Apa Hukum Sutrah dalam Shalat ?


Para ulama berbeda pendapat tentang permasalahan ini, yang terbagi menjadi dua kelompok besar. Jumhur ulama mengatakan sunnah (bukan wajib) – bahkan Ibnu Rusyd [Bidaayatul-Mujtahid, 1/121; Daarul-Hadiits] mengutip adanya ijma’ akan ketidakwajiban ini - , sedangkan sebagian ulama mengatakan wajib.

Di antara mereka yang mengatakan sunnah antara lain : Abu Haniifah, As-Syaafi’iy, Ahmad, Ibnu Qudaamah, An-Nawawiy, Ibnu Rajab, Ibnu ‘Aabidin, Ibnu Baaz, Ibnu ‘Utsaimiin, Lajnah Daaimah, dan yang lainnya.[1] Berikut sebagian perkataan ulama yang berpegang pada pendapat ini :

Abu Haniifah rahimahullah berkata :
ولا بأس أن يترك السترة إذا أمن المرور ولم يواجه الطريق
“Tidak mengapa meninggalkan sutrah (ketika shalat) apabila aman dari orang lewat dan tidak menghadap ke jalan” [Al-Fatawaa Al-Hindiyyah, 3/344; Daarul-Fikr].
Ibnu Rusyd rahimahullah berkata :
واتفق العلماء بأجمعهم على استحباب السترة بين المصلي والقبلة إذا صلى ، مفرداً كان أو إماماً
“Para ulama telah sepakat dengan ijma’ mereka tentang disukainya sutrah (yang diletakkan) antara orang yang shalat dan kiblat sewaktu shalat, baik shalat sendiri atau sebagai imam” [Bidaayatul-Mujtahid, 1/121].[2]
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
السترة ليست شرطاً في الصلاة وإنما هي مستحبة
“Sutrah bukan merupakan syarat dalam shalat. Ia hanyalah disunnahkan saja” [Al-Mughniy, 4/6; Daarul-Fikr].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
يُستحبُ للمُصلي أن يكون بين يديه سترة من جداراً أو سارية أو غيرها ويدنو منها بحيث لا يزيدُ بينهما على ثلاثة أذرع
“Disunnahkan bagi orang yang shalat agar meletakkan sutrah di depannya, yang berupa tembok, tiang, atau yang lainnya dan mendekat kepadanya dengan jarak (antara dirinya dengan sutrah) tidak lebih dari tiga hasta” [Raudlatuth-Thaalibiin, 1/398; Al-Maktabah Al-Islaamiy].
Ibnu Baaz rahimahullah berkata :
الصلاة إلى سترة سنة مؤكدة وليست واجبة
“Shalat menghadap sutrah adalah sunnah muakkadah (yang sangat ditekankan), dan bukan kewajiban” [Tuhfatul-Ikhwaan bi-Ajwibati Tata’allaqa bi-Arkaanil-Islaam, hal. 81].
Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata :
السترة في الصلاة سنة مؤكدة إلا للمأموم فإن المأموم لا يُسن له اتخاذ سترة اكتفاءً بسترة الإمام
“Sutrah dalam shalat hukumnya sunnah muakkadah, kecuali bagi makmun. Karena makmum tidak disunnahkan memakai sutrah, dimana mereka telah dicukupkan dengan sutrahnya imam” [Fataawaa Arkaanil-Islaam, hal. 343 soal no. 267].
Dalil utama yang mereka pakai adalah :
عن كثير بن كثير بن المطلب بن أبي وداعة عن بعض أهله عن جده أنه : رأى النبي صلى الله عليه وسلم يصلي مما يلي باب بني سهم والناس يمرون بين يديه وليس بينهما سترة
Dari Katsiir bin Katsiir bin Al-Muthallib bin Abi Widaa’ah, dari sebagian keluarganya, dari kakeknya : Bahwasannya ia pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di tempat setelah pintu Bani Sahm. Orang-orang lewat di depan beliau, sementara tidak ada sutrah antara keduanya (Nabi dengan Ka’bah)[Diriwayatkan oleh Ahmad 6/399, Abu Daawud no. 2016, dan yang lainnya].
عن الفضل بن عباس قال : أتانا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن في بادية لنا ومعه عباس فصلى في صحراء ليس بين يديه سترة
Dari Al-Fadhl bin ‘Abbaas, ia berkata : Kami mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kami berada di gurun. Beliau bersama ‘Abbaas, maka beliau shalat di gurun sahara dimana tidak ada di depan beliau sutrah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/224, Abu Daawud no. no. 718, dan yang lainnya].
عن عبد الله بن عباس قال : أقبلت راكبا على حمار أتان، وأنا يؤمئذ قد ناهزت الاحتلام، ورسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بمنى إلى غير جدار، فمررت بين يدي بعض الصف، وأرسلت الأتان ترتع، فدخلت في الصف، فلم ينكر ذلك علي.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas, ia berkata :  “Aku datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat di Mina tanpa tidak menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada orang yang menyalahkanku" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 76, 493, 861, 1857, dan 4412].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
قوله إلى غير جدار أي إلى غير سترة قاله الشافعي
“Perkataannya ‘tanpa menghadap tembok’; maksudnya adalah tanpa menghadap sutrah. Hal itu dikatakan oleh Asy-Syaafi’iy” [Fathul-Baariy, 1/171].
Adapun ulama yang mengatakan wajib antara lain : Ahmad dalam satu riwayatnya, Ibnu Hazm, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hajar Al-Haitamiy, Asy-Syaukaaniy, Al-Albaniy, Al-Wadi’iy, dan yang lainnya. Berikut sebagian perkataan ulama yang berpegang pada pendapat ini :
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata :
فهذه الأخبار كلها صحاح قد أمر النبي صلى الله عليه وسلم المصلي أن يستتر في صلاته وزعم عبد الكريم عن مجاهد عن بن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى إلى غير سترة وهو في فضاء لأن عرفات لم يكن بها بناء على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يستتر به النبي صلى الله عليه وسلم وقد زجر صلى الله عليه وسلم أن يصلي المصلي إلا إلى سترة وفي خبر صدقة بن يسار سمعت بن عمر يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تصلوا إلا إلى سترة وقد زجر صلى الله عليه وسلم أن يصلي المصلي إلا إلى سترة فكيف يفعل ما يزجر عنه صلى الله عليه وسلم
“Semua khabar ini adalah shahih. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan orang yang melakukan shalat agar memakai sutrah dalam shalatnya. Dan telah berkata ‘Abdul-Kariim, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas : ‘Bahwasannya Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat tanpa menghadap sutrah di tanah lapang’[3]. Hal ini dikarenakan ‘Arafah tidak mempunyai bangunan di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dengannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat bersutrah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang yang akan melakukan shlat kecuali menghadap sutrah. Dalam hadits Shadaqah bin Yasaar (ia berkata) : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Janganlah kalian shalat kecuali menghadap ke sutrah’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang yang akan melakukan shalat kecuali menghadap sutrah; lantas bagaimana bisa beliau melakukan sesuatu yang beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri larang ?” [Shahih Ibni Khuzaimah, 2/27-28; Al-Maktab Al-Islaamiy].
Ibnu Hajar Al-Haitamiy rahimahullah berkata :
السترة واجبة عند جماعة من العلماء
“Sutrah adalah wajib menurut sekelompok ulama” [Al-Fataawaa Al-Fiqhiyyah Al-Kubraa, 2/141; Daarul-Fikr].
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
قوله فليُصلِ إلى سترة فيه أن اتخاذ السترة واجب
“Perkataan beliau ‘maka, hendaklah ia shalat menghadap sutrah’; padanya terdapat satu petunjuk bahwa mengambil sutrah (saat shalat) adalah wajib” [Nailul-Authaar, 3/5; Daarul-Hadiits].
Al-Wadi’iy rahimahullah berkata :
أما اتخاذ السترة فالصحيح الوجوب لقوله صلى الله عليه وسلم إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة وليدنُ منها
“Adapun permasalahan mengambil sutrah (ketika shalat), maka yang benar hukumnya adalah wajib berdasaran sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Apabila salah seorang di antara kalian shalat, maka shalatlah menghadap ke sutrah dan mendekatlah kepadanya” [Dalam muhaadlarah beliau – As-ilah Al-Ikhwati min Amriikaa].
Ulama yang berpendapat wajib berpegang pada banyak dalil, sedikit di antaranya yang dapat disebutkan :
عن ابن عمر يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تصل إلا إلى سترة ولا تدع أحدا يمر بين يديك فإن أبى فلتقاتله فإن معه القرين
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah engkau shalat kecuali menghadap sutrah (pembatas). Dan jangan engkau biarkan seorangpun lewat di hadapanmu (ketika engkau shalat). Jika ia enggan, maka perangilah ia, sesungguhnya ia bersama dengan qarin (syaithan)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 800].
عن أبي سعيد الخدري قال : قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم: إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة وليدن منها
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap ke sutrah dan mendekatlah padanya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 698].
عن موسى بن طلحة، عن أبيه؛ قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "إذا وضع أحدكم بين يديه مثل مؤخرة الرحل فليصل. ولا يبال من مر وراء ذلك".
Dari Muusaa bin Thalhah, dari ayahnya, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang di antara kalian meletakkan sesuatu di depannya seukuran pelana kuda (untuk dijadikan sutrah), hendaknya ia shalat. Dan janganlah ia pedulikan orang-orang yang yang melintas di belakangnya (sutrah)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 241].
Hadits-hadits di atas – dan juga selainnya – berisi perintah. Sesuai dengan kaidah ushul fiqh bahwa asal dari sebuah perintah menunjukkan akan wajibnya, kecuali ada dalil yang memalingkannya. Dan dalam hal ini – menurut mereka - , tidak ada dalil shahih yang memalingkan asal kewajiban tersebut.
