Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang mendapati imam yang sedang rukuk, kemudian ia masuk bergabung bersamanya dalam rukuk tersebut; apakah ia terhitung mendapat satu raka’at ataukah tidak. Ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah terhitung baginya satu raka’at apabila ia mendapati rukuknya imam. Ini adalah perkataan jumhur ulama dulu dan sekarang. Adapun pendapat yang lain mengatakan tidak terhitung satu raka’at. Yang raajih dalam hal ini adalah pendapat jumhur (pendapat pertama). Pendapat ini dilandasi oleh beberapa dalil, di antaranya :
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ الْأَعْلَمِ وَهُوَ زِيَادٌ، عَنْ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، أَنَّهُ انْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ رَاكِعٌ، فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ "
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Al-A’lam, yaitu Ziyaad, dari Al-Hasan, dari Abu Bakrah : Bahwasannya ia datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang waktu itu beliau dalam keadaan rukuk. Maka Abu Bakrah rukuk sebelum sampai pada shaff. Disebutkanlah hal itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Semoga Allah menambahkan semangatmu, akan tetapi jangan engkau ulangi” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 783].
Para ulama berselisih pendapat tentang makna sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Semoga Allah menambah semangatmu, namun jangan engkau ulangi’.
Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan bahwa sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah berkaitan dengan keterlambatannya mendatangi shalat berjama’ah.
Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan berkaitan dengan perbuatan Abu Bakrah radliyallaahu ‘anhu yang melakukan rukuk di luar shaff. Ini seperti makna hadits :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، قَالَ: حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ الْمُعْتَمِرِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَقَالَ: " مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَنَسَكَ نُسْكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَتِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ، فَقَامَ أَبُو بُرْدَةَ بْنُ نِيَارٍ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ لَقَدْ نَسَكْتُ قَبْلَ أَنْ أَخْرُجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ فَتَعَجَّلْتُ وَأَكَلْتُ وَأَطْعَمْتُ أَهْلِي وَجِيرَانِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ، قَالَ: فَإِنَّ عِنْدِي عَنَاقَ جَذَعَةٍ هِيَ خَيْرٌ مِنْ شَاتَيْ لَحْمٍ فَهَلْ تَجْزِي عَنِّي، قَالَ: نَعَمْ، وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Manshuur bin Al-Mu’tamir, dari Asy-Sya’biy, dari Al-Barraa’ bin ‘Aazib, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah kepada kami pada hari An-Nahr (‘Iedul-Adlhaa) setelah shalat. Beliau bersabda : “Barangsiapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih hewan qurban seperti kami, maka telah benar qurbannya. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat maka itu adalah daging sembelihan biasa (bukan kurban)”. Abu Burdah berdiri dan berkata : “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah menyembelih sebelum aku keluar melaksanakan shalat. Dan aku mengetahui bahwa hari ini adalah hari makan dan minum, lalu aku segerakan penyembelihannya, kemudian aku memakannya dan aku berikan pula kepada keluarga dan para tetanggaku”. Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Itu hanyalah kambing yang dinikmati dagingnya saja (bukan kambing kurban)”. Abu Burdah berkata : “Namun aku masih memiliki anak kambing jadza’ah yang lebih baik dari dua kambing yang telah aku sembelih itu. Apakah diperbolehkan bagiku menyembelihnya ?”. Beliau menjawab : “Ya. Akan tetapi tidak boleh untuk seorangpun setelah kamu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 983].
Maksudnya, hanya boleh bagi Abu Burdah pada saat itu saja, namun tidak boleh bagi orang lain setelahnya, karena jadza’ah tidak mencukupi dipakai sebagai hewan kurban. Atau dikaitkan dengan bahasan, bahwasannya perbuatan Abu Bakrah yang rukuk di luar shalat itu hanya sah pada waktu itu saja, namun tidak di waktu yang lain.
Ulama lain mengatakan perkataan beliau tersebut terkait dengan ketergesa-gesaannya saat mendatangi shalat berjama’ah. Makna ini ditunjukkan oleh hadits Abu Bakrah dalam lafadh yang lain :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا بَشَّارٌ الْخَيَّاطُ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ الْعَزِيزِ بْنَ أَبِي بَكْرَةَ يُحَدِّثُ، أَنَّ أَبَا بَكْرَةَ جَاءَ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاكِعٌ، فَسَمِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَوْتَ نَعْلِ أَبِي بَكْرَةَ وَهُوَ يَحْضُرُ يُرِيدُ أَنْ يُدْرِكَ الرَّكْعَةَ، فَلَمَّا انْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ السَّاعِي؟ " قَالَ أَبُو بَكْرَةَ: أَنَا، قَالَ: " زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush-Shamad : Telah menceritakan kepada kami Basysyaar Al-Khayyaath, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdul-‘Aziiz bin Abi Bakrah menceritakan hadits : Bahwasannya Abu Bakrah mendatangi (shalat) dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang rukuk. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar suara sandal Abu Bakrah ketika ia hendak mendapatkan raka’at shalat. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau bersabda : “Siapa yang berlarian tadi ?.” Abu Bakrah menjawab : “Aku”. Beliau bersabda : “Semoga Allah menambahkan semangatmu, akan tetapi jangan engkau ulangi” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/42].
Sanad hadits ini dla’iif, karena Basyaar Al-Khayyaath, perawi yang dla’iif. Akan tetapi ia dikuatkan oleh riwayat :
حَدَّثَنَا بَكَّارُ بْنُ قُتَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ الضَّرِيرُ، أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، أَنَّ زِيَادَ الأَعْلَمَ، أَخْبَرَهُمْ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: جِئْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاكِعًا، وَقَدْ حَفَزَنِي النَّفَسُ، فَرَكَعْتُ دُونَ الصَّفِّ، ثُمَّ مَشَيْتُ إِلَى الصَّفِّ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاةَ، قَالَ: " أَيُّكُمُ الَّذِي رَكَعَ دُونَ الصَّفِّ؟ " قَالَ أَبُو بَكْرَةَ: قُلْتُ: أَنَا. قَالَ: " زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا، وَلا تَعُدْ ".
وَحَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ الْحَكَمِ الْحِبَرِيُّ، حَدَّثَنَا عَفَّانُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، ثُمَّ ذَكَرَ بِإِسْنَادِهِ مِثْلَهُ.
Telah menceritakan kepada kami Bakkaar bin Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Umar Adl-Dlariir : Telah memberitakan kepada kami Hammaad bin Salamah, bahwasannya Ziyaad Al-A’lam telah mengkhabari mereka, dari Al-Hasan, dari Abu bakrah, ia berkata : “Aku datang dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada waktu sedang rukuk. Dengan napas terengah-engah, aku pun rukuk di luar shaff dan kemudian berjalan menuju shaff. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau bersabda : “Siapakah di antara kalian yang melakukan rukuk di luar shaff ?”. Abu Bakrah berkata : “Aku”. Beliau bersabda : “Semoga Allah menambah semangatmu, namun jangan engkau ulangi”.
