Al-Imaam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَيُّوبَ الْمَوْصِلِيُّ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ بُرْقَانَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ، قَالَ: سُئِلَ عَلِيٌّ عَنْ قَتْلَى يَوْمِ صِفِّينَ، فَقَالَ: " قَتْلَانَا وَقَتَلَاهُمْ فِي الْجَنَّةِ، وَيَصِيرُ الْأَمْرُ إِلَيَّ وَإِلَى مُعَاوِيَةَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ayyuub Al-Maushiliy, dari Ja’far bin Burqaan, dari Yaziid bin Al-Asham, ia berkata : ‘Aliy pernah ditanya tentang orang-orang yang terbunuh di perang Shiffiin, maka ia berkata : “Orang yang terbunuh dari kami dan dari mereka ada di surga". Dan perkara tersebut akan ada antara aku dan Mu’aawiyyah [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 15/302].
Keterangan perawi :
1. ‘Umar bin Ayyuub Al-‘Abdiy, Abu Hafsh Al-Maushiliy; adalah seorang yang tsiqah (w. 188 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya.
Ahmad bin Handal berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Dalam riwayat lain ia mengatakan : “Tsiqah”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah ma’muun”. Abu Daawud berkata : “Tsiqah”. Abu Haatim berkata : “Shaalih”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Haditsnya dapat dijadikan i’tibar dari periwayatan perawi tsiqaat darinya, dan riwayatnya yang berasal dari perawi tsiqaat”. Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”. Ibnu Wadldlah berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq lahu auhaam (jujur namun mempunyai beberapa keraguan)”. Adz-Dzahabiy berkata : “Haafidh lagi tsabat”.
[lihat : Mausu’ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad 3/64 no. 1918, Tahdziibul-Kamaal 21/278-281 no. 4204, Tahdziibut-Tahdziib 7/428-429 no. 699, Taqriibut-Tahdziib hal. 714 no. 4901, dan Al-Kaasyif 2/55 no. 4026].
Penyimpulan dari Ibnu Hajar di atas kurang tepat, karena jumhur ulama mutaqaddimiin telah menghukuminya sebagai perawi tsiqah. Adapun mengambil perkataan Abu Haatim dan Ibnu Hibbaan dalam penyifatan bahwa ia mempunyai beberapa keraguan kuranglah bisa diterma, sebab di sini mereka berdua ketika menta’dilnya tidak menjelaskan qarinah kelemahan yang ada pada diri ‘Umar bin Ayyuub. Wallaahu a’lam.
2. Ja’far bin Burqaan Al-Kilaabiy, Abu ‘Abdillah Al-Jazriy; seorang yang tsiqah dalam periwayatan selain dari Az-Zuhriy (w. 150 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya.
Ahmad berkata : “Jika ia meriwayatkan dari selain Az-Zuhriy, tidak mengapa dengannya. Namun jika ia meriwayatkan dari Az-Zuhriy, sering keliru”. Di lain riwayat ia berkata : “Tsiqah lagi dlaabith untuk hadits yang ia riwayatkan dari Maimuun dan Yaziid bin Al-Asham”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah” – namun ia mendla’ifkan riwayatnya yang berasal dari Az-Zuhriy. Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair berkata : “Tsiqah, namun hadits-haditsnya yang berasal dari Az-Zuhriy goncang (mudltharibah)”. Ya’quub bin Sufyaan berkata : “Tsiqah”. Ibnu Sa’d berkata : “Ia seorang yang tsiqah lagi shaaduq,…. namun ia mempunyai banyak kekeliruan dalam haditsnya”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat dalam riwayat Az-Zuhriy, namun tidak mengapa dari selainnya”. Ibnu Khuzaimah berkata : “Tidak boleh berhujjah dengan keduanya (yaitu Abu Bakr Al-Hudzaliy dan Ja’far bin Burqaan) jika ia menyendiri dalam periwayatan”. Haamid bin Yahyaa Al-Balkhiy berkata : “Tsiqah”. Marwaan bin Muhammad berkata : “Tsiqah lagi ‘adil”. Ats-Tsauriy berkata : “Aku tidak melihat orang yang lebih utama (afdlal) daripada Ja’far bin Burqaan”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Tsiqah, … namun lemah dalam riwayat Az-Zuhriy secara khusus”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Adapun haditsnya yang berasal dari Maimuun bin Mihraan dan Yaziid bin Al-Asham, maka tsaabit lagi shahiih”. As-Saajiy berkata : “Ia mempunyai riwayat-riwayat munkar”. Ibnu Hibbaan, Ibnu Syaahiin, Ibnu Khalfuun mentsiqahkannya. Adz-Dzahabiy berkata : Shaduuq masyhuur”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, banyak keliru dalam hadits Az-Zuhriy”.
[lihat : Mausu’ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad 1/195-196 no. 373, Taariikh Asmaa’ Ats-Tsiqaat hal. 86 no. 153, Tahdziibul-Kamaal 5/11-18 no. 934, Tahdziibut-Tahdziib 2/84-86 no. 131, Taqriibut-Tahdziib hal. 198 no. 940, dan Man Tukulluma fiih hal. 146-147 no. 66].
Jumhur ulama telah mentsiqahkan Ja’far bin Burqaan – khususnya periwayatannya dari Maimuun dan Yaziin bin Al-Asham) - , dan menjelaskan pelemahan mereka secara khusus periwayatannya yang berasal dari Az-Zuhriy. Adapun perkataan As-Saajiy yang mengatakan ia mempunyai riwayat-riwayat yang munkar, dan juga perkataan Ibnu Sa’d bahwa ia mempunyai banyak kekeliruan dalam haditsnya; maka itu dibawa pada penjelasan jumhur, yaitu khusus riwayatnya yang berasal dari Az-Zuhriy. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
3. Yaziid bin Al-Asham ‘Amru bin ‘Ubaid bin Mu’aawiyyah Al-Bakaa’iy, Abu ‘Auf Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah (w. 103 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya.
Al-‘Ijliy, Abu Zur’ah, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Adz-Dzahabiy dan Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah”.
[lihat : Tahdziibul-Kamaal 32/83-86 no. 6961, Tahdziibut-Tahdziib 11/313-314 no. 600, Taqriibut-Tahdziib hal. 714 no. 4901, dan Al-Kaasyif 2/380 no. 6280].
Kesimpulan : Riwayat ini shahih sesuai persyaratan Muslim, para perawinya tsiqaat, sanadnya muttashil, tanpa ada cacat (‘illat). Adapun perkataan Al-Mizziy dan Adz-Dzahabiy bahwa riwayatnya dari 'Aliy tidak shahih (dla'iif), maka ini tidak menunjukkan bahwa riwayat di atas munqathi' lagi dla'iif. Sebab, Adz-Dzahabiy sendiri dalam As-Siyar mengatakan bahwa ia bertemu dengan 'Aliy bin Abi Thaalib di Kuufah semasa kekhalifahannya [As-Siyar, 4/517 no. 211]. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa riwayatnya dari 'Aliy tidak shahih adalah periwayatan 'Abdullah bin Muharrar, dari Yaziid, dari 'Aliy; karena Ibnu Muharrar ini matruuk.
Sebagaimana kita semua tahu,… orang-orang Syi’ah telah mengkafirkan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan dan semua pendukungnya yang memerangi ‘Aliy. Tentu saja ini kontradiktif dengan perkataan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu di atas. Seandainya Mu’aawiyyah itu kafir dan terlaknat dalam Islam (seperti kata mereka), bukankah menjadi kemestian orang yang membelanya itu juga kafir karena membela orang kafir dalam memerangi kaum muslimin ?
