Suka Sodomi ?


‘Sodomi’ dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai : (1) pencabulan dng sesama jenis kelamin atau dng binatang; (2) sanggama antarmanusia secara oral atau anal, biasanya antarpria; semburit [Kamus Bahasa Indonesia Online - http://kamusbahasaindonesia.org/sodomi]. Wikipedia yang mengutip dari artikel What is Sodomy-nya Brendan I. Koener memberikan definisi : istilah hukum yang digunakan dalam untuk merujuk kepada tindakan seks "tidak alami" yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik dilakukan secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia dan hewan [see : http://id.wikipedia.org/wiki/Sodomi].

Nah, pada kesempatan kali ini, saya akan sedikit tuliskan tentang sodomi dalam perspektif Islam dengan membatasinya hanya pada bahasan anal seks seorang suami kepada istrinya.
Islam mengharamkan secara mutlak hubungan seks (suami-istri) via anal/dubur berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah.
Dalil Al-Qur’an
Allah ta’ala berfirman :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haidl itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” [QS. Al-Baqarah : 222].
Tentang firman Allah ta’ala : ‘Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu’ ; maka tidak dijelaskan tempat mana yang diperintahkan Allah, karena hanya menggunakan lafadh ‘haitsu’ (حَيْثُ). Namun, yang dimaksud tempat tersebut adalah farji berdasarkan keterangan dua ayat :
a.    Firman Allah ta’ala  (فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ) ‘Maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu sebagaimana kamu kehendaki’ (QS. Al-Baqarah : 223); dimana kalimat ‘datangilah’ bermakna jima’, sedangkan ‘tempat bercocok-tanammu’ menjelaskan makna mendatangi yang diperintahkan dengannya adalah tempat menanam benih anak yaitu nutfah (sperma). Bukan dubur, karena ia bukan tempat untuk meletakkan benih anak sebagaimana diketahui.
b.    Firman Allah ta’ala (فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ) ‘Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu’ (QS. Al-Baqarah : 187); karena maksud kalimat ‘apa yang telah ditetapkan Allah untukmu’ adalah (mendapatkan) anak – menurut pendapat jumhur. Dan ia adalah pendapat Ibnu Jariir, dan ia telah menukil hal itu dari Ibnu ‘Abbaas, Mujaahid, Al-Hakam, ‘Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashriy, As-Suddiy, Ar-Rabii’, dan Adl-Dlahhaak bin Muzaahim. Telah diketahui bahwa cara mendapatkan anak hanyalah bisa dilakukan dengan jima’ pada farji. Jadi, farji (wanita) itulah objek yang diperintahkan Allah untuk berjima’ padanya. Dengan demikian, jelaslah maksud firman Allah ta’ala : ‘Maka sekarang campurilah mereka’ yaitu melakukannya pada tempat diharapkannya anak, yaitu farji, bukan yang lainnya [lihat : Adlwaaul-Bayaan oleh Asy-Syinqithiy, 1/92].
Sebagian ulama ada yang mengartikan firman Allah ta’ala : ‘maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu’ ; adalah tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian untuk menjauhinya karena adanya kotoran yang bersifat sementara, yaitu farji. Hal itu dijelaskan oleh kalimat sebelumnya (هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ) ‘Haidl itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci’. Telah diketahui bahwa mendatangi tempat kotoran itu tidak diperbolehkan. Pengertian ini sesuai dengan kaidah :
النهي عن الشيء أمر بضده
“Larangan tentang sesuatu mengkonsekuensikan perintah pada kebalikannya”.
Oleh karenanya, kalimat (أَمَرَكُمُ اللَّهُ) ‘yang diperintahkan Allah kepadamu’ adalah konsekuensi dari larangan yang ada pada kalimat (وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ) ‘dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci’; yang keduanya kembali pada objek yang sama, yaitu farji [baca selengkapnya : Adlwaaul-Bayaan, 1/95].
Allah ta’ala juga berfirman :
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” [QS. Al-Baqarah : 223].
Kalimat (أَنَّى شِئْتُمْ) pada ayat di atas juga menjadi jelas maknanya – dengan bahasan sebelumnya - , yaitu dilakukan dengan mendatangi/menjimai tempat bercocok tanam (= tempat diharapkannya anak) dengan posisi apapun yang dikehendaki laki-laki. Apakah wanita (istrinya) dalam keadaan terlentang, miring, telungkup, atau yang lainnya. Terkait dengan hal itu, ada beberapa riwayat yang menguatkan makna itu sebagaimana disebutkan di bawah :
حدثنا قتيبة بن سعيد، وأبو بكر بن أبي شيبة، وعمرو الناقد. (واللفظ لأبي بكر) قالوا: حدثنا سفيان عن ابن المنكدر. سمع جابرا يقول: كانت اليهود تقول: إذا أتى الرجل امرأته، من دبرها، في قبلها، كان الولد أحول. فنزلت: {نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم}.
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid, Abu Bakr bin Abi Syaibah, dan ‘Amru An-Naaqid (lafadhnya adalah milik Abu Bakr); mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Ibnul-Munkadir, ia mendengar Jaabir berkata : “Orang-orang Yahudi dulu berkata : ‘Apabila seseorang mendatangi kemaluan istrinya dari arah belakang, anak yang kelak akan lahir bermata juling. Maka turunlah ayat : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’”.
Pada riwayat lain di jalur An-Nu’maan bin Raasyid, dari Az-Zuhriy, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jaabir terdapat tambahan[1] :
إن شاء مجبية، وإن شاء غير مجبية. غير أن ذلك في صمام واحد
“Apabila dia ingin dapat dari depan atau belakang, asalkan dari tempat yang satu (yaitu farji) [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1435].
أَخْبَرَنَـا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى قِرَاءَةً، أنبأ ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي مَـالِكُ بْنُ أَنَسٍ، وَابْنُ جُرَيْجٍ، وسفيان بن سعيد الثوري، أن محمد بن المنكدر حدثهم، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ،"أَخْبَرَهُ أَنَّ الْيَهُودَ , قَالُوا لِلْمُسْلِمِينَ: مَنْ أَتَى امْرَأَةً وَهِيَ مُدْبِرَةً، جَاءَ وَلَدُهُ أَحْوَلَ، فَأَنْزَلَ اللَّـهُ تَعَالَى: ﴿نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ﴾, قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي الْحديث: فَقَال َرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مُقْبِلَةً وَمُدْبِرَةً إِذَا كَانَ ذَلِكَ فِي الْفَرْجِ".
Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa secara qira’at : Telah memberitakan Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Maalik bin Anas, Ibnu Juraij, dan Sufyaan bin Sa’iid Ats-Tsauriy : Bahwasannya Muhammad bin Al-Munkadir[2] telah menceritakan kepada mereka, dari Jaabir bin ‘Abdillah yang telah mengkhabarkan kepadanya : Bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada kaum muslimiin : “Barangsiapa yang mendatangi istrinya dari arah belakang, anaknya nanti (yang lahir) akan juling. Maka Allah ta’ala pun menurunkan ayat : “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”. Ibnu Juraij berkata dalam hadits tersebut : “Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Boleh dari arah depan ataupun belakang, jika itu pada farjinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam At-Tafsiir no. 2133; shahih].
حدثنا يحيى بن غيلان ثنا رشدين ثنا حسن بن ثوبان عن عامر بن يحيى المعافري حدثني حنش عن بن عباس قال : أنزلت هذه الآية { نساؤكم حرث لكم } في أناس من الأنصار أتوا النبي صلى الله عليه وسلم فسألوه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم آتها على كل حال إذا كان في الفرج
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ghailaan : Telah menceritakan kepada kami Risydiin : Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Tsaubaan, dari ‘Aamir bin Yahyaa Al-Mu’aafiriy : Telah menceritakan kepadaku Hanasy, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Ayat ini (‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam’) diturunkan terkait dengan sekelompok orang dari kaum Anshaar yang mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menanyakan ayat tadi, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Datangilah bagaimanapun caranya asalkan pada farjinya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/268; hasan lighairihi sebagaimana dikatakan oleh Al-Arna’uth dalam Takhrij Al-Musnad, 4/237].
حدثنا عبد بن حميد حدثنا الحسن بن موسى حدثنا يعقوب بن عبد الله الأشعري عن جعفر بن أبي المغيرة عن سعيد بن جبير عن بن عباس قال جاء عمر إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله هلكت قال وما أهلكك قال حولت رحلي الليلة قال فلم يرد عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا قال فأوحي إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم هذه الآية { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } أقبل وأدبر وأتق الدبر والحيضة
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin Humaid : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin ‘Abdillah Al-Asy’ariy, dari Ja’far bin Abil-Mughirah, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : ‘Umar datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata : “Wahai Rasulullah, aku telah binasa”. Beliau bertanya : “Apa yang membuatmu binasa ?”. ‘Umar berkata : “Aku telah mengubah arah tungganganku semalam[3]”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawabnya sedikitpun. Lalu, Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ayat ini : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’ (QS. Al-Baqarah : 223). Beliau bersabda : “Boleh dari arah depan ataupun belakang, namun hindarilah dubur dan (berjima’) pada waktu haidl” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2980; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 3/196 dan Al-Arna’uth dkk. dalam Takhrij Al-Musnad 4/435, serta dishahihkan oleh Al-Haitsamiy dalam Al-Majma’ 6/319].[4]
Dalil As-Sunnah
Terdapat banyak hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang melarang menjimai istri pada duburnya. Di antaranya :
حدثنا عفان ثنا وهيب ثنا عبد الله بن عثمان بن خثيم عن عبد الرحمن بن سابط قال : دخلت على حفصة ابنة عبد الرحمن فقلت انى سائلك عن أمر وأنا استحي ان أسألك عنه فقالت لا تستحي يا بن أخي قال عن آتيان النساء في أدبارهن قالت حدثتني أم سلمة ان الأنصار كانوا لا يجبون النساء وكانت اليهود تقول انه من جبى امرأته كان ولده أحول فلما قدم المهاجرون المدينة نكحوا في نساء الأنصار فجبوهن فأبت امرأة ان تطيع زوجها فقالت لزوجها لن تفعل ذلك حتى آتى رسول الله صلى الله عليه وسلم فدخلت على أم سلمة فذكرت ذلك لها فقالت اجلسي حتى يأتي رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم استحت الأنصارية ان تسأله فخرجت فحدثت أم سلمة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال ادعى الأنصارية فدعيت فتلا عليها هذه الآية { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } صماما واحدا
Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim, dari ‘Abdurrahmaan bin Tsaabit, ia berkata : Aku masuk menemui Hafshah binti ‘Abdirrahman, lalu aku berkata : “Aku mau menanyakan kepadamu yang sebenarnya aku malu untuk menanyakan kepadamu”. Hafshah berkata : “Jangan malu wahai saudaraku”. Aku berkata : “(Yaitu tentang) mendatangi wanita dari arah belakang”. Hafshah menjawab : “Telah menceritakan kepadaku Ummu Salamah bahwasannya orang-orang Anshaar tidak menelungkupkan wanita mereka saat berjima’ (yaitu tidak menjimai mereka dari arah belakang). Dan adalah orang-orang Yahudi mengatakan bahwa barangsiapa yang menelungkupkan istrinya (= menjimai dari arah belakang), maka anaknya yang lahir nanti bermata juling. Lalu, datanglah orang-orang Muhaajiriin ke Madinah yang menikahi wanita-wanita Anshaar, lalu mereka menelungkupkan istrinya saat menjimainya. Para wanita Anshaar itu enggan mentaati permintaan suami mereka itu. Mereka (para istri) berkata kepada suaminya : “Jangan kalian melakukannya hingga aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Ia pun kemudian masuk menemui Ummu Salamah dan menyebutkan permasalahan itu kepadanya. Ummu Salamah berkata : “Duduklah, hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang”. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang, wanita Anshaar itu malu untuk bertanya kepada beliau dan keluar. Maka Ummu Salamah menceritakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pun bersabda : “Panggillah wanita Anshaar tadi”. Ia pun dipanggil dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat ini kepadanya ayat ini : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’. Beliau bersabda : ‘Asalkan pada satu lubang (yaitu farjinya)” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/305; hasan sebagaimana dikatakan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam Takhrij Al-Musnad 44/220][5].