Dan telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Al-Hakam Al-Jabbariy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan bin Muslim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, kemudian ia menyebutkan dengan sanadnya riwayat semisalnya [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 14/203-204 no. 5575; shahih].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang tergesa-gesa ketika mendatangi shalat berjama’ah.
حَدَّثَنَا آدَمُ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، قَالَ حدثنا الزُّهْرِيُّ، عَنْ سَعِيدٍ، وأبي سلمة عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وحَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا "
Telah menceritakan kepada kami Aadam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b, ia berkata : telah menceritakan kepada kami Az-Zuhriy, dari Sa’iid dan Abu Salamah, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan : Bahwasannya Abu Hurairah berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila shalat telah didirikan, janganlah kalian mendatanginya sambil berlari. Datangilah dengan berjalan. Hendaklah kalian tenang. Apa yang kalian dapatkan (raka’atnya), maka shalatlah, dan apa yang kalian tertinggal (raka’atnya), maka sempurnakanlah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 908].
Seandainya Abu Bakrah tidak terhitung mendapatkan satu raka’at dalam rukuknya tersebut, niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkannya untuk mengulang atau menyempurnakan apa yang terlewat.
Di antara tiga makna ini, yang raajih adalah pendapat ketiga. Makna ini dikuatkan oleh riwayat ‘Abdullah bin Az-Zubair radliyallaahu ‘anhumaa sebagai berikut :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ، ثَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، نَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي ابْنُ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ الزُّبَيْرِ عَلَى الْمِنْبَرِ، يَقُولُ: " إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، وَالنَّاسُ رُكُوعٌ فَلْيَرْكَعْ حِينَ يَدْخُلُ، ثُمَّ يَدِبُّ رَاكِعًا حَتَّى يَدْخُلَ فِي الصَّفِّ، فَإِنَّ ذَلِكَ السُّنَّةُ ". قَالَ عَطَاءٌ: وَقَدْ رَأَيْتُهُ يَصْنَعُ ذَلِكَ، قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: وَقَدْ رَأَيْتُ عَطَاءً يَصْنَعُ ذَلِكَ.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Nashr : Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’ : Bahwasannya ia mendengar Ibnuz-Zubair berkata di atas mimbar : “Apabila salah seorang di antara kalian memasuki masjid dan orang-orang sedang rukuk, hendaklah ia rukuk ketika masuk. Kemudian berjalan perlahan dalam keadaan rukuk hingga masuk ke dalam shaff. Karena hal itu adalah sunnah”. ‘Athaa’ berkata : “Sungguh aku pernah melihatnya (Ibnuz-Zubair) melakukan hal itu”. Ibnu Juraij berkata : “Dan sungguh aku pernah melihat ‘Athaa’ melakukan hal itu” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 7016; shahih].
Hadits di atas mauquf, namun dihukumi marfu’ dengan perkataan Ibnuz-Zubair : ‘karena hal itu adalah sunnah’ (فَإِنَّ ذَلِكَ السُّنَّةُ).
Pendapat ini telah diamalkan oleh beberapa orang shahabat besar, di antaranya :
1. Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ: ثنا مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنِي بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ الأَقْمَرِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا الأَحْوَصِ، يُحَدِّثُ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: " مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوعَ فَقَدْ أَدْرَكَ "
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Musaddad, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Bisyr bin Al-Mufadldlal, dari Khaalid Al-Hadzdzaa’, dari ‘Aliy bin Al-Aqmar, ia berkata : Aku mendengar Abul-Ahwash menceritakan dari Ibnu Mas’uud, ia berkata : “Barangsiapa yang mendapati rukuk (imam) sungguh ia mendapati (raka’at tersebut)” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 2023].
Sanad riwayat di atas adalah shahih, semua perawinya tsiqaat.
Musaddad mempunyai mutaba’ah dari ‘Amru bin ‘Aliy :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ الْبُرِّيِّ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ: سَمِعْتُ بِشْرَ بْنَ الْمُفَضَّلِ، يَقُولُ: سَمِعْتُ خَالِدا الْحَذَّاءَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عَلِيَّ بْنَ الأَقْمَرِ، يَقُولُ: " مَنْ لَمْ يُدْرِكِ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ فَلا يَعْتَدَّ بِالسُّجُودِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Burriy : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aliy, ia berkata : Aku mendengar Bisyr bin Al-Mufadldlal berkata : Aku mendengar Khaalid Al-Hadzdzaa’ berkata : Aku mendengar ‘Aliy bin Al-Aqmar berkata : “Barangsiapa yang tidak mendapati rukuk dan sujud, tidak dihitung raka’at itu dengan sujud” [Diriwayatkan oleh Ramahurmuziy dalam Al-Muhaddits Al-Faashil no. 502].
Sanadnya hasan. Semua perawinya tsiqah, kecuali Muhammad bin Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Burriy[1], Al-Haakim menshahihkan sanad hadits yang ia bawakan dalam Al-Mustadrak dan sejumlah perawi tsiqah meriwayatkan darinya; sehingga kedudukannya adalah shaduuq hasanul-hadits. Wallaahu a’lam.[2]
Bisyr bin Al-Mufadldlal mempunyai mutaba’ah dari ‘Aliy bin ‘Aashim :
أَخْبَرَنَا أَبُو زَكَرِيَّا بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمُزَكِّي، أنبأ أَحْمَدُ بْنُ سَلْمَانَ الْفَقِيهُ، أنبأ الْحَسَنُ بْنُ مُكْرَمٍ، ثنا عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، ثنا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ الأَقْمَرِ، عَنْ أَبِي الأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ مَسْعُودٍ، قَالَ: " مَنْ لَمْ يُدْرِكِ الإِمَامَ رَاكِعًا، لَمْ يُدْرِكْ تِلْكَ الرَّكْعَةَ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Zakariyyaa bin Abi Ishaaq Al-Muzakkiy : Telah memberitakan Ahmad bin Salmaan Al-Faqiih : Telah memberitakan Al-Hasan bin Al-Mukram : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Aashim : Telah menceritakan kepada kami Khaalid Al-Hadzdzaa’, dari ‘Aliy bin Al-Aqmar, dari Abul-Ahwash, dari ‘Abdullah, yaitu Ibni Mas’uud, ia berkata : “Barangsiapa yang tidak mendapati imam dalam keadaan rukuk, ia tidak mendapatkan raka’at tersebut” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 2/90].
Sanadnya lemah, karena ‘Aliy bin ‘Aashim seorang perawi yang lemah.
