Orang-orang Syi’ah mengatakan bahwa Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhu meminum minuman yang diharamkan (khamr) berdasarkan hadits berikut :
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan aku dahulu memiliki kenikmatan seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku”.
[Dari jalan Ahmad, Ibnu ‘Asaakir meriwayatkan dalam Taariikh Dimasyq, 27/127].
Sungguh jauh was-prasangka orang Syi’ah tersebut. Saya komentari sebagai berikut :
Zaid bin Al-Hubaab, dikatakan oleh Ibnu Hajar : “Shaduuq, sering keliru (yukhthi’) dalam hadits Ats-Tsauriy” (w. 203 H) [At-Taqriib, hal. 351-352 no. 2136]. Ia merupakan perawi yang dipakai Muslim dalam Shahih-nya.
Penyifatan banyak salahnya dalam hadits Ats-Tsauriy ini bersumber dari perkataan Ibnu Ma’iin (dan Ibnu ‘Adiy), sebagaimana dinyatakan dalam Tahdziibul-Kamaal (10/46). Akan tetapi, Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibbaan memutlakkan kesalahan itu tidak hanya pada riwayat Ats-Tsauriy. Abu Daawud berkata : “Aku mendengar Ahmad berkata : ‘Zaid bin Hubaab seorang yang shaduuq. Ia menguasai lafadh-lafadh hadits dari Mu’aawiyah bin Shaalih. Akan tetapi ia banyak salahnya” [Taariikh Baghdaad 9/449 dan Suaalaat Abi Daawud hal. 319 no. 432]. Ahmad menisbatkan kekeliruan tersebut bukan hanya satu tempat saja [lihat : Al-‘Ilal no. 77 & 1680]. Ibnu Hibbaan berkata : “Banyak salahnya (yukhthi’), haditsnya dipakai untuk i'tibar jika ia meriwayatkan dari masyaahir. Adapun riwayatnya dari orang-orang majhul, maka padanya terdapat banyak pengingkaran (manaakir)” [Tahdziibut-Tahdziib, 3/404].
Bukan berarti di sini saya mendla’ifkan riwayat Zaid bin Al-Hubaab secara mutlak. Bagaimanapun, Al-Imam Ahmad sendiri memberikan ta’dil kepadanya sebagaimana tercantum dalam beberapa sumber. Penekanannya di sini adalah : Bersamaan dengan kejujurannya, ia mempunyai beberapa kesalahan dalam riwayatnya yang perlu diteliti. Oleh karenanya, Adz-Dzahabiy pun menyimpulkan : “Haafidh, tidak mengapa dengannya, namun sering mengalami keraguan (qad yahimu)” [Al-Kaasyif, 1/415 no. 1729].
Adapun Al-Husain bin Waaqid Al-Marwadziy (w. 157/159 H) : tsiqah, mempunyai beberapa kekeliruan.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh :
1. Abu Zur’ah dalam Taariikh-nya (2/677), dan dari jalannya Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq (27/126-127) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Syabbuuyah : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Husain, dari ayahnya : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata :
دخلت مع أبي على معاوية
“Aku bersama ayahku masuk menemui Mu’aawiyyah” [selesai].
Ahmad bin Syabbuuyah, ia adalah Ahmad bin Muhammad bin Tsaabit bin ‘Utsmaan bin Mas’uud bin Yaziid Al-Khuza’iy, Abul-Hasan bin Syabbuuyah Al-Marwadziy; seorang yang tsiqah (w. 230 dalam usia 60 tahun) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 97 no. 95].
‘Aliy bin Al-Husain bin Waaqid; seorang yang shaduuq namun sering ragu (yahimu) (130-211/212 H) [idem, hal. 693 no. 4751].
2. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadits tersebut dengan lafadh sebagai berikut :
حدثنا زيد بن الحباب عن حسين بن واقد قال حدثنا عبد الله بن بريدة قال : قال : دخلت أنا وأبي على معاوية، فأجْلَسَ أبي على السَّرير، وأَتَى بالطعام فأطْعَمنا، وأتَى بشرابٍ فشَرِبَ، فقال معاوية:"ما شيءٌ كنتُ أستَلِذَّهُ وأنا شابٌّ فآخُذُهُ اليومَ إلا اللَّبَنَ؛ فإني آخُذُه كما كنتُ آخُذُه قَبْلَ اليَومِ، والحديثَ الحَسَنَ .
Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubaab, dari Husain bin Waaqid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : Aku dan ayahku masuk/mendatangi Mu’aawiyyah. Maka ia (Mu’aawiyyah) mempersilakan duduk ayahku di atas sofa. Lalu didatangkanlah makanan, dan kami pun memakannya. Setelah itu didatangkan minuman, lalu ia meminumnya. Mu’aawiyyah berkata : “Tidak ada sesuatu yang aku pernah merasakan kenikmatannya semenjak aku masih muda, yang kemudian aku ambil pada hari ini kecuali susu. Maka aku mengambilnya sebagaimana dulu aku pernah mengambilnya sebelum hari ini, dan juga perkataan yang baik” [Al-Mushannaf, 6/188].
Jika kita bandingkan hadits-hadits di atas, maka nampak lafadh yang diriwayatkan secara bersama oleh Zaid bin Al-Hubaab dan ‘Aliy bin Al-Husain bin Waaqid adalah lafadh : “Aku bersama ayahku masuk menemui Mu’aawiyyah”. Tambahan lafadh selain ini, maka itu berasal dari (jalur) Zaid bin Al-Hubaab - dan ini merupakan tafarrud yang berasal darinya. Terutama sekali, tambahan lafadh : ‘Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’; yang merupakan jenis lafadh marfu’.
Para ahli hadits telah memberikan perhatian sendiri dalam tafarrud periwayatan marfu’ seperti ini. Sebagian muhaqqiq menyebutkan bahwa jika tafarrud itu berasal dari thabaqah shahabat dan tabi’iin yang tsiqah, maka diterima. Jika tafarrud ini berasal dari thabaqah atbaaut-taabi’iin, maka mereka (para ahli hadits) berbeda pendapat. Ada yang menolak, ada yang menerima. Yang menerima memberikan persyaratan bahwa ia haruslah termasuk kibaar huffaadh, seperti : Maalik, Syu’bah, Ats-Tsauriy, dan yang semisalnya. Oleh karenanya, tafarrud mereka secara umum diterima karena kuatnya hapalan dan luasnya periwayatan yang mereka miliki. Persyaratan ini tidaklah dimiliki oleh Zaid bin Al-Hubaab. Ia termasuk thabaqah shighaaru atbaa’ut-taabi’iin yang tidak terkenal dengan ketinggian hapalannya (sebagaimana telah lewat penjelasannya di atas). Maka, tafarrud periwayatan marfu’-nya di sini tidak diterima.
Mengomentari riwayat tersebut Al-Haitsamiy berkata :
رواه أحمد ورجاله رجال الصحيح، وفي كلام معاوية شيء تركته
“Diriwayatkan oleh Ahmad, dan para perawinya adalah para perawi Ash-Shahiih. Dan dalam perkataan Mu’aawiyyah ada sesuatu yang aku tinggalkan” [Majma’uz-Zawaaid, 5/42].
Yaitu, ia tinggalkan karena adanya tafarrud dalam riwayat tersebut. Nampaknya, orang Syi'ah itu tidak menampilkan (baca : menyembunyikan) perkataan Al-Haitsamiy di bagian akhir, sehingga seakan-akan Al-Haitsamiy menerima dan menshahihkannya. Atau mungkin yang bersangkutan tidak membuka kitab Al-Majma' atau tidak paham dengan perkataan Al-Haitsamiy.
Seandainya kita abaikan dan tolak ta’lil di atas, maka tidak ada pendalilan bagi orang Syi’ah tersebut untuk menyatakan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa meminum minuman diharamkan berdasarkan riwayat yang ia sebut. Saya ajak Pembaca lebih jeli memperhatikan kekeliruannya !
Orang Syi’ah tersebut telah keliru menisbatkan perkataan ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم “Aku tidak pernah meminumnya semenjak diharamkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” kepada Buraidah. Ini adalah kekeliruan yang nyata. Sebab, perkataan tersebut merupakan perkataan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa. Mu’aawiyyah tidak minum minuman yang diharamkan – khamr salah satunya – berdasarkan hadits yang ia bawakan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ شَرِبَ الْـخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فِى الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ
“Barangsiapa yang meminum khamr, maka cambuklah ia. Dan jika sampai mengulangi pada kali yang keempat, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1444; dinyatakan valid oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dan Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahumallah].
Oleh karenanya, perawi melanjutkan hadits itu dengan :
ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني
“Kemudian Mu’aawiyyah berkata : ‘Aku dulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan paling bagus perkataannya. Tidak ada sesuatu kesenangan pun yang pernah aku temukan saat aku muda selain susu atau orang yang ucapannya baik yang mengatakannya kepadaku”.
Seandainya Buraidah lah yang mengatakannya, mengapa ia hanya sekedar mengkhabarkan tidak pernah meminumnya semenjak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengharamkannya ? dan tidak ada pengingkaran yang nyata darinya ?
Ada kemungkinan Mu’aawiyyah mengucapkan hal itu sebagai penjelasan bahwa ia tidak lagi minum minuman yang diharamkan semenjak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, dan ia lebih menyukai susu. Itulah yang terlihat secara dhahir keseluruhan lafadh riwayat.
Dan memang yang dihidangkan dan diminum oleh Mu’aawiyyah saat itu adalah susu. Bukankah Mu’aawiyyah sendiri mengatakan setelah itu bahwa kesenangannya semenjak masih muda adalah susu ?. Dan yang sangat jelas menunjukkan hal ini adalah yang tertera dalan riwayat Ibnu Abi Syaibah di atas :
ما شئ كنت أستلذه وأنا شاب فأخذه اليوم إلا اللبن ، فإني آخذه كما كنت آخذه قبل اليوم ، والحديث الحسن
“Tidak ada sesuatu yang aku pernah merasakan kenikmatannya semenjak aku masih muda, yang kemudian aku ambil pada hari ini kecuali susu. Maka aku mengambilnya sebagaimana dulu aku pernah mengambilnya sebelum hari ini, dan juga perkataan yang baik”.
Sekali lagi, itulah yang dihidangkan dan diminum Mu’aawiyyah saat menjamu Buraidah dan anaknya radliyallaahu ‘anhum, yaitu susu. Ini menjadi pemutus, baik seandainya lafadh : ‘Aku tidak pernah meminumnya semenjak diharamkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’ itu milik Buraidah ataupun Mu’aawiyyah.
Justru riwayat ini menunjukkan adab yang tinggi dari Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan dalam menerima tamu dengan menghidangkan makanan dan minuman yang baik.
Itu saja yang dapat dituliskan. Sebenarnya masih ada beberapa kritik yang dapat diberikan atas syubhat orang Syi’ah tersebut, yang nampaknya mengekor pada tulisan As-Saqqaaf atau Al-Ghummariy. Namun, sedikit perkataan di atas, saya harapkan, minimal, telah mengugurkan inti pokok syubhat yang dilontarkan.
Wal-‘ilmu ‘indallaah.
[abul-jauzaa’, ciomas permai, sehari sebelum pulang berangkat kembali ke jokja – banyak mengambil faedah dari buku : Min Fadlaaili wa Akhbaari Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan – dirasah haditsiyyah oleh Muhammad bin Ziyaad bin ‘Umar dan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan Amiirul-Mukminiin wa Kaatibul-Wahyi oleh Syahaatah Muhammad Shaqr].
Comments
Sedikit bahasan tafarrud yang bisa dibaca oleh rekan-rekan, bisa dibuka :
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=207335
http://www.taimiah.net/index.aspx?function=item&id=950&node=4420
dan yang lainnya; silakan dieksplor sendiri.....
subhanalloh, another counter to SP.
baarokallohu fiik !
izin mempublikasikannya di facebook saya
Perlu saya ingatkan bahwa kekeliruan penerjemahan penisbatan perkataan dalam Musnad Ahmad di atas juga ada dalam program kompilasi hadits 9 imam (lidwa). Harap teman-teman memperhatikannya.
bismillah..assalamu'alaykum ustadz..afwan agak melenceng..ini ada syubhat dari page di facebook.mohon sekiranya antum ada kesempatan untuk mengadakan bahts tentangnya.jazakalloh.wassalamu'alaykum
ini linknya:
http://www.facebook.com/note.php?note_id=156209024417481&id=155563401129024&ref=mf
Bismillah.
sepertinya lawan diskusi abadi antum (SP) menyanggah kembali artikel ini ust.
baarokallohu fiikum
Terima kasih, sudah saya baca.
Namun, sangat disayangkan, ia malah berbicara ngalor-ngidul nggak karu-karuan sebagaimana kebiasaannya, dengan tidak menyanggah inti tulisan saya.
Kalau antum perhatikan betul, ia sebenarnya memang tidak paham mengenai tafarrud riwayat, mana yang diterima dan ditolak berdasarkan thabaqah perawi. Padahal kontent bagian pertama kritikan yang saya tulis adalah permasalahan itu. Ia malah berbusa-busa kata menerangkan 'ketsiqahan' Zaid bin Al-Hubaab. Ya ini namanya nggak nyambung. Lagi pula, sudah sedemikian jelas bahwa status Zaid bin Al-Hubaab itu adalah shaduuq, namun memiliki kekeliruan. Saya pun telah mengatakan tidak menolak/mendla'ifkan riwayat Zaid secara mutlak. Saya hanya menekankan, dari penisbatan kekeliruan yang ada pada diri Zaid, maka riwayatnya perlu diteliti. Mungkin ia tidak paham atau tidak membaca apa yang saya tulis. Aneh.
Pernyataan Imam Ahmad bahwa riwayat Zaid itu banyak salahnya itu adalah fakta. Dan dari mana ia membatasi kekeliruan yang dibuat Zaid itu hanya berasal dari riwayat Mu'aawiyyah bin Shaalih ? Ini mah ngarang-ngarang. Mungkin orang Syi'ah itu nggak paham akan perkataan Abu Daawud :
“Aku mendengar Ahmad berkata : ‘Zaid bin Hubaab seorang yang shaduuq. Ia menguasai lafadh-lafadh hadits dari Mu’aawiyah bin Shaalih. Akan tetapi ia banyak salahnya” [Taariikh Baghdaad 9/449 dan Suaalaat Abi Daawud hal. 319 no. 432].