Pembahasan
Pembahasan dalam permasalahan hukum sutrah ini akan berputar pada pembahasan dalil yang dianggap memalingkan dari asal kewajiban dalam perintah. Atau dengan kata lain, adakah dalil shahih dan sharih (jelas) dari perkataan atau perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang tidak wajibnya sutrah ? Pernahkan beliau shalat tanpa menggunakan sutrah ?
Para ulama yang berpendapat sunnahnya telah membawakan beberapa dalilnya. Sekarang akan kita bahas secara ringkas apakah pendalilan tersebut berterima ataukah tidak.
1.        Hadits Al-Muthallib bin Abi Widaa’ah radliyallaahu 'anhu.
حدثنا أحمد بن حنبل، ثنا سفيان بن عيينة، قال: حدثني كثير بن كثير بن المطلب بن أبي وداعة عن بعض أهله، عن جده أنه رأى النبي صلى اللّه عليه وسلم يصلي مما يلي باب بني سهمٍ والناس يمرون بين يديه، وليس بينهما سترة
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Katsiir bin Katsiir bin Al-Muthallib bin Abi Widaa’ah, dari sebagian keluarganya, dari kakeknya : Bahwasannya ia pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di tempat setelah pintu Bani Sahm. Orang-orang lewat di depan beliau, sementara tidak ada sutrah antara keduanya [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/399 dan Abu Daawud no. 2016].
Diriwayatkan juga oleh Al-Humaidiy no. 588, Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah 2/702, Abu Ya’laa no. 7173, serta Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/461 dan Syarh Musykilil-Aatsaar 7/23 no. 2607; semuanya dari jalan Sufyaan bin ‘Uyainah, dari Katsiir bin Katsiir, dan selanjutnya seperti hadits di atas.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibbaan dalam Al-Mawaarid 2/119 no. 414 dari jalan Zuhair bin Muhammad Al-‘Anbariy, dari Katsii bin Katsiir, dan selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad ini lemah karena mubham-nya perantara antara Katsiir bin Katsiir dengan kakeknya.
Sufyaan bin ‘Uyainah telah diselisihi oleh Ibnu Juraij dimana ia meriwayatkan dari Katsiir bin Katsiir, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’, sebagaimana diriwayatkan oleh : Ahmad 6/399, Ibnu Maajah no. 2958, An-Nasaa’iy 2/67 & 5/235, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykil-Aatsaar 7/23 no. 2608, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 20/289-290 no. 683.
Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaaq no. 2387, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadul-Matsaaniy no. 814, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 7/25 no. 2609 dan Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/461, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 20/288 no. 680 & 20/289 no. 682 & 20/290-291 no. 685 & 687, Ibnu Hibbaan no. 2364, dan Ibnu Qaani’ 3/101; semuanya dari jalan Katsiir bin Katsiir, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfuu’.
Selain itu, Ibnu Juraij juga meriwayatkan dari Katsiir bin Katsiir, dari ayahnya, dari beberapa pembesar (Bani) Al-Muthallib, dari Al-Muthallib sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 20/290 no. 684; akan tetapi ini tidak mahfudh sebagaimana dikatakan Al-Baihaqiy 2/273.
Sufyan bin ‘Uyainah pernah meng-cross check kebenaran riwayat Katsiir bin Katsiir dari ayahnya ini, kepada Katsiir bin Katsiir secara langsung.
قال سفيان وكان ابن جريج أنبأ عنه قال حدثنا كثير عن أبيه فسألته فقال ليس من أبي سمعته ولكن من بعض أهلي عن جدي : أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى مما يلي باب بني سهم ليس بينه وبين الطواف سترة
Telah berkata Sufyaan : “Ibnu Juraij telah memberitakan darinya : Telah menceritakan kepada kami Katsiir, dari ayahnya. Maka aku pun bertanya kepada Katsiir, dan ia berkata : ‘Bukan dari ayahku aku mendengar riwayat itu, akan tetapi dari sebagian keluargaku, dari kakekku : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tempat setelah pintu Bani Sahm. Tidak ada sutrah antara beliau dengan orang-orang yang thawaf” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/399, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 7/23-24, dan Al-Baihaqiy 2/273].
Ringkasnya, riwayat Al-Muthallib bin Abi Widaa’ah ini tidak shahih (dla’iif).
2.        Al-Fadhl bin Al-‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
حدثنا عبد الملك بن شعيب بن الليث قال حدثني أبي عن جدي عن يحيى بن أيوب عن محمد بن عمر بن علي عن عباس بن عبيد الله بن عباس عن الفضل بن عباس قال : أتانا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن في بادية لنا ومعه عباس فصلى في صحراء ليس بين يديه سترة وحمارة لنا وكلبة تعبثان بين يديه فما بالى ذلك
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik bin Syu’aib bin Al-Laits, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari kakekku, dari Yahyaa bin Ayyuub, dari Muhammad bin ‘Umar bin ‘Aliy, dari ‘Abbaas bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbaas, dari Al-Fadhl bin ‘Abbaas, ia berkata : Kami mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kami berada di gurun. Beliau bersama ‘Abbaas, maka beliau shalat di sahara dimana tidak ada di depan beliau sutrah. Sementara itu seekor keledai dan seekor anjing berman-main di depan beliau, dan beliau pun tidak menghiraukannya” [Diriwayatkan Abu Daawud no. 718].
‘Abdul-Malik bin Syu’aib bin Al-Laits bin Sa’d Al-Fahmiy Al-Mishriy, Abu ‘Abdillah; seorang yang tsiqah (w. 248 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 623 no. 4213].
Syu’aib bin Al-Laits bin Sa’d bin ‘Abdirrahmaan Al-Fahmiy Al-Mishriy, Abu ‘Abdil-Malik; seorang yang tsiqah, pandai, lagi faqiih (135-199 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 438 no. 2821].
Al-Laits bin Sa’d bin ‘Abdirrahmaan Al-Fahmiy Al-Mishriy, Abul-Haarits; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi imam (92/93/94-175/176/177 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 817 no. 5720].
Yahyaa bin Ayyuub Al-Ghaafiqiy, Abul-‘Abbaas Al-Mishriy; seorang yang shaduuq, namun kadang keliru (w. 168 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslm dalam Shahih-nya [idem, hal. 1049 no. 7561].
Muhammad bin ‘Umar bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy; seorang yang shaduuq (w. setelah tahun 130 H) [idem, hal. 881 no. 6210].
‘Abbaas bin ‘Ubaidillah seorang yang maqbuul (yaitu dalam mutaba’ah). Ibnu Hazm telah men-ta’lil hadits ‘Abbaas bin ‘Ubaidillah ini, karena ia tidak pernah bertemu dengan pamannya, Al-Fadhl bin ‘Abbaas. Apa yang dikatakan Ibnu Hazm ini disepakati Ibnu Hajar [Tahdziibut-Tahdziib, 5/123].
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thahawiy 1/460, Ath-Thabaraaniy 18/no. 756, Al-Baihaqiy 2/278, dan Al-Baghawiy no. 549; semuanya dari jalan Yahyaa bin Ayyuub, selanjutnya seperti hadits di atas.
Penghukuman riwayat ini adalah lemah (dla’if).
Dikatakan, hadits di atas mempunyai syaahid :
حدثنا أبو معاوية حدثنا الحجاج عن الحكم عن يحيى بن الجزار عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى في فضاء ليس بين يديه شيء.
Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah : Telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaaj, dari Al-Hakam, dari Yahyaa bin Al-Jazzaar, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang, tidak ada sesuatu pun di depan beliau (yang menjadi sutrah) [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/224].
Abu Mu’aawiyyah, ia adalah Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah (113-194/195 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 840 no. 5878].
Al-Hajjaaj, ia adalah Ibnu Arthaah bin Tsaur bin Hubairah An-Nakha’iy; seorang yang hasan haditsnya lagi mudallis. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya. Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam kitab Man Tukullima fiihi Wahuwa Muwatstsaqun au Shaalihul-Hadiits hal. 159-160 no. 78. Al-Albaaniy menerima riwayatnya selain periwayatannya yang mudallas sebagaimana nampak pada Irwaaul-Ghaliil 7/330. Basyaar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth menyimpulkan dirinya seorang yang shaduuq, hasan haditsnya, namun mudallis [Tahriirut-Taqriib, 1/250-251 no. 1119].
Al-Hakam, ia adalah Ibnu ‘Utaibah Al-Kindiy, Abu Muhammad; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih (50-113/114/115 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 263 no. 1461]. Ibnu Hajar memasukkannya dalam tingkatan kedua perawi mudallis, pada kitabnya Thabaqaatul-Mudallisiin no. 43.
Yahyaa bin Al-Jazzaar Al-‘Uraniy; seorang yang tsiqah. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [Tahriirut-Taqriib, 4/80 no. 7519].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah 1/278, Abu Ya’laa no. 2601, dan Al-Baihaqiy dari jalan Abu Mu’aawiyyah, selanjutanya seperti hadits di atas.
Riwayat ini juga lemah, karena Hajjaaj bin Al-Arthaah yang mudallis. Di sini ia membawakan dengan ‘an’anah. Selain itu, riwayat ini juga munqathi’ (terputus), karena Yahyaa bin Al-Jazzaar Al-‘Uraniy tidak pernah mendengar dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu [lihat : Musnad Al-Imam Ahmad 1/291].