Ada pula riwayat fi’liy dari Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: نا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، قَالَ: " خَرَجْتُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ مِنْ دَارِهِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَمَّا تَوَسَّطْنَا الْمَسْجِدَ رَكَعَ الْإِمَامُ فَكَبَّرَ عَبْدُ اللَّهِ ثُمَّ رَكَعَ وَرَكَعْتُ مَعَهُ ثُمَّ مَشَيْنَا رَاكِعَيْنِ حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى الصَّفِّ حَتَّى رَفَعَ الْقَوْمُ رُءُوسَهُمْ، قَالَ: فَلَمَّا قَضَى الْإِمَامُ الصَّلَاةَ قُمْتُ أَنَا وَأَنَا أَرَى أَنِّي لَمْ أُدْرِكْ فَأَخَذَ بِيَدِي عَبْدُ اللَّهِ فَأَجْلَسَنِي وَقَالَ: إِنَّكَ قَدْ أَدْرَكْت "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Ahwash, dari Manshuur, dari Zaid bin Wahb, ia berkata : “Aku keluar bersama ‘Abdullah (bin Mas’uud) dari rumahnya menuju masjid. Ketika kami berada di tengah masjid, imam rukuk. Maka, ‘Abdullah bertakbir lalu rukuk. Dan akupun ikut rukuk bersamanya. Kemudian kami berjalan dalam keadaan rukuk hingga kami sampai masuk dalam shaff ketika orang-orang telah mengangkat kepala mereka. Ketika imam selesai dari shalatnya, aku pun berdiri karena aku berpendapat aku tidak mendapatkan raka’at (saat rukuk tadi). Lalu ‘Abdullah memegang tanganku dan mendudukkanku. Ia berkata : “Sesungguhnya engkau telah mendapatkan raka’at” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/255 no. 2637].
Sanad ini shahih, semua perawinya tsiqah.
Abul-Ahwash mempunyai mutaba’ah dari :
(1) Abu ‘Awaanah; sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir (9/312 no. 9355) : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziiz : Telah menceritakan kepada kami Hajjaaj bin Al-Minhaal : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Manshuur, dan selanjutnya seperti riwayat di atas. Riwayat ini shahih. ‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziizz seorang yang tsiqah lagi haafidh (Irsyaadul-Qaadliy, hal. 435-436 no. 685). Hajjaaj bin Al-Minhaal, seorang perawi tsiqah yang dipakai oleh Syaikhaan. Begitu juga dengan Abu ‘Awaanah.[3]
(2) Sufyaan Ats-Tsauriy; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 2024 : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah, dari Sufyaan, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Manshuur, dan seterusnya sebagaimana riwayat di atas. Sanad riwayat ini shahih. ‘Aliy bin Al-Hasan, ia adalah Ibnu Syaqiiq bin Diinaar Al-‘Abdiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. ‘Abdullah, ia adalah Ibnul-Mubaarak, seorang yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Begitu juga Ats-Tsauriy.
Riwayat fi’liy Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu ini masih banyak, yang seandainya disebutkan akan lebih menguatkan riwayat di atas. Sementara, riwayat di atas pun sudah shahih secara meyakinkan.
2. Riwayat ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي نَافِعٌ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " إِذَا أَدْرَكَتَ الإِمَامَ رَاكِعًا فَرَكَعْتَ قَبْلَ أَنْ يَرْفَعَ فَقَدْ أَدْرَكْتَ، وَإِنْ رَفَعَ قَبْلَ أَنْ تَرْكَعَ فَقَدْ فَاتَتْكَ "
Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Apabila engkau mendapati imam sedang rukuk, lalu engkau ikut rukuk sebelum ia (imam) mengangkat kepalanya (i’tidal), sungguh engkau telah mendapati raka’at tersebut. Namun jika ia telah mengangkat kepalanya sebelum engkau rukuk, maka engkau terlewat dari raka’at itu” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 2/279 no. 3361, dan melalui jalannya Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 2022; shahih].
Ibnu Juraij dalam riwayat ini telah menjelaskan tashriih penyimakan haditsnya dari Naafi’ sehingga hilanglah keraguan akan tadlis-nya.
Sebagaimana diketahui, bahwa Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah salah seorang shahabat yang paling semangat dalam ittiba’ kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
3. Riwayat Zaid bin Tsaabit radliyallaahu ‘anhu
وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ الرُّوذْبَارِيُّ، أنبأ إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدٍ الصَّفَّارُ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ الْوَلِيدِ الْفَحَّامُ، ثنا شَاذَانُ، ثنا سُفْيَانُ بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ مَعْمَرٍ الأَوْزَاعِيِّ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، قَالَ " دَخَلَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ الْمَسْجِدَ وَالإِمَامُ رَاكِعٌ فَرَكَعَ دُونَ الصَّفِّ حَتَّى اسْتَوَى فِي الصَّفِّ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Aliy Ar-Ruudzbaariy : Telah memberitakan kepada kami Ismaa’iil bin Muhammad Ash-Shaffaar : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Al-Waliid Al-Fahhaam : Telah menceritakan kepada kami Syaadzaan : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin Sa’iid, dari Ma’mar Al-Auzaa’iy, dari Az-Zuhriy, dari Abu Umaamah bin Sahl bin Hunaif, ia berkata : Zaid bin Tsaabit masuk ke dalam masjid sementara imam dalam keadaan rukuk. Maka ia pun rukuk di luar shaff (berjalan) hingga berada di dalam shaff” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 3/106; shahih].
Abu Abu ‘Aliy Ar-Ruudzbaariy namanya adalah Al-Husain bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Aliy bin Haatim, Abu ‘Aliy Ar-Ruudzbaariy Ath-Thuusiy Al-Faqiih. Al-Baihaqiy menshahihkan sanad hadits yang dibawakannya dalam Al-Kubraa (4/54).
Ma’mar mempunyai mutaba’ah dari Yuunus bin Yaziid dan Ibnu Abi Dzi’b sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Wahb dalam Al-Muwaththa’-nya (no. 415), serta ‘Abdurrazzaaq sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath (no. 1999).
Catatan :
Adapun hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar (1/396 no. 2309) adalah sebagai berikut :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي دَاوُدَ، حَدَّثَنَا الْمُقَدَّمِيُّ، حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا ابْنُ عَجْلانَ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الصَّلاةَ، فَلا يَرْكَعْ دُونَ الصَّفِّ حَتَّى يَأْخُذَ مَكَانَهُ مِنَ الصَّفِّ ".
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Abi Daawud : Telah menceritakan kepada kami Al-Muqaddamiy : Telah menceritakan kepadaku ‘Umar bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ajlaan, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang di antara kalian mendatangi shalat, janganlah rukuk di luar shaff hingga ia menempati tempatnya yang ada di shaff”.
Dhahir sanad hadits ini shahih, akan tetapi ia ma’lul. ‘Umar bin ‘Aliy, bersamaan dengan ketsiqahannya, namun ia disifati dengan banyak melakukan tadliis. Ibnu Hajar menempatkannya pada tingkatan keempat. Tadliis yang dilakukannya adalah taqdliis sukuut, yang termasuk jenis tadliis yang jelek.
Ibnu Sa’d berkata : “Ia seorang yang tsiqah, namun ia melakukan tadliis yang amat sangat (syadiid). Ia berkata : ‘aku mendengar (sami’tu)’ dan ‘telah menceritakan kepada kami (haddatsanaa)’, kemudian ia diam, kemudian berkata lagi : ‘Hisyaam bin ‘Urwah, Al-A’masy’, sehingga disangka ia telah mendengar darinya, padahal tidak seperti itu” [Ath-Thabaqaat, 7/291].
Abu Haatim berkata : “Tempatnya kejujuran. Seandainya bukan karena tadlis-nya, niscaya kami akan hukumi, jika ia datang membawakan tambahan. Akan tetapi kami khawatir hal itu ia ambil dari perawi yang tidak tsiqah” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/125 dan Al-‘Ilal oleh Ibnu Abi Haatim 1/166].