Coba dipahami dengan bahasa Arabnya. Perkataan akan tetapi ia banyak salahnya itu bukan dihukumi dengan pembatasan oleh kalimat sebelumnya (yaitu riwayat Mu'aawiyyah bin Shaalih), tapi mengkonsekuensikan umum. Makanya itu, muhaqqiq kitab Suaalaat Abi Daawud As-Sijistaaniy memberikan komentar tentang hal perkataan Imam Ahmad ini, bahwa Ibnu Ma'iin membatasinya pada riwayat Ats-Tsauriy, bukan pada seluruh riwayat. Apa maknanya ? Maknanya, dhahir perkataan Imam Ahmad yang menisbatkan kekeliruan riwayat Zaid di atas adalah umum. Dan itu pulalah yang dipahami Adz-Dzahabiy dalam Al-Kaasyif. Tidakkah orang Syi'ah itu mencemati perkataan Imam Ahmad yang lain yang telah saya tunjukkan alamatnya dalam Al-'Ilal :
وقال عبد الله : سمعته يقول (يعني أباه) : كان رجلاً صالحًا ما نفذ في الحديث إلا بالصلاح , لأنه كان كثير الخطأ . قلت له : من هو ؟ قال : زيد بن الحباب. ((العلل)) (1680).
Rekan-rekan juga bisa membaca dalam multaqa ahlalhdeeth tentang ta’arudl perkataan Imam Ahmad di : http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=193997
Tentang Zaid bin Al-Hubaab, di situ muhaqqiq juga tidak memahami bahwa penisbatan Imam Ahmad tentang banyaknya kesalahan kepada Zaid dibatasi oleh riwayat Mu’aawiyyah bin Shaalih.
Atau dengan menukil perkataan Imam Ahmad dalam Al-‘Ilal yang ia nukil :
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Mu’awiyah bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Zahiriyyah dari Nimraan Abi Hasan. [Abdullah] berkata Ayahku [Ahmad] berkata telah menceritakan kepada kami Zaid dari kitabnya Nimraan dan dari hafalannya Nammar [Al Ilal no 77].
Di sini justru menunjukkan bahwa ada sesuatu dari hapalan Zaid bin Al-Hubaab.
Lebih aneh lagi, orang Syi'ah itu menyimpulkan begini :
Oleh karena itu hadis-hadis Zaid bin Hubab yang diambil Ahmad bin Hanbal dan dimasukkan ke dalam Musnad-nya jelas terbebas dari kesalahan yang dimaksud Ahmad bin Hanbal. Jika Ahmad bin Hanbal menganggap hadis Zaid itu salah maka ia akan meninggalkan hadis Zaid tersebut dan ia tidak akan memasukkan hadis itu ke dalam Musnad-nya.
Ini perkataan yang terlalu maksa, dan menunjukkan keawamannya terhadap manhaj Imam Ahmad dalam Musnadnya. Saya sarankan rekan-rakan dan tidak terkecuali orang Syi'ah itu agar membaca kitab Mu'jam Syuyuukh Al-Imam Ahmad fil-Musnad, terutama di bagian awal kitab pada bab : Dirasah 'an Manhaj Al-Imam Ahmad fir-Riwaayah 'an Syuyuukhihi fil-Musnad.
Tentang perkataan Ibnu Hibbaan, maka ini gak beda jauh dengan yang di atas. Kalau ia sadar bahwa Ibnu Hibbaan tidak membawa tafshil penisbatan kesalahan dari Zaid bin Al-Hubaab, maka pahamilah ia berdasarkan perkataan Ibnu Hibbaan sendiri. Jangan sok menafsirkan bahwa maksud perkataan Ibnu Hibbaan adalah demikian dan demikian. Selama Ibnu Hibbaan tidak memberikan pembatasan, maka jarh nya itu bersifat mutlak. Boleh-boleh saja kita mengkritisi akurasi perkataan Ibnu Hibbaan tersebut. Namun sekali lagi, jika kita ingin mengerti maksud perkataan Ibnu Hibbaan, maka itu harus dikembalikan pada perkataan Ibnu Hibbaan sendiri. Dan di sini, perkataannya berkesesuaian dengan perkataan Ahmad.
Jika kita menelaah lebih jauh, justru di sini semakin tampak bahwa kekeliruan riwayat Zaid bin Al-Hubaab itu bersifat umum. Ibnu Ma’iin dan Ibnu ‘Adiy menisbatkan pada riwayat Ats-Tsauriy. Ahmad mengatakan bahwa kekeliruannya itu mutlak. Di lain tempat ia mencontohkan kekeliruan pada riwayat Mu’aawiyyah bin Shaalih. Ibnu Hibbaan mengatakan secara mutlak.
Dan saya ingin menekankan sekali lagi bahwa : Saya dalam pemaparan di sini tidak bermaksud menjatuhkan riwayat Zaid secara mutlak, karena disamping jarh yang dialamatkan kepadanya, telah mantap tautsiq dari para imam. Oleh karenanya saya masih berpegang pada perkataan : “Shaduuq, banyak salahnya. (Dan itu tidak terbatas pada riwayat Ats-Tsauriy, Mu’aawiyyah bin Shaalih, atau yang lainnya).
Saya sarankan orang Syi’ah bisa membuat sanggahan yang lebih nyambung.
Tentang perkataan Al-Haitsamiy ia mengatakan :
Sedangkan perkataan Al Haitsami bahwa “dalam perkataan Muawiyah ada sesuatu yang aku tinggalkan” menunjukkan sikap Al Haitsami yang menolak sebagian matan hadis tersebut karena mengandung perkara yang bersifat aib bagi sahabat yaitu Muawiyah. Kami meninggalkan perkataan Al Haitsami tersebut karena tidak bernilai hujjah.
Dari mana ia menyimpulkan perkataan Al-Haitsamiy seperti itu ? Wangsit dari langit ? Ya, ia mengatakan itu karena memang kecenderungannya untuk mengarah ke situ. Memang, analisis Syi’ah itu kebanyakan berputar dalam area tebak-tebakan seperti ini. Dan seandainya perkataan Al-Haitsaimiy itu sedari awal adalah sebagaimana yang dimaui orang Syi’ah itu, kok tumben-tumben amat ia meninggalkan perkataan yang begitu berharga untuk menjatuhkan Mu’aawiyyah ?. Aneh bukan rekan-rekan ?. Tidak lebih, perkataan tidak lebih sekedar alibi saja….
Al-Haitsaimiy adalah ahli hadits, dan Majma’uz-Zawaaid adalah kitab hadits. Makanya, lafadh-lafadh yang ada dalam kitab tersebut harus dipahami dengan bahasa ilmu hadits, kecuali ada keterangan lain. Perkataannya : Diriwayatkan oleh Ahmad, dan para perawinya adalah para perawi Ash-Shahiih. Dan dalam perkataan Mu’aawiyyah ada sesuatu yang aku tinggalkan ini juga harus dipahami dengan bahasa hadits. Sebelumnya Al-Haitsaimiy telah mengatakan rijalnya adalah rijal Ash-Shahih. Otomatis ia mengakui keabsahan perawinya. Dan tidaklah perawi maqbul itu bisa ditinggalkan riwayatnya kecuali beberapa faktor di antaranya : adanya gharabah/tafarrud atau ada syudzuudz. Di sini tidak ada syudzuudz, karena tidak ada pertentangan dengan riwayat lain. Namun, di sini nampak adanya gharabah/tafarrud, karena riwayat dengan tambahan uraian itu hanya berasal dari riwayat Zaid bin Al-Hubbaab.
Selanjutnya dalam bahasan dirayah atau matan, ia nampak selalu memaksakan diri untuk menjatuhkan Mu’aawiyyah. Mari kita perhatikan bersama haditsnya (dan mohon pahami dengan pemahaman bahasa Arab beserta tata bahasanya) :
ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم
“Telah menceritakan ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : “Aku dan ayahku masuk menemui Mu’aawiyyah. Lalu ia (Mu’aawiyyah) mempersilakan kami duduk di atas hamparan. Kemudian didatangkan kepada kami makanan dan kamipun memakannya. Kemudian didatangkan kepada kami minuman, lalu Mu’aawiyyah pun meminumnya. Lalu ia menawarkan kepada ayahku. Lalu ia berkata : Aku tidak pernah meminumnya semenjak diharamkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Siapakah ia dimaksud ? Bagi yang paham, tentu saja ia itu masuk kelanjutan dari perkataan sebelumnya, yaitu : Mu’aawiyyah. Sebab, perkataan sebelumnya semua subjeknya tertuju pada perbuatan yang dilakukan Mu’aawiyyah. Dan setelah perkataan di atas, ‘Abdullah bin Buraidah memberi penekanan :
ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني
“Kemudian Mu’aawiyyah berkata : ‘Aku dulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan paling bagus perkataannya. Tidak ada sesuatu kesenangan pun yang pernah aku temukan saat aku muda selain susu atau orang yang ucapannya baik yang mengatakannya kepadaku”.
Sangat nyambung. Mu’aawiyyah sebelumnya mengatakan bahwa ia tidak pernah meminum diharamkan semenjak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, dan kemudian menegaskan dengan pernyataan bahwa yang ia sukai semenjak masih muda adalah susu. Sebagai informasi saja, muhaqqiq Musnad Ahmad (Al-Arna’uth dkk.) juga menjelaskan di catatan kakinya bahwa pemilik perkataan : Aku tidak pernah meminumnya semenjak diharamkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah milik Mu’aawiyyah. Dalam tulisan sebelumnya pun, orang Syi’ah itu menukil pentashhihan Al-Arna’uth. Namun saya gak tahu, apa ia memang benar membuka Musnad Imam Ahmad dan membaca keseluruhan komentarnya, atau cuma diambil yang kira-kira menguntungkan saja (seperti perkataan Al-Haitsamiy)….. Semoga saja ia hanya copas dari internet saja…..
Tentang kejelasan yang apa yang ia minum, dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah telah memberikan penjelasan yang tidak menyisakan keraguan bagi siapa saja yang membacanya :
حدثنا زيد بن الحباب عن حسين بن واقد قال حدثنا عبد الله بن بريدة قال : قال : دخلت أنا وأبي على معاوية، فأجْلَسَ أبي على السَّرير، وأَتَى بالطعام فأطْعَمنا، وأتَى بشرابٍ فشَرِبَ، فقال معاوية:"ما شيءٌ كنتُ أستَلِذَّهُ وأنا شابٌّ فآخُذُهُ اليومَ إلا اللَّبَنَ؛ فإني آخُذُه كما كنتُ آخُذُه قَبْلَ اليَومِ، والحديثَ الحَسَنَ .
Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubaab, dari Husain bin Waaqid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : Aku dan ayahku masuk/mendatangi Mu’aawiyyah. Maka ia (Mu’aawiyyah) mempersilakan duduk ayahku di atas sofa. Lalu didatangkanlah makanan, dan kami pun memakannya. Setelah itu didatangkan minuman, lalu ia meminumnya. Mu’aawiyyah berkata : “Tidak ada sesuatu yang aku pernah merasakan kenikmatannya semenjak aku masih muda, yang kemudian aku ambil pada hari ini kecuali susu. Maka aku mengambilnya sebagaimana dulu aku pernah mengambilnya sebelum hari ini, dan juga perkataan yang baik” [Al-Mushannaf, 6/188].
Jelas bukan, bahwa yang diminum dan ditawarkan Mu’aawiyyah itu susu. Ingat, hadits ini adalah diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Buraidah, bukan oleh Mu;aawiyyah sendiri. Riwayat ini sebagai penjelas riwayat sebelumnya (yang diriwayatkan oleh Ahmad) tentang apa sebenarnya yang diminum Mu’aawiyyah.
Karena tidak ada alasan atau celah untuk berkelit, akhirnya orang Syi’ah itu berargumen :
Hujjah salafy itu hanya bersandar pada perkataan Muawiyah dibagian akhir riwayat Ibnu Abi Syaibah kalau yang dia ambil pada hari ini adalah susu. Kami jawab : Muawiyah sudah terbiasa berdalih jika ia merasa disudutkan atau ada hadis yang menyudutkannya…..
Nah, kini sudah jelas, siapakah yang beropini dalam hal ini. Ia tetap tidak mau menerima riwayat Ibnu Abi Syaibah yang sangat terang menunjukkan apa yang diminum Mu’aawiyyah, padahal ia satu riwayat dengan milik Ahmad bin Hanbal. Sudah diketahui, satu riwayat itu menjadi penjelas bagi riwayat yang lainnya. Kini kita lihat bagaimana hakekat metode klasik orang Syi’ah yang membawa makna riwayat seenak udel nya sendiri….
Sebodoh-bodoh Mu’aawiyyah menurut anggapan orang Syi’ah itu, tentu beda dzatnya antara susu dan khamr. Susu itu putih, dan khamr itu tidak berwarna putih. Apakah Mu’aawiyyah terlalu bodoh sehingga bisa menipu Buraidah bahwa khamr yang diminumnya itu susu ? Berpikirlah wahai orang Syi’ah dan gunakan akalmu !
Selebihnya, silakan dibaca artikel di atas.
Tambahan bacaan mengenai Mu'aawiyyah : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/11/aliy-bin-abi-thaalib-muaawiyyah-adalah.html
subhanalloh !
Smoga Alloh ta'ala menjaga antum ust.
Baarokallohu fiik
ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم
“Telah menceritakan ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : “Aku dan ayahku masuk menemui Mu’aawiyyah. Lalu ia (Mu’aawiyyah) mempersilakan kami duduk di atas hamparan. Kemudian didatangkan kepada kami makanan dan kamipun memakannya. Kemudian didatangkan kepada kami minuman, lalu Mu’aawiyyah pun meminumnya. Lalu ia menawarkan kepada ayahku. Lalu ia berkata : Aku tidak pernah meminumnya semenjak diharamkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
jd perkataan yg ana bold diatas termasuk yg ditinggalkan oleh Al-Haitsamiy ya ust?
kmudian hadits tsb lbh diperjelas oleh Ibnu Abi Syaibah dlm al-mushannafnya, betul begitu?
Benar !!
Sekaligus ini menolak alasan-alasan orang Syi'ah itu yang tidak menampilkan perkataan Al-Haitsamiy tersebut. Kalau orang Syi'ah itu menyangka bahwa perkataan Al-Haitsamiy yang ia sembunyikan itu mengandung aib bagi Mu'aawiyyah, lantas di bagian mana perkataan Mu'aawiyyah ini yang mengandung aib bagi dirinya ?
Apakah perkataan Mu'aawiyyah : Aku tidak pernah meminumnya semenjak diharamkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?
Atau : Aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan aku dahulu memiliki kenikmatan seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku ?
Nampaknya orang Syi'ah itu sudah mulai kebingungan sehingga kurang bisa berpikir logis lagi.