Al-Hakam bin ‘Utaibah Al-Kindiy dalam periwayatan dari Yahyaa bin Al-Jazzaar, mempunyai mutaba’ah dari ‘Amru bin Murrah sebagai berikut :
أخبرنا شعبة عن عمرو بن مرة قال سمعت يحيى بن الجزار عن بن عباس قال جئت أنا وغلام من بني هاشم على حمار فمررنا بين يدي النبي صلى الله عليه وسلم فنزلنا وتركنا الحمار يأكل من بقل الأرض أو قال من نبات الأرض فدخلنا معه في الصلاة قال رجل لشعبة كان بين يديه عنزة قال لا
Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, dari ‘Amru bin Murrah, ia berkata : Aku mendengar Yahyaa bin Al-Jazzaar, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Aku dan seorang anak dari Bani Haasyim datang dengan mengendarai keledai. Lalu kami lewat di depan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami pun turun dan membiarkan keledai kami memakan tumbuh-tumbuhan yang hidup di bumi. Lalu kami masuk ikut shalat bersama beliau”. Seorang laki-laki bertanya kepada Syu’bah : “Apakah di depan beliau ada ‘anazah (sebagai sutrah) ?”. Ia menjawab : “Tidak” [Diriwayatkan oleh ‘Aliy bin Al-Ja’d dalam Musnad-nya no. 92, dan darinya Abu Ya’laa no. 2423].
Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-‘Atakiy Al-Azdiy Abul-Busthaam Al-Waasithiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi mutqin (w. 160 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 436 no. 2805].
‘Amru bin Murrah bin ‘Abdillah bin Thaariq bin Al-Haarits Al-Muradiy, Abu ‘Abdillah/’Abdirrahman Al-Kuufiy Al-A’maa; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid (w. 116/118 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 745 no. 5147].
Al-Albaaniy menghukumi tambahan dialog antara laki-laki di atas dengan Syu’bah adalah syaadz, karena ini termasuk penyendirian ‘Aliy bin Ja’d [Silsilah Adl-Dla’iifah, 12/680].
Menurut kami, ketidakabsahan tambahan tersebut bukan karena faktor ‘Aliy bin Al-Ja’d (bin ‘Ubaid Al-Jauhariy Al-Baghdaadiy), karena ia seorang yang tsiqah lagi tsabat, dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 691 no. 4732]. Ketidakabsahan tambahan tersebut tidak lain karena riwayat ini lemah (munqathi’) sebagaimana riwayat sebelumnya.
Riwayat Yahyaa bin Al-Jazzaar dari Ibnu ‘Abbaas yang tersambung adalah melalui perantaraan Shuhaib Al-Mishriy, seorang yang shaduuq [Tahriirut-Taqriib, 2/144 no. 2956], sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 716-717, Ibnu Khuzaimah no. 836 & 882, Ibnu Ja’d no. 163, dan Abu Ya’laa no. 2749; semuanya dari Al-Hakam, dari Yahyaa bin Al-Jazzaar, dari Shuhaib, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata :  
جئت أنا وغلام من بني عبد المطلب على حمار، ورسول اللّه صلى الله عليه وسلم يصلي فنزل ونزلت، وتركنا الحمار أمام الصف فما بالاه، وجاءت جاريتان من بني عبد المطلب فدخلتا بين الصف فما بالى ذلك.
“Aku dan seorang anak dari Bani ‘Abdil-Muthallib datang dengan mengendarai keledai, sedangkan pada waktu itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat. Lalu anak itu turun, dan aku pun juga turun (dari keledai). Kami meninggalkan keledai di depan shaff, dan beliau tidak menghiraukannya. Lalu, datanglah dua orang budak perempuan dari Bani ‘Abdil-Muthallib yang masuk di antara shaf, dan beliau pun tidak menghiraukannya” [selesai – lafadh dari Abu Daawud].
Sanadnya hasan. Riwayat ini tidak ada tambahan keterangan ketidakadaan ‘anazah atau sutrah di depan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Riwayat ini menunjukkan bahwa tambahan lafadh ‘tidak ada sesuatu pun di depan beliau (yang menjadi sutrah)’ dalam jalur Yahyaa bin Al-Jazzaar adalah tidaklah mahfudh.
Dikuatkan lagi, Shuhaib ini mempunyai mutaba’ah dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 1/219, Ibnu Abi Syaibah 1/278 & 280, Muslim no. 504, Abu Daawud no. 715, Ibnu Maajah no. 947, An-Nasaa’iy 2/64, Abu Ya’laa no. 2382, Ibnu Khuzaimah no. 832, dan yang lainnya; semuanya dari Sufyaan bin ‘Uyainah, dari Az-Zuhriy, dari ‘Ubaidullah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata :
كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي بعرفة. فجئت أنا والفضل على أتان. فمررنا على بعض الصف. فنزلنا عنها وتركناها. ثم دخلنا في الصف
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di ‘Arafah[4]. Lalu aku datang bersama Al-Fadhl dengan mengendarai keledai betina. Kami lewat di sebagian shaff. Lalu kami turun dan meninggalkan keledai itu, yang kemudian kami masuk ke dalam shaff” [selesai – lafadh Ibnu Maajah].
Sufyaan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah (107-198 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 395 no. 2464].
Az-Zuhriy, ia adalah Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang faqiih, haafidh, lagi mutqiin (50/51/56-123/124/125 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 896 no. 6336].
‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’uud Al-Hudzaliy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi tsabat (w. 94/97 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahihnya [idem, hal. 640 no. 4338].
Riwayat ini shahih.
[catatan kecil : Ibnu ‘Uyainah dalam riwayat ini mempunyai mutaba’ah dari Maalik sebagaimana akan dibahas pada hadits no. 3 di bawah].
Ringkas kata, hadits yang dianggap sebagai syaahid tidaklah bisa dipergunakan sebagai syahiid (silakan lihat pada hadits no. 3 di bawah). Maka, hadits kedua ini pun masih tetap dengan kelemahannya.
Berbeda halnya dengan Al-Arna’uth yang menghukumi hadits kedua ini hasan li-ghairihi dengan adanya syaahid yang disebutkan di atas. Wallaahu a’lam.
3.        Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa
حدثنا إسماعيل بن أبي أويس قال: حدثني مالك، عن ابن شهاب، عن عبيد الله بن عبد الله بن عتبة، عن عبد الله بن عباس قال : أقبلت راكبا على حمار أتان، وأنا يؤمئذ قد ناهزت الاحتلام، ورسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بمنى إلى غير جدار، فمررت بين يدي بعض الصف، وأرسلت الأتان ترتع، فدخلت في الصف، فلم ينكر ذلك علي.
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Aus, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Maalik, dari Ibnu Syihaab, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas, ia berkata : “Aku datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat di Mina tanpa tidak menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada orang yang menyalahkanku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 76].
Hadits ini juga tidak sharih (jelas) bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan sutrah. Dinding/tembok adalah salah satu jenis dari sutrah. Penafikkan sebagian tidaklah mengkonsekuensikan penafikan semuanya sebagaimana dimaklumi dalam ushul.
Ilustrasinya : Dony adalah salah satu anak dari tiga orang anak yang dimiliki oleh Pak Noto. Jika dikatakan : Dony tidak ada di rumah, maka apakah itu berkonsekuensi anak-anak Pak Noto yang lain juga tidak ada di rumah ?.
Mina/’Arafah pada waktu itu memang belum mempunyai bangunan. Oleh karenanya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membawa ‘anazah (tombak kecil) yang ditancapkan di depannya yang beliau pergunakan sebagai sutrah.
Perhatikan hadits berikut :
حدثنا يزيد بن أبي حكيم حدثنا الحكم يعني ابن أبان قال: سمعت عكرمة يقول: قال ابن عباس قال : ركزت العنزة بيت يدي النبي صلى الله عليه وسلم بعرفات فصلى اليها والحمار يمر من وراء العنزة.
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Abi Hakiim : Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam – yaitu Ibnu Abaan - , ia berkata : Aku mendengar ‘Ikrimah berkata : Telah berkata Ibnu ‘Abbaas : "Al-‘Anazah (tombak kecil) ditancapkan di depan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di ‘Arafah. Beliau shalat dengan menghadap ke arahnya sementara keledai melintas di belakang tongkat tersebut" [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/243].
Yaziid bin Abi Hakiim Al-Kinaaniy, Abu ‘Abdillah Al-‘Adniy; seorang yang shaduuq (w. setelah 220 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 1073 no. 7753].
Al-Hakam bin Abaan Al-‘Adniy, Abu ‘Iisaa; seorang yang shaduuq lagi ‘aabid, namun mempunyai beberapa keraguan (w. 154 H pada usia 84 tahun) [idem, hal. 261 no. 1447].
‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w. 107 H dalam usia 80 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707].
Sanad riwayat ini hasan.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa nash-nash yang diangap sebagai pemalingan wajibnya sutrah kepada sunnah/penganjuran (saja) adalah lemah. Pendek kata, yang rajih, hukum memakai sutrah ketika shalat adalah wajib.
Apakah pendalilan dan perkataan ulama tentang permasalahan ini hanya yang tercantum di atas ? Tentu saja tidak. Masih banyak yang lain. Apa yang saya tuliskan – mungkin - hanya pengulangan atau penambahan dari artikel-artikel yang telah ada.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – nJakal, Jokja].