Kenyataannya, riwayat 'Umar bin ‘Aliy dari Muhammad bin ‘Ajlaan telah menyelisiihi Abu Khaalid Al-Ahmar (tsiqah) sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/256-257 no. 2648); dan Yahyaa bin Sa’iid (tsiqah) sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/257 no. 2651) yang membawakan dari Abu Hurairah secara mauquf.
Riwayat mauquf ini jelas lebih kuat daripada marfuu’.[4]
Muhammad bin ‘Ajlaan, dikritik sebagian ulama atas periwayatannya dari Abu Hurairah. Oleh karenannya, Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun ia bercampur hapalannya dalam hadits-hadits Abu Hurairah”.
Dalam jalur yang lain, Al-Bukhaariy membawakan riwayat mauquf ini dengan lafadh :
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ يَعِيشَ، قَالَ: حَدَّثَنَا يُونُسُ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: قَالَ: أَخْبَرَنِي الأَعْرَجُ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: " لا يُجْزِئُكَ إِلا أَنْ تُدْرِكَ الإِمَامَ قَائِمًا قَبْلَ أَنْ يَرْكَعَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin Ya’iisy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yuunus, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Ishaaq, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Al-A’raj, ia berkata : Aku mendengar Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata : “Tidak mencukupi bagimu kecuali jika engkau mendapati imam sedang berdiri sebelum ia rukuk” [Al-Qiraa’atu Khalfal-Imaam no. 140; hasan].
Intinya, ini adalah ijtihad Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bukan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alihi wa sallam.
Ini saja yang dapat dituliskan. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – ngaglik, sleman, yogyakarta, 1432 H].
[1] Lihat : Rijaalul-Haakim, 2/195 no. 1309.
[2] Oleh karena itu perkataan :
pada sanad itu disebutkan Alin bin Ashim berkata, “telah bercerita kepada kami Khalid bin Khadzdza (ia menerima), dari Alin bin Al-Aqmar, dari Abdul Ahwash” sanad ini munqathi (terputus), karena Khalid bin al-Hadzdza tercatat mempunyai 40 orang guru, namun tidak ada satupun yang bernama Ali bin Aqmar (lihat Tahdzibul kamal, VIII:178-179). Demikian pula dengan halnya Ali bin Aqmar tercatat mempunyai 17 orang murid, namun tidak ada satupun yang bernama Khalid bin Khadzdza (lihat Tahdzibul kamal, XX:324).
adalah perkataan yang kurang memberikan faedah. Pertama, yang menjadi hujjah adalah riwayat. Oleh karena itu, apabila ada telah shahih dalam riwayat didapatkan bahwa salah satu syaikh dari Khaalid Al-Hadzdzaa’ adalah ‘Aliy Al-Aqmar, maka ia merupakan satu tambahan keterangan bagi kitab biografi, semisal Tahdziibut-Tahdziib. Apalagi, antara Khaalid dan ‘Aliy adalah semasa (mu’asharah), sehingga riwayat keduanya dihukumi bersambung. Kedua, dalam riwayat Ramahurmuziy telah dijelaskan bagaimana Khaalid mendapatkan riwayat dari ‘Aliy melalui perantaraan samaa’.
Intinya, klaim pendla’ifan atas riwayat Ibnu Mas’uud di atas tidaklah berterima.
[3] Ada ta’lil yang menurut saya ‘aneh’ atas riwayat ini, yaitu perkataan :
Dari Ali Bin Abdul Aziz, dari Hajjaj bin Minhal, dari Abu Awanah, dari manshur. Sanad inipun diragukan ke mutahsilannya, karena Abu Awanah tidak menyebutkan secara pasti bentuk penerimaan hadits itu dari Manshur, ia hanya menyebut ‘An (dari). Menurut para ahli Hadits periwayatan Abu Awanah dapat ditetapkan mutashil (bersambung) bia ia meriwayatkan dari catatannya, namun jika melalui hapalannya, maka hadits itu tidak selamat dari kesalahan. (Tahdzibul kamal, XXX:447)
Ini adalah wahm yang sangat fatal. Perhatikan yang saya garis bawah. Dalam Tahdziibul-Kamaal, sependek yang saya baca, tidak ada kalimat itu kecuali dari beliau yang mempunyai kalimat di atas. Berikut perkataan sebagian ulama yang memberikan kritikannya terhadap Abu ‘Awaanah (dari kitab Tahdziibut-Tahdziib) :
Ahmad berkata :
إذا حدث أبو عوانة من كتابه فهو أثبت ، و إذا حدث من غير كتابه ربما وهم
“Apabila Abu ‘Awaanah menceritakan hadits dari kitabnya, maka ia tsabt akan riwayat itu (shahih). Namun bila ia meriwayatkan selain dari kitabnya, kadangkala ia keliru”.
Perkataan ‘kadang keliru’ itu bukanlah menunjukkan hadits Abu ‘’Awaanah jika diriwayatkan dari jurusan hapalannya dla’iif secara mutlak. Bukan begitu. Namun kekeliruannya – menurut Ahmad – adalah sedikit.
Abu Zur’ah berkata :
ثقة إذا حدث من كتابه
“Tsiqah apabila menceritakan riwayat dari kitabnya”.
Sama dengan di atas, perkataan tersebut tidak mempunyai konsekuensi jika ia meriwayatkan bukan dari kitabnya, maka dla’iif. Karena perkataan di atas dapat mengandung makna bahwa hadits Abu ‘Awaanah dari jurusan hapalannya di bawah derajat shahih, yaitu hasan.
Abu Haatim berkata :
كتبه صحيحة ، و إذا حدث من حفظه غلط كثيرا ، و هو صدوق ، ثقة ، و هو أحب إلى من أبى الأحوص ، و من جرير بن عبد الحميد ، و هو أحفظ من حماد بن سلمة .
“Kitabnya shahih. Namun jika ia meriwayatkan dari hapalannya, banyak kelirunya. Ia seorang yang shaduuq lagi tsiqah. Ia lebih aku cintai daripada Abul-Ahwash dan Jariir bin ‘Abdil-Hamiid. Dan ia lebih hapal daripada Hammaad bin Salamah”.
Yang perlu dicatat di sini, ketika Abu Haatim mensifati ia banyak keliru jika meriwayatkan dari hapalannya, Abu ‘Awaanah tetap dipredikati seorang yang shaduuq lagi tsiqah. Ia kedudukannya lebih tinggi daripada Abul-Ahwash, Jariir, dan Hammaad bin Salamah.
Abu Haatim berkata tentang Abul-Ahwash (Sallaam bin Sulaim) : “Shaduuq, ia di bawah Zaaidah dan Zuhair dalam akurasi (itqan)”.
Sekarang tentang Jariir bin ‘Abdil-Hamiid. ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim pernah bertanya kepada ayahnya tentang Abul-Ahwash dan Jariir tentang hadits Hushain. Ia menjawab : “Jariir paling cerdas di antara dua orang tersebut, dan Jariir lebih aku sukai”. Aku (‘Abdurrahmaan) berkata : “Haditsnya dijadikan hujjah ?”. Ia menjawab : “Ya, Jariir tsiqah, ia lebih aku sukai dalam hadits Hisyaam bin ‘Urwah daripada Yuunus bin Bukair”.