Mungkin sebagian mereka akan beralasan : Yang masuk surga itu adalah yang mati, sedangkan yang hidup tidak.
Jika memang demikian jawaban mereka, maka ini tertolak lagi bertentangan dengan firman Allah ta’ala :
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” [QS. Aali ‘Imraan : 28].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” [QS. Al-Maaidah : 51].
Ayat di atas menjelaskan orang yang berwala’ kepada orang kafir dalam keadaan sukarela tanpa ada paksaan, maka ia termasuk golongan mereka.
Juga bertentangan dengan logika dasar orang Syi’ah tentang kekafiran Mu’aawiyyah dan pendukungnya yang menggunakan hadits :
عن أم سلمة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لعمار تقتلك الفئة الباغية
Dari Ummu Salamah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada ‘Ammaar (bin Yaasir) : “Engkau akan dibunuh oleh kelompok ‘baaghiyyah’ [Shahih Muslim no. 2916].
Kelompok baaghiyyah ini adalah kelompok yang mereka (Syi’ah) sebut sebagai nawaashib, dan nawaashib mereka hukumi kaafir. ‘Ammaar radliyallaahu ‘anhu sendiri terbunuh dalam perang Shiffiin.
Tidak ada bedanya antara yang hidup dan mati, karena yang dipertimbangkan adalah hakekat perbuatan dan niatnya. Ini seperti sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا، فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا الْقَاتِلُ، فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ؟ قَالَ: إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ "
“Apabila dua orang muslim bertemu (bertengkar) dengan pedang yang mereka bawa, maka orang yang membunuh dan yang dibunuh masuk neraka”. Aku[1] berkata : “Wahai Rasulullah, kalau orang yang membunuh ini (saya paham), tapi mengapa yang terbunuh juga masuk neraka ?”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya ia juga berupaya membunuh shahabatnya” [Muttafaqun ‘alaihi].
Dan sekali lagi perlu saya ingatkan, ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu dalam perkataannya di atas telah menyamakan (secara bersamaan) kedudukan orang yang mati dalam perang Shiffin masuk surga.
Oleh karena itu, paling tidak ada tiga opsi dalam permasalahan ini yang dapat saya tawarkan :
1. ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu yang ma’shum telah salah berijtihad dalam riwayat di atas.
2. Allah dan Rasul-Nya telah salah dalam menetapkan hukum (karena bertentangan dengan perkataan ‘Aliy bin Abi Thaalib yang ma’shum).
3. Orang Syi’ah telah salah dalam merekonstruksi ‘aqidah atas klaim kekafiran terhadap Mu’aawiyyah dan pendukungnya.
Ketiganya memang pahit untuk diambil, tapi harus. Atau ada pilihan lain yang lebih ringan ? Silakan.
Wallaahu a’lam.
Lihat juga artikel berikut :
[abul-jauzaa’ – Yogyakarta, 15032011].
Comments
Assalamu'alaikum ustadz,
Usul nih, agar berimbang kiranya ustadz jg menulis artikel mengenai sikap Mu'awiyyah -radhiyallahu 'anhu- ketika beliau mengetahui Ali -radhiyallahu 'anhu- wafat dibunuh oleh Ibnu Muljam. Agar org2 syi'i rafidhi jg mengetahui sikap sbnrnya Mu'awiyyah terhadap Ali.
wa'alaikumus-salaam.
Berbicara kepada syi'ah, sangat sulit kiranya untuk menampilkan ucapan dan sikap Mu'aawiyyah, karena ia dianggap sebagai pendusta, munafik, bahkan kafir. Tapi tidak mengapa lain waktu nanti akan dituliskan mengenai hal itu. Semoga dimudahkan.
Ada yang menta'lil riwayat di atas dengan perkataan Adz-Dzahabiy, bahwasannya riwayat Yaziid dari 'Aliy tidak shahih. Sebenarnya telah saya bahas dalam artikel di atas tentang 'ta'lil' ini. Tapi tidak mengapa jika saya ulang.
Persisnya begini perkataan Adz-Dzahabiy :
ولم تصح روايته عن علي، وقد أدركه وكان بالكوفة في خلافته
"Tidak shahih riwayatnya dari 'Aliy. Ia (Yaziid) bertemu dengan 'Aliy ketika berada di Kuufah pada masa pemerintahannya ('Aliy)" [As-Siyar, 4/517].
Apa yang dikatakan Adz-Dzahabiy ini ini didahului oleh gurunya, Al-Mizziy dimana ia berkata ketika menyebutkan biografi Yaziid :
روى عن علي بن أبي طالب (من طريق ضعيف)
"Meriwayatkan dari 'Aliy bin Abi Thaalib dari jalan yang lemah" [Tahdziibul-Kamaal].
Silakan perhatikan perkataan dua imam di atas. Perkataan Adz-Dzahabiy adalah semisal dengan perkataan Al-Miziiy. Yaziid bin Al-Asham meriwayatkan dari 'Aliy dari jalan yang lemah. Atau tidak shahih hadits Yaziid bin Al-Asham dari 'Aliy. Maksudnya, menurut beliau berdua, jalan hadits Yaziid dari 'Aliy, sanadnya lemah, tidak shahih sampai Yaziid. Ini jelas sekali dalam perkataan di atas.
Sangat aneh jika perkataan di atas diekuivalenkan dengan perkataan Ibnul-Madini tentang 'Atha' :
“ia melihat Abu Sa’id Al Khudri tawaf di baitullah dan ia melihat Abdullah bin Umar tetapi tidak mendengar hadis dari keduanya” [Jami’ Al Tahsil Fii Ahkam Al Marasil no 520]..
Tentu saja tidak sama.
Pertama, lafadhnya sudah jelas menunjukkan makna yang jauh berlainan.
Kedua, Al-Miziiy jika ia mengindikasikan kemursalan satu jalan, ia akan mengatakan dengan jelas : MURSAL. Namun di sini ia menggunakan lafadh : 'Diriwayatkan dari jalan yang lemah'. Maknanya, sanadnya itu tidak shahih sampai Yaziid.
Ketiga, lafadh 'bertemu' itu lebih khusus dari sekedar melihat. Lafadh 'bertemu' (idraak) dalam ilmu hadits mengindikasikan bersambungnya riwayat.
Keempat, tidak ada perkataan ulama mutaqaddimiin yang mengatakan bahwa hadits Yaziid dari 'Aliy mursal.
Oleh karena itu, riwayat di atas adalah shahih, tanpa ada cacat. Janganlah berhalusinasi untuk mencacatkan hadits di atas dengan alasan-alasan yang tidak tepat.
Adapun perkara 'Aliy saat konfrontasinya dengan Mu'aawiyyah melakukan pelaknatan, maka begitu juga dengan Mu'aawiyyah yang melakukan pelaknatan kepada pihak 'Aliy. Karena dua orang shahabat yang mulia ini memang sedang berselisih.