Dan ini sekaligus memberikan satu pengertian bagi kita bahwa Al-Haitsamiy pun memahami kalimat Aku tidak pernah meminumnya semenjak diharamkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah milik Mu'aawiyyah.
Hadits 1 :
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata telah menceritakan kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Ayahku berkata “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW”. Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan aku dahulu memiliki kenikmatan seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku”.
[Dari jalan Ahmad, Ibnu ‘Asaakir meriwayatkan dalam Taariikh Dimasyq, 27/127].
Hadits 2 :
Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubaab, dari Husain bin Waaqid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : Aku dan ayahku masuk/mendatangi Mu’aawiyyah. Maka ia (Mu’aawiyyah) mempersilakan duduk ayahku di atas sofa. Lalu didatangkanlah makanan, dan kami pun memakannya. Setelah itu didatangkan minuman, lalu ia meminumnya. Mu’aawiyyah berkata : “Tidak ada sesuatu yang aku pernah merasakan kenikmatannya semenjak aku masih muda, yang kemudian aku ambil pada hari ini kecuali susu. Maka aku mengambilnya sebagaimana dulu aku pernah mengambilnya sebelum hari ini, dan juga perkataan yang baik” [Al-Mushannaf, 6/188].
Jika kita bandingkan hadits-hadits di atas, maka nampak lafadh yang diriwayatkan secara bersama oleh Zaid bin Al-Hubaab dan ‘Aliy bin Al-Husain bin Waaqid adalah lafadh : “Aku bersama ayahku masuk menemui Mu’aawiyyah”. Tambahan lafadh selain ini, maka itu berasal dari (jalur) Zaid bin Al-Hubaab - dan ini merupakan tafarrud yang berasal darinya. Terutama sekali, tambahan lafadh : ‘Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’; yang merupakan jenis lafadh marfu’.
pertanyaan ana ('afwan, ana benar2 awam dlm mslh ilmu hadits) :
1. Yg ana bold diatas maksudny apa ust?
2. Yg ana italic diatas maksudnya apa ust?
'afwan bisa antum tolong jelaskan dgn rinci korelasiny dgn ke-w hadits diatas.
oya ust, skalian thread yg antum buat bbrp thn lalu di myQ, ttg ilmu hadits, knp g antum post di blog antm?
baarokallohu fiik !
Saya kutip begini:
... didatangkan kpd kami minuman, lalu Muawiyah meminum-NYA.
Lalu ia [Muawiyah] menawarkan kepada ayahku [Buraidah].
Lalu ia [Muawiyah/Buraidah?] berkata, "Aku tidak pernah meminum-NYA semenjak diharamkan oleh Rasulullah SAW."
Ada perbedaan pendapat siapa yg berujar dgn kalimat terakhir: Muawiyah ataukah Buraidah.
Sekarang, kita bahas:
Dalam kalimat "Aku tidak pernah meminum-NYA semenjak diharamkan oleh Rasulullah", kata ganti "NYA" dlm kalimat tsb merujuk ke minuman apa? khamr atau susu?
Siapapun yg mengucapkannya, logiskah jika kata "NYA" di sana merujuk ke minuman susu?
[Anwar]
apakah banyak kekeliruan dalam program kompilasi hadits 9 imam (lidwa)
@Abul-Wafaa',..... maksudnya :
a. Lafadh itu bukan termasuk tafarrud Zaid bin Al-Hubaab.
b. Lafadh itu termasuk tafarrud periwayatan Zaid bin Al-Hubaab.
Antum pengunjung MyQ juga ya ? Untuk saat ini belum ditampilkan, karena ada beberapa file yang 'hilang'.
-----------
@Anwar,.... siapa yang berbeda pendapat ? Yang menyatakan bahwa itu perkataan Buraidah, sepanjang pengetahuan saya ya cuma orang Syi'ah dan yang setipe dengannya yang memang punya karakteristik sangat membenci Mu'aawiyyah (seperti As-Saqaaaf, Al-Ghummariy, dan yang lainnya). Bahkan As-Saqqaaf pun ketika mengutip hadits tersebut memotongnya hanya sampai pada lafadh : ku tidak pernah meminumnya semenjak diharamkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menuliskan sisanya. Kenapa ? Karena lafadh Kemudian Mu’aawiyyah berkata : ‘Aku dulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan paling bagus perkataannya. Tidak ada sesuatu kesenangan pun yang pernah aku temukan saat aku muda selain susu atau orang yang ucapannya baik yang mengatakannya kepadaku adalah lafadh yang dapat menggugurkan hujjahnya.
Memang tidak logis selama Anda masih berasumsi bahwa yang mengatakannya adalah Buraidah, dan yang ditawarkan Mu'aawiyyah itu adalah khamr/minuman yang diharamkan. Dlamiir "NYA" dalam hadits tersebut, dalam bahasa 'Arab, itu tidak selalu menunjukkan hal yang ada di dekatnya. Perkataan Mu'aawiyyah yang menjadi kelanjutannya menjadi qarinah yang tegas tentang hal itu. Lantas apa maksudnya ? Bukankah saya telah katakan/tuliskan bahwa Mu'aawiyyah mengatakannya itu ada kemungkinan ia tidak lagi minum minuman yang diharamkan semenjak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, dan ia lebih menyukai susu, sehingga yang dihidangkannya itu adalah makanan yang baik dan halal. Muhaqqiq lain ada yang menjelaskan bahwa Mu'aawiyyah mengatakan itu karena nampak keengganan dari Buraidah dari minuman yang ditawarkan Mu'aawiyyah dengan menyangkanya minuman yang diharamkan. Alasan ini dikemukakan oleh Al-Arna'uth dalam ta'liq-nya terhadap Musnad Ahmad. Masih banyak kemungkinan lain.
Namun yang pasti, apa yang ditawarkan dan diminum Mu'aawiyyah adalah susu. Kalau Anda mengklaim bahwa yang diminum Mu'aawiyyah itu adalah minuman haram, saya ingin tahu dilalah lafadhnya yang sharih yang menunjukkan hal itu dari hadits di atas. Kalaupun misal kita anggap bahwa perkataan yang kita permasalahkan adalah perkataan Buraidah, apakah di situ ada petunjuk yang diminum Mu'aawiyyah adalah minuman yang diharamkan ? Apakah tidak ada kemungkinan bahwa hal itu hanya dugaan dari Buraidah saja, yang kemudian dijelaskan oleh Mu'aawiyyah bahwa prasangkanya itu keliru (karena yang ditawarkan dan diminum olehnya adalah susu) ? Kita ini sedang membahas riwayat Mu'aawiyyah atau membahas asumsi kita masing-masing ? Jika Anda sepemikiran dengan orang Syi'ah bahwa Mu'aawiyyah hanya berkelit saja, maka sebenarnya Anda berhujjah dengan diri Anda sendiri, bukan berhujjah dengan riwayat. Tidak perlu Anda berbusa-busa membahas riwayat, karena posisi Anda sudah negatif terhadap Mu'aawiyyah. Apapun penjelasannya pasti akan Anda tolak.
Anonim (24 November 2010 14.57)..... saya belum pernah meneliti secara khusus tentang hal itu. Namun sependek pengetahuan saya dari beberapa hadits yang saya pakai dari program tersebut, sedikit.
Mungkin ada ikhwan lain yang bisa berbagi pengalaman.
Afwan ust, tolong dijelaskan agak rinci ttg taffarud di 2 hadits diatas.
Iya ust, ana sudah mnjd 'langganan' thread antum ketika di MyQ bbrp tahun yg lalu...jd kangen jg sama ust abizechaabizecha yg dulu bersama antum di MyQ.
Di program lidwa ada bbrp hadits yg salah, mungkin karena penerjemahnya tidak merujuk langsung dr kitab aslinya. (pengalaman melihat salah satu ust disini menerjemahkan hadits2 tuk program kompilasi itu).
Smoga antum diberikan oleh Alloh ta'ala kesempatan dan kesehatan utk dapat share ilmu tuk kita2 smua.
baarokallohu fiik !
Kepada teman2 yg menggunakan fasilitas software hadits dari lidwa, ana hanya menyarankan agar berhati2 dalam menggunakan software itu karena tidak adanya tanda penshohihan/pendho'ifan suatu hadits dan ana berpikir software hadits dari lidwa itu hanya memasukkan semua hadits2 yg terdapat di kitab2 hadits spt Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, An Nasa'i, Ahmad, Ad-Darimi & Malik tanpa mempertimbangkan bagaimana kualitas haditsnya tetapi hanya melihat dari sisi sanad rawi2nya tanpa melihat apakah hadits itu selamat dari syadz, 'ilat dll.
Ana juga pengguna software haditsnya lidwa, tetapi selama ini ana menggunakan software tersebut hanya untuk belajar hadits terutama belajar bagaimana mengetahui keadaan para perawinya (krn di software tsb ada fasilitas untuk melihat tanggapan para ulama terhadap seorg perawi dan jg ada fasilitas search untuk mencari nama para perawi hadits), bukan untuk mengetahui keshohihan suatu hadits. Dalam hal shohih atau tidaknya, ana masih tetap mengambil faedah dr artikel2nya ustadz abul jauzaa, muslim.or.id, dan jg belajar dari ta'limnya asatidz2 yg lain.
--abu ahmad--
ada tanggapan yg sangat 'luar biasa' menggelitik dr si SP atas komen antum diatas ust.
sdh kelihatan sbtlny artikl dan bahasan siapa yg lebih ilmiah.
baarokallohu fiik !
[Saya Anwar].
Anda menulis: "tidak logis selama Anda masih berasumsi bahwa yang mengatakannya adalah Buraidah, dan yang ditawarkan Mu'aawiyyah itu adalah khamr/minuman yang diharamkan."
Jawab saya: Jelas sekali terbalik pikiran Anda dlm menilai logis/tdk logis.
Bila diasumsikan [asumsi-1] bhw yg ditawarkan Muawiyah kpd Buraidah adalah minuman yg haram/khamr & yg berkata "Aku tdk meminumnya sejak diharamkan Rasul" adalah Buraidah, itu jelas logis hubungannya. Buraidah ditawari khamr oleh Muawiyah, ya tentu logis Buraidah menolak dgn berkata dia tdk meminumnya sejak diharamkan Rasul. Sungguh salah Anda menilai asumsi tsb [asumsi-1] menimbulkan makna tidak logis. Anda menilai asumsi-1 tdk logis hanya karena Anda tdk mau menerima berita bhw Muawiyah melakukan perbuatan dosa besar itu. [Memangnya mustahil kalau Muawiyah berbuat dosa???].
Sekarang kita periksa asumsi Anda [asumsi-2]: Muawiyah menyodorkan susu kpd Buraidah, lalu Muawiyah berkata, "Aku tdk meminum-NYA sejak Rasul mengharamkan-NYA."
Dhamir NYA di sana menggantikan sebutan apa: susu atau khamr?
Kalau menggantikan sebutan susu, tidak logis susu diharamkan Rasul.
Anda berpendapat dhamir NYA di sana menggantikan khamr/minuman yg haram, tapi ini jadi tidak sesuai dgn asumsi Anda sendiri bhw yg terhidang di sana & ditawarkan Muawiyah adalah susu, & belum ada penunjuk keberadaan/penyebutan khamr [dlm asumsi-2 ini] sebelum kalimat dgn dhamir NYA tersebut.
Walhasil, asumsi-2 dari Andalah yg justru bernilai tidak logis.
Anda menulis:
"Dlamiir "NYA" dalam hadits tsb, dalam bhs 'Arab, itu tidak selalu menunjukkan hal yg ada di dekatnya".
Jawab saya:
Tidak ada yg mempersoalkan dhomir dipakai utk menggantikan sebutan sesuatu yg letaknya dekat atau jauh.
Tapi yang pasti, dhamir dipakai utk mengganti penyebutan sesuatu yg sudah disebut/dibahas/dituju SEBELUMNYA [pada bagian ujaran/kalimat sebelumnya]. Ini adalah aturan bahasa yg tidak Anda patuhi dalam tafsiran Anda thd teks hadis tsb.
Anda menulis: Kita ini sedang membahas riwayat Mu'awiyah atau membahas asumsi kita masing-masing?
Saya jawab: Aneh sekali, Anda tdk melihat banyak asumsi dlm argumentasi Anda yg sifatnya cuma kemungkinan, bahkan Anda sendiri menulisnya juga dgn kata2 "ada kemungkinan", "tidak adakah kemungkinan", dsb. Hitunglah sendiri asumsi2 Anda yg Anda tulis dgn kata2 tsb.
Bahkan Anda menulis "Masih banyak kemungkinan lain". Wah, jadi banyak asumsi dlm pikiran Anda ya. Banyak asumsi itu menunjukkan Anda berfantasi dlm membahas hadis; pantas Anda terbalik menilai logis/tdk logis.
Tafsiran Anda thd teks "aku tdk meminum-NYA sejak Rasul mengharamkan-NYA" tidak perlu saya bahas detil karena perbedaan saya dgn Anda sudah berawal dari siapa yg mengucapkannya [selain bhw tafsiran Anda dasarnya lagi2 cuma asumsi: mereka-reka isi pikiran Buraidah & Muawiyah].
Jika pikiran Anda sudah terbalik menilai logis/tdk logis di awal, maka Anda akan terus mencari asumsi demi asumsi [berbusa-busa membahas riwayat], teks riwayat akan Anda bahas dgn tafsir dari asumsi2 Anda [Anda berhujjah dgn asumsi Anda sendiri], & apa pun penjelasan [analisa logis] atas kekeliruan tafsir Anda akan Anda tolak karena posisi Anda sudah terlalu yakin bhw Muawiyah tidak mungkin negatif.
[Saya Anwar].
Anda menulis: "tidak logis selama Anda masih berasumsi bahwa yang mengatakannya adalah Buraidah, dan yang ditawarkan Mu'aawiyyah itu adalah khamr/minuman yang diharamkan."
Jawab saya: Jelas sekali terbalik pikiran Anda dlm menilai logis/tdk logis.
Bila diasumsikan [asumsi-1] bhw yg ditawarkan Muawiyah kpd Buraidah adalah minuman yg haram/khamr & yg berkata "Aku tdk meminumnya sejak diharamkan Rasul" adalah Buraidah, itu jelas logis hubungannya. Buraidah ditawari khamr oleh Muawiyah, ya tentu logis Buraidah menolak dgn berkata dia tdk meminumnya sejak diharamkan Rasul. Sungguh salah Anda menilai asumsi tsb [asumsi-1] menimbulkan makna tidak logis. Anda menilai asumsi-1 tdk logis hanya karena Anda tdk mau menerima berita bhw Muawiyah melakukan perbuatan dosa besar itu. [Memangnya mustahil kalau Muawiyah berbuat dosa???].