حدثنا سفيان قال ثنا يزيد بن عبد الله بن أسامة بن الهاد عن عمارة بن خزيمة بن ثابت عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أن الله لا يستحي من الحق لا تأتوا النساء في أدبارهن
Telah menceritakan kepada kami Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Yazid bin ‘Abdillah bin Usaamah bin Al-Haad, dari ‘Ammaarah bin Khuzaimah bin Tsaabit, dari ayahnya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Allah tidaklah malu dalam menerangkan kebenaran. Janganlah kalian mendatangi istri kalian pada dubur mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Humaidiy no. 436; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dkk. dalam Takhrij Al-Musnad 36/189][6].
أخبرنا النضر نا حماد بن سلمة حدثني حكيم الأثرم عن أبي تميمة الهجيمي عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من أتى كاهنا فصدقه بما يقول أو أتى حائضا أو أتى امرأة في دبرها فقد بريء مما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم
Telah mengkhabarkan kepada kami An-Nadlr : Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad bin Salamah : telah menceritakan kepadaku Hakiim Al-Atsram, dari Abu Tamiimah Al-Hujaimiy, dari Abu Hurairah radliyallaahu ta’alaa ‘anhu, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang mendatangi dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya, atau mendatangi (menjimai) wanita yang haidl atau mendatangi wanita pada duburnya, sungguh ia telah berlepas diri dari apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Ishaaq bin Rahawaih no. 482; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 7/68-70 no. 2006].[7]
Ijma’
Al-Maawardiy rahimahullah mengatakan bahwa pengharaman mendatangi istri pada duburnya merupakan ijma’ para shahabat :
لأنه إجماع الصحابة : روي ذلك عن علي بن أبي طالب وعبدالله بن عباس وابن مسعود وأبي الدرداء
“Karena ia (pengharaman mendatangi istri pada duburnya) merupakan ijma’ shahabat. Diriwayatkan hal itu dari ‘Aliy bin Abi Thaalib, ‘Abdullah bin ‘Abbaas, Ibnu Mas’uud, dan Abud-Dardaa’” [Al-Haawiy, 9/319].[8]
Atsar
حدثنا عبد الاعلى عن سعيد عن قتادة عن أبي أيوب عن عبد الله بن عمرو قال : هي اللوطية الصغرى .
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa, dari Sa’iid, dari Qataadah, dari Abu Ayyuub, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Ia adalah perbuatan liwath kecil” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/363; shahih] [9].
أخبرنا معمر عن بن طاوس عن أبيه قال سئل بن عباس عن الذي يأتي امرأته في دبرها فقال هذا يسائلني عن الكفر
Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Thaawus, dari ayahnya, ia berkata : Ibnu ‘Abbaas pernah ditanya tentang orang yang mendatangi istrinya pada duburnya. Maka ia berkata : “Orang ini menanyakan kepadaku tentang kekafiran” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 20953; shahih].
أخبرنا هناد بن السري عن وكيع عن الضحاك بن عثمان عن مخرمة بن سليمان عن كريب عن بن عباس قال لا ينظر الله يوم القيامة إلى رجل أتى بهيمة أو امرأة في دبرها
Telah mengkhabarkan kepada kami Hanaad bin As-Sariy, dari Wakii’, dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsmaan, dari Makhramah bin Sulaimaan, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Allah tidak akan melihat pada hari kiamat laki-laki yang mendatangi (menjimai) binatang atau wanita pada duburnya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa, 5/320-321 no. 9002; shahih][10].
حدثنا هدبة حدثنا همام عن قتادة قال حدثني عقبة بن وساج عن أبي الدرداء قال : وهل يفعل ذلك إلا كافر.
Telah menceritakan kepada kami Hudbah : Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Qataadah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Uqbah bin Wasaaj, dari Abud-Dardaa’, ia berkata : “Tidak ada orang yang melakukannya kecuali orang kafir” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/210; shahih].
عن معمر عن الزهري قال سألت بن المسيب وأبا سلمة بن عبد الرحمن عن ذلك فكرهاه ونهياني عنه
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnul-Musayyib dan Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan tentang perbuatan itu, maka ia membencinya dan melarangku terhadapnya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 20955; shahih].
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْأَسْوَدِ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا فَهُوَ مِنْ الْمَرْأَةِ مِثْلُهُ مِنْ الرَّجُلِ ثُمَّ تَلَا { وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمْ اللَّهُ } أَنْ تَعْتَزِلُوهُنَّ فِي الْمَحِيضِ الْفَرْجَ ثُمَّ تَلَا { نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ } قَائِمَةً وَقَاعِدَةً وَمُقْبِلَةً وَمُدْبِرَةً فِي الْفَرْجِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Muusaa, dari ‘Utsmaan bin Al-Aswad, dari Mujaahid, ia berkata : "Barangsiapa menggauli isterinya pada duburnya, maka ia termasuk wanita yang semisalnya dari kalangan laki-laki”. Kemudian ia membaca ayat : Dan mereka bertanya kepada kamu tentang haidl, maka katakanlah ia itu kotoran, maka jauhilah wanita-wanita yang tengah haid, dan jangan kalian dekati mereka hingga mereka suci, dan apabila mereka telah suci, maka datangilah mereka dari arah yang Allah subhanallahu wa ta'ala perintahkan kepada kalian (QS. Al-Baqarah : 223) : “Yaitu, hendaklah kalian jauhi kemaluan mereka ketika sedang haid”. Kemudian ia membaca ayat : Isteri-isteri kalian bagaikan sawah ladang kalian, maka datangilah sawah ladang kalian sesuai kehendak kalian (QS. Al-Baqarah : 223) : “Yaitu, baik berdiri, duduk, dari arah depan atau dari arah depan asalkan pada farjinya" [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1135; shahih].
أخبرنا عثمان بن عمر ثنا خالد بن رباح عن عكرمة { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم }  قال إنما هو الفرج
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utsmaan bin ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Rabbaah, dari ‘Ikrimah tentang ayat : ‘Isteri-isteri kalian bagaikan sawah ladang kalian, maka datangilah sawah ladang kalian sesuai kehendak kalian’, ia berkata : “Hanyalah yang dimaksud akan hal itu adalah farjinya” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1124; shahih].
أخبرنا محمد بن يزيد ثنا يونس بن بكير حدثني بن إسحاق حدثني أبان بن صالح عن طاوس وسعيد ومجاهد وعطاء إنهم كانوا ينكرون إتيان النساء في أدبارهن ويقولون هو الكفر
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Yaziid : Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin Bukair : Telah menceritakan kepadaku Ibnu Ishaaq : Telah menceritakan kepadaku Abaan bin Shaalih, dari Thaawus, Sa’iid, Mujaahid, dan ‘Athaa’ : Bahwasannya mereka semua mengingkari perbuatan mendatangi wanita pada duburnya, dan mereka berkata : “Ia adalah kekufuran” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1146; hasan].
Catatan Penting
1.      Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :
حدثنا أحمد بن داود، قال : أخبرنا يعقوب بن حميد، قال : ثنا عبد الله بن نافع عن هشام بن سعد عن زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن أبي سعيد : أن رجلا أصاب امرأته في دبرها فأنكر الناس ذلك عليه وقالوا : أتعزبها فأنزل الله عز وجل نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُم ْ
قال أبو جعفر : فذهب قوم إلى أن وطء المرأة في دبرها جائز واحتجوا في ذلك بـهذا الحديث وتأولوا هذه الآية على إباحة ذلك 
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Daawud, ia berkata : Telah mengkhabar kepada kami Ya’quub bin Humaid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, dari Hisyaam bin Sa’d, dari Zaid bin Aslam, ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Abu Sa’iid : Bahwasannya ada seorang laki-laki yang mendatangi istrinya pada dubur-nya. Maka orang-orang mengingkari hal itu dan berkata : “Apakah engkau menjauhinya ?”. Lalu Allah ‘azza wa jalla menurunkan ayat : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’.
Abu Ja’far berkata : “Sekelompok orang berpendapat bahwa mencampuri istri pada duburnya diperbolehkan, dan mereka berhujjah dengan hadits ini serta menta’wilkan ayat ini tentang kebolehannya” [Syarh Ma’aanil-Aatsaar, 3/40].
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Sanad riwayat tersebut tidaklah shahih.[11] Selain itu, riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat Jaabir, Ibnu ‘Abbaas, dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum yang lebih shahih tentang sebab turunnya ayat dimana disebutkan pembolehan mendatangi istri baik dari depan maupun belakang dengan syarat pada farjinya.