Permasalahannya adalah - dan itu yang menjadi fokus pembicaraan artikel di atas - , apakah Mu'aawiyyah itu statusnya kafir menurut pandangan 'Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu 'anhumaa ? Mungkin orang Syi'ah sedang kebingungan menjawabnya. Riwayat di atas adalah satu nash, dan masih banyak nash-nash lain yang perlu dijawab oleh orang Syi'ah. Silakan baca sekali lagi :
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/11/aliy-bin-abi-thaalib-muaawiyyah-adalah.html
Juga riwayat berikut :
وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَالْحَسَنُ إِلَى جَنْبِهِ يَنْظُرُ إِلَى النَّاسِ مَرَّةً وَإِلَيْهِ مَرَّةً وَيَقُولُ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
Telah menceritakan kepada kami Shadaqah : telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah : Telah menceritakan kepada kami Abu Muusaa, dari Al-Hasan bahwasannya ia mendengar Abu Bakrah : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar bersabda - ketika itu Al-Hasan berada di samping beliau, sesekali beliau melihat ke arah orang banyak dan sesekali melihat kepadanya : "Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid (pemimpin) dan semoga dengan perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum Muslimin" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3746]
Apa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam saat itu keliru mengucapkannya ? karena bertentangan dengan perkataan para imam. Atau, para imam Syi'ah yang keliru karena bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ? Atau memang keyakinan Syi'ah terhadap Mu'aawiyyah inilah yang rusak, yang tidak punya sanad dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ataupun dari 'Aliy ataupun Al-Hasan radliyallaahu 'anhumaa ?
Nampaknya, orang-orang Syi'ah Indonesia harus rela mengatakan :
Kami tidak akan berdalil dengan nash-nash Ahlus-Sunnah yang bertentangan dengan keyakinan kami. Kami hanya berdalil dengan nash-nash Ahlus-Sunnah yang sesuai dengan keyakinan kami.
Jika memang demikian urusannya, saya ucapkan :
Good bye to ya friends.......
Hehehe yah begitulah pak ustadz, rafidhi selalu mencari2 jalan yg tidak semestinya untuk melemahkan sebuah riwayat yg asalnya shahih karena ia shock dan pusing tujuh keliling (kayak kambing mabok) jika ia membaca riwayat shahih dari Ali mengenai pandangan beliau thd Muawiyyah -radhiyallahu 'anhuma- karena memang tidak sesuai dengan "nafsu birahi" mereka, hehehe...
Makanya di komentar pertama, saya usul ustadz nantinya jg menulis riwayat bagaimana pandangan Muawiyyah thd Ali ketika Ali wafat dibunuh oleh Ibnu Muljam, kami sbg ahlussunnah jg ingin belajar dan mengetahui bagaimana riwayat itu dilihat dari sisi takhrijnya spt spesialisasi ustadz dalam takhrij hadits selama ini. Jadi, biarkan saja bila syi'ah rafidhi tidak terima dan saya yakin palingan ada lg yg menta'lil walaupun ta'lilnya bikin org ngakak dan terheran2 :D :D
Semoga ustadz dimudahkan oleh Allah Ta'ala.
Ehem saya ingin menanggapi jawaban dari yang saya sebut “orang yang tidak mampu memahami perkataan orang lain”. Ia begitu bersemangat membantah kami soal illat [cacat] riwayat Imam Ali yang ia jadikan hujjah tetapi anehnya tidak ada satupun bantahan itu yang mengena selain klaim atau ngaku-ngaku
Inilah perkataan Adz Dzahabiy tentang Yazid bin Al Ashaam
ولم تصح روايته عن علي، وقد أدركه وكان بالكوفة في خلافته
Tidak shahih riwayatnya dari Ali ia bertemu dengannya di Kufah pada masa pemerintahannya.
Perkataan Adz Dzahabi ini tidak persis sama dengan perkataan Al Mizzi. Al Mizzi mengatakan “meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib [dari jalan yang dhaif]“. Adz Dzahabi mengatakan riwayat Yazid dari Ali tidak shahihwalaupun ia dikatakan bertemu dengan Ali pada masa pemerintahannya. Jadi disini terdapat indikasi kalau Yazid bertemu dengan Ali tetapi tidak mendengar hadis darinya, ini memang dugaan tetapi sudah cukup sebagai illat [cacat].
Aneh bin ajaib “orang itu” mengatakan bahwa maksud Adz Dzahabi adalah tidak shahih itu maksudnya sanadnya tidak shahih sampai Yazid. Ini keliru jika yang dimaksud makna perkataan Al Mizzi maka itu benar tetapi jika yang dimaksud perkataan Adz Dzahabi maka ia keliru karena Adz Dzahabi dengan jelas mengatakan riwayatnya dari Ali tidak shahih. Kalau memang begitu seharusnya Adz Dzahabi mengatakan seperti Al Mizzi yaitu ia meriwayatkan dari Ali dari sanad yang dhaif atau riwayat Yazid dari Ali sanadnya tidak shahih sampai ke Yazid bukan dengan perkataan riwayatnya dari Ali tidak shahih. Perkataan seperti ini menunjukkan kelemahan itu ada pada sisi antara Yazid dan Ali, sehingga disini dapat dipahami bahwa Yazid bertemu dengan Ali tetapi tidak mendengar hadis darinya.
Sebelumnya saya mengatakan bahwa kasus seperti ini masih mungkin. Terdapat perawi yang bertemu dengan perawi lain tetapi tidak mendengar hadis darinya sehingga hadisnya dinilai tidak shahih. Diantaranya saya mengutip tentang Atha’ bin Abi Rabah.
“orang itu” terlalu bersemangat membantah sampai ia mudahnya membuat aturan ilmu hadis yang diada-adakannya sendiri. Ia mengatakan lafaz bertemu itu lebih khusus dari melihat, lafaz bertemu [idraak] dalam ilmu hadis mengindikasikan bersambungnya riwayat.
Saya jawab : secara umum lafaz periwayat “dari” atau lafaz “melihat” atau lafaz “bertemu” adalah lafaz yang menunjukkan sanad tersebut muttashil dengan syarat kalau lafaz “an” perawi itu bukan mudallis dan kalau lafaz “bertemu” atau “melihat” dianggap muttashil selagi tidak ada keterangan yang mengindikasikan hadis tersebut munqathi’.
Perkataan “orang itu” kalau lafaz “idraak” berarti bersambung tertolak dengan adanya para perawi yang memang bertemu tetapi tidak mendengar hadis dari perawi lain. Salah satu contohnya adalah Rufai’ bin Mihraan Abu ‘Aliyah ia salah satu tabiin perawi kutubus sittah.
رفيع أبو العالية الرياحي قال شعبة وابن معين أدرك عليا رضي الله عنه ولم يسمع منه
Rufai’ Abu ‘Aliyah Ar Riyaahi, Syu’bah dan Ibnu Ma’in berkata “ia menemui [idraak] Ali radiallahu ‘anhu tetapi tidak mendengar hadis darinya” [Jami' Al tahsil Fi Ahkam Al Marasil no 190].
