Penyebabnya adalah) Al-Waliid berkata (karena mabuk) : ‘Apakah aku menambah raka’at bagi kalian ?’. Dua orang shahabat memberikan kesaksian padanya. Salah satunya adalah Humraan yang memberikan kesaksian bahwasannya ia (Al-Waliid) telah meminum khamr. Sedangkan yang lain memberikan kesaksian bahwasannya ia melihatnya muntah (karena khamr). ‘Utsmaan berkata : ‘Ia tidak akan muntah jika tidak meminumnya’. Kemudian ia berkata : ‘Wahai ‘Aliy, berdirilah dan deralah orang ini !’. Lalu ‘Aliy berkata : ‘Berdirilah wahai Hasan, dan deralah ia !’. Al-Hasan (bin ‘Aliy) berkata : ‘Suruhlah orang yang menikmati jabatan (maksudnya ‘Utsmaan – Abul-Jauzaa’) yang mengerjakannya !’. Sepertinya Al-Hasan sedang marah kepadanya. Lalu ‘Aliy berkata : ‘Wahai ‘Abdullah bin Ja’far, berdirilah dan deralah ia !’. Lalu ‘Abdulah menderanya, sedangkan ‘Aliy menghitungnya, hingga pada hitungan keempatpuluh, ia berkata : ‘Tahan !’. Lalu ia melanjutkan perkataannya : ‘Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mendera sebanyak empatpuluh kali, Abu Bakr empatpuluh kali, dan ‘Umar delapanpuluh kali. Semuanya sunnah. Namun ini (yaitu deraan empatpuluh kali) lebih aku sukai” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1707].[1]
Beberapa hal yang kita dapatkan dari riwayat di atas :
1. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu memberikan hukuman hadd pencuri khamr sebanyak 40 kali deraan.
2. ‘Umar bin Al-Khaththaab memberikan had pencuri khamr sebanyak 80 kali deraan, berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (dan Abu Bakr).
3. ‘Aliy bin Abi Thaalib mengatakan apa yang dilakukan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah sunnah.
4. ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhumaa lebih senang menerapkan apa yang dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam daripada yang dilakukan ‘Umar radliyallaahu ‘ahu.
Ketika imam ma’shum mengatakan bahwa ia lebih senang dengan apa yang dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mencambuk 40 kali, tapi ternyata ia lah yang justru memberi pertimbangan kepada ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa untuk mendera 80 kali.
عن معمر عن أيوب عن عكرمة أن عمر ابن الخطاب شاور الناس في جلد الخمر، وقال : إن الناس قد شربوها واجترّوا عليها، فقال له علي : إن السكران إذا سكر هذى، وإذا هذى افترى، فاجعله حد الفرية، فجعله عمر حد الفرية ثمانين
Dari Ma’mar, dari Ayyuub, dari ‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab bermusyawarah dengan orang-orang tentang hukuman dera peminum khamr. Ia berkata : “Sesungguhnya orang-orang telah meminum khamr dan mereka tertarik kepadanya. ‘Aliy berkata kepadanya : “Sesungguhnya orang yang mabuk apabila ia mabuk akan ngomong tidak karuan. Dan apabila ia ngomong tidak karuan, ia akan berdusta. Jadikanlah ia seperti hukuman hadd bagi seorang pendusta”. Maka ‘Umar menjadikannya seperti hukuman pendusta sebanyak 80 kali deraan [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 7/378 no. 13542].
Riwayat ini lemah, karena ‘Ikrimah tidak pernah bertemu dengan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.[2]
Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud no. 4489, Ad-Daaruquthniy no. 3222-3223, Al-Baohaqiy 8/320 no. 17540-17541, dan yang lainnya; dari jalan Usaamah bin Zaid, dari Az-Zuhriy, dari ‘Abdurrahmaan bin Azhar. Dhahir riwayat ini hasan. Usaamah bin Zaid Al-Laitsiy, dikatakan shaduuq, namun mempunyai beberapa kekeliruan. Haditsnya hasan jika tidak ada perselisihan. Namun sebagian ulama men-ta’lil riwayat ini dengan sebab inqitha’ antara Az-Zuhriy dengan ‘Abdurrahmaan, sebagaimana dikatakan Abu Haatim, Abu Zur’ah, dan Al-Mundziriy. Riwayat tahdiits Az-Zuhriy dari ‘Abdurrahmaan bin Azhar hanyalah diriwayatkan dari jalur Usaamah bin Zaid. Oleh karena itu, jumhur menguatkan keterputusan ini daripada kebersambungannya.