Tentang Hammaad bin Salamah, Abu Haatim berkata : “Hammaad bin Salamah dalam hadits Tsaabit dan ‘Aliy bin Zaid lebih aku cintai daripada Hammaam. Ia adalah orang yang paling dlabth dan yang paling mengetahui tentang hadits keduanya…”.
Dengan adanya keterangan itu, apakah Abu ‘Awaanah di sisi Abu Haatim seorang yang dla’iif dari sisi hapalannya ? Tentu saja tidak jika ia bisa menimbang dengan ‘adil.
Adapun ta’dil ulama yang diberikan ulama kepadanya, janganlah dipertanyakan lagi. Bahkan ia disamakan dengan Syu’bah. Bahkan ‘Affaan bin Muslim menganggap Abu ‘Awaanah dalam seluruh keadaannnya, haditsnya lebih shahih daripada Syu’bah. Oleh karenannya Ibnu Hajar menghukuminya dengan : “Tsiqah lagi tsabat”.
Juga, Muslim berhujjah dengan riwayat Abu ‘Awaanah dari Manshuur bin Al-Mu’tamir dalam Shahih-nya.
Intinya, ta’lil pemilik kalimat merah di atas tidaklah valid.
[4] Lihat pembahasan dalam Silsilah Adl-Dla’iifah, no. 977.
Comments
Assalamu'alaykum warohmatullah
apa bisa di jelaskan pendapat yang mengatakan "tidak mendapatkan rakaat"
Jazakallahu khoyron
Pokok hujjah dalam pendapat tersebut adalah tidak sahnya shalat seseorang yang tidak membaca Al-Fatihah, dan juga hadits Abu Hurairah di atas.
Wah ana jadi bingung harus mengamalkan yang mana , kalau seandainya mendapati imam sedang rukuk :
1. Takbir kemudian rukuk lalu berjalan menuju shaf , sementara pintu masjid dengan shaf relatif jauh dan kemungkinan belum sampai shaf imam sudah sujud .
2. Masuk dulu ke shaf kemudian takbir dan mengikuti apa yang di dapat dari imam .
Poin 1 , ana belum pernah melihat ada yang mempraktekan ( sepengetahuan ana selama sholat berjamaah ) .
kesimpulan ini adalah apa yg selama ini ana yakini dan amalkan tetapi akhir akhir ini di blog sebelah ada artikel dari ustadz dzulqarnaen yg mendhoifkan hadist hadist tentang dapatnya satu rokaat bagi yg ruku bersama imam,mohon kiranya ustadz bisa membuat artikel khusus tentang tepat tidaknya pendhoifan beliau..mohon kiranya ustadz ga perlu sungkan atau ewuh pakewuh,karena pembahasann ilmiyyah mengenai sebuah permasalan seperti ini adalah sesuatu yg biasa bagi orang yg bermanhaj salaf...mohon dibawain sekalian fatwa syaikh bin baz,syaikh albani,syaikh ustaimin dll ( taufiq tangerang)
afwan ustadz berhubung ana gaptek jadi ga ngerti cara nunjukin link artikel tsb, jadi ana copy paste aja artikelnya dari bloq thuwailibul 'ilmi...
Dapat Al Fatihah Dapat Satu Rakaat
Kapan makmum dianggap mendapatkan satu rakaat ketika dia masbuk, apakah ketika dia bisa ruku’ bersama imam atau ketika dia masih sempat untuk membaca Al Fatihah? Simak penjelasan berikut.
‘
Penjelasan dari Al Ustadz Dzulqarnain hafizhahullah
‘
Dari Al-Hasan rahimahullah,
‘
أَنَّ أَبَا بَكْرَةَ جَاءَ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاكِعٌ , فَرَكَعَ دُوْنَ الصَّفِّ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّفِّ , فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَتَهُ قَالَ: أَيُّكُمُ الَّذِيْ رَكَعَ دُوْنَ الصَّفِّ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّفِّ ؟ , فَقَالَ أَبُوْ بَكْرَةَ: أَنَا , فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : زَادَكَ اللهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ
“Bahwa Abu Bakroh pernah datang, sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ruku’. Maka Abu Bakroh ruku’ sebelum (masuk) shaff. Kemudian beliau berjalan menuju shaff. Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan sholatnya sholatnya, maka beliau bersabda, “Siapakah diantara kalian yang ruku’ sebelum shaff, lalu ia berjalan menuju shaff”. Abu Bakroh menjawab, “Saya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah memberimu tambahan semangat, jangan diulangi lagi”. [1]
‘
Kata mereka, tadi Abu Bakrah langsung ruku’ berarti tidak membaca Al Fatihah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh untuk mengulangi shalatnya, akan tetapi perbuatan seperti itu jangan diulangi lagi. Maksudnya jangan tergesa-gesa belum sampai ke shaf dia sudah ruku’ kemudian menyusul.
‘
Tapi yang benarnya dalam hadits ini tidak ada pendalilan, sebab di dalam hadits tidak diterangkan bahwa Abu Bakrah setelah itu menambah satu rakaat atau tidak. Kalau di dalam hadits dikatakan bahwa Abu Bakrah langsung salam dan tidak menambah satu rakaat, itu baru ada pendalilannya. Tapi karena tidak diterangkan, ini tidak bisa mengganggu gugat riwayat yang sangat kuat dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit riwayat Bukhari dan Muslim, tegas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan :
‘
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al-fatihah.”
Dan ini berlaku bagi imam dan makmum.
‘
Dengarkan langsung :
[download]
‘
Pertanyaan :
Bagaimana kalau seorang makmum mendapati imam sedang ruku’, apakah dia dihitung mendapatkan satu rakaat?
‘
Jawaban :
Ada sebagian hadits yang menjelaskan seperti itu, kalau dia mendapati imam ruku’ maka hitunglah satu rakaat, akan tetapi haditsnya lemah, ada seorang rawi di situ yang dikatakan oleh Imam Bukhari munkarul hadits. Dan ada jalan-jalan yang lain akan tetapi juga tidak kuat, maka haditsnya lemah. Ini tidak bisa mengganggu kedudukan hadits ‘Ubadah bin Shamit “Tidak ada shalat bagi oranga yang tidak membaca Al Fatihah”, dia tegas tentang wajibnya membaca al fatihah, itu adalah rukun shalat. Karena itu siapa yang ruku’ bersama imam dan belum membaca Al Fatihah maka dia harus menambah satu rakaat.
‘
Dengarkan langsung :
[download]
‘
Terima kasih. Sampai saat ini, belum ada tambahan sari saya selebih dari artikel di atas.
Dalam fatawa Islam Sual wa Jawab yang diasuh oleh Syaikh Sholih Al Munajid (syamilah) ada pertanyaan sebagai berikut :
سؤال رقم 22155- بم تُدرك الركعة ؟
إذا جاء رجلٌ ودخل الصلاة والإمام قائم من الركوع لكنه ما قال (الله أكبر) هل تعتبر له ركعة أم لا ؟ ولماذا ؟.