Contoh lain, Ibnu Abi Hatim berkata tentang Hushain bin Jundub Abu Zhabyan
سمعت أبي يقول حصين بن جندب أبو ظبيان قد أدرك ابن مسعود ولا أظنه سمع منه
Aku mendengar ayahku [Abu Hatim] mengatakan Hushain bin Jundub Abu Zhabyan sungguh bertemu [idraak] Ibnu Mas’ud tetapi aku tidak menganggap ia mendengar hadis darinya [Al Marasil Ibnu Abi Hatim 1/50 no 67]
Jadi walaupun Adz Dzahabi sendiri mengatakan Yazid bin Al Asham bertemu dengan Ali, Adz Dzahabi sendiri menyatakan kalau riwayat Yazid dari Ali tidak shahih. maka ini cukup sebagai illat [cacat] kalau sanad tersebut mungkin terputus
Sungguh perkataan “orang itu” kalau lafaz “idraak’ sudah pasti bersambung hanya muncul dari halusinasinya saja. Mungkin ia pikir cuma dirinya saja yang paling paham soal ilmu hadis
Ocehannya yang lain adalah perkataan kalau tidak ada ulama mutaqaddimin yang mengatakan riwayat Yazid dari Ali mursal. Saya jawab : tidak ada juga ulama mutaqaddimin yang mengatakan Yazid meriwayatkan dari Ali atau tidak ada ulama mutaqaddimin yang mengatakan salah satu guru Yazid bin Al Asham adalah Ali bin Abi Thalib radiallahu ‘anhu.
Mari kita lihat biografi yang ditulis ulama mutaqaddimin yang memuat biografi Yazid bin Al Ashaam. Ibnu Abi Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 9/22 no 1055, Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 8 no 3157]. Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 7/429. Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat juz 5 no 6083. Tidak ada satupun dari mereka yang mengatakan Yazid bin Al Asham meriwayatkan dari Ali. tetapi Adz Dzahabi mengatakan riwayatnya dari Ali tidak shahih maka ini cukup sebagai illat yang membuat kami ragu untuk menerima hadis ini. Masih terdapat kemungkinan kalau Yazid bin Al Asham tidak mendengar hadis dari Ali walaupun ia bertemu dengannya.
“orang Itu” ternyata mengakui kalau Imam Ali telah melaknat Muawiyah dalam perselisihan tetapi ia berusaha mengesankan seolah-olah pelaknatan adalah sesuatu yang lumrah dalam berselisih jadi menurutnya Imam Ali melaknat Muawiyah dan begitu pula Muawiyah melaknat Imam Ali. Kalau memang orang tersebut mengakui maka tidak ada alasan baginya untuk mengatakan bahwa pandangan Imam Ali terhadap Muawiyah yaitu Muawiyah berijtihad dan ijtihadnya tetap mendapat pahala. Kalau memang Imam Ali melaknat Muawiyah atau mendoakan agar Allah SWT menghukum Muawiyah dan pengikutnya maka itu berarti dalam pandangan Imam Ali, kelompok Muawiyah itu berada di atas jalan yang sesat atau bathil. Kalau saya tidak pernah menyamakan Imam Ali dengan Muawiyah, jauh sekali bagaikan langit dan bumi
Saya pribadi tidak ada urusan dengan ocehan waham orang itu bahwa fokusnya adalah apakah Muawiyah kafir dalam perang shiffin?. Saya tidak pernah mengatakan Muawiyah kafir dalam perang shiffin. Pada saat itu ia jelas seorang muslim dan menampakkan dirinya sebagai seorang muslim. Satu-satunya artikel kami yang mungkin berkaitan soal ini adalah Muawiyah itu pada akhir hayatnya ia mati tidak dalam agam islam, hal itu diriwayatkan oleh hadis shahih sebagaimana yang telah dibahas. Jadi bukan dalam perang shiffin
Kemudian ia membawakan riwayat berikut
Telah menceritakan kepada kami Shadaqah : telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah : Telah menceritakan kepada kami Abu Muusaa, dari Al-Hasan bahwasannya ia mendengar Abu Bakrah : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar bersabda – ketika itu Al-Hasan berada di samping beliau, sesekali beliau melihat ke arah orang banyak dan sesekali melihat kepadanya : “Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid (pemimpin) dan semoga dengan perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum Muslimin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3746]
Saya menerima hadis ini dan tidak ada tuh saya menolak hadis ini. Apa yang ia inginkan dari hadis ini?. Jika ia mau mengatakan Muawiyah tidak kafir dalam perang shiffin maka saya pun tidak pernah mengatakan Muawiyah kafir dalam perang shiffin. jadi hujjahnya dengan membawa hadis ini hanya menunjukkan waham kebenciannya kepada Syiah sehingga ketika ada orang bukan syiah membantah tulisannya ia malah bersikap seolah-olah sedang berhadapan dengan orang Syiah. Sepertinya “orang Itu” punya penyakit siapapun yang menyudutkan Muawiyah akan ia anggap sebagai Syiah.
Lain ceritanya jika ia berhujjah dengan hadis Imam Hasan sebagai Sayyid yang mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin sebagai alasan untuk membela atau mengangkat derajat Muawiyah. Saya katakan itu mengada-ada dan asal berhujjah. kelompk Muawiyah memang kelompok kaum muslimin tetapi mereka saat perang shiffin berada di atas kebathilan yang mengajak ke neraka.
Rupanya ada yg sedang bertaqiyah nih disini hehehe...
Tentang ta'lil yang Anda bela, justru saya merasa sangat heran dengan Anda. Lafadh idraak adalah lafadh yang menunjukkan kebersambungan sanad. Bukankah Anda mencontohkan tentang kasus 'Athaa' yang hanya sekedar melihat namun tidak meriwayatkan ? Tentu saja, ini berbeda.
Mungkin saja penggunaan lafadh idraak akan mengkonsekuensikan sebuah hadits mursal sebagaimana itu dibahas dalam mursal khafiy. Akan tetapi ini harus ada qarinah tegas tegas. Pertanyaan kecil saya :
Adakah pernyataan dari ulama mutaqaddimiin sebelum Adz-Dzahabiy yang mengatakan riwayat Yaziid dari 'Aliy itu mursal ?.
Kalau saya yang menjawab : "Tidak ada".
Yang saya ketahui yang jelas-jelas mengatakan mursal adalah Al-'Alaaiy, tapi itu bukan dari riwayat 'Aliy, tapi riwayat yang disandarkan langsung kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Salaf dari perkataan Adz-Dzahabiy yang semakna adalah Al-Mizziy, yang notabene adalah gurunya. Oleh karena itu, perkataan ini dibawa pada satu makna, karena memang dhahirnya demikian. Dalam kitab Maghaanil-Akhbaar, juga dituliskan sebagaimana yang dikatakan Al-Mizziy.
Dalam Taarikh Dimasyq disebutkan beberapa riwayat kisah Yaziid ini ketika ia bertemu dengan 'Aliy, Mu'aawiyyah, dan Al-Husain bin 'Aliy (walau saya sendiri belum meneliti satu persatu akurasi/keshahihan masing-masing riwayat).
Adalah lucu Anda berhujjah bahwa Al-Bukhaariy, Ibnu Abi Haatim, atau Ibnu Hibbaan tidak menyebutkan 'Aliy dalam jajaran syaikh Yaziid sebagai satu indikasi bahwa riwayatnya dari 'Aliy munqathi'. Apa tidak ada alasan lain yang lebih bagus dari ini ? Adakah mereka mengatakan penafikkan itu ? Tidak, karena itu murni perkataan Anda semata. Selain itu, yang menjadi hujjah adalah riwayat. Adapun penyebutan biografi oleh Al-Bukhaariy, Ibnu Abi Haatim, dan yang lainnya bukanlah sebagai pembatas sebagaimana Anda juga telah ketahui. Bukankah banyak contoh yang seperti ini ?
Intinya, riwayat di atas adalah shahih lagi muttashil.