Diriwayatkan juga oleh Ad-Daaruquthniy no. 3321, Al-Baihaqiy 8/320, dan Al-Haakim 4/375; dari jalan Usaamah bin Zaid, dari Az-Zuhriy : Telah mengkhabarkan kepadaku Humaid bin ‘Abdirrahmaan, dari Ibnu Wabrah Al-Kalbiy, dari ‘Umar. Riwayat ini pun lemah, karena Ibnu Wabrah atau Wabrah majhuul.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah 9/545 : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Abu ‘Abdirrahmaan, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Riwayat ini lemah, karena Muhammad bin Fudlail bin Ghazwaan mendengar riwayat ‘Athaa’ setelah ikhtilaath-nya.
Diriwayatkan juga oleh Maalik 4/170-171 no. 1677, dari Tsaur bin Zaid Ad-Diiliy, dari ‘Umar. Akan tetapi riwayat ini juga terputus, karena Tsaur tidak pernah bertemu dengan ‘Umar dengan kesepakatan.
Dengan himpunan beberapa jalan dengan kelemahan yang ringan, maka riwayat tersebut kualitasnya hasan lighiairihi[3], sebagaimana dihasankan oleh Al-Albaaniy dan Al-Arna’uth. Adapun riwayat lain dalam Shahih Muslim dan yang lainnya yang menyatakan bahwa orang yang menyarankan kepada ‘Umar adalah ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf, maka itu bisa dijamak. Yaitu, bahwasannya saran yang diberikan kepada ‘Umar adalah saran mereka berdua, karena ‘Umar pada waktu itu mengajak bermusyawah para shahabatnya, di antaranya ‘Aliy dan ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf radliyallaahu ‘anhum.
Pertimbangan ‘Aliy bin Abi Thaalib kepada ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa pun ter-record dalam kitab Syi’ah dengan sedikit perbedaan lafadh :
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ يُونُسَ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ لَهُ كَيْفَ كَانَ يَجْلِدُ رَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) قَالَ فَقَالَ كَانَ يَضْرِبُ بِالنِّعَالِ وَ يَزِيدُ كُلَّمَا أُتِيَ بِالشَّارِبِ ثُمَّ لَمْ يَزَلِ النَّاسُ يَزِيدُونَ حَتَّى وَقَفَ عَلَى ثَمَانِينَ أَشَارَ بِذَلِكَ عَلِيٌّ ( عليه السلام ) عَلَى عُمَرَ فَرَضِيَ بِهَا
‘Aliy bin Ibraahiim, dari Muhammad bin ‘Iisaa, dari Yuunus, dari Abu Bashiir, dari Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam), ia berkata : Aku bertanya kepadanya : “Bagaimanakah Rasulullah (shallallaahu ‘alaihi wa aaalihi) mendera ?”. Abu ‘Abdillah menjawab : “Beliau mendera dengan sandal dan menambahnya apabila didatangkan peminum khamr. Kemudian orang-orang senantiasa menambahnya hingga berhenti pada 80 kali deraan. ‘Aliy mengisyaratkan/menyarankan hal itu kepada ‘Umar (saat ia menjadi khalifah), dan ia pun meridlainya” [Diriwayatkan oleh Al-Kulainiy dalam Al-Kaafiy, 7/214; Al-Majlisiy (23/329) berkata : “Shahih”].
Dan sebagai tambahan[4], berikut dua riwayat dalam kitab Syi’ah yang menunjukkan madzhab ‘Aliy dan Ahlul-Bait yang menghukum peminum khamr 80 kali dera.
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ حَمَّادِ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ مُعَاوِيَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَقُولُ إِنَّ فِي كِتَابِ عَلِيٍّ ( عليه السلام ) يُضْرَبُ شَارِبُ الْخَمْرِ ثَمَانِينَ وَ شَارِبُ النَّبِيذِ ثَمَانِينَ
‘Aliy bin Ibraahiim, dai ayahnya, dari Abu ‘Umair, dari Hammaad bin ‘Utsmaan, dari Yaziid bin Mu’aawyyah, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) berkata : “Sesungguhnya dalam kitab ‘Aliy (‘alaihis-salaam) tertulis : peminum khamr didera sebanyak 80 kali, dan peminum nabiidz juga didera sebanyak 80 kali” [Diriwayatkan oleh Al-Kulainiy dalam Al-Kaafiy, 7/214; Al-Majlisiy (23/329) berkata : “Hasan”].