Sekarang kita periksa asumsi Anda [asumsi-2]: Muawiyah menyodorkan susu kpd Buraidah, lalu Muawiyah berkata, "Aku tdk meminum-NYA sejak Rasul mengharamkan-NYA."
Dhamir NYA di sana menggantikan sebutan apa: susu atau khamr?
Kalau menggantikan sebutan susu, tidak logis susu diharamkan Rasul.
Anda berpendapat dhamir NYA di sana menggantikan khamr/minuman yg haram, tapi ini jadi tidak sesuai dgn asumsi Anda sendiri bhw yg terhidang di sana & ditawarkan Muawiyah adalah susu, & belum ada penunjuk keberadaan/penyebutan khamr [dlm asumsi-2 ini] sebelum kalimat dgn dhamir NYA tersebut.
Walhasil, asumsi-2 dari Andalah yg justru bernilai tidak logis.
Anda menulis:
"Dlamiir "NYA" dalam hadits tsb, dalam bhs 'Arab, itu tidak selalu menunjukkan hal yg ada di dekatnya".
Jawab saya:
Tidak ada yg mempersoalkan dhomir dipakai utk menggantikan sebutan sesuatu yg letaknya dekat atau jauh.
Tapi yang pasti, dhamir dipakai utk mengganti penyebutan sesuatu yg sudah disebut/dibahas/dituju SEBELUMNYA [pada bagian ujaran/kalimat sebelumnya]. Ini adalah aturan bahasa yg tidak Anda patuhi dalam tafsiran Anda thd teks hadis tsb.
[lanjut dari Saya, Anwar].
Anda menulis: Kita ini sedang membahas riwayat Mu'awiyah atau membahas asumsi kita masing-masing?
Saya jawab: Aneh sekali, Anda tdk melihat banyak asumsi dlm argumentasi Anda yg sifatnya cuma kemungkinan, bahkan Anda sendiri menulisnya juga dgn kata2 "ada kemungkinan", "tidak adakah kemungkinan", dsb. Hitunglah sendiri asumsi2 Anda yg Anda tulis dgn kata2 tsb.
Bahkan Anda menulis "Masih banyak kemungkinan lain". Wah, jadi banyak asumsi dlm pikiran Anda ya. Banyak asumsi itu menunjukkan Anda berfantasi dlm membahas hadis; pantas Anda terbalik menilai logis/tdk logis.
Tafsiran Anda thd teks "aku tdk meminum-NYA sejak Rasul mengharamkan-NYA" tidak perlu saya bahas detil karena perbedaan saya dgn Anda sudah berawal dari siapa yg mengucapkannya [selain bhw tafsiran Anda dasarnya lagi2 cuma asumsi: mereka-reka isi pikiran Buraidah & Muawiyah].
Jika pikiran Anda sudah terbalik menilai logis/tdk logis di awal, maka Anda akan terus mencari asumsi demi asumsi [berbusa-busa membahas riwayat], teks riwayat akan Anda bahas dgn tafsir dari asumsi2 Anda [Anda berhujjah dgn asumsi Anda sendiri], & apa pun penjelasan [analisa logis] atas kekeliruan tafsir Anda akan Anda tolak karena posisi Anda sudah terlalu yakin bhw Muawiyah tidak mungkin negatif.
@Anwar,.....
1. Tidak logis menurut Anda, karena memang persepsi Anda keliru atas kalimat bahasa ‘Arab dalam teks hadits tersebut. Tidak ada ulama atau muhaqqiq mu’tabar yang menisbatkan perkataan itu pada Mu’aawiyyah. Anda sudah lihat bahwa Al-Haitsamiy pun menisbatkan perkataan itu pada Mu’aawiyyah. Yang mulai berasumsi itu Anda. Kita menilai riwayat berdasarkan riwayat itu sendiri. Seandainya saya terima perkataan Anda bahwa kalimat itu memang diucapkan Buraidah sedangkan Mu’aawiyyah menyangkalnya, perkataan siapakah yang wajib diterima dalam timbangan ilmu hadits dan fiqh ?. Saya ajak Anda berbicara melalui kaidah, jangan seperti orang Syi’ah yang pingin seenaknya saja bicara tanp kaedah.
2. Anda kembali menyebutkan tentang DLAMIR hu. Siapa bilang dlamir hu di situ tertuju pada minuman yang ada di hadapan Mu’aawiyyah ? sehingga menurut Anda aneh jika dlamir tersebut tertuju pada susu. Yang aneh itu Anda karena memahaminya bukan dengan lisan orang ‘Arab. Dalam lisan orang ‘Arab, dlamir dalam perkataan tersebut dapat diucapkan untuk suatu yang abstrak yang tidak ada di tempat tersebut. Sama halnya jika saya berkata kepada Anda : Saya tidak pernah memakannya (Jeruk) semenjak tinggal di Jakarta, dan yang saya hidangkan kepada Anda adalah Markissa.
Dan saya telah sebutkan qarinah tentang hal itu, bahwa Mu’aawiyyah berkata apa yang ia hidangkan dan minum adalah susu.
Anda katakan : Bahwa dlamir dalam bahasa ‘Arab itu selalu menunjuk pada esuatu yang telah disebut sebelumnya.
Saya katakan : Dalam percakapan, maka itu belum tentu. Tentu kalau Anda terbiasa dengan hal ini. Sudah saya sebutkan bahwa dalam lisan ‘Arab, dlamir itu tidak selalu menunjuk pada sesuatu yang dekat (di hadapannya). Mudahnya saya ilustrasikan begini :
Mu’aawiyyah bertamu ke rumah ‘Aliy. Mu’aawiyyah tahu bahwa ‘Aliy ini dulu sering minum khamr. Namun, ‘Aliy sekarang sudah berhenti minum khamr. Kemudian ‘Aliy menjamu Mu’aawiyyah dengan mendatangkan minuman dan menawarkannya kepadanya. Karena ‘Aliy khawatir Mu’aawiyyah akan menolaknya (karena Mu’aawiyyah tahu dulu ia minum khamr), maka ‘Aliy menegaskan kepadanya bahwa apa yang ditawarkannya itu susu, dan ia sudah tidak lagi meminumnya (khamr) semenjak ia tahu bahwa khamr diharamkan Islam.
Kira-kira dengan analog ini, apakah mustahil hal itu terjadi ? Jawab saja : Mustahil atau Tidak Mustahil.
Anda mengatakan bahwa saya dalam mengemukakan argumen saya berdasarkan : “kemungkinan”. Ya, memang, dan itu jelas/dhahir ada dalam tulisan saya. Cuma, yang membedakan antara diri saya dengan Anda adalah, saya mengatakannya itu berdasarkan ghalabatudh-dhann dan hujjah, sedangkan Anda tidak. Penjelasannya begini :
Anda menghukumi Mu’aawiyyah minum minuman yang diharamkan (khamr) berdasarkan mafhum kalam dari perkataan (yang Anda asumsikan sebagai perkataan) Buraidah. Dalam teori ushul, berhujjah dengan yang seperti ini adalah sangat lemah. Betapa tidak ? Anda berhujjah, bahwa seandainya Buraidah berkata : Saya tidak meminumnya semenjak diharamkankan Nabi, maka lazimnya (menurut Anda), Mu’aawiyyah sebagai orang yang menawarkan telah minum khamr !!
Mafhum kalam seperti ini bisa saja diterima jika ada keterangan yang menguatkannya dan tidak keterangan yang mengingkarinya, karena mafhum kalam pada asalnya bukan dzat hujjah itu sendiri. Atau jika dikaitkan dengan kaedah yang semisal : Konsekuensi dari satu perkataan bukanlah merupakan perkataan itu sendiri. Di sini, Mu’aawiyyah telah memberikan keterangan bahwa apa yang ditawarkan kepada Buraidah pada saat itu adalah susu, karena Mu’aawiyyah semenjak muda memang suka susu. Nah, dari sini, dimana sisi yang bisa diambil dari mafhum kalaam dari Buraidah, seandainya perkataan itu memang milik Buraidah ?
Logika Anda juga bertentangan dengan kaedah persaksian yang dikenal dalam syari’at. Seandainya perkataan yang Anda asumsikan sebagai milik Buraidah itu memang berkonsekuensi tuduhan kepada Mu’aawiyyah telah minum khamr, dan pada saat bersamaan Mu’aawiyyah memberikan keterangan yang berbeda (bahwa apa yang ditawarkan dan diminumnya adalah susu), maka hukum asal dari hal tersebut adalah menerima perkataan Mu’aawiyyah. Ini bukan semata-mata karena Mu’aawiyyah. Ingat, tuduhan itu bisa batal jika ada pengingkaran. Anda bisa baca sedikit pembahasannya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/10/kaidah-dalam-tuduhan.html.
Lagi pula, tuduhan yang Anda ambil di sini hanya berdasarkan mafhum kalam saja. Dimana letak kekuatan dari alasan Anda ? Kekuatan alasan Anda sebenarnya hanyalah karena persepsi Anda yang terlampau negatif terhadap Mu’aawiyyah. Dari segi istinbath hukumnya, lemah, dilihat dari sisi kaedah manapun.
Adapun kemungkinan saya berasal dari kesimpulan bahwa : Telah ada kepastian dari riwayat bahwa minuman yang ditawarkan Mu’aawiyyah tersebut adalah susu. Juga, telah ada keterangan bahwa perkataan aku tidak meminumnya semenjak diharamkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu milik Mu’aawiyyah. Maka kemungkinan yang saya sebutkan tadi adalah kemungkinan yang paling dekat dengan dhahir riwayat sebagaimana dipahami dalam lisan orang ‘Arab.
Seandainya kemungkinan itu sama kuat (apakah Mu’aawiyyah minum khamr atau tidak), maka sudah sepantasnya hal itu dibawa kepada kemungkinan yang paling baik sebagai satu hak seorang muslim terhadap muslim lainnya. Yaitu, berhusnudhdhan. Apa alasannya ? Alasannya : Kehormatan seorang muslim itu haram untuk dijatuhkan kecuali dengan bukti yang nyata (valid).
Perkataan atau kesimpulan Anda bahwa saya berprinsip Mu’aawiyyah tidak mungkin salah atau berbuat negatif, maka ini juga keliru besar. Terlalu prematur. Tidak perlu saya ulang kekeliruan mindset Anda ini.
Dan bagi yang menanyakan manhaj Imam Ahmad terhadap syuyuukh yang ia bawakan dalam Musnadnya, maka ketahuilah bahwa Imam Ahmad tidak mensyaratkan bahwa syuyuukh-nya yang ada dalam kitab Musnad tidak ia jarh. Dalam kitab Mu’jam Syuyuukh Al-Imam Ahmad hal. 20 dijelaskan (dalam bagian keempat karakteristikh perawi) bahwa syuyuukh beliau (Imam Ahmad) juga ada dari kalangan jujur, namun banyak mengalami keraguan (wahm) (selama itu tidak mendominasi dalam riwayat-riwayatnya). Inilah madzhab jumhur muhadditsiin mutaqaddimiin yang tetap memperbolehkan mengambil riwayat dari mereka. Contohnya banyak. Satu saja : ‘Aliy bin ‘Aashim bin Shuhaib. Imam Ahmad mengambil riwayatnya dalam beberapa tempat dalam Musnad-nya. Beliau sendiri mengatakan tentang ‘Aliy bahwa ia banyak salah dan kelirunya [lihat Mu’jam Syuyuukh Al-Imaam Ahmad hal. 271 no. 160]. Dan yang lainnya.
Assalamu alaikum, sebenarnya ada jawaban lain untuk masalah ini dari Syekh Utsman Khamis (kalau ngak salah) bahwa tarolah yg mengatakan itu adalah Buraidah, tapi yg dia maksud sungguh bukan minuman yg dihidangkan oleh Mu'awiyah melainkan minuman khamer yg tidak ada di hadapan merekq waktu itu. KArena, dalam bahasa Arab mereka biasa membicarakan sesuatu yg jelek dgn langsung menggunakan kata ganti tanpa menyebut nama barang itu. Wallahu a'lam.
Oh ya, satu lagi sekelar Buraidah akan langsung menentang Mu'awiyah bila disuguhkan yg haram dan masalahnya akan jadi besar. KArena mereka adalh pemberani untuk mengatakan kebenaran, bukan seperti Syiah yg pengceut atas nama taqiyah.
Sekedar catatan...
Saya yakin, ahlussunnah yg benar2 ahlussunnah akan meyakini...senegatif2nya mu'awiyyah, kebaikannya jauuuuuh lbh banyak dibanding negatifnya. Apalagi beliau seorg sahabat. Sungguhlah, ahlussunnah mempunyai aqidah, tidak berkecimpung didalam perselisihan yg terjadi diantara mereka. Ahlussunnah memuliakan mereka, ahlul bait dan lainnya.
Inilah mengapa saya yakin, ahlussunnah dan syi'ah ga akan bisa bersatu.....kecuali.....syi'ah rujuk pada aqidah ahlussunnah. Itu klo mereka mau. Tp setelah saya membaca komen Anwar diatas (sptnya dia ini saipul anwar, dia pernah berdebat dgn bbrp ikhwan di blognya alfanar), saya kok pesimis ya....
Semoga saya salah...
Coba antum perhatikan lagi apakah ada perawi lain selain Ahmad yg meriwayatkan dari Zaid bin Hubab akan adanya tambahan kalimat, "Aku tidak meminumnya setelah diharamkan oleh Rasulullah..."
Sebab, tambahan itu tidak ada dalam Ibnu Abi Syaibah. Kalau tidak ada berarti Zaid bin Hubab layak dianggap ragu karena ketika menceritakan kepada Ibnu Abu Syaibah berbeda dgn ketika menceritakannya kepada Ahmad.
Kalau begitu, maka dia ragu bukan hanya pada riwayatnya dari Mu'awiyah sebagaimana yg disimpulkan oleh SP (Jihad Ali Asgar), melainkan pada semua periwayatannya yg berbeda, sehingga fokus pelemahan ada pada kalimat tambahan itu. Wallahu a'lam.
Benar,... kalau antum perhatikan bahwa sebenarnya fokus pertama pelemahan itu ada bahasan tafarrud Zaid bin Hubbaab. Khususnya pada lafadh marfu'-nya (karena lafadh inilah yang dijadikan fokus utama untuk menyorot Mu'aawiyyah). Berbedanya riwayat Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah sudah layak dianggap sebagai satu keraguan dari Zaid bin Hubaab, sebagaimana kata antum.