Yaziid juga mempunyai mutaba'ah dari 'Utbah bin Abi 'Utbah :
أَنَا بِحَدِيثِهِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ رِزْقَوَيْهِ، وَالْحَسَنُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ، قَالا: أَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الْمُعَدَّلُ، نا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحَسَنِ الْهَاشِمِيُّ، نا شَبَابَةُ، نا حَمْزَةُ بْنُ دِينَارٍ، عَنْ عُتْبَةَ بْنِ أَبِي عُتْبَةَ، قَالَ: وَقَفَ عَلِيٌّ عَلَى قَتْلاهُ وَقَتْلَى مُعَاوِيَةَ، فَقَالَ: " غَفَرَ اللَّهُ لَكُمْ لِلْفَرِيقَيْنِ جَمِيعًا "
Telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Rizqawaih dan Al-Hasan bin Abi bakr, mereka berdua berkata : Telah memberitakan kepada kami 'Abdullah bin Ishaaq bin Ibraahiim Al-Mu'addal : Telah memberitakan kepada kami 'Abdullah bin Al-Hasan Al-Haasyimiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Syabaabah : Telah mengkhabarkan hamzah bin Diinaar, dari 'Utbah bin Abi 'Utbah, ia berkata : 'Aliy berhenti di dekat orang-orang yang terbunuh dari pihaknya dan pihak Mu'aawiyyah. Lalu ia berkata : "Semoga Allah mengampuni kalian dua kelompok ini semuanya" [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam At-Talkhiish no. 1249].
Riwayat ini lemah karena Yaziid bin Diinar adalah majhuul haal(dua orang tsiqah meriwayatkan darinya : Husyaim dan Syabaabah) dan keterputusan antara 'Utbah dengan 'Aliy. Namun ia bisa dijadikan i'tibar.
saya pun tidak ada urusannya dengan hadits lemah yang Anda katakan bahwa Mu'aawiyyah meninggal dalam keadaan kaafir. Saya pun telah membahasnnya. Yang shahih dalam Shahihain, bahwasannya Mu'aawiyyah diberitakan balasan baginya jannah.
Kalau Anda tidak menolak hadits Al-Hasan, ya syukurlah. Berarti itu tidak tertuju kepada Anda, tapi tertuju kepada orang-orang Syi'ah yang mirip Anda. Musang seperti Anda memang mudah mengatakan : Saya bukan Syi'ah. Terus bermimpilah bahwa Anda bukan seorang Syi'ah....
Sesat pikir menjangkiti Anda ketika Anda tidak mampu menangkap esensi yang saya katakan. Bukankah saya mengatakan tentang hadits perdamaian antara Al-Hasan dan Mu'aawiyyah itu menandakan bahwa Mu'aawiyyah bukanlah seorang yang kafir ? Bukankah orang-orang Syi'ah telah menstigma kafir semenjak pertama kali konfrontasi Mu'aawiyyah dengan 'Aliy.
Urusan Anda tidak mau menerima hadits ini.....
Tentang ta’lil yang Anda bela, justru saya merasa sangat heran dengan Anda. Lafadh idraak adalah lafadh yang menunjukkan kebersambungan sanad. Bukankah Anda mencontohkan tentang kasus ‘Athaa’ yang hanya sekedar melihat namun tidak meriwayatkan ? Tentu saja, ini berbeda.
Saya membawa contoh itu hanya untuk menunjukkan kalau ada saja perawi bertemu perawi lain tetapi tidak mendengar hadisnya. Anda malah mempermasalhkan lafaz idraak makanya saya ganti dengan contoh lain yang memang ada lafaz idraak. Intinya lafaz idraak tidak selalu muttashil tergantung qarinahnya.
Adakah pernyataan dari ulama mutaqaddimiin sebelum Adz-Dzahabiy yang mengatakan riwayat Yaziid dari ‘Aliy itu mursal ?.
Kalau saya yang menjawab : “Tidak ada”.
Yang saya ketahui yang jelas-jelas mengatakan mursal adalah Al-’Alaaiy, tapi itu bukan dari riwayat ‘Aliy, tapi riwayat yang disandarkan langsung kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Kalau anda meminta qarinah yang seperti itu, ya saya jawab “tidak ada”. Qarinah saya hanya pada pernyataan Dzahabi bahwa riwayat Yazid dari Ali tidak shahih dan tidak ada satupun ulama mutaqaddimin yang menyatakan Yazid meriwayatkan atau berguru kepada Ali. Bagi saya itu sudah cukup sebagai illat yang membuat saya ragu, ditambah lagi dengan matannya yang bertentangan dengan hadis shahih. soal matan sudah saya bahas di atas.
Dulu anda gampangan sekali melemahkan riwayat Abu Shalih dari Malik Ad Daar hanya dengan qarinah pernyataan Al Khalili bahwa “sebagian mengatakan ia mengirsalkannya“. Anda gak peduli dengan qarinah Al Khalili bahwa sebagian yang lain mengatakan Abu Shalih mendnegar hadis dari Malik Ad Daar. Anda gak peduli dengan fakta bahwa tidak ada satupun ulama mutaqaddimin yang menyatakan riwayat Abu Shalih dari Malik adalah irsal. Sekarang kalau saya berhujjah dengan qarinah perkataan Dzahabi bahwa riwayat Yazid dari Ali tidak shahih dan qarinah bahwa Yazid tidak dikenal meriwayatkan dari Ali [di kalangan mutaqaddimin] kenapa anda malah sewot, yang anda lakukan dahulu itu jauh lebih parah
Salaf dari perkataan Adz-Dzahabiy yang semakna adalah Al-Mizziy, yang notabene adalah gurunya. Oleh karena itu, perkataan ini dibawa pada satu makna, karena memang dhahirnya demikian. Dalam kitab Maghaanil-Akhbaar, juga dituliskan sebagaimana yang dikatakan Al-Mizziy.
Kalau mau berpegang pada zhahir perkataan maka sudah saya katakan zahir perkataan Dzahabi adalah riwayatnya dari Ali tidak shahih. sudah dibahas di atas bahwa makna lafaz ini illat itu berada antara Yazid dan Ali, bukannya sanad sblum Yazid
Dalam Taarikh Dimasyq disebutkan beberapa riwayat kisah Yaziid ini ketika ia bertemu dengan ‘Aliy, Mu’aawiyyah, dan Al-Husain bin ‘Aliy (walau saya sendiri belum meneliti satu persatu akurasi/keshahihan masing-masing riwayat).
Silakan tuh ditampilkan analisis anda, kalau memang menjadi bukti kuat saya tidak keberatan menerimanya.
Adalah lucu Anda berhujjah bahwa Al-Bukhaariy, Ibnu Abi Haatim, atau Ibnu Hibbaan tidak menyebutkan ‘Aliy dalam jajaran syaikh Yaziid sebagai satu indikasi bahwa riwayatnya dari ‘Aliy munqathi’. Apa tidak ada alasan lain yang lebih bagus dari ini ? Adakah mereka mengatakan penafikkan itu ? Tidak, karena itu murni perkataan Anda semata. Selain itu, yang menjadi hujjah adalah riwayat. Adapun penyebutan biografi oleh Al-Bukhaariy, Ibnu Abi Haatim, dan yang lainnya bukanlah sebagai pembatas sebagaimana Anda juga telah ketahui. Bukankah banyak contoh yang seperti ini ?