الحمد لله إذا دخل المأموم والإمام راكع فله ثلاث حالات :
1- أن يكبر تكبيرة الإحرام
وهو واقف ثم يركع والإمام راكع ، ففي هذه الحالة يكون مدركاً للركعة مع الإمام .
2- أن يكبر تكبيرة الإحرام
والإمام راكع ، ولكنه ركع بعد رفع الإمام من الركوع ، فلا يُعتبر مدركاً للركعة مع
الإمام ، وعليه أن يقضيها .
3- أن يركع مباشرة بدون أن
يُكبر تكبيرة الإحرام ، ففي هذه الحالة تبطل صلاته ، لأنه ترك ركناً من أركان
الصلاة وهو تكبيرة الإحرام .
وقد " اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ مَنْ أَدْرَكَ الإِمَامَ فِي الرُّكُوعِ فَقَدْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ , لِقَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : { مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوعَ فَقَدْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ } (رواه أبو داود وصححه الألباني في إرواء الغليل (496) وقال رحمه الله ص 262 : " ومما يقوي الحديث جريان عمل جماعة من الصحابة عليه :
أولاً : ابن مسعود ، فقد قال : " من لم يُدرك الإمام راكعاً لم يُدرك تلك الركعة " ... وسنده صحيح .
ثانياً : عبد الله بن عمر ، فقد قال : " إذا جئت والإمام راكع ، فوضعت يديك على ركبتيك قبل أن يرفع فقد أدركت " وإسناده صحيح .
ثالثاً : زيد بن ثابت ، كان يقول : " من أدرك الركعة قبل أن يرفع الإمام رأسه فقد أدرك الركعة " . وإسناده جيد ... " انتهى . انظر الموسوعة
الفقهية الكويتية (23/133) والمغني (1/298) .
الإسلام سؤال وجواب
الشيخ محمد صالح المنجد
Terjemahan :
Soal no. 22155 (dengan apa mendapatkan satu rokaat)
Pertanyaan : Jika seseorang mendatangi sholat pada saat imam sedang rukuk, akan tetapi orang tersebut tidak mengucapkan “Allohu Akbar” apakah dihitung mendapatkan saru rokaat ataukah tidak? Dan kenapa alasannya?
Jawab : Alhamdulillah, jika makmum mendapatkan imam sedang rukuk, maka ada 3 keadaan :
1. Ia takbirotul ihrom dalam keadaan berdiri, lalu rukuk bersama Imam yang sedang rukuk, maka ia mendapatkan 1 rokaat bersama Imam.
2. Ia takbirotul ihrom pada saat Imam sedang rukuk, akan tetapi pada waktu Ia rukuk, Imam sudah bangkit dari rukuk, maka Ia tidak dihitung mendapatkan rokaat bersama Imam dan ia menyempurnakan sholat yang ketinggalan
3. Ia langsung rukuk tanpa takbirotul ihrom, maka dalam keadaan ini batal sholatnya dikarenakan Ia meninggalkan rukun dari rukun-rukun sholat yaitu Takbirotul Ihrom.
Para Fuqoha telah sepakat bahwa barangsiapa yang mendati Imam rukuk maka ia mendapatkan satu rokaat, karena sabda Nabi : “barangsiapa yang mendapatkan rukuknya (Imam), maka ia mendapatkan satu rokaat”. (HR. Abu Dawud dishohihkan Syaikh Albani dalam Irwaul gholil (no. 496)).
Berkata Syaikh Albani (h. 262) : ‘yang menguatkan hadits ini adalah apa yang biasa diamalkan oleh sahabat, (yaitu)
1. Ibnu Mas’ud berkata : ‘Barangsiapa yang tidak mendapati Imam dalam keadaan rukuk maka ia tidak mendapatkan rokaat tersebut’…Sanadnya shohih.
2. Abdulloh bin ‘Umar berkata : ‘Jika kamu mendatangi (sholat) pada saat Imam sedang rukuk dan engkau meletakkan kedua tangannya diatas kedua lututnya, sebelum (Imam) bangkit dari rukuk, maka engkau mendapatkan satu rokaat’. Sanadnya shohih.
3. Zaid bin Tsabit berkata : ‘Barangsiapa yang mendapatkan rukuk sebelum Imam mengangkat kepalanya, maka Ia mendapatkan satu rokaat. Sanadnya Hasan .selesai nukilan
Lihat ensiklopedi Fikih Kuwait (23/133) dan Al Mughni (1/298)
Fatwa Lajnah Daimah no. 93 (syamilah)
الفتوى رقم (93)
س: مأموم جاء متأخرا فأدرك الإمام في الركوع وكبر وركع مع الإمام قبل أن يرفع الإمام من الركوع فهل على ذلك المأموم أن يقضى تلك الركعة بعد سلام الإمام؟
ج: إذا كبر المأموم تكبيرة الإحرام قائما ثم ركع وأدرك الإمام في الركوع أجزأته تلك الركعة، لحديث أبي بكرة رضي الله عنه أنه انتهى إلى النبي صلى الله عليه وسلم وهو راكع فركع قبل أن يصل إلى الصف فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: « زادك الله حرصا ولا تعد » رواه البخاري وزاد أبو داود فيه: « وركع دون الصف ثم مشي إلى الصف » (1) ولما رواه أبو داود عنه صلى الله عليه وسلم: « من أدرك الركوع فقد أدرك الركعة » (2) .
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو // عضو // نائب الرئيس // الرئيس //
عبد الله بن منيع // عبد الله بن غديان // عبد الرزاق عفيفي // إبراهيم بن محمد آل الشيخ //
Terjemahan :
Pertanyaan : Seorang makmum datang terlambat dan mendapati Imam sedang rukuk lalu Ia bertakbir dan rukuk bersama Imam sebelum Imam bangkit dari rukuknya, apakah Makmum wajib menyempurnakan sholatnya setelah Imam salam ?
Jawab : Jika makmum takbirotul ihrom dalam keadaan berdiri lalu rukuk dan mendapati Imam sedang rukuk maka Ia mendapatkan rokaatnya tersebut, berdasarkan hadits Abu Bakroh bahwa beliau mendapati Nabi rukuk lalu ia pun rukuk sebelum sampai ke shof, kemudian Nabi bersabda kepadanya : “semoga Alloh menambah semangatmu dan jangan kamu ulangi” (HR. Bukhori) dan dalam lafadz sunan Abu Dawud : “beliau rukuk sebelum sampai ke shofnya kemudian sambil jalan menuju ke shof. Dan juga berdasarkan yang diriwayatkan dalam sunan Abu Dawud, bahwa Nabi bersabda : “Barangsiapa yang mendapatkan rukuk, berarti ia mendapatkan rokaat (sholat).