[1]        Adapun Maalik bin Anas rahimahullah mempunyai pendapat tersendiri :
ومن كان في سفر فلا بأس أن يصلِّي إلى غير سترة وأما في الحضر فلا يصلي إلا إلى سترة
“Barangsiapa dalam keadaan safar, maka tidak mengapa ia shalat tanpa menggunakan sutrah. Adapun jika ia dalam keadaan hadir (tidak safar), maka tidak boleh ia shalat kecuali menghadap ke sutrah” [Al-Mudawwanah, 1/289].
[2]        Penukilan adanya ijma’ ini nampaknya disepakati oleh Dr. Wahbah Az-Zuhailiy. Ia berkata :
هي سنة مشروعة، لقوله صلى الله عليه وسلم: « إذا صل أحدكم فليصل إلى سترة، ولْيَدْن منها، ولا يدع أحداً يمر بين يديه، فإن جاء أحد يمر، فليقاتله، فإنه شيطان »  
وليست واجبة باتفاق الفقهاء؛ لأن الأمر باتخاذها للندب، إذ لا يلزم من عدمها بطلان الصلاة وليست شرطاً في الصلاة، ولعدم التزام السلف اتخاذها، ولو كان واجباً لالتزموه.........
“Ia (sutrah) merupakan sunnah yang disyari’atkan berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Apabila salah seorang di antara kalian shalat, maka shalatlah menghadap sutrah, dan mendekatlah padanya. Dan jangan ia biarkan seorang pun untuk melintas di depannya. Apabila ada seseorang yang melintas, maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah syaithan’.
Sutrah itu bukan sesutau yang wajib menurut kesepakatan para fuqahaa’, karena perintah untuk menghadap sutrah itu adalah anjuran saja. Orang yang tidak menghadap shalat, maka batallah shalatnya; padahal sutrah bukan merupakan syarat dalam shalat. Salaf tidak selalu menggunakan sutrah. Seandainya hal itu wajib, niscaya mereka akan selalu menggunakannya…..” [Al-Fiqhul-Islaamiy, 1/752; Daarul-Fikr].
Namun, apa yang diklaim sebagai ijma’ oleh Ibnu Rusyd ataupun Az-Zuhailiy ini tidak lah benar.
[3]        Hadits ini lemah; lihat Tamaamul-Minnah oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy hal. 305.
[4]        Sebagaian riwayat menyebutkan : ‘Mina’.