Dan yang perlu dicatat, yang menjadi hujjah adalah nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah), bukan perbuatan atau perkataan manusia.
2.      Ibnu Abi Haatim rahimahullah berkata :
أخبرنا ابن عبدالحكم قراءةً قال: سمعت الشافعيُّ يقول: ليس فيه-يعني إتيان النساء في الدبر- عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في التحريم والتحليل حديثٌ ثابت
“Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Abdil-Hakam secara qira’at, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : “Tidak ada padanya – yaitu permasalahan mendatangi wanita pada duburnya – dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang pengharaman dan penghalalannya hadits yang tsaabit” [Aadaabusy-Syaafi’iy, hal. 217].[12]
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Ketidaktahuan beliau (Asy-Syaafi’iy) bukanlah hujjah dan penentu hukum, sebab orang yang mengetahui merupakan hujjah orang yang tidak mengetahui.[13] Itulah kaedahnya. Telah disebutkan di atas beberapa hadits shahih ataupun hasan yang menyebutkan tentang pengharamannya. Sebaliknya, tidak diketahui adanya dalil yang shahih dan jelas penunjukkannya tentang pembolehannya.
3.      Beberapa ulama[14] menyebutkan bahwa Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma membolehkan perbuatan tersebut berdasarkan riwayat :
حدثني يعقوب قال حدثنا هشيم قال أخبرنا ابن عون عن نافع قال : كان ابن عمر إذا قر ئ القرآن لم يتكلم قال فقرأت ذات يوم هذه الآية : (نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ) فقال : أتدري فيمن نزلت هذه الآية ؟ قلت : لا. قال : نزلت في إتيان النساء في أدبارهن
Telah menceritakan kepadaku Ya’quub, ia berkata : Telah mencertakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Naafi’, ia berkata : Adalah Ibnu ‘Umar apabila dibacakan Al-Qur’an tidaklah berkata-kata. Pada suatu hari aku membaca ayat ini : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’, maka ia berkata : “Apakah engkau tahu kepada siapa ayat ini diturunkan ?”. Aku berkata : “Tidak tahu”. Ia berkata : “Ayat ini diturunkan berkaitan tentang orang yang mendatangi istrinya pada ‘dubur’ mereka” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy 4/403-404 no. 4326; shahih].
Al-Imam Al-Bukhaariy menyebutkan riwayat senada sebagai berikut :
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ قَالَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا إِذَا قَرَأَ الْقُرْآنَ لَمْ يَتَكَلَّمْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ فَأَخَذْتُ عَلَيْهِ يَوْمًا فَقَرَأَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ حَتَّى انْتَهَى إِلَى مَكَانٍ قَالَ تَدْرِي فِيمَ أُنْزِلَتْ قُلْتُ لَا قَالَ أُنْزِلَتْ فِي كَذَا وَكَذَا ثُمَّ مَضَى وَعَنْ عَبْدِ الصَّمَدِ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنِي أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ { فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ } قَالَ يَأْتِيهَا يأتها في..... َ
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami An-Nadlr bin Syumail : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Naafi’, ia berkata : Adalah Ibnu ‘Umar apabila dibacakan Al-Qur’an tidaklah berkata-kata hingga selesai. Pada suatu hari aku mengambil mushhaf untuknya, lalu ia membaca Al-Baqarah hingga selesai dengan hafalannya. Lalu ia berkata : “Tahukah kamu tentang apa surat ini turun?”. Aku menjawab : “Tidak”. Ia berkata : “Surat ini turun tentang ini dan itu”. Kemudian dia pergi.
Dan dari ‘Abdush-Shamad : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepadaku Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar tentang ayat : ‘istri-istrimu adalah ladang bagimu maka datangilah ladang-ladangmu kapan saja sesuai yang kamu sukai’(QS. Al-Baqarah : 223), maka Ibnu Umar berkata : “Yaitu mendatanginya pada….” [Shahih Al-Bukhaariy no. 4526-4527].
Tidak ada keterangan dalam riwayat Al-Bukhaariy menyebutkan dubur. Akan tetapi, Abu Qilaabah menambahkan lafadh dalam jalur ‘Abdush-Shamad : “Pada duburnya (في الدبر)” [Tafsir Ath-Thabariy, 4/406 no. 4331]. Abu Qilaabah adalah seorang yang tsiqah, sehingga riwayat tersebut shahih.
Namun ada riwayat lain yang ‘bertentangan’ dengan riwayat shahih di atas :
أخبرنا الربيع بن سليمان قال نا أصبغ بن الفرج قال نا عبد الرحمن بن القاسم قال قلت لمالك إن عندنا بمصر الليث بن سعد يحدث عن الحارث بن يعقوب عن سعيد بن يسار قال قلت لابن عمر إنا نشتري الجواري فنحمض لهن قال وما التحميض قال نأتيهن في أدبارهن قال أو أو يعمل هذا مسلم فقال لي مالك فأشهد على ربيعة لحدثني عن سعيد بن يسار أنه سأل بن عمر عنه فقال لا بأس به
Telah mengkhabarkan kepada kami Ar-Rabii’ bin Sulaimaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ashbagh bin Al-Faraj, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, ia berkata : Aku pernah berkata kepada Maalik : “Sesungguhnya ketika kami di Mesir, Al-Laits bin Sa’d menceritakan hadits dari Al-Haarits Ya’quub, dari Sa’iid bin Yasaar, ia berkata : Aku pernah berkata kepada Ibnu ‘Umar : ‘Sesungguhnya kami membeli beberapa budak wanita dan kami melakukan tahmiidl kepada mereka’. Ibnu ‘Umar berkata : ‘Apa itu tahmiidl ?’. Sa’iid berkata : ‘Kami mendatangi/menjimai mereka pada duburnya’. Ibnu ‘Umar berkata : ‘Uf, uf, mungkinkah itu dilakukan oleh seorang muslim ?[15]”. (‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim berkata : ) Lalu Maalik berkata (setelah mendengar ceritaku) : ‘Aku bersaksi atas Rabii’ah, ia telah menceritakan kepadaku, dari Sa’iid bin Yasaar bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar tentang hal tersebut, lalu Ibnu ‘Umar berkata : ‘Tidak mengapa dengannya’” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 8979; shahih].
Ada beberapa faedah yang dapat kita petik dari riwayat An-Nasaa’iy di atas. Dua kemungkinan atas perkataan Ibnu ‘Umar yang membolehkan mendatangi wanita pada duburnya : Pertama, ada kemungkinan bahwa orang yang mendengar perkataan Ibnu ‘Umar tersebut salah dalam memahami (= salah paham)[16]. Kedua, ada kemungkinan bahwa Ibnu ‘Umar keliru dalam memahami sebab turunnya ayat lalu berpendapat tentang kebolehan, kemudian ia rujuk setelah mengetahui nash-nash pelarangannya.
Kemungkinan pertama dikuatkan oleh riwayat berikut :
أخبرنا علي بن عثمان بن محمد بن سعيد بن عبد الله بن نفيل قال نا سعيد بن عيسى قال نا المفضل قال حدثني عبد الله بن سليمان عن كعب بن علقمة عن أبي النضر أنه أخبره أنه قال لنافع مولى عبد الله بن عمر قد أكثر عليك القول أنك تقول عن بن عمر إنه أفتى بأن يؤتى النساء في أدبارها قال نافع لقد كذبوا علي ولكني سأخبرك كيف كان الأمر إن بن عمر عرض المصحف يوما وأنا عنده حتى بلغ { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } قال يا نافع هل تعلم ما أمر هذه الآية إنا كنا معشر قريش نجبي النساء فلما دخلنا المدينة ونكحنا نساء الأنصار أردنا منهن مثل ما كنا نريد من نسائنا فإذا هن قد كرهن ذلك وأعظمنه وكانت نساء الأنصار إنما يؤتين على جنوبهن فأنزل الله تعالى { نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم }
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin ‘Utsmaan bin Muhammad bin Sa’iid bin ‘Abdillah bin Nufail, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid bin ‘Iisaa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Mufadldlal, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Sulaimaan, dari Ka’b bin ‘Alqamah, dari Abun-Nadlr bahwasannya ia telah mengkhabarkan kepadanya : Bahwa ia pernah berkata kepada Naafi’ maulaa Ibni ‘Umar : “Banyak perkataanmu yang beredar bahwasannya engkau berkata dari Ibnu ‘Umar bahwa ia (Ibnu ‘Umar) berfatwa tentang pembolehan mendatangi wanita dari duburnya”. Naafi’ berkata : “Sungguh mereka telah berdusta terhadapku. Akan tetapi akan aku khabarkan kepadamu bagaimana perkara yang sebenarnya. Sesungguhnya Ibnu ‘Umar pernah membaca mushhaf untuk hapalannya pada suatu hari, dan waktu itu aku ada di sisinya. Hingga ia sampai pada ayat : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’ (QS. Al-Baqarah : 223). Ia berkata : ‘Wahai Naafi’, apakah engkau mengetahui apa sebab ayat ini diturunkan ?. Sesungguhnya kami masyarakat Quraisy biasa mendatangi para wanita dengan posisi menungging. Maka ketika kami datang ke Madinah dan menikahi wanita Anshaar, kami ingin dari mereka seperti apa yang kami inginkan dari wanita-wanita kami (yang menjimai dengan posisi menungging). Namun ternyata mereka tidak menyukainya dan menganggapnya sebagai perkara yang besar. Wanita Anshaar itu biasa didatangi dari arah depan/terlentang. Maka Allah ta’ala menurunkan ayat : Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 8978; hasan].
Dalam riwayat sebab turunnya ayat di awal bahasan ini telah disebutkan para shahabat dulu (sebelum datang ke Madinah) biasa mendatangi istri mereka dari arah belakang, namun pada farjinya. Anggapan orang Yahudi bahwa anak yang juling itu akan lahir jika didahului persenggamaan dari arah belakang, tidak mungkin dipahami bahwa persenggamaan itu dilakukan pada dubur si wanita (sebab itu tidak akan melahirkan anak).
Itulah yang dimaksud Ibnu ‘Umar dalam riwayat di atas. Maka, perkataan Ibnu ‘Umar ‘pada duburnya’, maksudnya adalah mendatangi mereka dari arah dubur mereka (yaitu dari arah belakang), namun tetap pada farjinya. Riwayat An-Nasaa’iy (no. 8978) di atas lebih terperinci daripada riwayat sebelumnya (yang berisi ‘pembolehan’), sehingga penunjukan (dilalah) hukumnya lebih kuat.