Yang lucu adalah anda yang berulang kali tidak bisa memahami jawaban saya. Saya menjawab seperti itu untuk menanggapi hujjah anda apakah ada ulama mutaqaddimin yang menyatakan riwayat Yazid dari Ali mursal, maka saya jawab dengan menampilkan tidak ada satupun ulama mutaqaddimin yang menyatakan Yazid meriwayatkan dari Ali. Kalau tidak ada satupun yang menyatakan Yazid meriwayatkan dari Ali maka wajar saja tidak ada yang menyatakan riwayat Yazid dari Ali mursal.
Sejauh ini riwayat Imam Ali itu masih mengandung illat yaitu riwayat Yazid dari Ali tidak shahih. Kalau anda mau berkeras shahih ya silakan.
saya pun tidak ada urusannya dengan hadits lemah yang Anda katakan bahwa Mu’aawiyyah meninggal dalam keadaan kaafir. Saya pun telah membahasnnya. Yang shahih dalam Shahihain, bahwasannya Mu’aawiyyah diberitakan balasan baginya jannah.
Saya pun sudah membahas bantahan anda. Tidak ada tuh satupun bukti kalau hadis tersebut lemah. Sesuai standar ilmu hadis hadis tersebut shahih. Hadis Ummu Haram pun sudah saya bahas bahwa mereka yang berperang dengan niat agama Allah maka wajib baginya mendapat pahala dan ini tidak berlaku secara umum sebagaimana yang sudah saya bahas. Bagaimana mungkin hadis Ummu Haram itu menjadi keutamaan Yazid bin Muawiyah pula padahal terdapat hadis yang menafikannya, bukankah ini bukti kalau hadis itu tidak bersifat umum
Kalau anda berhujjah dengan hadis Ummu Haram bahwa Muawiyah mendapat surga maka saya dapat berhujjah menuruti logika anda itu dengan hadis pembunuh Ammar dimana Ammar dibunuh oleh kelompok pembangkang dan pembunuhnya berada di neraka. Muawiyah termasuk dalam kelompok yang membunuh Ammar maka Muawiyah berada di neraka. Tetapi saya tidak mau berhujjah demikian karena hadis-hadis itu tidak bersifat umum. Karena terdapat petunjuk yang mengecualikannya.
Kalau Anda tidak menolak hadits Al-Hasan, ya syukurlah. Berarti itu tidak tertuju kepada Anda, tapi tertuju kepada orang-orang Syi’ah yang mirip Anda. Musang seperti Anda memang mudah mengatakan : Saya bukan Syi’ah. Terus bermimpilah bahwa Anda bukan seorang Syi’ah….
Wah maaf saya tidak perlu bermimpi, karena pernyataan “saya bukan Syi’ah” adalah fakta yang ada pada diri saya. Justru banyak musang-musang di dunia maya ini yang mengaku salafy tetapi ketika dihadapkan hadis shahih yang bertentangan dengan keyakinannya seperti hadis Tsaqalain, mereka berusaha menolak dengan segala cara yang bathil. Sungguh mereka Musang yang bermimpi menjadi salafy tetapi mendustakan hadis Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam].
Maaf saya bukan orang-orang seperti anda yang terikat dengan kelompok dan syaikh-syaikh tertentu seraya merendahkan syaikh-syaikh yang lain yang tidak sepaham dengan kelompok anda. Bagi saya cukup menerima Al Qur’an dan Al Hadis tanpa intervensi musang-musang yang mengaku salafy.
Semoga Allah SWT menjaga saya dari orang-orang yang suka menuduh. Apalagi mereka yang suka menuduh syiah dan taqiyah hanya karena orang tersebut membantah tulisan-tulisan salafy mereka.
Sesat pikir menjangkiti Anda ketika Anda tidak mampu menangkap esensi yang saya katakan. Bukankah saya mengatakan tentang hadits perdamaian antara Al-Hasan dan Mu’aawiyyah itu menandakan bahwa Mu’aawiyyah bukanlah seorang yang kafir ? Bukankah orang-orang Syi’ah telah menstigma kafir semenjak pertama kali konfrontasi Mu’aawiyyah dengan ‘Aliy.
Urusan Anda tidak mau menerima hadits ini…..
hadis mana yang saya tidak terima? jangan berwaham ria. Saya tidak pernah mengatakan Muawiyah kafir dalam perang shiffin tetapi saya tidak pernah pula menjadikan hadis perdamaian itu sebagai keutamaan bagi Muawiyah. Bukankah pembunuh Ammar itu ada di kelompok Muawiyah dan bukankah pembunuh Ammar itu divonis neraka. terus apakah ada orang “aneh” yang mau menjadikan hadis perdamaian itu sebagai pembelaan bagi “pembunuh Ammar”.
Siapa yang tidak mengerti esensi pembicaraan?. kalau tujuan artikel anda hanya untuk mengatakan Muawiyah tidak kafir dalam perang shiffin maka saya sepakat. tetapi tidak ada alasan untuk menafikan bahwa ada kelompok Muawiyah yang masuk neraka dan tidak pula hadis perdamaian itu menafikan kemungkinan Muawiyah dan pengikutnya sendiri suatu saat setelah perang shiffin bisa menjadi kafir. Kesan yang saya tangkap anda dengan hadis perdamaian itu berusaha membela Muawiyah dan menolak hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam padahal dari mana sisi penolakannya. Seolah-olah mereka yang terlibat dalam perang shiffin setelah perdamaian mustahil menjadi murtad atau kafir.
Saya di sini hanya akan berkomentar tentang Mu’aawiyyah tanpa akan melebar kepada perincian terhadap shahabat-shahabat yang lain (karena artikel di atas memang konsen ke Mu’aawiyyah).
1. Perkataan Anda tentang Al-Khaliiliy yang membandingkan dengan perkataan Adz-Dzahabiy, jelas beda. Perkataan Al-Khaliiliy jelas dalam lafadh, yaitu menggunakan lafadh mursal, yang kemudian ia sandarkan kepada sebagian ulama di masanya. Ketika ada ulama mengatakan mursal dan sebagian lain bersambung, maka kemudian dicari qarinah yang menguatkan salah satu di antaranya. Dan itu pun telah Anda dan saya lakukan walaupun mungkin tidak ada kesepakatan. Adapun perkataan Adz-Dzahabiy : tidak shahih riwayatnya dari ‘Aliy sementara gurunya di bidang rijaal, yaitu Al-Mizziy, mengatakan : ia (Yaziid) meriwayatkan dari ‘Aliy dari jalan yang lemah.
Pertanyaan kecilnya : Apakah dua perkataan tersebut harus mengkonsekuensikan pengertian yang berbeda, melihat tidak ada seorang pun ulama sebelum Adz-Dzahabiy yang sharih mengatakan mursal ?.
Jika Adz-Dzahabiy mengatakan tidak shahih riwayatnya dari ‘Aliy sementara persyaratan keshahihan ada, darimana keterangan bahwa perkataan tersebut harus dibawa kepada makna mursal ?.
Dan ngomong-ngomong, saya tidak menemukan penghukuman mursal dari kitab Adz-Dzahabiy, kecuali dari Anda. Apa ini tidak lebih parah ?. Apa sandarannya (buktinya) ? Tidak ada. Mending ada analisis tahun kelahiran dan kematiannya sehingga ada celah untuk membuktikan kemursalannya….. Jika demikian, seandainya perkataan Adz-Dzahabiy itu harus dibawa kepada makna mursal, maka itu tidak diterima dengan pertimbangan ittishal sanad yang dipersyaratkan para ulama telah terpenuhi. Terlalu jauh rentang waktu Adz-Dzahabiy dengan ulama mutaqaddimiin (apalagi dengan Yaziid bin Al-Asham) sehingga kita bisa menghukumi riwayat Yazid mursal tanpa qarinah.