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ وَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ جَمِيعاً عَنِ ابْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَمَّارٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) عَنْ رَجُلٍ شَرِبَ حُسْوَةَ خَمْرٍ قَالَ يُجْلَدُ ثَمَانِينَ جَلْدَةً قَلِيلُهَا وَ كَثِيرُهَا حَرَامٌ
‘Aliy bin Ibraahiim, dari ayahnya; dan Muhammad bin Yahyaa, dari Ahmad bin Muhammad, semuanya dari Ibnu Mahbuun, dari Ishaaq bin ‘Ammaar, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) tentang seorang laki-laki yang meminum huswah (sejenis minuman keras), maka ia berkata : “Ia didera sebanak 80 kali deraan. Sedikit atau banyaknya, minuman tersebut haram” [Diriwayatkan oleh Al-Kulainiy dalam Al-Kaafiy, 7/214; Al-Majlisiy (23/329) berkata : “Muwatstsaq”].
Masih banyak yang lain yang tersimpan dalam Baab : Maa Yajibu fii Hadd fisy-Syaraab, ada 16 riwayat. Di situ diterangkan bagaimana madzhab ‘Aliy dan Ahlul-Bait yang menegakkan hadd bagi peminum khamr sebanyak 80 kali deraan.
Jika orang Syi’ah menganggap shalat tarawih berjama’ah dan penafikkan mut’ah merupakan bid’ah yang dibuat-buat oleh ‘Umar, maka dengan logika yang sama, keputusan ‘Umar untuk mendera orang yang minum khamr pun juga merupakan bid’ah yang dibuat-buat. Alasannya sama, karena itu bukan merupakan perkara yang dilakukan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam.
Namun mengapa imam ma’shum ‘Aliy bin Abi Thaalib malah menganggapnya sunnah ?.
Apa dasar yang digunakan imam ma’shum ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu untuk mengatakannya sunnah – padahal dia tahu apa yang dilakukan ‘Umar itu ‘menyelisihi’ apa yang dilakukan Nabi ?.
Jika hukumn hadd 40 kali itu lebih dicintai ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyalaahu ‘anhu, mengapa imam ma’shum ini di kemudian hari justru tidak mengamalkan apa yang menjadi sunnah Nabi ?.
Apa kaedah konsisten yang dipakai Syi’ah Raafidlah untuk menetapkan bahwa ini sunnah ini bid’ah antara yang dilakukan ‘Umar dan ‘Aliy radliyllaahu ‘anhumaa ?. Di satu sisi mencela ‘Umar, namun di sisi lain pura-pura bodoh dengan apa yang dilakukan ‘Aliy radliyalaahu ‘anhumaa ?.
Kita selamanya tidak akan mendapatkan jawaban memuaskan dari para penganut sekte yang berdiri berdasarkan sentimen madzhab ini. Kecuali silat lidah tak karuan arahnya, yang ujung-ujungnya : Imam mesti ma’shum, ‘musuh’ Imam (baca : Ahlus-Sunnah) mesti keliru.
Kembali ke awal judul : Jika ‘Umar dianggap sebagai pengacak-acak syari’at lagi pembuat bid’ah, maka konsekuensinya Syi’ah Raafidlah pun harus mengatakan dalam hal ini :
“’Aliy mencintai bid’ah, mendorong (orang lain) berbuat bid’ah, dan sekaligus berbuat bid’ah. Sama dengan ‘Umar, ‘Aliy adalah tokoh pengacak-acak syari’at”.
Kok bisa begitu ? Silakan refresh bacaan di atas. Baca pula artikel : Imam Ahlul-Bait Taqlid pada 'Bid'ah' 'Umar bin Al-Khaththaab.
Wallahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – akhir sya’ban 1432 H – ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 16610].
Ada riwayat dari kitab Syi’ah yang mirip (saya tidak mengatakan sama) dengan riwayat di atas :
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنِ ابْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَقُولُ أُقِيمَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَأَمَرَ بِهِ عُمَرُ أَنْ يُضْرَبَ فَلَمْ يَتَقَدَّمْ عَلَيْهِ أَحَدٌ يَضْرِبُهُ حَتَّى قَامَ عَلِيٌّ ( عليه السلام ) بِنِسْعَةٍ مَثْنِيَّةٍ فَضَرَبَهُ بِهَا أَرْبَعِينَ
Muhammad bin Yahyaa, dari Ahmad bin Muhammad, dari Ibnu Fadldlaal, dari Ibnu Bukair, dari Zuraarah, ia berkata : Aku mendengar Abu Ja’far (‘alaihis-salaam) berkata : “’Ubaidullah bin ‘Umar diberdirikan (untuk dihukum) karena ia telah meminum khamr. Lalu ‘Umar memerintahkan agar ia didera, namun tidak ada seorangpun yang berdiri untuk menderanya, hingga ‘Aliy (‘alaihis-salaam) berdiri dengan lengan baju yang terlipat, lalu menderanya sebanyak 40 kali” [Diriwayatkan oleh Al-Kulainiy dalam Al-Kaafiy, 7/214; Al-Majlisiy (23/330) berkata : “Muwatstsaq seperti shahih”].