Kemungkinan kedua ditunjukkan dari perkataan ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim sendiri atas diri Sa’iid bin Yasaar. Perkataan Maalik bahwa Sa’iid bin Yasaar pernah diberi fatwa Ibnu ‘Umar bahwa hal itu tidak mengapa, dan kemudian di lain waktu ia membeli budak dan melakukan perbuatan itu lalu ia pun dicela Ibnu ‘Umar karenanya; menunjukkan pelarangan itu adalah datang kemudian.
Namun apapun itu, membawa pendapat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa akan pelarangan mendatangi wanita pada duburnya lebih kuat karena berkesesuaian dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallami – sementara ia dikenal sebagai salah seorang shahaba yang sangat kuat ittiba’-nya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dan para shahabat yang lainnya.
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
وهذا إسناد صحيح ونص صريح منه بتحريم ذلك، فكل ما ورد عنه مما يحتمل ويحتمل فهو مردود إلى هذا المحكم
“Sanad ini shahih dan seagai nash yang sharih (jelas) darinya (Ibnu ‘Umar) tentang pengharaman hal itu. Setiap riwayat yang datang darinya yang membolehkan atau mengandung kemungkinan membolehkan, maka ia tertolak berdasarkan hukum ini” [Tafsiir Ibni Katsiir].
4.      Ada beberapa nukilan dari beberapa kitab ulama kita yang menyebutkan Maalik bin Anas membolehkan menjimai wanita dari duburnya pada kitab As-Sirr. Juga dikuatkan dengan riwayat yang dinukil Ibnu Hajar :
وَرَوَى عبد الرَّزَّاقِ عن مَعْمَرٍ قال: لو أَنَّ رَجُلًا أَخَذَ بِقَوْلِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ في اسْتِمَاعِ الْغِنَاءِ وَإِتْيَانِ النِّسَاءِ في أَدْبَارِهِنَّ، وبقول أَهْلِ مَكَّةَ في الْمُتْعَةِ وَالصَّرْفِ، وَبِقَوْلِ أَهْلِ الْكُوفَةِ في الْمُسْكِرِ كان شَرَّ عِبَادِ اللَّهِ
“’Abdurrazzaaq meriwayatkan dari Ma’mar, ia berkata : ‘Seandainya ada seseorang yang mengambil pendapat penduduk Madiinah tentang pembolehan mendengarkan nyanyian dan mendatangi wanita pada duburnya, pendapat penduduk Makkah tentang pembolehan (nikah) mut’ah dan sharf, serta pendapat penduduk Kuufah tentang minuman memabukkan; maka ia menjadi hamba Allah yang paling jelek[17]” [At-Talkhiish, 3/398].
Sisi pendalilannya : Jika disebut penduduk Madiinah, maka penghulu mereka di jaman itu adalah Maalik bin Anas. Ma’mar bin Raasyid termasuk kibaaru atbaa’ut-taabi’iin yang selevel dengan Maalik bin Anas rahimahumallah. Ada kemungkinan pendapat penduduk Madiinah itu juga merupakan pendapat Maalik bin Anas.
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Ada beberapa riwayat perkataan Maalik yang disebutkan beberapa ulama bertentangan dengan itu.
Ibnul-Haajib rahimhullah berkata :
ويحل كل استمتاع إلا الإتيان في الدبر، ونسب تحليله إلى مالك في كتاب (السر) وهو مجهول. وعن ابن وهب: سألت مالكاً وقلت: إنهم حكوا عنك أنك تراه، فقال: معاذ الله، وتلا {نساؤكم حرث لكم} وقال: لا يكون الحرث إلا في موضع الزرع
“Dan dihalalkan setiap kesenangan kecuali mendatangi (menjimai) istri pada duburnya. Adapun penisbatan tentang pembolehannya dari Maalik (bin Anas) dalam kitab As-Sirr[18] adalah majhuul (tidak diketahui). Dari Ibnu Wahb : Aku pernah bertanya kepada Maalik, dan aku berkata kepadanya : ‘Sesungguhnya mereka menghikayatkan darimu bahwasannya engkau berpendapat membolehkannya’. Maka ia berkata : ‘Ma’aadzallaah’. Lalu ia membaca ayat : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam’. Ia berkata : ‘Tidaklah disebut ladang kecuali ia tempat (ditumbuhinya) tanaman” [Jaami’ul-Ummahaat, 1/261].
Hal yang sama dinukil oleh Al-Qurthubiy rahimahullah :
وقال مالك لابن وهب وعلي بن زياد لما أخبراه أن ناساً بمصر يتحدثون عنه أنه يجيز ذلك ، فنفر من ذلك ، وبادر إلى تكذيب الناقـل فقال : كذبوا عَليَّ ، كذبوا علي ، ثم قال : ألستم قوماً عرباً ، ألم يقل الله تعالى : نِسَاؤُكُمْ حَرْثُُ لَكُمْ وهل يكون الحرث إلا في موضع المنبت ؟ !
“Telah berkata Maalik kepada Ibnu Wahb dan ‘Aliy bin Ziyaad ketika keduanya mengkhabarkan kepadanya bahwa orang-orang Mesir mengatakan darinya (Maalik) bahwa ia telah membolehkannya. Maka ia terkejut akan hal itu dan cepat-cepat mendustakan orang yang menukil. Maalik berkata : ‘Mereka telah berdusta atas namaku, mereka telah berdusta atas namaku’. Kemudian melanjutkan : ‘Bukankah kalian termasuk bangsa ‘Arab ? Tidakkah Allah ta’ala telah berfirman : Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam (QS. Al-Baqarah : 223). Bukankah yang disebut ladang itu tempat yang ditumbuhi tumbuh-tumbuhan ?” [Tafsir Al-Qurthubiy, 3/94-95].
Ibnul-Haaj rahimahullah berkata :
وعن عبدالرحمن بن القاسم أن شرطي المدينة دخل على مالك بن أنس رحمه الله تعالى فسأله عن رجل رفع إليه أنه قد أتى امرأته في دبرها ، فقال مالك : " أرى أن توجعه ضرباً فإن عاد إلى ذلك ففرق بينهما
“Dan dari ‘Abdurrahman bin Al-Qaasim : Bahwasannya petugas keamaan/polisi kota Madiinah masuk menemui Maalik bin Anas rahimahullahu ta’ala, lalu bertanya kepadanya tentang seseorang yang diajukan kepadanya dimana ia telah mendatangi istrinya pada duburnya. Maka Maalik berkata : “Aku berpendapat agar kalian menghukumnya dengan deraan. Jika ia mengulangi perbuatan itu, ceraikanlah antara keduanya” [Al-Madkhal, 2/196-197].
Dan ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim sendiri – sebagai periwayat kitab As-Sirr – mengatakan bahwa Maalik membenci perbuatan tersebut [At-Talkhiish, 3/398].
Perkataan yang ‘adil dalam hal ini adalah : Maalik bin Anas kemungkinan memang pernah mengatakan kebolehannya, namun kemudian ia rujuk dan kemudian tidak membolehkannya karena nampak baginya hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan hal itu. Wallaahu a’lam.
Tinjauan Fiqh dan Medis
Islam telah mengharamkan menjimai farji yang dapat menimpakan penyakit seperti ketika haidl dan nifas, dan ini sifatnya tidak permanen/sementara. Maka menjimai tempat yang pada asalnya sarang kotoran dan penyakit lebih ditekankan lagi, karena kotoran yang ada pada lubang dubur ini sifatnya permanen. Ini adalah dalil akal yang tidak terbantahkan.
Al-Baghawiy rahimahullah berkata :
اتفق أهل العلم على أنه يجوز للرجل إتيان زوجته في قبلها من جانب دبرها ، وعلى أي صفة شاء، أما الإتيان في الدبر فحرام ، فمن فعله جاهلاً بتحريمه نُهِىَ عنه ، فإن عاد عُزِّرَ
“Para ulama sepakat bahwasannya diperbolehkan bagi seorang laki-laki mendatangi istrinya pada farjinya dari arah belakang, dengan gaya apapun yang ia suka. Adapun mendatangi pada duburnya, maka haram. Barangsiapa yang melakukannya karena ketidaktahuan akan keharamannya, ia dilarang darinya. Namun jika ia mengulanginya, ia dihukum” [Syarhus-Sunnah, 9/196].
Ash-Shan’aniy rahimahullah berkata :
فأباح موضع الحرث والمطلوب من الحرث نبات الزرع فكذلك النساء الغرض من إتيانهن هو طلب النسل لا قضاء الشهوة وهو لا يكون إلا في القبل فيحرم ما عدا موضع الحرث ولا يقاس عليه غيرة لعدم المشابهة في كونه محلا للزرع وأما حل الاستمتاع فيما عدا الفرج فمأخوذ من دليل آخر وهو جواز مباشرة الحائض فيما عدا الفرج
“Allah hanya membolehkan tempat bercocok tanam, dan yang dicari dari tempat bercocok tanam adalah tumbuhnya tanaman. Begitu pula wanita, bahwa tujuan menjimai mereka adalah untuk mencari keturunan, bukan sekedar pemenuhan syahwat saja. Maka hal itu tidaklah terjadi kecuali dilakukan pada farji. Maka Allah mengharamkan melakukannya selain dari tempat bercocok tanam itu. Tidak ada qiyas padanya terhadap selainnya karena memang tidak ada persamaan dalam keadaannya sebagai tempat tanaman. Adapun mencari kesenangan (istimtaa’) pada selain farji, maka itu diambil dari dalil yang lain, yaitu diperbolehkannya mencumbui/mempergauli (mubaasyarah) wanita haidl selain pada farjinya[19]” [Subulus-Salaam, 3/187].
Apa yang dilarang Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas pelarangan mendatangi/menjimai wanita pada duburnya pasti mengandung hikmah, baik ia kita ketahui ataupun tidak. Telah banyak penelitian para ahli, baik muslim maupun kafir, yang menjelaskan perilaku menyimpang ini.
Other risk factors associated with increased anal-cancer risk included gay or bisexual orientation among men, a high number of lifetime sexual partners and a history of receptive anal sex. The study also suggested that the overall increase in anal cancer rates might be partially attributable to an increase in the average number of lifetime sexual partners and an increase in the number of people engaging in anal sex, particularly among women.