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan dalam Liqo bab maftuh (192/22-syamilah)
إدراك الركعة بإدراك الركوع:
السؤال: فضيلة الشيخ! بعض الإخوان لا يرون إدراك الركعة بإدراك الركوع، ويعللون ذلك بأن حديث قراءة الفاتحة ورد في البخاري وهذا في غيره، فما رأيكم؟
الجواب: يرى بعض العلماء: أن قراءة الفاتحة لا بد منها في كل ركعة، حتى في المسبوق إذا أدرك الإمام راكعاً فإنه يكبر ويركع مع الإمام، ولكن لا يعتد بهذه الركعة، وهذا القول ضعيف بلا شك، ويضعفه حديث أبي بكرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال له حين أخبره: أنه عجل وأسرع ليدرك الإمام راكعاً، قال له: (زادك الله حرصاً ولا تعد) ولو كان لم يدرك الركعة لأمره أن يقضيها، فسكوت النبي صلى الله عليه وسلم عن قضائها يدل على أنه بإدراك الركوع يدرك الركعة، هذا من جهة الأثر. أما من جهة النظر أن يقال: قراءة الفاتحة متى تكون؟ في أي حال؟ القيام الآن سقط لوجوب متابعة الإمام، فيسقط الذكر الواجب له تبعاً له. وهذا هو الصحيح: أن الإنسان إذا أدرك الركوع فقد أدرك الركعة
Terjemah :
Pertanyaan : Ya fadhilah Syaikh sebagian ikhwan tidak berpendapat mendapatkan satu rokaat dengan mendapatkan rukuk, alasannya hadits membaca fatihah diriwayatkan oleh Imam Bukhori sedangkan masalah ini diriwayatkan oleh selainnya, bagaimana pendapatmu ?
Jawab : sebagian ulama berpendapat bahwa membaca Al Fatihah harus dalam setiap rokaat sampai pun makmum masbuq jika mendapati Imam sedang rukuk dan Ia bertakbir kemudian rukuk bersama Imam tetap tidak dihitung mendapatkan satu rokaat, pendapat ini lemah tanpa keraguan, yang melemahkannya adalah hadits Abu Bakroh bahwa Nabi bersabda ketika mengetahui bahwa beliau terburu-buru untuk mendapatkan rukuk bersama Imam dengan sabdanya : “semoga Alloh menambah semangatmu dan jangan ulangi”. Seandainya beliau tidak mendapatkan satu rokaat niscaya Nabi akan memerintahkannya untuk menyempurnakannya, diamnya Nabi tentang penyempurnaannya menunjukkan bahwa makmum yang mendapatkan rukuknya Imam, mendapatkan satu rokaat, ini dari sisi dalil.
Adapun dari sisi Nadhor (qiyas) adalah, kapan saatnya membaca Al Fatihah ? pada keadaan bagaimana ? berdiri pada waktu itu gugur karena wajib mengikuti Imam, maka gugurnya dzikir yang wajib padanya adalah mengikutinya. ini adalah benar : bahwa seseorang jika mendapatkan rukuk, maka mendapatkan rokaat.
ana sedang merangkum takhrij hadits tersebut dari Irwaul gholilnya syaikh Albani, tapi tunggu ada waktu sengang untuk menyelasaikannya Insya Alloh.
Abu Said
TAKHRIJ HADITS ORANG YANG MENDAPATKAN RUKUKNYA IMAM MENDAPATKAN ROKAAT SHOLATNYA
(dirangkum dari Irwaul Gholil karya syaikh M. Nasiruddin Al-Albani (j.2/260-265)
Hadits yang berbicara tentang hal ini yaitu :
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam sunannya (no.m 893), Imam Daruquthni dalam sunannya (no. 132), Imam Al Hakim dalam Mustadroknya (1/216, 273-274), Imam Baihaqi (2/89) dari jalan Said bin Maryam akhbarona Nafi’ bin Yazid hadatsani Yahya bin Abi Sulaiman dari Zaid bin Abil ‘Atab dan Ibnul Maqbary dari Abi Huroiroh , Rosululloh bersabda :
( من أدرك الركوع أدرك الركعة )
Terjemahan : “Barangsiapa yang mendapatkan Rukuk, Ia telah mendapatkan rokaat sholat”.
Kedudukan sanadnya : Yahya bin Abi Sulaiman ditsiqohkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Al Hakim, akan tetapi Imam Bukhori berkata : ‘Mungkarul Hadits’, sedangkan Iman Abu Hatim berkata : ‘Mudhthoribul hadits (goncang haditsnya), tidak kuat, ditulis haditsnya’. Sanad hadits ini dhoif dengan sebab kedhoifan Yahya ini,
Akan tetapi hadits ini memiliki penguat (Tawabi’) dalam sanad lain dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu sebagai berikut :
1. Ditakhrij haditsnya oleh Daruquthni, Baihaqi dan Abu Said ibnul ‘Arobi dalam Mu’jamnya (2/94) serta Uqoili dalam Ad Dhuafa (460) semuanya dari jalan Ibnu Wahab akhbaronaa Yahya bin Hamid dari Quroh bin ‘Abdirrokhman dari Ibnu Syihab akhbaroni Abu Salamah bin ‘Abdirrokhman dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu dari Nabi Sholollahu alaihi wa Salam :
( من أدرك ركعة من الصلاة فقد أدركها قبل أن يقيم الإمام صلبه )
Terjemahan : “Barangsiapa yang mendapatkan rukuk (imam) dalam sholat, maka Ia mendapatkannya sebelum Imam menegakkan punggungnya (bangkit dari rukuk)”.
Imam Uqoili berkata : Imam Bukhori berkata : “Yahya bin Humaid dari Qurroh tidak bisa dijadikan tabi’ (penguat). Akan tetapi dalam riwayat Ma’mar, Malik, Yunud, Uqoil ibnu Juraij, Ibnu Uyainah, Al Auzai dan Syuaib dari Az zuhri dari Abu Salamah dari Abu Huroiroh dari Nabi Sholollahu alaihi wa Salam tanpa lafadz “sebelum Imam menegakkan punggungnya (bangkit dari rukuk)”. Mungkin ini adalah Mudroj (sisipannya) Az zuhri yang dilakukan oleh Yahya bin Hamid.
Dan hadits ini juga memiliki penguat(syawahid) sebagai berikut :
1. dari Abdul Aziz bin Rofi’ dari seorang laki-laki dari Nabi , beliau bersabda :
( إذا جئتم والإمام راكع فاركعوا وإن كان ساجدا فاسجدوا ولا تعتدوا بالسجو إذا ليكن معه الركوع )
Terjemahan : Jika engkau mendapati Imam pada saat rukuk, maka rukuklah dan jika Imam sedang sujud, maka sujudlah dan jangan dihitung yang sujud tadi”.
Hadits ini driwayatkan oleh Imam Baihaqi, ini adalah syahid yang kuat, semua perowinya tsiqot, ‘Abdul ‘Aziz bin Rofi’ Tabiin besar, meriwayatkan dari Al Abadilah (Sahabat Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Ibnu ‘Abbas) dan sahabat lainnya, serta meriwayatkan juga dari sejumlah sahabat besar. Jika syaikhnya (rowi yang majhul ini) seorang Sahabat, maka sanadnya shohih, karena semua sahabat adil dan tidak masalah tidak disebutkan namanya, jika Ia seorang Tabi’in maka berarti hadits ini Mursal dan layak digunakan sebagai syahid (penguat) hadits sebelumnya.