[2] Ada riwayat Syi’ah yang semisal dengan ini :
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ يُونُسَ عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) قَالَ قَالَ إِنَّ عَلِيّاً ( عليه السلام ) كَانَ يَقُولُ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا شَرِبَ الْخَمْرَ سَكِرَ وَ إِذَا سَكِرَ هَذَى وَ إِذَا هَذَى افْتَرَى فَاجْلِدُوهُ حَدَّ الْمُفْتَرِي
‘Aliy bin Ibraahiim, dari Muhammad bin ‘Iisaa, dari Yuunus, dari Zuraarah, dari Abu Ja’far (‘alaihis-salaam), ia berkata : Sesungguhnya ‘Aliy (‘alaihis-salaam) pernah berkata : “Sesungguhnya seseorang apabila minum khamr akan mabuk. Jika ia mabuk, maka akan ngomong tidak karuan. Dan jika ia ngomong tidak karuan, ia akan berdusta. Maka deralah ia dengan hadd seorang pendusta (yaitu 80 kali deraan)” [Diriwayatkan oleh Al-Kulainiy dalam Al-Kaafiy, 7/214; Al-Majlisiy (23/331) berkata : “Muwatstsaq”].
[3] Salah website Syi’ah yang ‘sok kritis’ terhadap riwayat-riwayat Ahlus-Sunnah pun menggunakan hadits ini sebagai hujjah dalam jawaban mereka [http://www.aqaed.org/faq/5757/].
[4] Ada satu riwayat dalam kitab Ahlus-Sunnah yang saya temukan tentang perbuatan ‘Aliy menghukum dera peminum khamr :
عبد الرزاق عن الثوري عن عطاء عن أبيه أن عليا ضرب النجاشي الشاعر، شرب الخمر في رمضان، فضربه ثمانين، ثم حبس، فأخرجه الغد فضربه عشرين، ثم قال له : إنما جلدتك هذه العشرين لجرأتك على الله، وإفطارك في رمضان
‘Abdurazzaaq, dari Ats-Tsauriy, dari ‘Athaa’, dari ayahnya : Bahwasannya ‘Aliy pernah mendera seorang penyair Najaasyiy karena meminum khamr di bulan Ramadlaan. Ia menderanya sebanyak 80 kali, kemudian memenjarakannya. Lalu ia (‘Aliy) mengeluarkan orang itu keesokan harinya dan menderanya kembali sebanyak 20 kali. Kemudian ia berkata kepadanya : “Aku hanyalah menderamu sebanyak 20 kali ini karena kelancanganmu terhadap (larangan) Allah dan karena berbukamu di bulan Ramadlaan” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurazzaaq, 7/382].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah 10/35 dan Al-Baihaqiy 8/321 dari ‘Athaa’ bin Abi Marwaan, selanjutnya sama seperti riwayat di atas.
‘Athaa’, ia Ibnu Abi Marwaan, seorang yang tsiqah. Ayahnya, Abu Marwaan, diperselisihkan status kebershahabatannya. Adz-Dzahabiy mengatakannya tsiqah, dimana penghukumannya ini menunjukkan pentarjihannya bahwa ia bukan termasuk shahabat. Jika benar ia shahabat, maka tidak diragukan bahwa riwayat ini shahih. Namun jika bukan, ia seorang yang majhul haal. Wallaahu a’lam.
Dalam kitab-kitab Syi’ah pun disebutkan bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu mendera An-Naajasyiy Asy-Syaa’ir (penyair Najaasyiy) 80 kali deraan, misalnya :
Comments
Saya jadi ingat, waktu saya masuk kuliah dan menjalani ospek, senior yg mengospek itu (mengklaim) sudah pasti benar dan tidak boleh keliru. Nah pasal2nya pun bisa diterapkan pada aqidahnya syiah :
1. Imam ma'shum tidak boleh keliru
2. Ahlussunnah sudah pasti keliru
3. Jika Imam ma'shum keliru kembali ke pasal 1.
Hehehehe...
Inkonsisten dalam inkonsisten.
Posting Komentar