Adapun bahasan selanjutnya (dalam artikel di atas) adalah bahasan tentang isi riwayat itu sendiri yang tidak layak dijadikan hujjah, khususnya jika kita bandingkan dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah.
Terima kasih atas tambahannya.
ada tambahan dr SP di artikel yg antum bantah ust :
Tambahan ini sekedar ingin menunjukkan sikap keras kepala salafy dalam membela Muawiyah dan keburukannya. Diantara perkataan salafy yang dimaksud yaitu ia mengklaim tidak ada ulama atau muhaqqiq yang menyatakan kalau perkataan itu milik Buraidah. Ucapan ini jelas dusta karena Imam Ahmad sendiri selaku periwayat hadis ini memahami perkataan tersebut sebagai perkataan Buraidah bukan perkataan Muawiyah.
Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan hadis ini dalam Musnad sahabat Anshar yaitu dalam Hadis Buraidah Al Aslamiy. Buktinya dapat anda lihat disitus ini
http://www.al-eman.com/Islamlib/viewchp.asp?BID=270&CID=148#s4
sekarang perhatikan kembali hadis di atas.
ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال معاوية كنت أجمل شباب قريش وأجوده ثغرا وما شيء كنت أجد له لذة كما كنت أجده وأنا شاب غير اللبن أو إنسان حسن الحديث يحدثني
Yang kami cetak biru adalah perkataan ‘Abdullah bin Buraidah. Nah jika salafy beranggapan kalau yang dicetak merah adalah perkataan Muawiyah maka sudah jelas dalam hadis tersebut tidak ada satupun perkataan Buraidah. Hal ini bertentangan dengan keterangan Imam Ahmad bin Hanbal yang memasukkan hadis ini ke dalam hadis Buraidah Al Aslamiy. Secara zahir menurut keterangan Imam Ahmad tersebut maka
* Riwayat yang dicetak biru adalah perkataan ‘Abdullah bin Buraidah
* Riwayat yang dicetak merah adalah perkataan Buraidah Al Aslamiy
* Riwayat yang dicetak hitam adalah perkataan Muawiyah
Jadi sangat jelas Imam Ahmad memasukkan hadis ini ke dalam hadis Buraidah Al Aslamy karena ia sendiri beranggapan kalau perkataan yang dicetak merah tersebut adalah perkataan Buraidah. Tentunya Imam Ahmad bin Hanbal selaku yang meriwayatkan hadis ini lebih mengetahui maksud perkataan dalam hadis yang ia riwayatkan.
Diantara perkataan salafy lainnya yang menunjukkan keanehan adalah ketika ditanya soal manhaj Imam Ahmad mengenai para syaikh-nya. Ia mengatakan kalau Ahmad bin Hanbal tidak mensyaratkan kalau syuyukh-nya dalam kitab Musnad tidak ia jarh. Pernyataan ini benar tetapi tidak mengena dengan yang kami bicarakan di atas. Dalam Musnad Ahmad, Imam Ahmad mensyaratkan kalau syuyukh-nya adalah orang yang dipercaya olehnya. Kendati terdapat beberapa yang ia jarh dengan jarh “banyak salah”. Kami tidak menafikan hal ini.
Yang kami tekankan adalah jarh tersebut tidak dapat dijadikan cacat riwayat tersebut karena Ahmad bin Hanbal sendiri menerima riwayat yang dimaksud sehingga ia memasukkan dalam Musnad-nya. Artinya hadis atau riwayat ini tidak termasuk dalam kesalahan yang ada dalam jarh “banyak salah” Imam Ahmad terhadap syaikh-nya Zaid bin Hubab. Jika riwayat ini termasuk diantara “banyak salah-nya” Zaid bin Hubab maka Ahmad bin Hanbal tidak akan memasukkan riwayat ini kedalam Musnad-nya. Kesimpulannya mencacatkan hadis ini dengan jarh dari Ahmad bin Hanbal jelas tidak bisa diterima.
Soal dhamir “hu” dalam lafaz di atas maka kami tidak perlu menanggapi ocehan salafy yang tidak karuan. Sudah jelas bagi yang mengerti bahasa arab dengan baik maka dhamir “hu” disana merujuk pada minuman yang ditawarkan kepada Buraidah. Ini adalah fakta riwayat yang tidak bisa dinafikan begitu saja kecuali jika yang bersangkutan asal ngotot membuat pembelaan yang ngawur. Cukup ini saja tambahan singkat dari kami.
Silahkan bila ingin ditampilkan dan sekaligus di sanggah.
Terima kasih atas penyampaian komentarnya.
Tentang masalah penisbatan perkataan Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah SAW; bahwa menurut orang Syi’ah itu hadits dalam bahasan ini diletakkan Imam Ahmad pada bagian Hadiits Buraidah Al-Aslamiy, maka sudah barang tentu menurut Imam Ahmad pemiliknya adalah Burairah. Begitu kira-kira yang saya tangkap dari nukilan Anda di atas.
Saya katakan : Penyimpulan ini sungguh sangat terburu-buru. Memang benar bahwa sebagian (besar) hadits dalam Musnad Ahmad, jika beliau (Imam Ahmad) menisbatkan bab : Hadiits Fulaan radliyallaahu ‘anhu, maka ada satu bagian dari hadits itu merupakan perkataan dari si Fulaan. Namun tidak semua seperti itu. Ada beberapa contohnya jika ia tidak malas mencari. Misalnya hadits :
حَدَّثَنَا عَارِمٌ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ قَالَ وَحَدَّثَ أَبِي عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ قَتَادَةَ بْنِ مِلْحَانَ حِينَ حُضِرَ فَمَرَّ رَجُلٌ فِي أَقْصَى الدَّارِ قَالَ فَأَبْصَرْتُهُ فِي وَجْهِ قَتَادَةَ قَالَ وَكُنْتُ إِذَا رَأَيْتُهُ كَأَنَّ عَلَى وَجْهِهِ الدِّهَانَ قَالَ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ عَلَى وَجْهِهِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aarim : Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata : Dan ayahku telah menceritakan dari Al-'Alaa` bin 'Umair, ia berkata : “Aku pernah bersama Qataadah bin Milhan ketika ia tengah sekarat. Lalu, lewatlah seorang laki-laki dari dalam rumah. Al-'Alaa` berkata : "Kulihat wajah Qatadah." Katanya lagi : "Ketika aku melihatnya, seakan-akan ada kilapan minyak di wajahnya". Katanya : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dulu pernah mengusap wajahnya".
Hadits ini dimasukkan Imam Ahmad pada : Hadiits Qataadah bin Milhaan radliyallaahu ‘anhu.
Tidak ada satupun perkataan Qataadah di sini. Qataadah hanyalah sebagai objak yang diceritakan saja (pasif).
Contoh lain :
حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ قَالَ حَدَّثَنِي مُصْعَبُ بْنُ ثَابِتٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ عَمْرِو بْنِ الزُّبَيْرِ خُصُومَةٌ فَدَخَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ عَلَى سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ وَعَمْرُو بْنُ الزُّبَيْرِ مَعَهُ عَلَى السَّرِيرِ فَقَالَ سَعِيدٌ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ هَاهُنَا فَقَالَ لَا قَضَاءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْخَصْمَيْنِ يَقْعُدَانِ بَيْنَ يَدَيْ الْحَكَمِ
Dan telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Al-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mush’ab bin Tsaabit : Bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair, pernah terjadi permusuhan antara dia dan saudaranya 'Amru bin Az-Zubair. ‘Abdullah bin Az-Zubair menemui Sa'id bin Al-'Aash yang ketika itu 'Amr bin Zubair bersamanya di atas tikar. Lantas Sa'id berkata kepada Abdullah bin Zubair : "Kemarilah, ketahuilah tidak ada dalam keputusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau sunah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bahwa orang yang bersengketa duduk di depan penengahnya".
Hadits di atas diletakkan Imam Ahmad dalam Hadiits ‘Abdullah bin Az-Zubair. Padahal, tidak ada satu pun perkataan ‘Abdullah bin Az-Zubair di dalamnya. Yang menyampaikan perkataan marfu’ dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun adalah Sa’iid bin Al-‘Aash. Apakah menurut logika orang Syi’ah itu Imam Ahmad telah salah dalam meletakkan hadits ini dalam bab : Hadiits ‘Abdullah bin Az-Zubair, yang seharusnya terletak pada Hadiits Sa’iid bin Al-‘Aash ?. Ingat, ‘Abdullah bin Az-Zubair di sini hanyalah sebagai objek pasif yang diceritakan oleh Mush’ab bin Tsaabit.
Dan yang lainnya masih banyak.
Mengenai perkataannya :
Yang kami tekankan adalah jarh tersebut tidak dapat dijadikan cacat riwayat tersebut karena Ahmad bin Hanbal sendiri menerima riwayat yang dimaksud sehingga ia memasukkan dalam Musnad-nya. Artinya hadis atau riwayat ini tidak termasuk dalam kesalahan yang ada dalam jarh “banyak salah” Imam Ahmad terhadap syaikh-nya Zaid bin Hubab. Jika riwayat ini termasuk diantara “banyak salah-nya” Zaid bin Hubab maka Ahmad bin Hanbal tidak akan memasukkan riwayat ini kedalam Musnad-nya. Kesimpulannya mencacatkan hadis ini dengan jarh dari Ahmad bin Hanbal jelas tidak bisa diterima. .
Coba rekan-rekan Pembaca dan termasuk Anda (@anonim) cernati perkataan orang Syi’ah yang membingungkan ini. Dan kemudian hubungkan dengan apa yang saya katakan dalam artikel di atas dan juga dalam komentar. Orang Syi’ah ini memang tidak paham dengan naqd riwayat dari sisi sanad yang saya tuliskan, terutama dari sisi Zaid bin Al-Hubaab ini. Sebenarnya, banyak hal yang bisa dijadikan bahan kritikan dari perkataannya di atas. Tapi saya tidak akan berpanjang lebar untuk itu.
Coba sampakan kepadanya, bahwa kritik sanad ini adalah karena tafarrud riwayat marfu’ Zaid bin Al-Hubbaab. Ia sendiri tergolong shighaaru at-baa’it-taabi’iin. Kredibilitasnya sendiri bukan seorang huffadh kabiir sebagaimana Syu’bah, Ats-Tsauriy, dan yang semisal. Ia pun dikritik dari segi hapalannya. Riwayat hadits yang ia bawakan adalah tingkat pertengahan, bukan tingkat atas, apalagi paling atas (dalam keshahihan).
Apakah memang ia terlalu awam dalam bahasan penolakan tafarrud yang dipandang dari thabaqah perawi hadits ?. Atau mungkin ia belum pernah membaca bahasan tafshil tafarrud dalam mushthalah hadits ?.
Agar tidak terjadi miss understanding terhadap perkataan saya :
Memang benar bahwa sebagian (besar) hadits dalam Musnad Ahmad, jika beliau (Imam Ahmad) menisbatkan bab : Hadiits Fulaan radliyallaahu ‘anhu, maka ada satu bagian dari hadits itu merupakan perkataan dari si Fulaan.
Maka ini maksudnya karena hal itu telah sangat jelas terlihat dalam dhahir riwayat bahwa si Fulaan adalah yang meriwayatkannya atau mengatakannya. Misalnya (saya ambil dalam bab Hadiits Buraidah Al-Aslaamiy) :
حدثنا علي بن الحسن أنا الحسين ثنا عبد الله بن بريدة عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان جالسا على حراء ومعه أبو بكر وعمر وعثمان رضى الله تعالى عنهم فتحرك الجبل فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أثبت حراء فإنه ليس عليك إلا نبي أو صديق أو شهيد
Telah menceritakan kepada kami 'Aliy bin Al-Hasan : telah mengkhabarkan kepada kami Al-Husain : Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya : ".....(al-hadits)...".
حدثناعلي بن الحسن يعني بن شقيق ثنا الحسين بن واقد ثنا عبد الله بن بريدة عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر
Telah menceritakan kepada kami 'Aliy bin Al-Hasan, yaitu Ibnu Syaqiiq : telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Waaqid : Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ".....(al-hadits)...".
Dan yang semisal dengan dua hadits di atas.
Oleh karenanya, sangat penting kiranya kita mengetahui manhaj Imam Ahmad dalam tartib hadits, sebagaimana penting juga kita mengetahui manhaj Imam Ahmad dalam pengambilan riwayat pada kitabnya (Al-Musnad).
sambung lg ust, in sanggahan dr SP atas tanggapan antum diatas :
Ada sedikit tanggapan dari salafy yang dimaksud. Sayang sekali seperti biasa tanggapannya terkesan meluas ke mana-mana dan maaf banyak mengandung kekeliruan. Ia berkata
Saya katakan : Penyimpulan ini sungguh sangat terburu-buru. Memang benar bahwa sebagian (besar) hadits dalam Musnad Ahmad, jika beliau (Imam Ahmad) menisbatkan bab : Hadiits Fulaan radliyallaahu ‘anhu, maka ada satu bagian dari hadits itu merupakan perkataan dari si Fulaan. Namun tidak semua seperti itu. Ada beberapa contohnya jika ia tidak malas mencari. Misalnya hadits :
Ini salah satu contoh taktik salafy nashibi dalam berhujjah. Ia berusaha menafikan kaidah umum dengan contoh-contoh yang ia anggap sebagai pengecualian padahal anggapannya itu berdasarkan pemahaman yang keliru. Mari kita bahas contoh yang ia maksud
حَدَّثَنَا عَارِمٌ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ قَالَ وَحَدَّثَ أَبِي عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ قَتَادَةَ بْنِ مِلْحَانَ حِينَ حُضِرَ فَمَرَّ رَجُلٌ فِي أَقْصَى الدَّارِ قَالَ فَأَبْصَرْتُهُ فِي وَجْهِ قَتَادَةَ قَالَ وَكُنْتُ إِذَا رَأَيْتُهُ كَأَنَّ عَلَى وَجْهِهِ الدِّهَانَ قَالَ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ عَلَى وَجْهِهِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aarim : Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata : Dan ayahku telah menceritakan dari Al-’Alaa` bin ‘Umair, ia berkata : “Aku pernah bersama Qataadah bin Milhan ketika ia tengah sekarat. Lalu, lewatlah seorang laki-laki dari dalam rumah. Al-’Alaa` berkata : “Kulihat wajah Qatadah.” Katanya lagi : “Ketika aku melihatnya, seakan-akan ada kilapan minyak di wajahnya”. Katanya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu pernah mengusap wajahnya”.