Comments

Anonim mengatakan...

assalamu'alaykum.

artikel yang Alhamdulillah bermanfaat.
akhi, bisa tidak dalam artikel selanjutnya membahas mengenai posisi sujud (kaki atau tangan duluan turun ketanah) mana yang lebih kuat dalilnya.

jazakallahu khair.
wassalamu'alaykum.

aris munandar mengatakan...

Nukilan ijma juga disetujui oleh Syaikh Abdullah al Bassam.
Dalam Taudhih al Ahkam jilid 2 hal 65 terbitan Dar al Maiman Riyadh beliau mengatakan:
ووضع السترة سنة وليست واجبة بإجماع الفقهاء
Ustadz Abul Jauzaa tolong kutipkan perkataan Imam Ahmad tentang wajibnya sutrah dalam shalat, ada dimana perkataan beliau?
Apakah perkataan Ibnul Khuzaimah di atas tegas menunjukkan bahwa sutrah itu wajib menurut beliau?
Adakah perkataan tegas Ibnu Hazm tentang wajibnya sutrah?
Andai tidak ada pendapat Imam Ahmad tentang wajibnya sutrah maka nukilan ijma dalam masalah ini bisa kita maknai sebagai ijma fukaha sebelum Syaukani. Sehingga Syaukani dalam hal ini telah menyelisihi ijma fukaha yang ada sebelum beliau.

aris munandar mengatakan...

Syaikh Sholeh al Fauzan menilai pendapat yang mewajibkan sutrah dalam shalat adalah salah satu bentuk ghuluw dalam agama sebagaimana di link berikut ini:
http://ustadzaris.com/sikap-berlebihan-dalam-beragama
Sehingga kemungkinan besar beliau menerima nukilan ijma tentang tidak wajibnya sutroh dalam shalat.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tentang perkataan Ibnu Khuzaimah, secara pemahaman (saya), iya.

Mengenai Ibnu Hazm, maka saya mengambil faedah dari penjelasan Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Tamaamul-Minnah. Saya sendiri, secara khusus, belum meneliti secara tepat di bagian mana di Al-Muhallaa yang dimaksudkan oleh beliau ini.

Mengenai perkataan Imam Ahmad, maka saya membaca satu pembahasan di sahab, tepatnya : http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=363733.

Jika tetap dikatakan pendapat tidak wajibnya secara mutlak adalah ijma', lantas dimana posisi pendapat Imam Malik yang membedakan antara orang yang safar (tidak wajib) dan mukim (wajib) ?

aris munandar mengatakan...

