Bahasan ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1. Dokter wanita mengobati pasien laki-laki yang belum baligh (anak kecil).
2. Dokter wanita mengobati pasien laki-laki yang telah baligh (dewasa).
Tentang tanda-tanda baligh, Pembaca budiman dapat membaca artikel kami yang berjudul : Tanda-Tanda Baligh.
1. Dokter wanita mengobati pasien laki-laki yang belum baligh (anak-anak).
Tidak ada dalil tentang pelarangannya. Bahkan, para wanita dianjurkan bekerja sebagai dokter untuk pasien anak-anak, karena ia lebih utama daripada dokter laki-laki menurut sebagian ahlul-‘ilmi – karena sifat fithrah-nya.
2. Dokter wanita mengobati pasien laki-laki yang telah baligh (dewasa).
Dalam hal ini dibagi menjadi dua kasus, yaitu :
a. Dokter mengobati secara langsung dengan menyentuh bagian tubuh pasien.
Hukumnya adalah boleh jika dalam keadaan darurat. Mafhum-nya, jika tidak dalam keadaan darurat, maka tidak boleh.[1]
Dalilnya antara lain adalah :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ، عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ، قَالَتْ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " نَسْقِي وَنُدَاوِي الْجَرْحَى، وَنَرُدُّ الْقَتْلَى إِلَى الْمَدِينَةِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah : telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal : telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Dzakwaan, dari Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz, ia berkata : “Kami pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (dalam satu peperangan), memberi minum, mengobati orang-orang yang terluka, serta memulangkan jenazah ke Madinah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2882].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وَفِيهِ جَوَازُ مُعَالَجَة الْمَرْأَة الْأَجْنَبِيَّة الرَّجُل الْأَجْنَبِيّ لِلضَّرُورَةِ قَالَ اِبْن بَطَّال : وَيَخْتَصُّ ذَلِكَ بِذَوَات الْمَحَارِمِ ثُمَّ بِالْمُتَجَالَّاتِ مِنْهُنَّ لِأَنَّ مَوْضِعَ الْجُرْحِ لَا يُلْتَذُّ بِلَمْسِهِ بَلْ يَقْشَعِرُّ مِنْهُ الْجِلْدُ فَإِنْ دَعَتْ الضَّرُورَة لِغَيْرِ الْمُتَجَالَّاتِ فَلْيَكُنْ بِغَيْرِ مُبَاشَرَةٍ وَلَا مَسٍّ وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ اِتِّفَاقُهُمْ عَلَى أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا مَاتَتْ وَلَمْ تُوجَدْ اِمْرَأَة تُغَسِّلُهَا أَنَّ الرَّجُلَ لَا يُبَاشِرُ غُسْلَهَا بِالْمَسِّ بَلْ يُغَسِّلُهَا مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ فِي قَوْلِ بَعْضِهِمْ كَالزُّهْرِيِّ وَفِي قَوْلِ الْأَكْثَرِ تُيَمَّمُ وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ تُدْفَنُ كَمَا هِيَ قَالَ اِبْن الْمُنِير : الْفَرْقُ بَيْنَ حَال الْمُدَاوَاة وَتَغْسِيل الْمَيِّتِ أَنَّ الْغُسْلَ عِبَادَةٌ وَالْمُدَاَوةُ ضَرُورَة وَالضَّرُورَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ
“Dalam hadits ini terdapat pembolehan seorang wanita mengobati laki-laki ajnabiyyah (bukan mahram) dalam keadaan darurat. Ibnu Baththaal berkata : ‘Hal itu dikhususkan bagi yang memiliki hubungan kemahraman, kemudian wanita yang telah tua di antara mereka, karena tempat/tubuh yang terluka tidak akan merasakan kenikmatan saat ia (wanita) menyentuhnya (laki-laki). Bahkan kulit yang disentuh itu terasa sakit. Pengobatan karena alasan darurat yang dilakukan oleh selain wanita yang telah tua, hendaknya dilakukan secara tidak langsung dan tidak melakukan sentuhan. Yang menunjukkan tentang hal itu adalah kesepakatan para ulama bahwasannya seorang wanita apabila meninggal tidak ditemukan wanita lain yang dapat memandikannya, maka laki-laki boleh memandikannya secara tidak langsung tanpa melakukan sentuhan. Ia melakukannya di balik tirai menurut pendapat sebagian ulama, seperti Az-Zuhriy. Sementara menurut pendapat jumhur ulama adalah dengan ditayamumkan. Al-Auza’iy berkata : ‘Wanita dikuburkan sebagaimana adanya’. Ibnul-Muniir berkata : ‘Perbedaan antara kondisi pengobatan dengan memandikan jenazah adalah bahwa memandikan jenazah merupakan ibadah, sedangkan pengobatan merupakan kondisi darurat, dan kondisi darurat membolehkan hal-hal yang (semula) dilarang” [Fathul-Baariy, 6/80].