Jika melihat apa yang dituliskan oleh salafy tersebut maka dapat diketahui bahwa hadis tersebut adalah ucapan Al ‘Alaa bin Umair tentang Qatadah. Al ‘Alaa bin Umair [yang sebenarnya Abu 'Alaa bin Umair] bukan seorang sahabat maka ucapannya mursal dari sisi ini maka kami dengan jelas menyatakan itu bukan hadis Qatadah bin Milhaan.
Ahmad bin Hanbal memasukkan hadis ini dalam hadis Qatadah bisa jadi dengan dua alasan
Ahmad bin Hanbal menduga ucapan ‘Alaa bin Umair itu berasal dari Qatadah bin Milhaan karena tampak ia seorang yang dekat dengan Qatadah dan meriwayatkan hadis darinya.
Ahmad bin Hanbal memandang bahwa dalam hadis tersebut Qatadah adalah orang yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam arti Beliau telah mengusap wajah Qatadah.
Anehnya hadis ini tidak menjadi hujjah bagi salafy tersebut mengingat hadis Buraidah di atas [tulisan di atas] jelas sangat berbeda dengan kasus ini. Jika salafy menganggap bahwa yang menisbatkan lafaz marfu’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Muawiyah maka sudah jelas hadis itu akan dimasukkan Imam Ahmad ke dalam Musnad Muawiyah tetapi faktanya tidak. Imam Ahmad memasukkan hadisnya ke dalam hadis Buraidah maka yang dimaksud Imam Ahmad adalah yang menisbatkan lafal marfu’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Buraidah.
حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ قَالَ حَدَّثَنِي مُصْعَبُ بْنُ ثَابِتٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ عَمْرِو بْنِ الزُّبَيْرِ خُصُومَةٌ فَدَخَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ عَلَى سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ وَعَمْرُو بْنُ الزُّبَيْرِ مَعَهُ عَلَى السَّرِيرِ فَقَالَ سَعِيدٌ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ هَاهُنَا فَقَالَ لَا قَضَاءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْخَصْمَيْنِ يَقْعُدَانِ بَيْنَ يَدَيْ الْحَكَمِ
Dan telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Al-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mush’ab bin Tsaabit : Bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair, pernah terjadi permusuhan antara dia dan saudaranya ‘Amru bin Az-Zubair. ‘Abdullah bin Az-Zubair menemui Sa’id bin Al-’Aash yang ketika itu ‘Amr bin Zubair bersamanya di atas tikar. Lantas Sa’id berkata kepada Abdullah bin Zubair : “Kemarilah, ketahuilah tidak ada dalam keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sunah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa orang yang bersengketa duduk di depan penengahnya”.
Jika melihat apa yang dituliskan oleh salafy tersebut maka dapat diketahui bahwa hadis tersebut adalah ucapan Al ‘Alaa bin Umair tentang Qatadah. Al ‘Alaa bin Umair [yang sebenarnya Abu 'Alaa bin Umair] bukan seorang sahabat maka ucapannya mursal dari sisi ini maka kami dengan jelas menyatakan itu bukan hadis Qatadah bin Milhaan.
Ahmad bin Hanbal memasukkan hadis ini dalam hadis Qatadah bisa jadi dengan dua alasan
Ahmad bin Hanbal menduga ucapan ‘Alaa bin Umair itu berasal dari Qatadah bin Milhaan karena tampak ia seorang yang dekat dengan Qatadah dan meriwayatkan hadis darinya.
Ahmad bin Hanbal memandang bahwa dalam hadis tersebut Qatadah adalah orang yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam arti Beliau telah mengusap wajah Qatadah.
Anehnya hadis ini tidak menjadi hujjah bagi salafy tersebut mengingat hadis Buraidah di atas [tulisan di atas] jelas sangat berbeda dengan kasus ini. Jika salafy menganggap bahwa yang menisbatkan lafaz marfu’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Muawiyah maka sudah jelas hadis itu akan dimasukkan Imam Ahmad ke dalam Musnad Muawiyah tetapi faktanya tidak. Imam Ahmad memasukkan hadisnya ke dalam hadis Buraidah maka yang dimaksud Imam Ahmad adalah yang menisbatkan lafal marfu’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Buraidah.
Dan telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Al-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mush’ab bin Tsaabit : Bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair, pernah terjadi permusuhan antara dia dan saudaranya ‘Amru bin Az-Zubair. ‘Abdullah bin Az-Zubair menemui Sa’id bin Al-’Aash yang ketika itu ‘Amr bin Zubair bersamanya di atas tikar. Lantas Sa’id berkata kepada Abdullah bin Zubair : “Kemarilah, ketahuilah tidak ada dalam keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sunah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa orang yang bersengketa duduk di depan penengahnya”.
Mengenai hadis ini salafy itu dengan angkuh berkata
Hadits di atas diletakkan Imam Ahmad dalam Hadiits ‘Abdullah bin Az-Zubair. Padahal, tidak ada satu pun perkataan ‘Abdullah bin Az-Zubair di dalamnya. Yang menyampaikan perkataan marfu’ dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun adalah Sa’iid bin Al-‘Aash. Apakah menurut logika orang Syi’ah itu Imam Ahmad telah salah dalam meletakkan hadits ini dalam bab : Hadiits ‘Abdullah bin Az-Zubair, yang seharusnya terletak pada Hadiits Sa’iid bin Al-‘Aash ?. Ingat, ‘Abdullah bin Az-Zubair di sini hanyalah sebagai objek pasif yang diceritakan oleh Mush’ab bin Tsaabit.
Sayang sekali salafy nashibi itu keliru, hadis di atas adalah hadis Ibnu Zubair, yang menisbatkan lafaz marfu’ kepada Rasulullah adalah Ibnu Zubair bukan Sa’id bin Al ‘Ash. terjemahan yang benar [setidaknya menurut anggapan kami]
Dan telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Al-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mush’ab bin Tsaabit : Bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair, pernah terjadi permusuhan antara dia dan saudaranya ‘Amru bin Az-Zubair. ‘Abdullah bin Az-Zubair menemui Sa’id bin Al-’Aash yang ketika itu ‘Amr bin Zubair bersamanya di atas tikar. Lantas Sa’id berkata kepada Abdullah bin Zubair : “Kemarilah, [Ibnu Zubair] berkata “tidak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan atau sunah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa dua orang yang bersengketa duduk di hadapan hakim”.
Bukti yang jelas adalah tampak dalam riwayat Abu Dawud
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ ، حَدَّثَنَا مُصْعَبُ بْنُ ثَابِتٍ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ ، قَالَ : ” قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْخَصْمَيْنِ يَقْعُدَانِ بَيْنَ يَدَيِ الْحَكَمِ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ : telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Mubarak : telah menceritakan kepada kami Mush’ab bin Tsabit dari ‘Abdullah bin Zubair yang berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan bahwa dua orang yang bersengketa duduk di hadapan hakim [Sunan Abu Dawud no 3118]
Jadi kalau menurut salafy nashibi itu hadis tersebut adalah hadis Sa’id dan matannya menunjukkan tidak ada dalam sunnah Rasul kalau dua orang bersengketa duduk di hadapan hakim. Padahal justru yang menjadi sunnah Rasul dua orang yang bersengketa duduk di hadapan hakim dan itu berdasarkan hadis Ibnu Zubair.
Sebenarnya maksud perkataan Ibnu Zubair “tidak” ketika dipanggil Sa’id adalah ia menolak kalau Sa’id memisahkan antara dirinya dengan saudaranya karena seharusnya mereka berdua duduk dihadapan Sa’id sebagai penengah atau hakim dalam masalah ini. Inilah sunnah Rasul menurut Ibnu Zubair.
Jadi kami tidak perlu bersusah-susah menjelaskan. Ahmad bin Hanbal memasukkan hadis ini ke dalam hadis Ibnu Zubair karena yang menisbatkan lafaz marfu’ tersebut adalah Ibnu Zubair dan Mush’ab memang meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair [walaupun sebenarnya riwayatnya mursal].
Jadi dengan dua contoh yang dikemukakan salafy itu bukanlah pengecualian bagi kaidah yang kami jadikan hujjah. Jika Imam Ahmad memasukkan suatu hadis ke dalam hadis salah seorang sahabat maka di dalam hadis tersebut terdapat perkataan sahabat tersebut atau secara makna hadis itu menunjukkan kalau sahabat tersebut adalah perawi yang merawikan hadis atau melakukan perbuatan yang ia nisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Coba rekan-rekan Pembaca dan termasuk Anda (@anonim) cernati perkataan orang Syi’ah yang membingungkan ini. Dan kemudian hubungkan dengan apa yang saya katakan dalam artikel di atas dan juga dalam komentar. Orang Syi’ah ini memang tidak paham dengan naqd riwayat dari sisi sanad yang saya tuliskan, terutama dari sisi Zaid bin Al-Hubaab ini. Sebenarnya, banyak hal yang bisa dijadikan bahan kritikan dari perkataannya di atas. Tapi saya tidak akan berpanjang lebar untuk itu.
Aneh sekali, setelah dijelaskan panjang lebar masih juga tidak paham. Mungkin ada baiknya kami menyarankan agar ia membaca dengan baik berbagai perkataan Imam Ahmad mengenai Zaid bin Hubab. Diantaranya ia akan menemukan kalau Ahmad bin Hanbal terkadang menerima hadis dari Zaid bin Hubab dan terkadang meninggalkannya. Nah apa yang ditinggalkan Ahmad bin Hanbal dari riwayat Zaid bin Hubab maka riwayat-riwayat itulah yang masuk ke dalam lingkup jarh-nya “banyak salah” sedangkan apa yang ia terima atau ia tulis dari Zaid bin Hubab maka riwayat itu baik menurut Ahmad bin Hanbal.
Coba sampakan kepadanya, bahwa kritik sanad ini adalah karena tafarrud riwayat marfu’ Zaid bin Al-Hubbaab. Ia sendiri tergolong shighaaru at-baa’it-taabi’iin. Kredibilitasnya sendiri bukan seorang huffadh kabiir sebagaimana Syu’bah, Ats-Tsauriy, dan yang semisal. Ia pun dikritik dari segi hapalannya. Riwayat hadits yang ia bawakan adalah tingkat pertengahan, bukan tingkat atas, apalagi paling atas (dalam keshahihan).
Apakah memang ia terlalu awam dalam bahasan penolakan tafarrud yang dipandang dari thabaqah perawi hadits ?. Atau mungkin ia belum pernah membaca bahasan tafshil tafarrud dalam mushthalah hadits ?.
Ok anggap saja kami awam tetapi sebelumnya silakan salafy itu meluangkan sedikit waktu untuk membaca ulang tulisan kami. Maaf kalau saja salafy nashibi itu tidak sibuk asal membantah maka ia akan melihat dengan jelas bahwa kami telah membahas dan membantah soal klaim tafarrud yang ia katakan. Silakan lihat kembali di tulisan kami jelas-jelas kami bahas secara khusus. Hanya saja salafy nashibi ini memang tidak bisa membaca dengan baik, ia hanya sibuk dengan pembelaannya saja. Sungguh kasihan kasihan kasihan
-----selesai kutipan -------
NB: yg ana bold adalah perkataan antum.
silahkan di sanggah, shngga ini berfaidah ilmu bagi kami.
baarokallohu fiik
Terima kasih. Saya terima kritikannya tentang hadits Ibnuz-Zubair. Dan itu memang kecerobohan saya yang hanya mengcopas dari Lidwa tanpa meneliti ulang, hanya sedikit saya perbaiki kalimatnya saja. Namun bukan berarti itu menunjukkan keshahihan apa yang dikatakannya, atau mengatakan bahwa saya hanya mencari-cari pengecualian.
Orang Syi’ah itu katakan bahwa jika Imam Ahmad memasukkan salah satu hadits ke dalam hadits salah seorang shahabat, maka menunjukkan bahwa shahabat itu perawi hadits tersebut atau secara makna melakukan perbuatan yang ia nisbatkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Terlalu miskin jika kita membatasi hadits-hadits dalam Al-Musnad hanya seperti yang ia katakan.
Saya tidak menyangkal itu, tapi itu bukan pembatas sebagaimana telah saya katakan sebelumnya secara makna. [dan jika orang Syi’ah itu ngotot dengan pengetahuannya itu, maka saya pingin tahu darimana ia mendapatkan keterangan itu ? dari penjelasan ulama atau dari ‘ijtihadnya’ ?]. Kitab Musnad Ahmad itu disusun bukan berdasarkan periwayatan shahabat yang membawakan hadits marfu’ sampai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, yang dinamakan kitab Musnad itu adalah kitab yang di susun berdasarkan nama shahabat dengan hadits-hadits yang sampai kepadanya (baik itu marfu’ ataupun mauquf). Baik ia sendiri yang meriwayatkannya atau orang lain yang meriwayatkannya yang kemudian disandarkan kepadanya. Ini namanya kitab Musnad. Para ulama berbeda-beda dalam metode penyusunan kitab Musnad, walau dalam garis besar seperti itu. Kalaupun ada riwayat marfu’ yang kemudian dimasukkan Imam Ahmad dalam hadits salah seorang shahabat, maka itu bukan berarti shahabat itu pasti yang meriwayatkan atau ia melakukan sesuatu yang ia nisbatkan kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Semua ini harus dikembalikan kepada riwayat itu sendiri, karena ini adalah kitab Musnad. Namun saya juga tidak mengingkari bahwa riwayat itu sebagian besarnya memang milik shahabat dimaksud (tentunya dengan melihat riwayat itu sendiri).
Saya akan bawakan beberapa hadits yang terdapat dalam Musnad Ahmad yang lain (dan insya Allah ini telah saya cek ulang) - saya ambil secara acak saja beberapa variasi periwayatan dalam Musnad Ahmad :
1. Tidak setiap riwayat yang ada di Musnad Ahmad itu marfu’ (walau kitab itu dinamakan ‘al-musnad’). Contoh :
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع حدثتني أم غراب عن بنانة قالت ما خضب عثمان قط
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepadaku Ummu Ghuraab, dari Bunaanah, ia berkata : “’Utsmaan sama sekali tidak pernah mencelup/mewarnai rambutnya”.