Tepatkah andai kita katakan bahwa perkataan Imam Malik yang dikutip di atas hanya menunjukkan masyru' nya sutrah dan tidak menunjukkan wajibnya sutrah?
Kira-kira dari lafazh mana bisa kita simpulkan wajibnya sutrah dari perkataan Imam Malik ataupun dari perkataan Ibnu Khuzaimah?
Tepatkah jika kita katakan bahwa perkataan Ibnu Khuzaimah hanya menunjukkan masyru' nya sutrah dan tidak menunjukkan wajibnya sutrah?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Perkataan Imam Maalik :

وأما في الحضر فلا يصلي إلا إلى سترة

secara dhahir menunjukkan wajib, karena perkataan beliau sebelumnya menegaskan tidak mengapa tidak memakai sutrah ketika shalat jika sedang safar.

Adapun perkataan Ibnu Khuzaimah, sepemahaman saya itu bukan sekedar menunjukkan masyru'-nya sutrah (karena telah jelas). Namun perkataan beliau itu sedang menjelaskan penekanan pemakaian sutrah itu sendiri, yang nampak pada perkataan beliau :

وقد زجر صلى الله عليه وسلم أن يصلي المصلي إلا إلى سترة

Beliau, dalam perkataannya di atas, sedang menerangkan mengapa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak memakai sutrah ketika shalat di tanah lapang (yaitu karena ketiadaan sesuatu/bangunan yang bisa dipergunakan sebagai sutrah).

Wallaahu a'lam.

aris munandar mengatakan...

Mengenai pemahaman terhadap perkataan imam Malik coba bandingkan dengan kutipan di bawah ini:
ونقل عن مالك الأمر بها مطلقا ، وبه قال ابن حبيب واختاره اللخمي (5) .
(5) جواهر الإكليل 1 / 50 .
al Mausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah jilid 24 hal 178 terbitan Wizarah al Auqaf wa al Syuun al Islamiyyah Kuwait cetakan keempat 1430 H.
Dalam nukilan di atas dinyatakan bahwa pendapat Imam Malik dalam masalah sutrah shalat adalah sekedar memerintahkan untuk memakai sutrah secara mutlak tanpa menegaskan wajib ataukah tidak.Sehingga -berdasarkan nukilan di atas-kita tidak bisa memasukkan Imam Malik dalam jajaran ulama yang mewajibkan sutrah.
Menurut Ustadz Abul Jauzaa dimana letak kelemahan pemahaman para penyusun al Mausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah sehingga mereka tidak menyimpulkan bahwa pendapat Imam Malik adalah mewajibkan sutrah? Afiduna, Jazakumullahu khoiron.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kalau yang dimaksud perkataan Imam Maalik adalah yang di Al-Mudawwanah ini, maka saya kurang paham alasannya mengapa perkataan Imam Maalik hanya dibawa pada makna perintah mutlak. Jika memang ini perintah secara mutlak (tanpa menjelaskan wajib atau sunnah), niscaya pembedaan antara safar dan hadir tidak bermanfaat. Padahal, Imam Maalik mengatakan bahwa di waktu safar itu tidak mengapa tidak memakai sutrah (maknanya : tidak wajib); sedangkan di waktu hadir, maka tidak boleh shalat kecuali menghadap sutrah. Makna yang bisa dipahami dari perkataan ini adalah wajib memakai sutrah. Wallaahu a'lam.

Mungkin ada perkataan Imam Maalik lain yang lebih shaarih yang menjelaskan tentang hal ini selain dari Al-Mudawwanah.

Atau Ustadz Aris mempunyai penjelasan lain yang berbeda, sehingga saya bisa mengambil manfaat dengannya ? Janganlah pelit-pelit berbagi dan mengkoreksi jika ternyata yang saya pahami keliru.....

Wal-'ilmu 'indallaah....

aris munandar mengatakan...

Disamping menukil ijma fukaha tentang tidak wajibnya sutrah, Syaikh Abdullah al Bassam Taudhih al Ahkam jilid 2 hal 65 terbitan Dar al Maiman Riyadh, beliau juga menukil ijma salaf shalih tentang tidak wajibnya sutrah dalam shalat.
Beliau mengatakan:
ووضع السترة سنة وليست واجبة بإجماع الفقهاء ... ولأن السلف الصالح لم يلتزموا وضعها ولو كان واجبا لالتزموه
Apa ta'liq antum terkait dengan hal ini?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya, itu diambil secara makna dari kalam Syaikh 'Abdullah. Beliau mengatakan hal itu karena berpandangan mereka (as-salafush-shaalih) tidak melazimkan memakai sutrah.

Jika kita kembalikan pada riwayat, salaf kita yang paling mulia, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah melazimkan menggunakan sutrah bersamaan dengan sabda beliau agar kita tidak shalat kecuali dengan menghadap sutrah. Dhahir perkataan dan perbuatan beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam ini cukup menjadi hujjah bahwa sutrah itu wajib; yang tentu saja berbeda dengan 'ijma'' ini. Bagaimana bisa dikatakan ijma' dengan sebab salaf tidak melazimkan sutrah, sementara penghulu mereka melazimkannya ?. Ini yang pertama.

Yang kedua, tentang salaf itu sendiri. Apakah benar semua salaf tidak melazimkan sutrah ? Justru - sependek pengetahuan saya - para shahabat adalah orang-orang yang paling bersemangat shalat dengan sutrah-sutrah mereka. Saya yakin, ustadz Aris tidaklah sulit untuk mengetahui atsar-atsar shahih tentang hal ini....

Anyway,.. saya pribadi sangat menghormati qaul jumhur yang mengatakan ketidakwajiban memakai sutrah. Meskipun begitu, saya masih kurang 'sreg' jika hal ini dklaim sebagai satu ijma' (sharih).

Saya sangat berterima kasih jikalau antum sudi memberikan tambahan faedah setelah ini.

Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sedikit tambahan faedah mengenai khilaf hukum sutrah pada madzhab Maalikiyah :


وقال ابن ناجي: اختلف في حكم السترة على ثلاثة أقوال: الأول أنها مستحبة قاله عياض ومثله قول الباجي: مندوبة. الثاني سنة قاله في الكافي. الثالث واجبة خرجه ابن عبد السلام

[Mawaahibul-Jaliil, 2/233; Daaru 'Aalamil-Kutub, Cet. Thn. 1423].

Catatan kecil : Pendapat Ibnu 'Abdis-Salaam ini dibantah oleh Ibnu 'Araafah.

Anonim mengatakan...

Maaf ustadz ( berdua ) , kalau menulis maupun mengomentari dengan tulisan terjemahannya sekali , karena saya nggak paham bahasa arab namun saya sangat tertarik dengan isi maupun tambahan keterangan yang ada .

aris munandar mengatakan...