Among the female control group studied, 21.5 percent had reported practicing anal sex, a significant increase from a previous case-control study by Daling and colleagues, published in 1987, in which 11 percent of female controls had reported ever having anal sex. Similarly, 40 percent of the women in the control group of the current study reported having five or more lifetime sexual partners as compared to 9 percent of the female control group in the 1987 study.
"It could be that sexual practices have changed, but it also could be that people are just more likely to discuss their sexual behavior these days," Daling said. "However, I suspect that increased incidence of anal intercourse among both men and women is most likely to be the primary cause behind the rise in anal cancer." [sumber : http://www.aphroditewomenshealth.com/news/20040612005751_health_news.shtml].
*******
The anal sphincter muscle is not anatomically designed to comfortably admit external objects--it is designed to relax and stretch when stimulated internally by rectal fullness from stool.  The automatic reflex is for it to contract and tighten when pressure is applied externally.  So relaxation of the sphincter for external penetration is learned over time because otherwise it is very uncomfortable, and must only be done with gentle continual pressure, and lots and lots of lubricant. The risks, even with gentle insertion, are laceration of the anal tissue, and rectal mucosa, resulting in pain, bleeding, and difficulty passing stool comfortably. 
Any presence of blood can potentially expose the insertive partner to bloodborne STDs like Hep. B, Hep. C, and HIV.  In addition, exposure to stool can result in urethral infections in a male insertive partner.
The receptive partner is at more risk for contracting STDs if there is trauma (even microscopic) to the anus or rectum due to the potential presence of virus in semen, if ejaculation takes place in the rectum.  Human papilloma virus also is likely to be spread anally due to this trauma to the anal and rectal tissue, and some of the most difficult persistent HPV infections we see are chronic anal warts, both external and internal to the anal sphincter and they are exceptionally difficult to treat, often requiring surgery to remove.
Aside from the traumatic and infectious risks, there is the risk of sphincter tone (tightness) loss over time due to repeated dilation for insertive intercourse.  Many receptive partners experience stool incontinence (leaking of stool or poor control) when they have anal sphincter tone decrease.  This, needless to say, is very bothersome and uncomfortable and has to be surgically corrected if it becomes chronic.
Lastly, there is increased risk of spreading gastrointestinal pathogens through anal contact--whether it is bacterial infections like salmonella or E. Coli, or parasitic infections like Giardia [sumber : http://www.wwu.edu/chw/ask_the_doc_old/post/1-1000/0513.html].
*******
Berikut 4 bahaya ketika melakukan hubungan seks melalui anus, seperti dilansir Menshealth dan Netdoctor, Selasa (8/2/2011), yaitu:
1. Rasa sakit dan rasa tidak nyaman pada anus
Bila dibandingkan vagina, struktur anus jauh lebih ketat. Bila pria memberikan tekanan yang kuat saat melakukan hubungan seks pada anus, maka hal tersebut dapat menyebabkan rasa nyeri, sakit, tidak nyaman atau bahkan lecet hingga menyebabkan sakit saat buang air besar.
2. Tak ada pelumasan atau lubrikasi di dubur
Tidak seperti organ reproduksi wanita atau vagina yang diciptakan untuk dapat melubrikasi dirinya sendiri saat merasa terangsang, pada anus hal tersebut tidak terjadi. Ini juga dapat menyebabkan hubungan seks anal semakin menyakitkan.
3. Mudah menyebarkan penyakit menular seksual
Kebanyakan orang enggan menggunakan kondom saat melakukan hubungan seks anal. Inilah yang menjadi pemicu tingginya penularan penyakit menular seksual (PMS) dari hubungan seks anal.
PMS yang bisa menular melalui hubungan seks anal antara lain human immunodeficiency virus (HIV), human papilloma virus (HPV, yang dapat menyebabkan kutil kelamin, kanker dubur, hepatitis A dan C, chlamydia, gonorrhea dan herpes.
4. Tertular virus dan bakteri berbahaya
Kurangnya pelumasan pada hubungan seks anal bisa menyebabkan lecet pada penis dan mukosa dubur, sehingga mudah menularkan virus. Selain penyakit menular seksual, hubungan seks anal juga dapat menularkan virus dan bakteri tertentu, seperti Escherichia coli (E. coli).
Penularan bakteri ini dapat menyebabkan yang ringan dan parah seperti gastroenteritis (penyakit infeksi usus yang sangat menular). Beberapa strain E. coli (E. coli uropathic) juga dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, mulai dari cystitis (radang kandung kemih) hingga pielonefritis (infeksi ginjal serius akibat bakteri). [sumber : http://us.health.detik.com/read/2011/02/08/181203/1563118/763/4-bahaya-melakukan-seks-lewat-anus].
Tanya :
dokter yang baek,
vins mau nanya apakah anal seks diperbolehkan dan berbahaya gak?
apa akibatnya bila melakukan anal seks...
terima kasih atas jawabannya,
Vins
Jawab :
selamat pagi vins...
sampai saat ini anal seks masih tidak diperbolehkan menyangkut juga masalah kesehatan.., lubang anus memiliki diameter yang lebih kecil dari lubang vagina, dan sifatnya tidak elastis, serta tidak memiliki "pelumas" .
hal ini dapat mengakibatkan perlukaan daerah anus dan kemungkinan tertular infeksi yang berasal dari feses (pups..) yaitu E. Coli..
********
Tanya :
Dokter, saya ingin bertanya seputar seks anal. Selama ini saya dan pasangan melakukan hubungan anal sekitar lima kali.
Dua hingga tiga bulan sesudahnya, pasangan mengeluarkan darah setiap kali buang air. Ia mengatakan tidak sakit tapi selalu keluar darah. Apakah ini tanda anal terkoyak? Saya juga pernah membaca mengenai penyakit wasir, apakah bisa menyebabkan kanker?
Terimakasih
Jawab :
Pendarahan pada anal jelas karena ada pembuluh darah yang pecah atau adanya wasir (ambeien) yang harus diperiksa lebih lanjut. Segera berobat ke dokter untuk pemeriksaan dan pengobatan yang tepat.
Salam,
*******
Hemoroid (hemorrhoid) dikenal oleh masyarakat luas dengan istilah ambeien atau wasir. Hemoroid merupakan kondisi di mana pembuluh darah vena yang berada di anus dan sekitarnya mengalami pembengkakan dan meradang. Kondisi ini dapat terjadi sebagai akibat buang air besar yang sulit (tinja keras), kehamilan, penuaan, konstipasi kronis, diare kronis, dan hubungan seksual lewat anus (anal sex intercourse). [sumber : http://pharos.co.id/news-a-media/beritakesehatan/417-kenali-hemoroid-wasir-lebih-dekat.html].
******
Masih banyak sumber yang dapat digali dari para ahli bagaimana efek negatif dari anal seks.
Jika Anda ingin mengetahui struktur anatomi rektum alias anal, silakan buka : http://anatomyexpert.com/structure_detail/4435/40287/.
Sekilas Tentang Syi’ah
Setelah itu, saya ajak Pembaca budiman untuk memperhatikan bagaimana posisi sekte Syi’ah dalam masalah mendatangi wanita pada duburnya. Berikut akan saya bawakan dua riwayat yang tertera dalam sumber-sumber mereka :
عَنْهُ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ قَالَ سَمِعْتُ صَفْوَانَ يَقُولُ قُلْتُ لِلرِّضَا ع إِنَّ رَجُلًا مِنْ مَوَالِيكَ أَمَرَنِي أَنْ أَسْأَلَكَ عَنْ مَسْأَلَةٍ فَهَابَكَ وَ اسْتَحَى مِنْكَ أَنْ يَسْأَلَكَ قَالَ مَا هِيَ قَالَ قُلْتُ الرَّجُلُ يَأْتِي امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا قَالَ نَعَمْ ذَلِكَ لَهُ قُلْتُ فَأَنْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ قَالَ لَا إِنَّا لَا نَفْعَلُ ذَلِكَ
Darinya, dari ‘Aliy bin Al-Hakam, ia berkata : Aku mendengar Shafwaan bekata : Aku pernah bertanya kepada Ar-Ridlaa ‘alaihis-salaam : “Sesungguhnya ada laki-laki dari mawaali-mu yang menyuruhku agar aku bertanya satu permasalahan, namun aku malu kepadamu untuk menanyakannya”. Ia berkata : “Apakah itu ?”. Aku berkata : “Ada seorang laki-laki yang mendatangi istrinya pada duburnya”. Ia menjawab : “Ya, hal itu diperbolehkan baginya”. Aku berkata : “Apakah engkau melakukannya ?”. Ia menjawab : “Tidak, kami tidak melakukannya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thuusiy dalam Tahdziibul-Ahkaam 7/415-416 dan Al-‘Amiliy dalam Al-Wasaail 20/145; kata Al-Majlisiy : ‘shahih’].
وَ عَنْهُ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَسْبَاطٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حُمْرَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي يَعْفُورٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنِ الرَّجُلِ يَأْتِي الْمَرْأَةَ فِي دُبُرِهَا قَالَ لَا بَأْسَ إِذَا رَضِيَتْ قُلْتُ فَأَيْنَ قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ (البقرة -: 222 -) قَالَ هَذَا فِي طَلَبِ الْوَلَدِ فَاطْلُبُوا الْوَلَدَ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ نِساؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ (البقرة -: 223 -) 
Darinya, dari ‘Aliy bin Asbaath, dari Muhammad bin Humraan, dari ‘Abdullah bin Abi Ya’fur, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salam tentang seorang laki-laki yang mendatangi wanita pada duburnya. Ia berkata : “Tidak mengapa jika ia (wanita) meridlainya”. Aku berkata : “Maka, bagaimana dengan firman Allah ‘azza wa jalla : ‘maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu’ (QS. Al-Baqarah : 222) ?”. Ia menjawab : “Ini jika ia bertujuan untuk mencari/mendapatkan anak, maka carilah anak di tempat yang Allah perintahkan kepadamu. Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman : ‘Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki’ (QS. Al-Baqarah : 223)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thuusiy dalam Tahdziibul-Ahkaam 7/414 dan Al-‘Aamiliy dalam Wasaailusy-Syii’ah 20/146; kata Al-Majlisiy : ‘muwatstsaq’].