2. Tidak setiap riwayat yang dinisbatkan sebagai hadits salah seorang shahabat merupakan manthuq yang tertulis dalam riwayat. Sebab, kadangkala Imam Ahmad berijtihad dengan menisbatkan satu riwayat kepada salah seorang shahabat, padahal dalam riwayat itu sendiri tidak ada keterangan yang menjelaskannya. Contoh :
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يونس بن محمد قال ثنا أبان وعبد الصمد قال ثنا هشام عن يحيى عن أبي جعفر عن عطاء بن يسار عن بعض أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قال بينما رجل يصلي وهو مسبل إزاره إذ قال له رسول الله صلى الله عليه وسلم اذهب فتوضأ قال فذهب فتوضأ ثم جاء فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم اذهب فتوضأ قال فذهب فتوضأ ثم جاء فقال ما لك يا رسول الله ما لك أمرته يتوضأ ثم سكت قال انه كان يصلي وهو مسبل إزاره وان الله عز وجل لا يقبل صلاة عبد مسبل إزاره
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abaan dan ‘Abdush-Shamad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam, dari Yahyaa, dari Abu J’far, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari sebagian shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : Ketika ada seorang yang shalat dalam keadaan isbal (memanjangkan kainnya sampai bawah mata kaki) pada sarungnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : "Pergi dan berwudlulah". Lalu orang itu pergi dan berwudlu, lalu datang lagi. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : "Pergi dan berwudlulah." Lalu orang itu kembali dia pergi dan berwudlu, kemudian datang. Salah seorang shahabat bertanya : “Kenapa engkau wahai Rasulullah, kenapa anda memerintahkannya untuk berwudlu kemudian anda diam?. Beliau menjawab, "Dia shalat sedangkan dia dalam keadaan musbil sarungnya, sesungguhnya Allah Azza wa jalla tidak menerima shalat seorang hamba yang sarungnya isbal".
Hadits ini dimasukkan dalam hadits Hayyah At-Tamimiy dan hadits Syaikh dari Bani Saliith. Tidak ada keterangan dalam hadits di atas siapa shahabat yang shalat sambil berisbal itu. Ini adalah contoh ijtihad dari Imam Ahmad. Dan point ijtihad ini saya ambil faedah dari perkataan Syaikh Ahmad Syaakir.
Satu hadits dinisbatkan pada dua tempat yang berbeda. Sebagai info, Hayyah bukan berasal dari Bani Saliith, tapi dari Bani Tamiim, inilah yang raajih. wallaahu a’lam.
3. Kadangkala, Imam Ahmad memasukkan hadits kepada salah seorang shahabat, namun tidak pada shahabat yang lainnya dalam Musnad-nya, padahal hadits tersebut berbicara tentang beberapa orang shahabat (dalam porsi seimbang). Contoh :
حدثنا عبد الله حدثني أبي قال حدثني الصلت بن مسعود الجحدري قال ثنا محمد بن عبد الرحمن الطفاوي قال خرج أبو الغادية وحبيب بن الحرث وأم الغادية مهاجرين إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأسلموا فقالت المرأة أوصني يا رسول الله قال إياك وما يسوء الأذن
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ash-Shult bin Mas’uud Al-Jahdariy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Abdirrahmaan Ath-Thufaawiy, ia berkata : “Abul-Ghadiyyah, Habiib bin Al-Haarits, dan Ummul-Ghaadiyyah, keluar berhijrah menuju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu mereka masuk Islam. Seorang wanita berkata : “Berikanlah aku wasiat wahai Rasulullah”. Beliau menjawab : “Hindarilah sesuatu yang mengganggu telinga”.
Imam Ahmad memasukkan riwayat ini dalam hadits Abul-Ghaadiyyah radliyallaahu ‘anhu. Padahal, shababat ada tiga, dan imam Ahmad hanya menisbatkannya pada hadits Abul-Ghaadiyyah.
4. Kadang Al-Imaam Ahmad menisbatkan satu hadits kepada seseorang, padahal hadits itu tidak tepat-tepat betul ternisbatkan kepadanya. Contoh :
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن سلمة بن كهيل قال سمعت محمد بن عبد الرحمن يحدث عن عبد الرحمن بن يزيد عن الأشتر قال كان بين عمار وبين خالد بن الوليد كلام فشكاه عمار إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم انه من يعاد عمارا يعاده الله عز وجل ومن يبغضه يبغضه الله عز وجل ومن يسبه يسبه الله عز وجل فقال سلمة هذا أو نحوه
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Salamah bin Kuhail, ia berkata : Aku mendengar Muhammad bin ‘Abdirrahmaan menceritakan hadits dari ‘Abdurrahmaan bin Yaziid, dari Al-Asyrat, ia berkata : Antara ‘Ammaar dan Khaalid bin Al-Waliid pernah terjadi percekcokan. Lalu ‘Ammaar mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa memusuhi 'Ammar, niscaya Allah Azzawajalla memusuhinya. Barangsiapa membuat marah 'Ammar, Allah Azza wajalla akan membuat dia marah. Barangsiapa yang mencelanya niscaya Allah Azza wa jalla akan mencelanya". Lalu Salamah berkata; demikian atau semisalnya”.
Imam Ahmad memasukkannya dalam hadits Yaziid dari Al-‘Awwaam. Namun yang dhahir, hadits itu sebenarnya milik ‘Ammaar bin Yaasir. Dialah periwayat yang bertemu dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sabda Nabi pun berkenaan dengannya.
5. Kadang Imam Ahmad memasukkan satu riwayat kepada hadits seseorang shahabat walaupun shahabat tersebut tidak mengucapkan satu perkataan pun. Contoh :
حدثنا عبد الله حدثني سفيان بن وكيع حدثني قبيصة عن أبي بكر بن عياش عن عاصم عن أبي وائل قال قلت لعبد الرحمن بن عوف كيف بايعتم عثمان وتركتم عليا رضى الله تعالى عنه قال ما ذنبي قد بدأت بعلي فقلت أبايعك على كتاب الله وسنة رسوله وسيرة أبي بكر وعمر رضى الله تعالى عنهما قال فقال فيما استطعت قال ثم عرضتها على عثمان رضى الله تعالى عنه فقبلها
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku Sufyaan bin Wakii’ : Telah menceritakan kepadaku Qabiishah, dari Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, dari ‘Aashim, dari Abu Waail, ia berkata : Aku berkata kepada Abdurrahman Bin Auf : "Bagaimana kamu membai'at utsman dan meninggalkan Ali ?". Ia menjawab : "Apa dosaku, aku telah memulainya kepada Aliy dan aku katakan : 'Aku berbai'at kepadamu berdasarkan Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, jejak Abu Bakar dan Umar". ‘Abdurrahman berkata : "Akan tetapi Ali menjawab : "Dalam hal yang aku mampu". ‘Abdurrahman berkata : "Kemudian Aku tawarkan kepada Utsman dan dia menerimanya."
Hadits ini dimasukkan dalam Musnad ‘Utsmaan bin ‘Affaan, padahal ia berisi dialog antara Abu Waail dengan ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf. Tidak ada nukilan perkataan ‘Utsmaan. Yang ada, hanyalah nukilan (penghikayatan) perkataan ‘Utsmaan, sebagaimana diceritakan ‘Abdurrahmaan.
حدثنا عبد الله ثنا محمد بن أبي بكر المقدمي حدثني أبو معشر يعني البراء واسمه يوسف بن يزيد ثنا حرملة عن سعيد بن المسيب قال حج عثمان حتى إذا كان في بعض الطريق أخبر علي ان عثمان نهى أصحابه عن التمتع بالعمرة والحج فقال علي لأصحابه إذا راح فروحوا فأهل على أصحابه بعمرة فلم يكلمهم عثمان فقال علي رضى الله تعالى عنه ألم أخبر أنك نهيت عن التمتع ألم يتمتع رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فما أدرى ما أجابه عثمان رضى الله تعالى عنه
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi Bakr Al-Muqaddamiy : Telah menceritakan kepadaku Mi’syar – yaitu Al-Barraa’, namanya Yuusuf bin Yaziid : Telah menceritakan kepada kami Harmalah, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, ia berkata : “Utsman berangkat melaksanakan haji, ketika sampai di pertengahan jalan, sampailah berita kepada Ali bahwa Utsman melarang para sahabatnya dari melaksanakan haji Tamattu' dengan Umrah dan Haji, maka Ali berkata kepada para sahabatnya; "Apabila dia berangkat, maka berangkatlah kalian, " kemudian Ali dan para sahabatnya berniat dengan Umrah, maka Utsman tidak berbicara dengan mereka, lalu Ali berkata; "Bukankah telah diberitakan bahwa kamu melarang dari melaksanakan haji tamattu'? Bukankah Rasulullah melaksanakan haji tamattu'?" Sa'id Bin Al Musayyib berkata; "Dan aku tidak tahu apa jawaban Utsman".
Riwayat ini ada dalam Musnad ‘Utsmaan bin ‘Affaan, padahal perkataan riwayat marfu’ dalam hadits ini adalah ‘Aliy bin Abi Thaalib.
Catatan : Dalam riwayat lain, disebutkan perkataan ‘Utsmaan yang marfu’ dan adanya dialog antara mereka berdua. Akan tetapi fokus bahasan ini adalah peletakan hadits dengan lafadh ini dalam Musnad ‘Utsmaan bin ‘Affaan oleh ‘Abdullah sebagai tambahan atas Musnad ayahnya.
[jadi, jangan didisanggah dengan adanya syaahid atau riwayat lain, karena ini merupakan bahasan tartib hadits berdasarkan sanad dan matannya itu sendiri].
حَدَّثَنَا يَعْمَرُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ سِنَانَ بْنَ أَبِي سِنَانٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَائِمًا فِي قَصَصِهِ إِنَّ أَخًا لَكُمْ كَانَ لَا يَقُولُ الرَّفَثَ يَعْنِي ابْنَ رَوَاحَةَ قَالَ وَفِينَا رَسُولُ اللَّهِ يَتْلُو كِتَابَهُ إِذَا انْشَقَّ مَعْرُوفٌ مِنْ اللَّيْلِ سَاطِعُ يَبِيتُ يُجَافِي جَنْبَهُ عَنْ فِرَاشِهِ إِذَا اسْتَثْقَلَتْ بِالْكَافِرِينَ الْمَضَاجِعُ أَرَانَا الْهُدَى بَعْدَ الْعَمَى فَقُلُوبُنَا بِهِ مُوقِنَاتٌ أَنَّ مَا قَالَ وَاقِعُ
Telah menceritakan kepada kami Ya’mar bin Bisyr : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Aku mendengar Sinaan bin Abi Sinaan berkata : Aku mendengar Abu Hurairah berkata sambil berdiri menceritakan kisahnya sambil bersyi’ir :
'Saudara kalian (Ibnu rawahah maksudnya) tidak mengucapkan rafats (perkataan jelek).
Bahkan dia berkata 'Di antara kita ada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang membaca kitabnya’.
Saat malam merekah terang.
Ia bermalam dengan menjauhkan punggungnya dari tempat tidurnya, saat tempat tidur terasa berat bagi orang-orang kafir.
(Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam) memperlihatkan petunjuk kepada kita.
Yang karenanya hati kita menjadi yakin, setelah nyata apa yang diucapkannya musti terjadi”.
Imam Ahmad cukup menjadikan penisbatan sajak/syi’ir Abu Hurairah yang memuji ‘Abdullah bin Rawaahah dalam hadits ‘Abdullah bin Rawaahah. Padahal, ini murni perkataan Abu Hurairah.
[catatan : perkataan ‘Abdullah bin Rawahah dalam hadits di atas merupakan perkataan pujian Abu Hurairah dalam syi’ir bahwasannya ia jauh dari perkataan yang jelek dan lisannya selalu berada dalam ketaatan, bukan perkataan yang sebenarnya sebagaimana dalam periwayatan].
Riwayat ini tidak dijumpai dalam Musnad/Hadits Abi Hurairah.
Dan yang lainnya……
-----
Taruhlah kita benar-benar bersandar dengan perkataan orang Syi’ah itu bahwa Imam Ahmad telah berhujjah dengan hadits di atas bahwa perkataan aku tidak pernah meminumnya….dst adalah milik Buraidah. Lantas, dimana letak keterangannya dari Imam Ahmad ? Dari peletakan bab pada hadits Buraidah ? Apakah itu cukup kuat mendukung hal tersebut ? Seandainya perkataan itu kita nisbatkan pada Mu’aawiyyah, apakah itu menjadi musykil ? Betapa banyak hadits yang hanya diletakkan dalam satu tempat saja (di satu shahabat), padahal shahabat lain juga mengatakannya ?.
Hadits-hadits dalam kitab Musnad itu disusun berdasarkan penisbatan pada seorang shahabat. Termasuk hadits Jika riwayat itu disebutkan satu penisbatan kepada salah seorang shahabat, maka itu sudah cukup. Termasuk contoh hadits Qatadah dalam komentar sebelumnya. Ia dimasukkan kepada hadits Qataadah bukan berdasarkan asumsi-asumsi orang Syi’ah itu. Tidak lain, hadits itu dimasukkan dalam hadits Qataadah bin Milhaan karena riwayat itu ternisbat kepada Qataadah bin Milhaan.
Makanya, yang ‘aneh’ adalah jika ada satu riwayat yang dinisbatkan kepada Musnad/hadits shahabat tertentu, namun ternyata shahabat itu tidak ada dalam riwayat. Ada beberapa kemungkinan dalam hal ini. Kemungkinan bahwa riwayat itu sebagai penguat, adanya wahm dari Al-Imaam Ahmad (walau kita berat untuk mengatakannya), dan yang lainnya.
Namun jika alasannya cuma : Jika perkataan itu bukan milik Buraidah, namun miliki Mu’aawiyyah, tentu Imam Ahmad akan meletakkannya dalam Musnad/hadits Mu’aawiyyah, maka ini tertolak. Tidak kuat. Orang Syi’ah itu tidak memahami apa dan bagaimana kitab Musnad itu disusun. Dan apa yang saya sebutkan dan sampaikan ini bukanlah ‘perkecualian’ sebagaimana angan-angannya.
Sebagai info saja, selain Imam Ahmad, telah banyak imam-imam lain yang menyusun kitab serupa dengan Musnad Ahmad. Misal, Musnad ‘Abdurrahman bin ‘Auf (oleh Ahmad Al-Birtiy Al-Baghdadiy, w. 280 H), Musnad Abu Bakr Ash-Shiddiq (oleh Al-Marwadziy, w. 296 H), Musnad ‘Umar bin Al-Khaththaab (oleh Abu Bakr Al-Baghdadiy, w.348 H), sampai dari kalangan muta’akhkhiriin seperti Musnad Faathimah (oleh As-Suyuthiy), yang kesemuanya itu mengumpulkan riwayat yang ternisbatkan pada para shahabat tersebut. Tidak semua dalam riwayat kitab Musnad itu shahabat menyampaikan hadits marfu’, atau hal lain sebagaimana yang dikatakan oleh orang Syi’ah itu ketika memahami hadits-hadits dalam kitab Musnad.