Jazakumullahu khoiron, sungguh tambahan faedah yang sangat berharga.
Saya sangat yakin, tentu ustadz Abul Jauzaa faham makna istilah takhrij dalam dunia fikih. jika pendapat wajibnya sutroh dalam mazhab malik adalah takhrij yang dilakukan oleh salah seorang ulama malikiyyah maka maknanya Imam Malik tidak memiliki pendapat yang menegaskan wajibnya sutrah dalam shalat. Sehingga, maaf, kesimpulan Ustadz Abul Jauzaa bahwa imam Malik adalah diantara ulama yang mewajibkan sutrah adalah suatu hal yang tidak tepat.
Menurut ulama malikiyyah wajibnya sutrah adalah takhrij dari qoul imam Malik. sedangkan, maaf, ustadz Abul Jauzaa menyimpulkan bahwa hukum wajib dalam hal ini adalah nash atau zhahir dari qoul Imam Malik.

aris munandar mengatakan...

Dalam link sahab yang disampaikan oleh Ustadz Abul Jauzaa terdapat faedah yang sangat berharga, yaitu:
قال الشيخ بازمول -حفظه الله و نفع به-:"حكم اتخاذ السترة هو الوجوب" و قال معلقا :"
و المراد بالوجوب هنا ما يساوي السنة المؤكدة عند الفقهاء و الأصوليين فلا يلزم منه بطلان الصلاة لمن ترك السترة عمدا دون عذر و لكن يخشى على صلاته النقص إذا قد مر بين يديه الشيطان ،أو البطلان بمرور الحائض أو الكلب الأسود أو الحمار كما جاء في الحديث. و إنما عبرت به لجريان أهل الحديث في جملة كثير من الأحكام على التعبير به مراعاة للأمر النبوي أو للفظ الحديث ،دون أن يكون مرادهم الوجوب الإصطلاحي عند الأصوليين،إذ الوجوب الإصطلاحي يقتضي بطلان العمل عند تعمد تركه دون عذرلأن فاعله أوقع العمل على غير ماأمر الله به فهو رد ." انظر كتاب "الترجيح في مسائل الطهارة و الصلاة " ص 157 طبعة دار الإمام أحمد.
Jadi makna wajib yang dimaksudkan oleh ulama yang mengatakan wajibnya sutrah intinya kembali kepada hukum sunnah muakkadah. Menurut ulama yang mewajibkan, meninggalkan sutrah tidaklah menyebabkan dosa akan tetapi dikhawatirkan nilai shalatnya menjadi berkurang. Ingat, dikhawatirkan bukan dipastikan.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sedikit saja saya tambahkan,.... Saya tidak pernah menyatakan bahwa Imam Maalik adalah ulama yang berpendapat wajibnya sutrah. Akan tetapi saya hanya mengatakan bahwa dalam hal ini Imam Maalik mempunyai pendapat tersendiri yang membedakan antara safar dan hadir. Oleh karena itu, saya tidak sepakat bahwa para ulama telah ijma' akan sunnahnya sutrah (secara mutlak) dalam shalat.

Menganai takhrij, saya menampilkan pendapat yang ada dalam madzhab Maalikiyyah bukan untuk menegaskan pendapat Imam Maalik itu sendiri. Adapun pendapat Imam Maalik adalah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Mudawwanah.

Mengenai penjelasan Syaikh Al-Bazmuul, ya seperti itulah penjelasan dan pendapat beliau dalam masalah ini.

Selebihnya, saya ucapkan jazaakallaahu khairan katsiiran atas faedahnya yang banyak di kolom artikel ini.....

Anonim mengatakan...

Ana pribadi tidak pernah merasa nyaman sholat tanpa sutrah, bahkan tidak khusyu. Yang membedakan kami dgn golongan lain di masjid tempat ana diantaranya adalah sutrah. Mereka selalu keheranan kalau melihat ana berjalan mendekat sutrah saat masbuk. Mungkin imam masjid tempat ana menganggap sutrah cuma sunah saja atau malah tidak tahu sama sekali. Ana setuju dengan ustadz abul jauza.

aris munandar mengatakan...

Maaf, jika saya salah dalam menyimpulkan. yang saya tangkap dari penjelasan Ustadz Abul jauzaa pendapat Imam Malik dalam masalah sutrah shalat adalah membolehkan (baca:mubah) tanpa sutrah dalam shalat ketika safar dan mewajibkan memakai sutrah ketika tidak safar. Jadi Imam Malik mewajibkan sutrah dalam shalat ketika tidak safar berdasarkan zhahir perkataan Imam Malik dalam al Mudawwanah.
Keimpulan bahwa Imam Malik itu mewajibkan sutrah jika tidak safar menurut hemat saya kurang tepat, dengan dua alasan:
1. tidak dijumpai lafazh dari perkataan Imam Malik di Mudawwah yang -menurut saya- menunjukkan secara kuat bahwa beliau mewajibkan sutrah ketika tidak safar.Yang ada, hanyalah kemungkinan.
2. Yang paling mengenal pendapat Imam Malik adalah para ulama malikiyyah. Jika kita memahami istilah takhrij dalam dunia fikih maka kita bisa membuat kesimpulan tentang pendapat Imam Malik mengenai sutrah dalam pandangan Malikiyyah.
Sekali lagi maaf, karena walhasil ternyata menurut Ustadz Abul Jauzaa Imam Malik bukanlah termasuk ulama yang mewajibkan sutrah dalam shalat secara mutlak, dalam kondisi apapun.Berarti penangkapan saya salah dan saya minta maaf kepada ustadz Abul Jauzaa.

aris munandar mengatakan...

Ulama yang mewajibkan sutrah:
1. Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, namun belum ada data yang valid tentang pendapat beliau
2. Ibnu Hazm, wafat tahun 456 H, ulama abad ke-5
3. Ibnu Khuzaimah, wafat tahun 311 H, ulama abad ke-4
4. Ibnu Hajar al Haitami, wafat tahun 973 H, ulama abad ke-10
5. Syaukani, wafat tahun 1250 H, ulama abad ke-13.
catatan:
Imam Malik tidak termasuk ulama yang mewajibkan sutroh dalam shalat-sebagaimana kesimpulan Ustadz Abul Jauzaa.
Kesimpulan saya pribadi, -sementara ini-:
Pendapat yang mewajibkan sutroh dalam shalat BARU MUNCUL setelah berlalunya masa salaf dan TIDAK ADA diantara ulama masa salaf yang termasuk ulama yang mewajibkan sutroh dalam shalat.
Jika demikian apa tidak lebih baik kita memilih pendapat yang ada di masa salaf saja? Mbok yo o, pendapat yang tidak ada di masa salaf kita tinggalkan saja jika itu adalah permasalahan yang sudah dibahas oleh para ulama di masa salaf.
Mohon pencerahan dari Ustadz Abul Jauzaa.

Anonim mengatakan...

Tambahan

masalah hukum sutrah bagi orang yg shalat bisa dilihat di

السترة للمصلي وأحكامها

http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=98375

Nuwun

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Ustadz Aris, terima kasih atas tambahannya yang sangat berharga. Tidak ada hal yang lebih saya senangi di kolom komentar ini selain faedah-faedah antum yang sangat murah mengalir di sini......