حَدَّثَنَا يَحْيَي بْنُ يَحْيَي، أَخْبَرَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْزُو بِأُمِّ سُلَيْمٍ وَنِسْوَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ مَعَهُ إِذَا غَزَا فَيَسْقِينَ الْمَاءَ وَيُدَاوِينَ الْجَرْحَى "
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Ja’far bin Sulaimaan, dari Tsaabit, dari Anas bin Maalik, ia berkata : “Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berperang dengan membawa serta Ummu Sulaim dan beberapa wanita Anshaar lain bersama beliau. Apabila beliau berperang, mereka (para wanita) memberi air untuk minum dan mengobati pasukan yang terluka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1810].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
فِيهِ خُرُوج النِّسَاء فِي الْغَزْوَة وَالِانْتِفَاع بِهِنَّ فِي السَّقْي وَالْمُدَاوَاة وَنَحْوهمَا ، وَهَذِهِ الْمُدَاوَاة لِمَحَارِمِهِنَّ وَأَزْوَاجهنَّ ، وَمَا كَانَ مِنْهَا لِغَيْرِهِمْ لَا يَكُون فِيهِ مَسّ بَشَرَة إِلَّا فِي مَوْضِع الْحَاجَة
“Dalam hadits tersebut terdapat keterangan keluarnya wanita dalam peperangan dan kebolehan meminta bantuan mereka dalam pemberian air minum, pengobatan, dan yang lainnya. Pengobatan ini adalah untuk mahram-mahram dan suami-suami mereka. Adapun kepada selain mahram dan suami, maka tidak dilakukan dengan menyentuh kulit, kecuali pada tempat yang dibutuhkan saja” [Syarh Shahih Muslim, 6/437-438].
Dari hadits dan penjelasan ulama di atas nampak bahwa hukum darurat ini berlaku ketika tidak ada, atau ada tapi kekurangan, tenaga medis/dokter laki-laki, sementara orang yang sakit (laki-laki) perlu segera mendapatkan pertolongan.
b. Dokter mengobati tidak secara langsung dengan menyentuh bagian tubuh pasien.
Hukumnya adalah boleh dan disyari’atkan sepanjang tidak ada fitnah. Pengobatan ini misalnya dengan ruqyah syar’iyyah atau konsultasi verbal antara dokter wanita dengan pasien laki-laki. Bisa juga dengan diagnosa dari dokter wanita kepada pasien laki-laki dengan melihat ciri-ciri atau gejala penyakitnya (hasil lab., foto rontgen, dan yang lainnya).
Dalilnya adalah :
Firman Allah ta’ala :
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir” [QS. Al-Ahzaab : 53].
حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الدُّورِيُّ، ثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ، ثَنَا أَبِي، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، ثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَعْدٍ، أَنَّ أَبَا بَكْرِ بْنَ سُلَيْمَانَ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ الْقُرَشِيَّ، حَدَّثَهُ أَنَّ رَجُلا مِنَ الأَنْصَارِ نَمْلَةٌ خَرَجَتْ بِهِ، فَدُلَّ أَنَّ الشِّفَاءَ بِنْتَ عَبْدِ اللَّهِ تَرْقِي مِنَ النَّمْلَةِ، فَجَاءَهَا، فَسَأَلَهَا أَنْ تَرْقِيَهُ، فَقَالَتْ: وَاللَّهِ مَا رَقِيتُ مُنْذُ أَسْلَمْتُ، فَذَهَبَ الأَنْصَارِيُّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرَهُ بِالَّذِي قَالَتْ الشِّفَاءُ، فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ الشِّفَاءَ، فَقَالَ: " اعْرِضِي عَلَيَّ "، فَأَعْرَضَتْهَا عَلَيْهِ، فَقَالَ: " أَرْقِيهِ وَعَلَّمِيهَا حَفْصَةَ كَمَا عَلَّمْتِيهَا الْكِتَابَ ".
Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : telah menceritakan kepada kami Al-‘Abbaas bin Muhammad Ad-Duuriy : telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Ibraahiim bin Sa’d : Telah menceritakan ayahku, dari Shaalih bin Kaisaan : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Muhammad bin sa’d : Bahwasannya Abu Bakr bin Sulaimaan bin Abi Khaitsamah Al-Qurasyiy telah menceritakannya : Bahwasannya ada seorang laki-laki dari Anshaar terkena penyakit namlah (bisul yang tumbuh di lambung). Ditunjukkan kepadanya bahwasannya Asy-Syifaa’ bintu ‘Abdillah biasa meruqyah orang yang terkena penyakit namlah. Maka, ia pun mendatanginya meminta untuk meruqyahnya. Asy-Syifaa’ berkata : “Demi Allah, aku tidak pernah meruqyah lagi semenjak masuk Islam”. Orang Anshar itu pergi menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam dan mengkhabarkan kepada beliau apa yang dikatakan oleh Asy-Syifaa’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam memanggil Asy-Syifaa’, lalu bersabda : “Perlihatkan ruqyah-mu padaku”. Maka ia pun memperlihatkan ruqyahnya kepada beliau. Setelah itu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ruqyah-lah ia (laki-laki itu), dan ajarkanlah kepada Hafshah sebagaimana engkau mengajarkan kepadanya menulis” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak, 4/56-57. Al-Haakim berkata : “Hadits ini shahih sesuai persyaratan Syaikhain. Abu Bakr bin Sulaimaan telah mendengar hadits ini dari neneknya (Asy-Syifaa’)”].[2]
Sisi pendalilannya adalah : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Asy-Syifaa’ mengobati laki-laki tersebut dengan ruqyah. Ruqyah biasanya dilakukan tanpa melakukan kontak dengan tubuh pasien.
Meskipun diperbolehkan, jauh lebih baik jika laki-laki berobat ke dokter laki-laki dengan alasan menghindari fitnah. Selain itu, saat ini bukan hal yang sulit untuk mendapatkan dokter laki-laki, karena jumlahnya memang lebih banyak daripada dokter wanita.
Seandainya dilakukan, hendaknya tetap menjaga pandangan terhadap hal-hal yang diharamkan, menjaga aurat, dan tidak berkhalwat.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya. Baca juga artikel : Jika Wanita Berobat.......
[abul-jauzaa’ – ngaglik, sleman, yogyakarta, 1432 H].
[1] Haram hukumnya seorang wanita menyentuh tubuh/kulit laki-laki yang bukan mahramnya (begitu juga sebaliknya). Adapun dalil-dalil yang menunjukkan pengharamannya antara lain :
a. Allah ta’ala berfirman :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ * وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ.....
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya…” [QS. An-Nuur : 30-31].
Sisi pendalilannya : Jika memandang laki-laki atau wanita yang bukan mahramnya (tanpa keperluan) adalah terlarang berdasarkan ayat ini, maka menyentuh kulit/tubuh secara langsung lebih utama untuk dilarang. Efek syahwat yang ditimbulkan dari menyentuh lebih besar daripada sekedar melihat.
b. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، أَخْبَرَنَا أَبُو هِشَامٍ الْمَخْزُومِيُّ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ "
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Manshuur : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Hisyaam Al-Makhzuumiy : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib : telah menceritakan kepada kami Suhail bin Abi Shaalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sudah ditakdirkan bagi anak cucu Adam bagian dari zina yang pasti menimpanya. Kedua mata, zinanya adalah memandang; zina kedua telinga adalah mendengar; zina lisan adalah ucapan; zina tangan adalah memegang; zina kaki adalah langkah; dan zina hati adalah menghendaki sesuatu (berangan-angan); dan farajnya (kemaluannya) membenarkan atau mendustakannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2657].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
معنى الحديث أن ابن آدم قدر عليه نصيب من الزنا فمنهم من يكون زناه حقيقياً بإدخال الفرج في الفرج الحرام، ومنهم من يكون زناه مجازاً بالنظر الحرام أو الاستماع إلى الزنا وما يتعلق بتحصيله، أو بالمس باليد بأن يمس أجنبية بيده أو يقبلها، أو بالمشي بالرجل إلى الزنا أو النظر أو اللمس أو الحديث الحرام مع أجنبية ونحو ذلك، أو بالفكر بالقلب،
“Makna hadits ini adalah bahwa sudah ditakdirkan bagi anak cucu Adam bagian dari zina yang pasti menimpanya. Di antaranya ada yang ditimpa zina secara hakiki, yaitu dengan masuknya farji ke dalam farji yang diharamkan. Di antaranya pula ada yang ditimpa zina secara majaziy, yaitu dengan memandang atau mendengar sesuatu yang haram atau dengan menyentuh wanita ajnabiyyah (yang bukan mahramnya) dengan tangannya atau menciumnya, atau berjalan kaki dengan tujuan zina, atau bercakap-cakap untuk membicarakan sesuatu yang haram dengan wanita ajnabiyyah. Zina juga bisa lewat berpikir dengan hati akan sesuatu yang haram…” [Syarh Shahih Muslim, 16/206].
c. Hadits Umaimah bintu Ruqaiqah radliyallaahu ‘anhaa.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ الْمُنْكَدِرِ، قَالَ: سَمِعْتُ أُمَيْمَةَ بِنْتَ رُقَيْقَةَ، تَقُولُ: جِئْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ نُبَايِعُهُ، فَقَالَ لَنَا: " فِيمَا اسْتَطَعْتُنَّ وَأَطَقْتُنَّ، إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ "
Telah menceritakan kepada kami Abu bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, bahwasannya ia mendengar Muhammad bin Al-Munkadir, ia berkata : Aku mendengar Umayyah bintu Ruqaiqah berkata : Aku mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersama wanita-wanita lain untuk berbaiat kepada beliau. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami : “Terhadap apa saja yang kalian mampu dan sanggup melakukannya. Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan para wanita” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 2874; shahih].
Diriwayatkan juga oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ no. 1984, ‘Abdurrazzaaq no. 9826, Al-Humaidiy no. 344, Ahmad 6/357, At-Tirmidziy no. 1597 An-Nasaa’iy 7/149 & 152, Ibnu Hibbaan no. 4553, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 24/no. 470-473 & 475-476, dan yang lainnya.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
وأما مَدّ اليد والمصافحة في البيعة ، فذلك مِن السنة المسنونة ، فَعَلَها رسول الله صلى الله عليه وسلم والخلفاء الراشدون بعده ، وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يُصَافِح النساء
“Adapun mengulurkan tangan dan berjabat tangan dalam baiat, maka hal itu merupakan sunnah yang dianjurkan, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan al-khulafaaur-raasyiduun setelah beliau melakukannya. Namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamtidak berjabat tangan dengan wanita” [Al-Istidzkaar, 8/545].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وَفِي الْحَدِيث أَنَّ كَلَام الْأَجْنَبِيَّة مُبَاح سَمَاعه وَأَنَّ صَوْتهَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ ، وَمَنَعَ لَمْس بَشَرَة الْأَجْنَبِيَّة مِنْ غَيْر ضَرُورَة لِذَلِكَ
“Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa perkataan wanita ajnabiyyah boleh didengarkan dan suara mereka bukanlah aurat; serta dilarang untuk menyentuh kulit mereka bila tidak dalam keadaan darurat” [Fathul-Baariy, 13/204].
d. Atsar Ma’qil bin Yasaar radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ بَشِيرِ بْنِ عُقْبَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّيرِ، عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ، قَالَ: " لَأَنْ يَعْمِدَ أَحَدُكُمْ إلَى مِخْيَطٍ فَيَغْرِزُ بِهِ فِي رَأْسِي أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ تَغْسِلَ رَأْسِي امْرَأَةٌ لَيْسَتْ مِنِّي ذَاتَ مَحْرَمٍ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari Basyiir bin ‘Uqbah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin ‘Abdillah bin Asy-Syikhkhiir, dari Ma’qil bin Yasaar, ia berkata : “Salah seorang di antara kalian menusukkan jarum hingga menancap di kepalaku, itu lebih aku senangi daripada seorang wanita yang bukan mahramku mencuci/membasuh kepalaku” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 4/2:341 no. 17604; shahih].