Catatan : Sebagian ulama Syi’ah ada yang menghukumi makruuh, namun kenyataan di lapangan, ‘kebolehan’ praktek keji ini lebih banyak diamini berdasarkan riwayat di atas dan yang semisal serta fatwa ulama lain yang membolehkannya.
*******
Kembali ke judul di atas : “Suka Sodomi ?”. Tentu saja sebagai seorang muslim/muslimah akan menjawab : “Tidak”.
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu ta’ala a’lam.
[abul-jauzaa’, perumahan ciomas permai, bogor].




[1]        An-Nu’maan bin Raasyid, seorang yang lemah di bidang hapalannya, sehingga tambahan lafadhnya di sini lemah. Sebagian ulama mengatakan bahwa lafadh ini mudraj dari perkataan/tafsir Az-Zuhriy.
[2]        Ibnu Jariir menyebutkan dalam Tafsir-nya :
حدثني عبد الرحمن بن عبد الله بن عبد الحكم قال، حدثنا عبد الملك بن مسلمة قال، حدثنا الدراوردي قال، قيل لزيد بن أسلم: إن محمد بن المنكدر ينهى عن إتيان النساء في أدبارهن. فقال زيد: أشهد على محمد لأخبرني أنه يفعله
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurahmaan bin ‘Abdillah bin ‘Abdil-Hakam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik bin Maslamah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ad-Daraawardiy, ia berkata : Dikatakan kepada Zaid bin Aslam : “Sesungguhnya Muhammad bin Al-Munkadir melarang mendatangi wanita pada duburnya”. Maka Zaid berkata : “Aku bersaksi atas diri Muhammad, ia telah mengkhabarkan kepadaku bahwa ia melakukannya” [Tafsir Ath-Thabariy, 4/405 no. 4328].
Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahullah berkata bahwa riwayat itu lemah dengan sebab ‘Abdul-Malik bin Maslamah.
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Bagaimana bisa ia melakukan tersebut padahal ia adalah orang yang meriwayatkan hadits tentang sebab turunnya ayat, bahwa yang diperbolehkan Allah dan Rasul-Nya adalah pada farjinya saja ?
[3]        Maksudnya, menyetubuhi istrinya dari arah belakang, bukan dari depan.
[4]        Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 5/314 no. 8977, Ahmad 1/297, Ath-Thabariy dalam At-Tafsiir 4/412-413 no. 4347, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 12/9 no. 12317, Abu Ya’laa no. 2736, Al-Waahidiy dalam Asbaabun-Nuzuul hal. 53, Al-Baghawiy dalam At-Tafsiir 1/198, Al-Baihaqiy 7/198; dari jalan Ya’quub Al-Qummiy, dari Ja’far bin Abil-Mughirah, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas.
Catatan : Ibnu Mandah melemahkan riwayat Ja’far bin Abil-Mughiirah dari Sa’id bin Jubair [lihat : Tahdziibut-Tahdzib, 2/108]. Adapun Ibnu Hajar menghukumi shaduuq, namun sering ragu (yahimu). Akan tetapi penghukuman ini dikritik oleh Al-Arna’uth dan Basyar ‘Awwaad, bahwa status Ja’far ini adalah tsiqah; dan Ibnu Mandah telah menyendiri dalam mengkritiknya. Apa yang dikatakan keduanya tidak mendapatkan kritik balik dari Maahir Al-Fakhl dalam Kasyful-Auhaam [lihat : Tahriir At-Taqriib, 1/220-221 no. 960].
[5]        Diriwayatkan juga oleh Ad-Daarimiy no. 1119, Ath-Thabariy dalam At-Tafsiir 4/412 no. 4345, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 3/42-43 dan dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 15/428 no. 6129; dari jalan Wuhaib bin Khaalid.
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 6/318, At-Tirmidziy no. 2979, Ibnu Abi Syaibah 3/348, Ath-Thabariy dalam At-Tafsiir 4/411-412 no. 4344, Abu Ya’laa no. 6972, dan Al-Baihaqiy 7/195; dari jalan Sufyaan Ats-Tsauriy.
Diriwayatkan juga Al-Baihaqiy 7/195 dari jalan Rauh bin Al-Qaasim.
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabariy dalam At-Tafsiir 4/410-411 no. 4341 dari jalan ‘Abdurrahiim bin Sulaimaan.
Keempatnya (Wuhaib, Sufyaan, Rauh, dan ‘Abdurrahiim) dari ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim, dari Ibnu Saabith, dari Hafshah, dari Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa.
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 6/310 dan ‘Abdurrazzaaq 11/442 no. 20959; dari jalan Ma’mar, dari Ibnu Khutsaim, dari Shafiyyah binti Syaibah, ia berkata : “Ketika kaum Muhaajiriin datang ke Madiinah…. (al-hadits).
[6]        Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah menukil perkataan Al-Bazzaar bahwa ia tidak mengetahui dalam bab ini hadits shahih, baik dalam pelarangannya maupun kemutlakannya (yaitu, hadits yang menghalalkan ataupun mengharamkannya), dan hadits Khuzaimah bin Tsaabit tidaklah shahih [At-Talkhiish, 3/387-388] – maka perkataan Al-Bazzaar tersebut bukanlah perkataan yang shahih.
Riwayat Khuzaimah bin Tsaabit di sini adalah berderajat minimal hasan. Berikut penjelasannya :
Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 5/316 no. 8982, Ahmad 5/213, Ibnul-Jaaruud no. 728, Ath-Thabaraaniy 4/84, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 3/43, dan Al-Baihaqiy 7/197; dari jalan Sufyaan bin ‘Uyainah, dari Yaziid bin Al-Haad, dari ‘Ammaarah bin Khuzaimah, dari ayahnya.
Asy-Syaafi’iy berkata : “Sufyaan telah keliru dalam hadits Ibnul-Haad” [As-Sunan Al-Kubraa, 7/197. Lihat juga : At-Talkhiish, 3/387]. Pernyataan Asy-Syaafi’iy ini disepakati oleh Abu Haatim bahwa Ibnu ‘Uyainah telah keliru dalam menyampaikan sanad hadits ini, dimana yang benar adalah Ibnul-Haad, dari ‘Aliy bin ‘Abdilah bin As-Saa’ib, dari Harmiy, dari Khuzaimah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam [Al-‘Ilal, 1/403].
Al-Baihaqiy berkata : “Ia mempunyai mutaba’ah”.
Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy 2/29 no. 1619, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 8983-8991 & 8992-8994, Ibnu Maajah no. 1924, Ahmad 5/214-215, Ad-Daarimiy no. 2213, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kubraa 4/88-90 no. 3733-3743 dan dalam Al-Ausath 1/392 no. 981, Ibnu Hibaan no. 4198 & 4200, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 3/44, dan Al-Baihaqiy 7/197-198; semuanya dari jalan Haramiy bin ‘Abdilah, dari Khuzaimah.
Ibnu Hajar menghukumi Haramiy sebagai perawi mastuur dan tidak benar orang yang mengatakan bahwa ia termasuk kelompok shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam  [Lihat : At-Taqriib, hal. 1019 no. 7326]. Akan tetapi, sejumlah perawi tsiqaat meriwayatkan darinya dimana hal itu dapat menguatkan haditsnya menjadi hasan (hasanul-hadits), wallaahu a’lam.
Diriwayatkan juga oleh Asy-Syaafi’iy 2/29 no. 1619, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 5/318-319 no. 8992-8994, Ath-Thabaraaniy 4/90 no. 3744 dan dalam Al-Ausath 6/337 no. 6353, Ath-Thahawiy dalam Musykilul-Aatsaar 15/43-431 no. 6132 dan dalam Syarh Ma’aanil-Atsaar 3/43-44, Al-Baihaqiy 7/196, Al-Baghawiy dalam At-Tafsiir (Ma’aalimut—Tanziil) 1/199; dari jalan Muhammad bin ‘Aliy bin Syaafi’ : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullah bin ‘Aliy bin As-Saaib, dari ‘Amru bin Uhaijah bin Al-Julaah, dari Khuzaimah bin Tsaabit.
Asy-Syaafi’iy berkata : “Pamanku (Muhammad bin ‘Aliy) tsiqah, ‘Abdullah bin ‘Aliy tsiqah. Telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad, dari Al-Anshariy Al-Muhaddits hal tersebut bahwa ia memujinya dengan kebaikan. Adapun Khuzaimah, tidak diragukan lagi bahwa ia termasuk ulama yang tsiqah. Maka, aku tidak pernah memberi keringanan dalam hal itu (mendatangi wanita pada duburnya), bahkan aku melarangnya” [As-Sunan Al-Kubraa, 7/196].
Adapun ‘Amru bin Uhaijah, Ibnu Hajar menghukuminya maqbuul (yaitu jika ada mutaba’ah, jika tidak maka lemah) [At-Taqriib, hal. 730 no. 5022]. Namun yang benar, ia adalah majhul ‘ain, karena hanya satu orang saja yang meriwayatkan darinya (yaitu ‘Abdulah bin ‘Aliy).
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy 5/319 no. 8995 dan Ahmad 5/213; dari jalan ‘Abdurrahmaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari ‘Abdullah bin Syaddaad Al-A’raj, dari seorang laki-laki, dari Khuzaimah bin Tsaabit.
Riwayat ini juga lemah karena ada perawi mubham.
Kesimpulannya, hadits ini adalah hasan, wallaahu a’lam.
Dengan keberadaan hadits-hadits lain yang disebutkan di sini (sebagai syawaahid), dapat mengangkatnya pada derajat shahih-lighirihi.
[7]        Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud no. 3904, At-Tirmidziy no. 135, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 5/323 no. 9017, Ibnu Maajah no. 639, Ahmad 2/408 & 476, Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir 3/16-17, Ibnul-Jaarud dalam Al-Muntaqaa no. 107, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 2/220 pada biografi Hakiim Al-Atsram, Al-Baihaqiy 7/318, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 3/45 dan dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 15/429 no. 6130; semuanya dari jalan Hammaad bin Salamah, dari Hakiim Al-Atsram, dari Abu Tamiimah, dari Abu Hurairah.