Ibnu Hajar ketika membawakan biografi Yaziid bin Al-Asham dalam At-Tahdziib sama sekali tidak menyinggung kemursalan Yaziid dari ‘Aliy, sementara kita tahu bahwa kitab Tahdziibut-Tahdziib ditulis dengan bersandar kepada Tahdziibul-Kamaal-nya Al-Miziiy dengan peringkasan, penambahan, dan pengkoreksian. Dan sebagaimana kita tahu, Ibnu Hajar sangat perhatian terhadap cacat kemursalan, namun sekali lagi, ia tidak menyinggung-nyinggungnya. Dalam kitab Al-Ishaabah, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa riwayat Yaziid dari ‘Aliy ini tidak shahih dari jalan Ibnu Muharrar, karena ia seorang yang matruk.
Bagi saya, perkataan Adz-Dzahabiy itu dituliskan karena menurut pengetahuannya tidak ada satupun riwayat shahih dari Yaziid dari ‘Aliy – sebagaimana dikatakan Al-Mizziy. Karenanya ia mengatakan : “Tidak shahih riwayatnya dari ‘Aliy”.
Saya kira cukup mudah dipahami.
Sekali lagi, pencontohan Anda tentang ‘Athaa’, apakah bertemu itu sama dengan melihat ? Dalam periwayatan, sekedar pernah melihat saja tidak cukup dikatakan riwayatnya bersambung. Namun jika dikatakan bertemu, sependek pengetahuan saya, lafadh ini sudah sangat cukup untuk menghukumi riwayat bersambung, kecuali disebutkan secara tegas bahwa ia tidak pernah mendengar riwayat dari orang yang ia temui itu.
2. Tentang hadits Ummu Haram,… ya Anda telah menghukumi bahwa Mu’aawiyyah berperang menyeberang lautan bukan karena Allah (itu eksplisit yang ingin Anda katakan). Itulah Anda dan rekan-rekan Anda, tidak heran saya membacanya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakannya secara mutlak bahwasannya pasukan yang berperang di laut wajib atasnya balasan surga. Lazimnya, ketika satu kelompok disebut, maka itu akan dinisbatkan kepada pemimpinnya (dan juga aturan yang mendominasinya). Dan yang memimpin armada laut tersebut adalah Mu’aawiyyah. Sungguh aneh logika Anda bahwa ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan orang-orang yang berperang di laut akan dijanjikan surga, maka itu dikecualikan bagi Mu’aawiyyah yang notabene sebagai pemimpinnya, dan kemudian masuk neraka (seperti kata Anda atau orang-orang semisal Anda). Dimanakah gerangan akal berada ?. Kasihan sekali Mu’aawiyyah yang selalu dikecualikan dari rahmat oleh orang-orang seperti Anda…..
Ada logika pincang yang lain selalu saja Anda pelihara bahwa Mu’aawiyyah memang tidak kafir saat perang Shiffin dan perdamaian Al-Hasan, namun bisa jadi ia menjadi kafir di akhir hayatnya.
Pertama, biografi-biografi yang ditulis oleh ulama Ahlus-Sunnah telah menyatakan bahwa Mu’aawiyyah tetap Islam di akhir hayatnya, dan baik pula keislamannya.
Kedua, hadits yang Anda nyatakan shahih yang menyatakan Mu’aawiyyah mati dalam keadaan kafir itu adalah lemah. Telah saya sebutkan penjelasannya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/06/hadits-muawiyyah-mati-tidak-dalam-agama.html. Di satu tempat dikatakan Mu’aawiyyah, di lain tempat dikatakan Al-Hakam bin Abil-‘Ash. Peristiwanya satu atau sekali. Tidak bisa dijamak, karena dua person itu adalah orang yang berbeda. Yang datang juga Cuma satu orang. Qarinah-qarinah penyebutan Al-Hakam adalah lebih kuat. Saya tidak akan menggubris lagi apakah Anda tetap mengatakan shahih atau tidak.
Ketiga (dan inilah logika pincangnya), jika memang hakekat kekafiran Mu’aawiyyah (kelak di akhir hayatnya) telah diketahui Al-Hasan (berdasarkan riwayat), apakah mungkin ia menyerahkan tampuk kekuasaan kaum muslimin terhadap Mu’aawiyyah yang kelak ia ketahui akan menjadi kafir ? – hanya karena alasan, saat melakukan perdamaian Mu’aawiyyah dhahirnya masih Islam. Basi !! Ini sama saja menyuruh saya untuk meletakkan akal sehat saja di dalam laci.
Atau Al-Hasan bin ‘Aliy itu tidak tahu perkataan kakeknya tentang hakekat kekafiran Mu’aawiyyah, dan itu malah diketahui oleh Anda dan orang-orang semisal dengan Anda ? sementara sangat memungkinkan para shahabatnya untuk mengingatkannya, karena waktu itu adalah masa konfrontasi dengan Mu’aawiyyah. Apalagi ayahnya (‘Aliy bin Abi Thaalib) telah melaknat seterunya, sebagaimana seterunya juga melaknat pihak ‘Aliy ?
afwan ust,memotong obrolan antm dgn SP, tentang hadis pembunuh Ammar dimana Ammar dibunuh oleh kelompok pembangkang dan pembunuhnya berada di neraka. Muawiyah termasuk dalam kelompok yang membunuh Ammar maka Muawiyah berada di neraka.
Bgmn sanggahan antm atas hadits ini?
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَيْحَ عَمَّارٍ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ، يَدْعُوهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَدْعُونَهُ إِلَى النَّارِ
“Kasihan ‘Ammaar, ia dibunuh oleh kelompok pembangkang/durhaka/aniaya. Ia mengajak mereka menuju surga, namun mereka mengajaknya menuju neraka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy].
Catat betul, bahwa dalam hadits di atas beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menggunakan kata : al-fi’ah al-baaghiyah.
Lantas apa makna al-baaghiyah itu ? Dalam literatur kamus bahasa ‘Arab ataupun syarh hadits dijelaskan bahwa kata baaghiyah adalah bentuk muannats dari kata baaghiy yang artinya : orang yang melakukan kedhaliman dengan keluar dari pemerintahan yang sah.
Kemudian, apakah kelompok baaghiyyah itu berstatus muslim ataukah kafir ? Kita akan rujuk kepada nash, bukan kepada akal-akalan orang Syi’ah. Allah ta’ala berfirman :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (baghat) terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu (tabghii) sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [Al-Hujuraat : 10].
Perhatikanlah ! Allah ta’ala menyebut orang yang melakukan bughat dalam ayat di atas masih masuk dalam lingkaran Islam dan iman. Hanya saja, Allah ta’ala memerintahkan untuk memerangi mereka hingga kembali kepada jalan yang benar.
Juga di kesempatan lain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (dan itu telah saya sebut dalam komentar sebelumnya) :
ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid, dan semoga dengan perantaraan dirinya Allah akan mendamaikan dua kelompok dari kaum muslimin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3746].
Siapakah dua kelompok kaum muslimin yang didamaikan Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa ? Ya, salah satunya adalah kelompok Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa yang disebut dalam hadits di atas sebagai kelompok yang berbuat aniaya/pembangkang/durhaka.