Atsar mauquf ini lebih shahih daripada yang marfuu’ :
نَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ، نَا أَبِي، نَا شَدَّادُ بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي الْعَلاءِ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَعْقِلُ بْنُ يَسَارٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ تَمَسَّهُ امْرَأَة لا تَحِلُّ لَهُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Nashr bin ‘Aliy : Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku : Telah mengkhabarkan kepada kami Syaddaad bin Sa’iid, dari Abul-‘Alaa’, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasaar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Ditusuknya kepala seseorang dengan jarum dari besi lebih baik darinya daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya” [Diriwayatkan oleh Ar-Ruuyaaniy no. 1283].
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy 20/211-212 no. 486-487; dari dua jalan, dari Syaddaad bin Sa’iid, dari Abul-‘Alaa’ (Yaziid Asy-Syikhkhiir), dari Ma’qil bin Yasaar secara marfuu’.
Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 5182 : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin Ahmad bin ‘Abdaan : Telah memberitakan kepada kami Ahmad bin ‘Ubaid : Telah menceritakan kepada kami Al-Asfaathiy : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Sulaimaan An-Nasyathiy : Telah menceritakan kepada kami Syaddaad bin Sa’iid Abu Thalhah Ar-Raasibiy, dari Al-Jurairiy, dari Abul-‘Alaa’, dari Ma’qil bin Yasaar, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “…..(al-hadits)….”.
Dalam sanad Al-Baihaqiy terdapat sisipan perawi Al-Jurairiy antara Syaddaad dan Abul-‘Alaa’. Ini kekeliruan yang berasal dari Sa’iid bin Sulaimaan, seorang perawi dla’iif.
Terdapat perselisihan periwayatan yang berporos pada Abul-‘Alaa’. Syaddaad meriwayatkan secara marfuu’, sedangkan Basyiir bin ‘Uqbah meriwayatkan secara mauquf. Basyiir lebih kuat daripada Syaddaad. Ia (Basyiir) adalah perawi yang tsiqah, dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim. Adapun Syaddaad, bersamaan dengan tautsiq para imam, ia pun mendapatkan kritikan dari sebagian yang lain. Abu Ahmad Al-Haakim dan Al-Baihaqiy berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy)”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Kadang keliru”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Dijadikan i’tibar”.
e. Atsar Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah.
حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ غِيَاثٍ، قَالَ: سَمِعْتُ الْحَسَنَ، يَقُولُ: " لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تَغْسِلُ رَأْسَ رَجُلٍ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ مَحْرَمٌ "
Telah menceritakan kepada kami Ghundar, dari ‘Utsmaan bin Ghiyaats, ia berkata : Aku mendengar Al-Hasan berkata : “Tidak halal bagi seorang wanita mencuci/membasuh kepala seorang laki-laki yang tidak ada hubungan kemahraman antara keduanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 4/2:341 no. 17603; shahih].
[2] Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 178.
Comments
Apa hukumnya menantu mencium tangan mertuanya?
Jazakallaahu khoiron.
-- Abu Yahya --
ndak apa-apa.
wallaahu a'lam.
Assalamu alaikum ustadz, bagaimana jika Ibu yg sedang Hamil Periksa di dokter Kandungan Laki2, dikarenakan didaeranya tidak ada dokter kandungan Perempuan
Jika pemeriksaan itu sifat bukan pemeriksaan mendesak,, maka bisa konsultasi ke dokter umum yang wanita. Namun bila memang ada kelainan yang butuh perawatan/pemantauan serius dari dokter kandungan - sementara tidak ada dokter kandungan wanita di tempat tersebut - , maka boleh periksa ke dokter kandungan laki-laki. Dan itu pun harus dijaga adab-adabnya. Misal : Kalau pemeriksaan bisa dilakukan tanpa menyentuh bagian tubuh wanita itu, maka tidak perlu menyentuh. Jika pemeriksaan tidak perlu sampai membuka aurat, maka tidak perlu membuka aurat. Dan seterusnya. Hal darurat itu dipergunakan menurut kadar kebutuhannya saja. Dan satu lagi perlu diingat, harus didampingi mahramnya (= suami).
bagaimana sebaiknya untuk muslimah yg berprofesi sebagai dokter.. karena sepertinya di rumah sakit/ klinik menerima pasien baik laki-laki atau perempuan.
Posting Komentar