Hammaad, Hakiim, dan Abu Tamiimah (namanya Thariif bin Mujaalid) adalah tsiqaat. Sebagian ulama ada yang menghukumi riwayat ini munqathi’ dengan sebab penyimakan Abu Tamiimah dari Abu Hurairah berdasarkan perkataan Al-Bukhaariy sebagaimana dinukil Al-Mizziy saat menyebutkan biografi Hakiim Al-Atsram :
حكيم الأثرم بصرى عن أبى تميمة الهجيمى ، عن أبى هريرة " من أتى كاهنا " ، لا يتابع فى حديثه و لا نعرف لأبى تميمة سماعا من أبى هريرة .
“Hakiim Al-Atsram, orang Bashrah, dari Abi Tamiimah Al-Hujaimiy, dari Abu Hurairah : ‘Barangsiapa yang mendatangi dukun’; tidak ada mutaba’ah dalam haditsnya, dan kami tidak mengetahui penyimakan Abu Tamiimah dari Abu Hurairah” [lihat pula dalam Tahdziibut-Tahdziib, 5/13 – biografi Abu Tamiimah].
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Apa yang dikatakan Al-Bukhaariy tersebut tidak secara tegas menafikkan penyimakan riwayat Abu Tamiimah dari Abu Hurairah.
Abu Tamiimah mempunyai mutaba’aat.
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’anil-Aatsaar 3/44 : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Daawud, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Iyaasy, dari Suhail, dari Al-Haarits bin Mukhallad, dari Abu Hurairah.
Sanad riwayat ini lemah karena Ismaa’iil bin ‘Iyaasy lemah dalam periwayatan dari orang-orang Hijaz, dan Suhail (bin Abi Shaalih) termasuk di antaranya. Al-Haarits juga seorang yang majhuul haal.
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 2/429 dari jalan Yahyaa bin Sa’iid bin ‘Auf, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Khalaas, dari Abu Hurairah dan Al-Hasan, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Riwayat ini munqathi’. Khalaas (bin ‘Amru Al-Hajuriy) tidak mendengar riwayat dari Abu Hurairah. Adapun Al-Hasan (Al-Bashriy) menyampaikan riwayat secara mursal.
Diriwayatkan juga oleh Al-Haakim 1/8 dari jalan Al-Haarits bin Abi Usaamah : Telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubaadah : Telah menceritakan kepada kami ‘Auf, dari Khalaas dan Hasan, dari Abu Hurairah.
Secara keseluruhan hadits ini adalah shahih sebagaimana terlihat.
[8]        Akan tetapi banyak di antara ulama berpendapat bahwa para shahabat tidaklah ijma’ dalam pengharamannya, sebagaimana ternukil dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa yang membolehkannya. Akan ada pembahasan mengenai pendapat Ibnu ‘Umar ini dalam paragraf-paragraf lanjutan.
[9]        Sa’iid bin ‘Abi ‘Aruubah adalah seorang yang tsiqah lagi haafidh, paling tsabt periwayatannya dari Qataadah, namun berubah hapalannya di akhir hayatnya. Tidak diketahui apakah ‘Abdul-A’laa meriwayatkan sebelum ataukah setelah masa ikhtilath-nya, sebagaimana dikatakan Ibnul-Qaththaan. Akan tetapi periwayatan ‘Abdul-A’laa dari Sa’iid dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim, sehingga hal ini cukup bagi kita berhusnudhdhan akan keshahihannya karena kredibilitas mereka berdua. Abu Ayyuub Al-Maraghiy adalah perawi yang tsiqah.
Jadi riwayat ini shahih.
Diriwayatkan pula oleh ‘Abdurrazzaaq 11/443 no. 20956 dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 5381; dari jalan Ma’mar, dari Qataadah : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Amru berkata : …..dst.
Riwayat ini munqathi’ (terputus). Qataadah mengugurkan Abu Ayyuub antara dirinya dan ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa.
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 5/320 no. 8998-8999; dari jalan Humaid Al-A’raj, dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ‘Abdullah bin ‘Amru secara mauquf.
Riwayat ini munqathi’ (terputus), karena ‘Amru bin Syu’aib tidak pernah mendengar riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Amru.
Dibawakan pula secara marfu’, namun ia tidaklah mahfudh (sebagaimana akan diterangkan).
حدثنا هدبة حدثنا همام قال سئل قتادة عن الذي يأتي امرأته في دبرها فقال قتادة حدثنا عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال هي اللوطية الصغرى
Telah menceritakan kepada kami Hudbah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaam, ia berkata : Qatadah pernah ditanya tentang orang yang mendatangi istrinya pada duburnya. Qataadah pun berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ia adalah perbuatan liwath kecil” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/210].
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 5/320 no. 8997, Ahmad 2/182 & 210, dan Al-Baihaqiy 7/198; dari jalan Hammaam, dari Qataadah, dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu'.
Qataadah telah menjelaskan penyimakan riwayatnya dari ‘Amru bin Syu’aib sebagaimana riwayat dari jalur Hudbah di atas. Hammaam adalah tsiqah. ‘Amru bin Syu’aib dan ayahnya adalah shaduuq.
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 5/319 no. 8996 dari jalan ‘Abdullah bin Al-Haitsam bin ‘Utsmaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Katsiir Abu Ghasaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Zaaidah bin Abir-Ruqaad Ash-Shairafiy, dari ‘Aamir Al-Ahwal, dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya.
Sanad riwayat ini sangat lemah. Zaaidah adalah seorang yang munkarul-hadiits, sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar [At-Taqriib, hal. 333 no. 1992].
Walhasil, hadits dari jalur 'Amru bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya adalah hasan. Namun, Hammaam dalam riwayat marfu' bertentangan dengan Sa'iid dan Ma'mar yang mauquf pada periwayatan dari Qataadah.
Al-Bukhaariy berkata : “Riwayat marfuu’ tidaklah shahih” [Ash-Shaghiir, 1/273].
Ibnu Hajar berkata : “Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dan ia men-ta’lil-nya. Yang mahfudh dari ‘Abdullah bin ‘Amru, bahwa itu merupakan perkataannya” [At-Talkhiish, 3/391].
Ibnu Katsiir : “Ini (riwayat mauquf) lebih shahih” [Tafsiir Ibni Katsiir, 2/314].
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 5/320 no. 9000; dari jalan Zakariyyaa bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Syaibaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Hilaal, dari Mathr Al-Warraq, dari ‘Amru bin Syu’aib secara maqthu’ (masuk dalam perkataannya).
Namun riwayat ini tidak shahih. Mathr bin Thuhmaan Al-Warraaq adalah seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya [At-Taqriib, hal. 947 no. 6744]. Begitu juga dengan Abu Hilaal (Muhammad bin Sulaim), meskipun ia seorang yang shaduuq, namun hapalannya diperbincangkan para ulama [idem, hal. 849 no. 5960].
[10]       Wakii’ bin Al-Jarraah dalam periwayatan mauquf diselisihi oleh Khaalid Al-Ahmar yang meriwayatkan secara marfu’ sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1165, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 9001, Ibnu Abi Syaibah 4/251-252, Abu Ya’laa no. 2378, Ibnu Hibbaan no. 4203-4204 & 4418, dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 10/99-100.
Namun Khaalid Al-Ahmar tidaklah sebanding dengan Wakii’. Wakii’ adalah seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah. Adapun Khaalid, seorang yang shaduuq, namun banyak keliru (yukhthi’). Oleh karena itu, riwayat mauquf-lah yang mahfuudh.
Ibnu Hajar berkata : “Ia (riwayat mauquuf) lebih shahih menurut mereka (para ulama/muhaddits) daripada marfuu’” [At-Talkhiish, 3/390].
[11]       Karena perawi yang bernama Ya’quub bin Humaid (bin Kaasib Al-Madaniy). Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, kadang ragu (rubamaa wahm)”. Namun ini tidak benar, bahkan ia seorang yang dla’iif [lihat : Tahriirut-Taqriib, 4/125 no. 7815 – dan penghukuman tidak mendapatkan kritik oleh Dr. Maahir Al-Fakhl dalam Kasyful-Auhaam].
Ya’quub dalam periwayatan dari ‘Abdullah bin Naafi’ mempunyai mutaba’ah dari Al-Haarits bin Suraij sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 1103. Akan tetapi, Al-Haarits bin Suraij adalah perawi yang sangat lemah [Miizaanul-I’tidaal, 1/433 no. 1619].
‘Abdullah bin Naafi’ mempunyai mutaba’ah dari Yahyaa bin Ayyuub sebagaimana diriwayatkan oleh Usaamah bin Ahmad At-Tajiibiy dengan lafadh :
كُنَّا نَأْتِي النِّسَاءَ فِي أَدْبَارِهِنَّ وَيُسَمَّى ذَلِكَ الْإِثْفَارُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ الْآيَةَ
“Kami dulu mendatangi istri dari dubur mereka, dan itu dinamakan dengan itsfaar. Maka Allah pun menurunkan ayat (QS. Al-Baqarah : 223)” [lihat : At-Talkhiish, 3/395].
Yahyaa bin Ayyuub Al-Ghaafiqiy adalah seorang yang shaduuq, namun kadang keliru [At-Taqriib, hal. 1049 no. 7561].
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabariy dalam At-Tafsiir 4/408 no. 4334 dari jalan Yuunus, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Naafi’, dari Hisyaam bin Sa’d, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Athaa’ bin Yasaar secara mursal.
Yuunus, ia adalah Ibnu ‘Abdil-A’laa bin Maisarah Ash-Shadafiy, seorang yang tsiqah [At-Taqriib, hal. 1098 no. 7964].
Diriwayatkan juga oleh Usaamah bin Ahmad At-Tajiibiy dari jalan Ma’n bin ‘Iisaa, dari Hisyaam (dari Zaid bin Aslam, dari ‘Athaa’ bin Yasaar), tanpa menyebutkan Abu Sa’iid Al-Khudriy [lihat : At-Talkhiish, 3/395].
Ma’n bin ‘Iisaa bin Yahyaa bin Diinaar Al-Asyja’iy seorang yang tsiqah lagi tsabat [At-Taqriib, hal. 963 no. 6868].
Oleh karena itu, riwayat mursal inilah yang lebih shahih lagi mahfuudh.
[12]       Senada dengan perkataan ini, Ibnu Hajar rahimahullah pun berkata :
وذهب جماعة من أئمة الحديث كالبخارى والذهلي والبزار والنسائي وأبي على النيسابوري إلى أنه لا يثبت فيه شيء
“Sekelompok ahli hadits seperti Al-Bukhaariy, Al-Bazzaar, An-Nasaa’iy, dan Abu ‘Aliy An-Naisaabuuriy berpendapat bahwa tidak ada hadits yang shahih sedikitpun tentang hal tersebut” [Fathul-Baariy, 8/191].