Intinya,…. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengkafirkan Mu’aawiyyah (dan kaum muslimin yang membelanya). Seandainya Mu’aawiyyah itu memang kafir saat memerangi ‘Aliy ataupun Al-Hasan radliyallaahu ‘anhumaa, niscaya beliau tidak akan menyebut sebagai kaum muslimin. Apakah mungkin, kelompok yang dipimpin oleh seorang kafir dan berperang di atas panji-panji pembelaan terhadap orang kafir untuk memerangi kaum muslimin akan disebut ‘muslim’ juga ? Bukankah Allah ta’ala telah berfirman :
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” [QS. Aali ‘Imraan : 28].
Pikirkan itu…….
Lantas, apakah makna sabda beliau : ia (‘Ammaar) mengajak mereka menuju surga, namun mereka mengajaknya menuju neraka ?
Mudah sebenarnya jika kita telah memahami penjelasan sebelumnya.
‘Ammaar mengajak menuju surga, maknanya adalah : ‘Ammaar mengajak mereka (kelompok Mu’aawiyyah) untuk mentaati ‘Aliy bin Abi Thaalib sebagai imam yang sah, dan larangan untuk keluar ketaatan darinya. Inilah amal shaalih yang akan akan menjanjikan pelakunya dengan surga.
Adapun sabda beliau yang lain : namun mereka mengajaknya menuju neraka, maksudnya bahwa perbuatan kelompok Mu’aawiyyah yang keluar ketaatan dari imam yang sah (‘Aliy) itu merupakan jenis kemaksiatan yang mengancam pelakunya dengan neraka. Barangsiapa yang melakukan dan mengikuti perbuatan tersebut, akan diancam dengan neraka. Jadi, sabda beliau di sini dinisbatkan pada perbuatannya.
Dan sebagaimana kita tahu, Mu’aawiyyah melakukan konfrontasi dengan ‘Aliy karena tuntutan atas darah ‘Utsmaan, agar ‘Aliy mengqishash orang-orang yang telah membunuh ‘Utsmaan yang dianggap Mu’aawiyyah ada di sekitar ‘Aliy. Saya tidak akan berpanjang lebar dalam hal sebab-sebab ini, namun yang menjadi inti pembicaraan saya, Mu’aawiyyah melakukan peperangan terhadap ‘Aliy karena ijtihadnya. Walaupun itu dikatakan sebagai ijtihad – yang pelakunya dijanjikan satu pahala atas ijtihadnya tersebut – tetap saja tidak bisa menjadikan perbuatan yang salah menjadi benar. Ijtihad yang salah tetaplah kita katakan salah. Dan jika ijtihad itu berupa melakukan satu tindakan kemaksiatan kepada Allah, tetap saja kita katakan perbuatan itu maksiat, tidak boleh diikuti, walau mungkin pelakunya akan dimaafkan oleh Allah karena ijtihadnya yang keliru itu.
Contoh ringannya :
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa pernah menfatwakan kebolehan nikah mut’ah. Ini adalah ijtihad yang keliru yang kemungkinan ia belum mengetahui adanya nash-nash yang mengaharamkan nikah mut’ah hingga hari kiamat (karena memang nikah mut’ah ini pernah dibolehkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Nikah mut’ah adalah zina yang mengancam pelakunya dengan neraka (selain hadd). Namun apakah Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa dapat kita hukumi masuk neraka dengan dosa penghalalan zina ? Tentu tidak, karena ia telah berijtihad dengan apa yang sampai kepadanya dari nash. Walaupun kita mengatakan Ibnu ‘Abbaas (dan juga beberapa shahabat yang lain) dimaafkan atas kesalahan ijtihad mereka tentang mut’ah, tetap kita mengatakan nikah mut’ah adalah kekejian, kemaksiatan, dan mengancam pelakunya dengan neraka.
Saya harap contoh ini dapat memberi gambaran. Contoh-contoh yang lain banyak dibahas dalam kitab-kitab fiqh.
Intinya,… Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memutlakkan kelompok Mu’aawiyyah (dan juga Mu’aawiyyah) kafir sehingga masuk neraka. Beliau hanya menghukumi perbuatan yang mereka lakukan sebagai perbuatan yang keliru yang mengancam siapapun pelakunya dengan neraka.
Kesimpulan : Mu’aawiyyah adalah salah seorang yang shahabat yang mempunyai kedudukan tinggi dalam Islam. Ia pernah melakukan kekeliruan, sebagaimana shahabat lain pernah melakukan kekeliruan, termasuk ‘Aliy. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mendoakannya petunjuk (lihat : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/09/takhrij-hadits-ya-allah-jadikanlah.html) dan juga telah dijanjikan atasnya balasan surga.
Adapun bahasan hadits orang yang membunuh ‘Ammaar, maka silakan rujuk ke : http://www.11emam.com/vb/showthread.php?t=2657
Jika kita telah satu paham mengenai Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan, niscaya perkara yang lain akan mudah.
Wallaahu a’lam.
jazakallahu khoiron ustadz....
waadhih insya Allah.
Ada artikel basi Raafidlah yang ingin mengulang kekeliruannya dalam melemahkan atsar di atas dengan bersandar pada perkataan Ibnu Hibbaan rahimahullah :
يزيد بن الاصم العامري بن أخت ميمونة زوجة النبي صلى الله عليه وسلم أبو عوف مات سنة ثلاث ومائة وله ثلاث وسبعون سنة
Yazid bin Al ‘Aasham Al ‘Aamiriy keponakan Maimunah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], Abu ‘Auf wafat tahun 103 H dalam usia 73 tahun [Masyaahiir Ulama’ Al Amshaar Ibnu Hibban no 524].
Katanya : Yazid bin Al ‘Aasham lahir tahun 30 H dan perang Shiffin terjadi tahun 37 H. Artinya pada saat terjadi perang Shiffin usia Yazid bin Al ‘Asham baru tujuh tahun dan tidak mungkin ia ikut perang Shiffin dan menyaksikan peristiwa tersebut maka sanadnya terputus.
He..he..he... riwayat itu bukan sedang menceritakan perang Shiffiin, tapi sedang menceritakan tentang pendapat 'Aliy saat ditanya tentang orang-orang yang meninggal saat perang Shiffiin. Jauh banget analisisnya. Coba kita refresh kembali riwayatnya :
Al-Imaam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَيُّوبَ الْمَوْصِلِيُّ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ بُرْقَانَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ، قَالَ: سُئِلَ عَلِيٌّ عَنْ قَتْلَى يَوْمِ صِفِّينَ، فَقَالَ: " قَتْلَانَا وَقَتَلَاهُمْ فِي الْجَنَّةِ، وَيَصِيرُ الْأَمْرُ إِلَيَّ وَإِلَى مُعَاوِيَةَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ayyuub Al-Maushiliy, dari Ja’far bin Burqaan, dari Yaziid bin Al-Asham, ia berkata : ‘Aliy pernah ditanya tentang orang-orang yang terbunuh di perang Shiffiin, maka ia berkata : “Orang yang terbunuh dari kami dan dari mereka ada di surga". Dan perkara tersebut akan ada antara aku dan Mu’aawiyyah [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 15/302].
Mana keterangan bahwa pertanyaan itu terjadi pada saat perang Shiffiin ?. Maksa banget.
Jadi, tidak ada halangan bahwa kesaksian Yaziid adalah di luar peristiwa Shiffin (pasca perang Shiffin).
Adapun alasan dengan memakai perkataan Adz-Dzahabiy, lagi-lagi alasan basi. Sudah dibahas di atas, tidak perlu diulangi.
Posting Komentar