Kemudian hadits pada bab ini dikuatkan dengan amalan sahabat yaitu,
1. dari Abdulloh bin Mas’ud Rodhiyallohu anhu Ia berkata :
( من لم يدرك الإمام راكعا لم يدرك تلك الركعة )
Terjemahan : “Barangsiapa yang tidak medapatkan Imam pada saat rukuk, Ia tidak mendapatkan rokaat tersebut”.
Dikeluarkan oleh Imam Baihaqi (2/90) dari dua jalan dari Abul Ahwash dari Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu anhu ,
Syaikh Albani berkata : sanadnya shohih.
Dari Zaid bin Wahab Ia berkata : ‘saya bersama Abdulloh (bin Mas’ud) keluar dari rumahnya menuju masjid, ketika kami sampai di masjid Imam sedang rukuk, maka Abdulloh (bin Mas’ud) bertakbir lalu rukuk, saya (zaid) pun ikut rukuk bersamanya lalu kami pun berjalan dalam keadaan rukuk hingga sampai ke shof (sholat) sampai para jamaah mengangkat kepalanya (bangkit dari rukuk), setelah Imam selesai sholatnya, saya pun berdiri karena menyangka saya tidak mendapatkan rokaat sholat, kemudian Abdulloh (bin Mas’ud) memegang tanganku dan menarikku agar duduk, sambil mengatakan : engkau mendapatkan rokaat sholat.
Kisah ini ditakhrij oleh Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonafnya (1/99/1-2), Imam Thohawi dalam syaroh maanil atsir (1/231-232), Imam Thobroni (1/32/3) dan Imam Baihaqi (2/90-91)
Syaikh Albani berkata : Sanadnya Shohih, Dalam riwayat Thobroni memiliki jalan yang lain.
2. Dari ‘Abdulloh bin ‘Umar Rodhiyallohu anhu Ia berkata :
( إذا جئت والإمام راكع فوضعت يديك على ركبتيك قبل أن يرفع فقد أدركت )
Terjemahan : “Jika engkau mendatangi (sholat) sedangkan Imam dalam keadaan rukuk maka letakkanlah kedua tanganmu diatas lutut sebelum Imam mengangkat kepalanya (bangkit dari rukuk), maka engkau mendapati rokaat sholat”.
Haditsnya diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi syaibah (1/94/1) dari jalan Ibnu Juraij dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Dalam riwayat Imam Baihaqi Imam Malik menyertai Ibnu Juraij dengan lafadz :
( من أدرك الإمام راكعا فركع قبل أن يرفع الإمام رأسه فقد أدرك تلك الركعة )
Terjemahan : “Barangsiapa mendapati Imam Rukuk, lalu Ia rukuk sebelum Imam mengangkat kepalanya, maka Ia mendapatkan rokaat (sholat)”.
Syaikh Albani berkata : Sanadnya Shohih.
3. Dari Zaid bin Aslam Rodhiyallohu anhu Ia berkata :
( من أدرك الركعة قبل أن يرفع الإمام رأسه فقد أدرك الركعة )
Terjemahan : “Barangsiapa yang mendapati rukuk sebelum Imam mengangkat kepalanya, maka Ia mendapatkan Rokaat”.
Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari jalan Malik bahwa telah sampai kepadanya Abdulloh bin Umar dan Zaid bin Tsabit mengatakan hal tersebut. Dalam riwayat Imam Thohawi (1/232) dari jalan Khorijah bin Zaid bin Tsabit :
( أن زيد بن ثابت كان يركع على عتبة المسجد ووجهه إلى القبلة ثم يمشي معترضا على شقه الأيمن ثم يعتد بها إن وصل إلى الصف أو لم يصل )
Terjemahan : ‘bahwa Zaid bin Tsabit Rodhiyallohu anhu rukuk ditengah masjid, wajahnya menghadap kiblat lalu beliau pun berjalan sambil memegangi betis yang kanan, lalu beliau hitung (anggap) mendapatkan rokaat baik sampai keshof atau tidak sampai (mungkin maksudnya walaupun ketika sampai shof Imam sudah bangkit dari rukuk-pent.)’.
Syaikh Albani berkata : sanadnya Jayyid (Hasan), dikeluarkan juga oleh Imam Baihaqi (2/90 & 91) dari jalan lain dari Zaid yang semisalnya.
4. ‘Abdulloh bin Zubair Rodhiyallohu anhu , berkata Ustaman ibnul Aswad :
( دخلت أنا وعمرو بن تميم المسجد فركع الإمام فركعت أنا وهو ومشينا راكعين حتى دخلنا الصف فلما قضينا الصلاة قال لي عمرو : الذي صنعت آنفا ممن سمعته ؟ قلت : من مجاهد قال : قد رأيت ابن الزبير فعله )
Terjemahan : “Saya dan Amr bin Tamim masuk masjid, lalu Imam rukuk, maka saya rukuk dan juga dia (Amr) sambil rukuk kamu berjalan hingga masuk shof, maka ketika selesai sholat, Amr bertanya kepadaku : ‘yang barusan kamu lakukan dari siapa kamu mendengarnya ?’, saya pun menjawab : dari Mujahid ia berkata : saya melihat Ibnu Zubair melakukannnya”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah semua perowinya tsiqot kecuali ‘Amr bin Tamim ditsiqohkan oleh Ibnu Hibban, tetapi Imam Bukhori berkata tentangnya : “Fii haditsihi nadhor’ (haditsnya perlu dipertimbangkan lagi).
5. Abu Bakar Rodhiyallohu anhu , dari Abu Bakar bin ‘Abdurokhman bin Al-Harits bin Hisyam :
أن أبا بكر الصديق وزيد بن ثابت دخلا المسجد والإمام راكع فركعا ثم دبا وهما راكعان حتى لحقا بالصف
Terjemahan : “Bahwa Abu Bakar Ashidiq dan Zaid bin Tsabit masuk masjid sedangkan Imam dalam keadaan rukuk, lalu keduanya berjalan dalam keadaan rukuk sampai masuk kedalam shof”.
Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan sanadnya Hasan, akan tetaoi Abu Bakar bin Abdurokman tidak menjumpai Abu Bakar Ashidiq maka sanadnya terputus, akan tetapi ada kemungkinan bahwa Ia mendengarnya dari Zaid bin Tsabit, dikarenakan riwayat Ia dari Zaid shohih dan Tsabit.
Syaikh Albani berkata : “Kesimpulannya hadits ini dengan syawahid yang mursal dan atsar-atsar (sahabat) ini menjadikan hadits (bab ini) Hasan dan bisa digunakan sebagai hujjah. Wallohu a’lam”.
Terima kasih atas tambahan faedahnya. Baarakallaahu fiikum.
saya mengucapkan jazakallahu khoiron kepada al akh abu said yg telah bersedia menjawab apa yg telah saya tanyakan kepada ustadz abul jauza,hal hal seperti inilah yg membuat saya sangat bersyukur mengenal manhaj yg haq ini,dan saya berdoa semoga dengan semakin banyak blog yg menjelaskan tentang manhaj salaf yg mulia ini seperti blog ustadz abuljauza,ustadz firanda,dll akan semakin banyak umat islam yg tercerahkan dan kembali kepada pemahaman yg lurus sebagaimana yg yg telah diajarkan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (taufiq tangerang)
Posting Komentar