Akan tetapi Ibnu Hajar menyatakan ketidakvalidan pendapat mereka karena hadits-hadits tentang pengharaman mendatangi istri pada duburnya diriwayatkan dari banyak jalan sehingga kuat dan dapat dipergunakan sebagai hujjah.
[13]       Dan sangat tidak boleh dipahami bahwa Asy-Syaafi’iy membolehkan perbuatan nista itu – sebagaimana dihikayatkan oleh Asy-Syaukaaniy (Nailul-Authaar 6/353) -, sebab ia (Asy-Syaafi’iy) sendiri berkata :
وكذلك المستحل لاتيان النساء في أدبارهن فهذا كله عندنا مكروه محرم 
“Begitu juga orang yang menghalalkan mendatangi wanita dari dubur mereka. Semua ini menurut kami adalah perbuatan yang dibenci lagi diharamkan….” [Al-Umm, 6/222].
Ash-Shan’aaniy rahimahullah berkata :
ولكن قال الربيع والله الذي لا إله إلا هو لقد نص الشافعي على تحريمه في ستة كتب ويقال إنه كان يقول بحله في القديم وفي الهدي النبوي عن الشافعي أنه قال لا أرخص فيه بل أنهى عنه وقال إن من نقل عن الأئمة إباحته فقد غلط عليهم أفحش الغلط وأقبحه وإنما الذي أباحوه أن يكون الدبر طريقا إلى الوطء في الفرج فيطأ من الدبر لا في الدبر فاشتبه على السامع انتهى
“Akan tetapi Ar-Rabii’ berkata : ‘Demi Allah yang tiada tuhan yang berhak disembah selain Dia, sungguh Asy-Syaafi’iy telah menegaskan keharamannya dalam enam kitab. Dikatakan bahwa ia telah mengatakan kehalalannya dalam pendapatnya yang terdahulu (al-qaulul-qadiim). Dan dalam kitab Al-Hudan-Nabiy dari Asy-Syaafi’iy, ia berkata : ‘Aku tidak memberi keringanan/memperbolehkan hal itu, namun aku melarangnya’. Ia juga berkata : ‘Sesungguhnya siapa saja yang menukil dari para imam tentang kebolehannya, sunguh ia telah keliru dengan sejelek-jelek kekeliruan. Hanya saja yang mereka perbolehkan adalah arah belakang sebagai jalan untuk menjimai farji, bukan menjimai dubur. Maka keraguan ada pada pendengar” [Subulus-Salaam, 3/187].
[14]       Lihat : Al-Jaami’ li-Ahkaamin-Nisaa’, 3/405.
[15]       Ini adalah uslub pengingkaran yang jelas atas perbuatan itu. Mafhum-nya, orang muslim tidaklah melakukan perbuatan tersebut.
[16]       Mungkin termasuk di antara mereka (yang salah paham) adalah Ibnu ‘Abbaas, sebagaimana riwayat yang dibawakan oleh Abu Daawud :
حدثنا عبد العزيز بن يحيى أبو الأصبغ حدثني محمد يعني بن سلمة عن محمد بن إسحاق عن أبان بن صالح عن مجاهد عن بن عباس قال : إن بن عمر والله يغفر له أوهم إنما كان هذا الحي من الأنصار وهم أهل وثن مع هذا الحي من يهود وهم أهل كتاب وكانوا يرون لهم فضلا عليهم في العلم فكانوا يقتدون بكثير من فعلهم وكان من أمر أهل الكتاب أن لا يأتوا النساء إلا على حرف وذلك أستر ما تكون المرأة فكان هذا الحي من الأنصار قد أخذوا بذلك من فعلهم وكان هذا الحي من قريش يشرحون النساء شرحا منكرا ويتلذذون منهن مقبلات ومدبرات ومستلقيات فلما قدم المهاجرون المدينة تزوج رجل منهم امرأة من الأنصار فذهب يصنع بها ذلك فأنكرته عليه وقالت إنما كنا نؤتى على حرف فاصنع ذلك وإلا فاجتنبني حتى شري أمرهما فبلغ ذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم فأنزل الله عز وجل نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم أي مقبلات ومدبرات ومستلقيات يعني بذلك موضع الولد
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Yahyaa Abul-Ashbagh : Telah menceritakan kepadaku Muhammad – yaitu – bin Salamah, dari Muhammad bin Ishaaq, dari Abaan bin Shaalih, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Sesungguhnya Ibnu Umar - semoga Allah mengampuninya -, ia telah melakukan suatu kesalahan. Sesungguhnya terdapat sebuah kampung Anshar yang merupakan para penyembah berhala, hidup bersama kampung Yahudi yang merupakan ahli kitab. Dan mereka memandang bahwa orang-orang yahudi memiliki keutamaan atas diri mereka dalam hal ilmu. Dan mereka mengikuti kebanyakan perbuatan orang-orang Yahudi. Di antara keadaan Ahli Kitab adalah bahwa mereka tidak menggauli isteri mereka kecuali dengan satu cara, dan hal tersebut lebih menjaga rasa malu seorang wanita. Dan orang-orang Anshar ini mengikuti perbuatan mereka dalam hal tersebut. Sementara orang-orang Quraisy menggauli isteri-isteri mereka dengan cara yang mereka ingkari; yaitu, orang-orang Quraisy menggauli mereka dalam keadaan menghadap dan membelakangi serta dalam keadaan terlentang. Kemudian ketika orang-orang Muhajirin datang ke Madinah, salah seorang diantara mereka menikahi seorang wanita Anshar. Kemudian ia melakukan hal tersebut. Kemudian wanita Anshar tersebut mengingkarinya dan berkata; sesungguhnya kami didatangi dengan satu cara, maka lakukan hal tersebut, jika tidak maka jauhilah aku! Hingga tersebar permasalahan mereka, dan hal tersebut sampai kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Kemudian Allah 'azza wa jalla menurunkan ayat : Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Yakni dalam keadaan menghadap (saling berhadapan), membelakangi, dan terlentang; yaitu pada tempat diperolehnya anak (farji)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2164; hasan. Penyimakan riwayat Ibnu Ishaaq ada pada riwayat Al-Baihaqiy 7/195-196].
[17]       Karena mengumpulkan pendapat-pendapat syaadz di kalangan ulama.
[18]       Jumhur ulama Maalikiyyah mengingkari penisbatan kitab As-Sirr pada Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah. Al-Khaliiliy berkata saat menyebutkan biografi Haniifah :
يروى عن عبد الرحمن بن القاسم العتقي عن مالك بن أنس كتاب (السر) لمالك، والحفاظ قالوا: لا يصح عن عبد الرحمن انه روى ذلك لأن فيه أشياء ينزه مالك عنها
“Meriwayatkan dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim Al-‘Ataqiy, dari Maalik bin Anas kitab As-Sirr kepunyaan Maalik. Adapun para huffaadh berkata : ‘Tidak shahih dari ‘Abdurrahman bahwasannya ia meriwayatkan hal itu, karena di dalamnya terdapat beberapa hal yang Maalik jauh darinya” [Al-Irsyaad, 1/405].
Akan tetapi Ibnu Hajar dalam At-Talkhiish menetapkannya bahwa ia memang kitab Maalik bin Anas dari riwayat Al-Haarits bin Miskiin, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, dari Maalik.
[19]       Di antara dalilnya adalah :
وحدثني زهير بن حرب. حدثنا عبدالرحمن بن مهدي. حدثنا حماد بن سلمة. حدثنا ثابت عن أنس؛ أن اليهود كانوا، إذا حاضت المرأة فيهم، لم يؤاكلوها ولم يجامعوهن في البيوت. فسأل أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم النبي صلى الله عليه وسلم. فأنزل الله تعالى:{ويسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض إلى آخر الآية} [2/البقرة/ الآية 222] فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم "اصنعوا كل شيء إلا النكاح......
Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurahman bin Mahdiy : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah : Telah menceritakan kepada kami Tsaabit, dari Anas : Bahwasannya orang-orang Yahudi jika wanita mereka sedang haidl, mereka tidak makan dan berkumpul dengannya dalam rumah.  Maka para shahabat bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam perihal itu, lalu Alah ta’ala menurunkan ayat : ‘Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, 'Haidh itu adalah suatu kotoran'. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl….’ (QS. Al-Baqarah : 222), hingga akhir ayat. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Lakukan apapun (kepada wanita haidl), kecuali nikah (= jima’)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 302].
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ خَلِيلٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ قَالَ أَخْبَرَنَا أَبُو إِسْحَاقَ هُوَ الشَّيْبَانِيُّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبَاشِرَهَا أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِي فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Khaliil, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin Mus-hir, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Ishaaq – ia adalah Asy-Syaibaaniy - , dari ‘Abdurrahman bin Al-Aswad, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Jika salah seorang dari kami (istri-istri Nabi) sedang mengalami haid dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkeinginan untuk bermesraan (mubaasyarah) dengannya, maka beliau menyuruhnya  untuk mengenakan sarung guna menutupi tempat keluarnya darah haidl (kemaluan), lalu beliau pun mencumbuinya.” Aisyah berkata, “Hanya saja, siapakah di antara kalian yang mampu menahan hasratnya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 302].

Comments

Anonim mengatakan...

Wehehehe...ternyata terakhir2nya...nyambungnya ke syi'ah jg. Tp gpp lah ustadz. Saya puas baca artikelnya. Ternyata ada jg ya riwayat yg membolehkan namun alhamdulillah, riwayatnya bertentangan dengan riwayat yg lebih kuat. Ini membuka wawasan saya. Jazakalloh khoir.

Anonim mengatakan...

Semoga kita dijauhkan dari sifat anarkis dan senantiasa berada dijalan yang lurus , sebagaimana jalannya orang yang telah diberi nikmat oleh Allah .

Ana tinggal di seputar Bangil-Pasuruan , lagi rame nih , ada penyerangan pondok pesantren YAPI ( syiah ) oleh sekelompok orang yang tidak dikenal ( ormasnya ) .

Seharusnya yang mereka perangi aqidah sesatnya dengan hujjah yang shahih bukan dengan anarkis begitu .

Terus berjuang ustadz , melalui jalannya orang yang berilmu semoga Allah memberi keberkahan atas dakwah antum .