Mengenai anggapannya bahwa ia telah menjawab cacat tafarrud, apa si sebenarnya yang ia jawab ? Bukanlah ia berputar-putar pada klaim ‘ketsiqahan’ pada Zaid bin Al-Hubaab ?. Dia ngaku nggak kalau Zaid bin Al-Hubaab itu bertafarrud pada tambahan perkataan selain yang ia riwayatkan bersama dengan ‘Ali bin Al-Husain ? Kalau nggak ngaku ya kebangetan, karena itu fakta. Seandainya ngaku, lantas hal apa yang menguatkan hadits itu ? Karena ‘ketsiqahan’ Zaid bin Al-Hubbaab ?. Klaim ini saja sudah bermasalah. Saya tidak akan mengulangi apa yang telah saya tuliskan di atas. Yang pokok, apa hujjah dia menguatkan riwayat tafarrud Zaid bin Al-Hubbaab yang merupakan tingkatan shigharu atbaa’it-taabi’iin ?. Akhirnya, lagi-lagi, kembali pada klaim ‘ketsiqahan’. Sejak kapan tafarrud itu tidak bernilai cacat.
Saya ajak para Pembaca memahami. Secara akal adalah sulit diterima ada satu riwayat marfu’ yang diriwayatkan oleh seseorang yang jauh masanya dari Nabi (mungkin ratusan tahun), yang tidak diriwayatkan oleh yang lain. Betapapun tsiqahnya orang tersebut (semisal Ad-Daaruquthniy, Al-Haakim, Al-Baihaqiy, Adz-Dzahabiy, dan yang lainnya dari kalangan ulama hadits masyhur), namun tafarrudnya tetap tidak diterima jika jaraknya terlalu jauh dari masa kenabian. Jika tidak demikian, lantas dimana ratusan bahkan ribuan orang ulama dan pencari hadits sebelum dia ?. Inilah yang menjadi fokus dalam bahasan tafarrud riwayat dilihat dari thabqah perawi hadits.
Jika katakan harus ada pembatasan, maka pada thabaqah apa tafarrud itu diterima atau ditolak ? Para ulama telah menjelaskan bahwa tafarrud riwayat marfu’ untuk thabaqah shigharu atbaa’it-taabi’iin adalah sulit diterima. Terlalu jauh masanya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lha wong untuk tabi’y awal atau pertengahan saja banyak ulama yang mempermasalahkan. Apalagi setelahnya. Seandainya kita terima – dan ini sulit – itu pun bagi mereka (yaitu perawi) yang memiliki maqam tinggi dalam ketsiqahan. Kredibilitas Zaid bin Al-Hubbab ini jelas di bawah ‘Abdurrazzaaq (sebelum berubah hapalannya). ‘Abdurrazzaaq adalah seorang yang tsiqah lagi haafidh. Kebersendirin/tafarrud ‘Aburrazzaaq saja banyak yang tidak diterima ulama. Lantas, bagaimana dengan Zaid bin Al-Hubbaab ?.
Tentang klaim orang Syi’ah itu bahwa (seandainya) meskipun Imam Ahmad mengkritik seorang perawi namun ternyata ia meriwayatkan dalam kitab Musnadnya, maka menurutnya (orang Syi’ah itu), beliau ‘menerima’ riwayat perawi itu.
Ini hanyalah omong kosong tanpa makna. Apa makna ‘menerima’ di sini ?. Imam Ahmad tidaklah mensyaratkan dalam kitabnya itu semuanya shahih. Tidak juga mensyaratkan bahwa guru-gurunya itu adalah tsiqah atau shaduq semua. Sebenarnya ini terlalu melebar dari bahasan artikel di atas. Namun berhubung orang Syi’ah itu gemar berstatement tanpa ilmu dan susah rujuk (baca : gengsi) jika terbukti keliru, jadilah pembicaraan ini berpanjang ria.
Penerimaan atau periwayatan Imam Ahmad dari seorang syaikh bukan merupakan ta’dil atas syaikh itu atau riwayat yang ia bawakan. Ini sudah ma’ruf lah diketahui. Telah saya bawakan contoh sedikit syaikh Imam Ahmad yang berstatus dla’if yang saya nukil dari buku Mu’jam Syuyuukh Al-Imam Ahmad. Mungkin dapat saya ulang secara ringkas beberapa syaikh Imam Ahmad, misal : ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Atha’ Al-Khaffaaf. Imam Ahmad berkata : “Dla’iiful-hadiits, mudltharib”. ‘Aliy bin ‘Aashim bin Shuhaib, Imam Ahmad berkata : “Ia seorang yang banyak lalai dan keliru”. Mu’aawiyyah bin Hisyaam Al-Qashshaar, beliau mengatakan : “Banyak salahnya”. Yahyaa bin Yamaan, beliau mengatakan : “Bukan hujjah”. Katsiir bin Marwaan As-Sulamiy, kata Mahmuud bin Ghailaan : “Ahmad, Ibnu Ma’iin, dan Abu Khaitsamah menggugurkan (hadits)-nya”. Muhammad bin Katsiir Al-Qashshaab, Imam Ahmad berkata : “Sangat lemah”.
Dan lain-lain.
Jadi, ini merupakan bukti ketidakvalidan kaedah yang dikarang orang Syi’ah itu dalam perkara syuyuukh Imam Ahmad.
Dalam hal Zaid bin Al-Hubbaab, maka saya sepakat bahwa ia seorang yang shaduuq. Namun, Imam Ahmad, dan yang lainnya telah mengkritiknya dalam hal hapalan bersamaan dengan pujian yang dialamtkan kepadanya. Namun kita tidaklah menolak riwayatnya tanpa ada bukti yang mengharuskan menolaknya. Inilah konsekuensi perawi yang disifati sebagai shaduuq namun banyak keliru.
Dan khususnya dalam tafarrud riwayat ini, terdapat perbedaan lafadh yang cukup ‘kentara’ antara Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah. Ini menandakan ia mengalami keraguan dalam tafarrudnya tersebut. Dalam riwayat Ahmad mengandung lafadh marfu’, sedangkan dalam riwayat Inu Abi Syaibah tidak.
Saya rasa, itu saja komentar saya.
Dan perlu saya ulagi, saya memang telah keliru dalam hal hadits Ibnuz-Zubair karena hanya mengandalkan copas dari terjemahan Lidwa tanpa crosscheck seperlunya. Dan ini menandakan kekurangcermatan saya untuk yang kesekian kalinya.
Sebenarnya, inti dari bahasan keshahihan riwayat adalah dalam hal tafarrud Zaid bin Al-Hubbaab. Adapun setelahnya hanyalah pengandaian jika ta'lil tafarrud itu belum bisa dimengerti. Dan saya telah menyebutkan beberapa kaedah penjamakan dalam komentar-komentar sebelumnya dengan melihat lafadh riwayat, baik dari Imam Ahmad atau Ibnu Abi Syaibah.
afwan ust, mungkin tdk nyambung tp bgmn dgn riwayat ini :
Telah menceritakan kepada kami Khalaf yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waarits dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah mawla Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk kemudian melintaslah Abu Sufyan di atas hewan tunggangan dan bersamanya ada Muawiyah dan saudaranya, salah satu dari mereka menuntun hewan tunggangan tersebut dan yang lainnya menggiringnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “laknat Allah bagi yang memikul dan yang dipikul, yang menuntun dan yang menggiring” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/121]
apakah benar perkataan rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertuju kpd mua'wiyyah (itu anggapan bbrp org yg sangat sinis thd muawiyah).
kmudian bgmn dgn sanadny?sahih?
Riwayat dalam Ansaabul-Asyraf sebagai berikut :
حَدَّثَنَا خَلَفٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ بنُ سَعِيدِ بْنِ جُمْهَانَ، عَنْ سَفِينَةَ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ " كَانَ جَالِسًا فَمَرَّ أَبُو سُفْيَانَ عَلَى بَعِيرٍ وَمَعَهُ مُعَاوِيَةُ وَأَخٌ لَهُ، أَحَدُهُمَا يَقُودُ الْبَعِيرَ وَالآخَرُ يَسُوقُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " لَعَنَ اللَّهُ الْحَامِلُ وَالْمَحْمُولُ وَالْقَائدُ وَالسَّائِقُ "
Telah menceritakan kepada kami Khalaf : Telah menceritakan kepada kami 'Abdul-Waarits bin Sa'iid bin Jumhaan, dari Safiinah maula Ummu Salamah bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ".....(al-hadits)...".
Inilah yang tercetak dalam Ansaabul-Asyraf 5/136 yang ditahqiq oleh Prof. Suhail Zakaat dan Dr. Riyaadl Zarkaliy; Daarul-Fikr, Cet. 1/1417 H.
Sanad riwayat itu tidak shahih (dla'iif), bahkan matannya munkar.
'Abdul-Waarits bin Sa'iid bin Jumhaan adalah majhuul. Adapun Al-Balaadzuriy adalah seorang sastrawan dan sejarawan; bukan termasuk dari kalangan muhadditsiin. Ia adalah seorang yang dekat dengan penguasa, memuji-muji mereka dengan bait-bait syi’ir-nya, dan tertimpa was-was di akhir hayatnya [lihat biografinya dalam Taariikh Dimasyq 6/74-76, tahqiq : ‘Umar bin Gharaamah Al-‘Umariy, Daarul-Fikr, Cet. Thn. 1415; Liisaanul-Miizaan 1/322-323 no. 982, Muassasah Al-A’lamiy, Cet. 2/1390; dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 13/12-163 no. 96, Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 9/1413].
Seandainya haditsnya adalah dengan sanad (seperti yang antum tulis) : Telah menceritakan kepada kami Khalaf : Telah menceritakan kepada kami 'Abdul-Waarits, dari Sa'iid bin Jumhaan, dari Safiinah Maulaa Ummu Salamah dst; maka ini pun juga lemah dengan letak kelemahan pada Al-Balaadzuriy sendiri. Semua manuskrip tertulis dengan sanad sebagaimana saya tuliskan di awal.
ِAda sanad lain yang diriwayatkan Al-Bazzaar dari jalan Sa'iid bin Jumhaan, dari Safiinah; namun ia dla'iif dan juga tidak disebutkan padanya Mu'aawiyyah (dan bapaknya).
Ada sanad lain dari Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir, namun ia juga lemah (karena mursal). Selain itu, tidak juga disebutkan secara jelas siapa yang dilaknat.
Dan ada beberapa riwayat lain yang lemah/sangat lemah.
Ibnu Abi 'Aashim membawakan riwayat sebagai berikut :
قَالَ قَيْسُ بْنُ حَفْصٍ، نا غَسَّانُ بْنُ مُضَرَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ نَصْرِ بْنِ عَاصِمٍ اللَّيْثِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: دَخَلْتُ مَسْجِدَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَصْحَابُهُ يَقُولُونَ: نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ غَضَبِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، قُلْتُ: مَا شَأْنُكُمْ؟ قَالُوا: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : " لَعَنَ اللَّهُ الْقَائِدَ وَالْمَقُودَ بِهِ "
Telah berkata Qais bin Hafsh : telah mengkhabarkan kepada kami Ghassaan bin Mudlar dari Sa'iid bin Yaziid, dari Nashr bin 'Aashim Al-Laitsiy, dari ayahnya, ia berkata : Aku pernah masuk ke masjid Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang pada waktu itu para shahabatnya berkata : 'Kami berlindung kepada Allah 'azza wa jalla dari kemurkaan Allah dan Rasul-Nya'. Aku berkata : 'Apa perkara kalian (sehingga mengatakan itu) ?'. Mereka berkata : 'Allah melaknat orang yang menuntun dan dituntun' [Al-Aahaadul-Matsaaniy no. 938, dan pentahqiq/Dr. Baashim bin Faishal mengatakan para perawinya tsiqaat].
Qais bin Hafsh mempunyai mutaba'ah dari Muusaa bin Ismaa'iil dan 'Uqbah bin Sinaan sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 17/176; dan Muhammad bin 'Abdurrahmaan Al-'Allaaf sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Ma'rifatush-Shahaabah no. 5398.
Ibnu Sa'd dalam Ath-Thabaqaat 7/39 meriwayatkan dari Abu Maalik Katsiir bin Yahyaa Al-Bashriy, dari Ghassaan bin Mudlar, dan seterusnya seperti sanad di atas, namun padanya ada tambahan keterangan bahwa perkataan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam itu tertuju kepada Mu'aawiyyah dan bapaknya. Di sini, Katsiir bin Yahyaa telah menyelisiihi para perawi tsiqaat yang meriwayatkan dari Ghassaan tanpa ada tambahan. Selain itu, Katsiir bin Yahyaa adalah seorang Syi'iy, dan ia membawakan hadits yang menguatkan madzhabnya (dalam menggelorakan kebencian terhadap shahabat). Oleh karenannya, riwayat Katsiir bin Yahyaa ini munkar dan tidak bisa dijadikan mutaba'ah.
Apalagi, matannya bertentangan dengan hadits-hadits ma'ruf. Silakan dibaca di bagian awal artikel : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/06/hadits-muawiyyah-mati-tidak-dalam-agama.html
Kita hanya mengambil yang telah disepakati keshahihannya saja.
Lantas, bagaimana kita bisa menerima hadits di atas ?.
Juga perhatikan,... riwayat Al-Balaadzuriy di atas disebutkan Abu Sufyaan beserta Mu'aawiyyah dan saudaranya. Khususnya dalam lafadh yang dituntun, maka di situ ada dua (Mu'aawiyyah dan saudaranya). Akan tetapi, sebagaimana adat jelek Syi'ah, selalu mengarahkan pada Mu'aawiyyah. Tapi biarlah mereka, karena memang sudah tabiatnya. Yang ada dalam kitab Ash-Shahiih saja sudah jelas - bahwa Mu'aawiyyah dijanjikan surga - , namun mereka tetap saja tidak mengambilnya kan ?.
Seperti yang saya singgung tempo hari : Mengambil satu riwayat dengan meninggalkan riwayat yang lain.
Inilah komentar singkat saya, semoga ada manfaatnya.
Jazakallah Ustadz, atas penjelasannya..
Ana mengusulkan supaya Ustadz membahas khusus dalam artikel tersendiri mengenai kredibilitas Al-Baladzuri dan kitab-nya Al-Ansab. Karena ana lihat orang syi'ah banyak merujuk dari kitab ini dan menjadikan riwayat2 di dalam-nya sebagai hujjah.
Demikian juga mohon dibahas juga kitab-kitab sejarah yang lain-nya, agar kami bisa mendudukkan kitab-kitab mana yang layak dijadikan rujukan.
Barakallahu fiik
Posting Komentar