Akan tetapi, ijinkan saya mengemukakan pendapat saya :

Jika kita berpedoman dengan klaim ijma' yang mengatakan bahwa salaf tidak melazimkan memakai sutrah, justru perkataan dan perbuatan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam - sebagai sebaik-baik salaf - membatalkannya. Tidak ada riwayat shahih lagi sharih yang mendukung alasan ijma' tersebut dari beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam. Perbuatan beliau yang melazimkannya, dan perintah beliau yang menunjukkan asal kewajibannya bertentangan dengan klaim ijma' tersebut.

Mengenai Imam Maalik, saya melihat bahwa dhahir perkataan beliau menunjukkan wajibnya sutrah ketika hadir (dan tidak wajib ketika safar). Ditambah lagi, salah satu takhrij fiqhiy yang beredar di madzhab Maalikiyyah yang mengatakan wajib, yaitu dari Ibnu 'Abdis-Salaam; maka itu semua semakin menguatkan bahwa sunnahnya sutrah bukan merupakan satu ijma' dari kalangan salaf.

Wallaahu a'lam.

@Anonim,....terima kasih atas tambahannya (walau saya telah membaca hal itu sebelumnya).

aris munandar mengatakan...

Jika ustadz Abul Jauzaa tidak setuju dengan penjelasan Syaikh Bazmul tentang makna wajib dalam masalah sutroh. lalu apa makna wajib dalam masalah ini menurut Ustadz Abul Jauzaa? Apakah orang yang tidak memakai sutroh ketika shalat tanpa udzur-menurut ustadz Abul Jauzaa-telah melakukan berbuatan haram sehingga dia berhak mendapatkan dosa?

aris munandar mengatakan...

Apa ta'liq ustadz abul jauzaa terkait dengan kalimat "Mbok yo o, pendapat yang tidak ada di masa salaf kita tinggalkan saja jika itu adalah permasalahan yang sudah dibahas oleh para ulama di masa salaf"?
Demikian pula kalimat, "Jika ada pendapat fiqhi yang BARU MUNCUL setelah berlalunya masa salaf dan TIDAK ADA diantara ulama masa salaf yang mengatakannya PADAHAL para ulama salaf telah membahasnya maka lebih baik kita memilih pendapat yang ada di masa salaf saja" Jazakumullahu khoiron

Anonim mengatakan...

Sedikit tambahan lagi (mungkin ust abul jauzaa dan ust aris juga sudah baca, tapi gak apa-apa)

حكم السترة للمصلي

bisa baca di http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=210622

Nuwun

Anonim mengatakan...

@ust Aris

Satu lagi ulma' (sekarang) yang menguatkan pendapat wajibnya sutroh untuk orang yang shalat

adalah Syaikh Muhammad Amin As Syinqithi

http://www.shankeety.net/Alfajr01Beta/index.php?module=Publisher&section=Topics&action=ViewTopic&topicId=272&query=%E6%CC%E6%C8%20%C7%E1%D3%CA%D1%C9

Syukron

Anonim mengatakan...

Senang sekali menyimak para ustadz berdiskusi. Memperluas cakrawala berfikir bagi ikhwan-ikhwan yang masih mulai belajar. Semoga Allah meluaskan ilmu para ustadz dan para penuntut ilmu ahlussunnah.
Ada satu hal yang mengganjal dalam benak saya, apa bukti nyata bahwa salaf telah membahas masalah ini sehingga dikatakan salaf telah ijma tentang hanya disunahkannya sutrah. Saya sependapat dengan ustadz Abul Jauzaa bahwa penghulunya salaf telah memerintahkan orang yang shalat untuk memakai sutrah. Bukankah perintah menunjukan kewajiban jika tidak ada dalil yang jelas-jelas memalingkan, dan dari artikel di atas diperoleh data bahwa tidak ada dalil yang memalingkannya. Barakallahu lakum.

Hendra mengatakan...

Jika berpegang pada pendapat tidak wajibnya sutroh, berarti hukum melintas di depan orang solat juga mengikuti hukum sutroh tersebut, sehingga menjadi boleh-boleh saja?
Mohon pencerahan dari ustadz.

aris munandar mengatakan...

#anonim
Ulama salaf telah membahas hukum masalah sutroh, diantaranya adalah Imam Abu Hanifah sebagaimana telah dikutip oleh Ustadz Abul jauza dalam tulisan di atas.
Yang sedang saya cari adakah ulama salaf yang mewajibkan sutroh secara mutlak baik ketika safar ataupun ketika tidak safar.
Yang baru ditemukan saat ini-berdasarkan pemahaman ustadz Abul Jauzaa-adalah Imam Malik yang mewajibkan sutroh HANYA ketika tidak safar. adapun mewajibkan sutroh baik ketika safar ataupun tidak safar BELUM ditemukan ulama salaf yang menjadi pendahulu bagi pendapat ini.
Terlepas dari benar ataukah tidaknya nukilan ijma dalam masalah ini,pendapat yang BARU MUNCUL setelah masa salaf sedangkan masalah tersebut telah dibahas di masa salaf adalah pendapat yang patut kita pikir ulang untuk kita pilih.
Kita tentu yakin bahwa ulama salaf itu LEBIH BERILMU tentang Islam dibandingkan ulama setelahnya.

aris munandar mengatakan...

Faedah:
Nukilan ijma tentang tidak wajibnya sutroh juga dibawakan oleh Ibnu Qudamah.
ولا نعلم في استحباب ذلك خلافا-يعني اتخاذ السترة
Lihat al Mugni jilid 3 hal 80, tahqiq Dr Abdullah bin Abdul Muhsin at Turki terbitan Dar Alam al Kutub Riyadh.
kata-kata ya'ni ... berasal dari saya.
Saya tidak tahu mengapa Ustadz Abul Jauzaa tidak membawakan nukilan ini padahal beliau membahas pendapat Ibnu Qudamah tentang masalah sutroh dalam shalat.

Anonim mengatakan...

@ust Aris
Jazakalloh khair atas penjelasan antum

Apakah ulama sekarang (Syaikh Al Al Bani, Syaikh Muqbil, Syaikh Muhammad Amin As Syinqithi dan ulama lain) yang menguatkan pendapat wajibnya sutrah dengan dalil yang mereka bawakan tidak mengetahui pendapat salaf dalam masalah ini ?? sehingga mereka "berani" keluar dari pendapat salaf ??

Apakah ustadz Aris beranggapan bahwa masalah ini bukan masalah khilaf yang mu'tabar ??

Sehingga hendaknya berfikir ulang untuk memilih tentang wajibnya sutrah untuk orang yg shalat, (padahal dia juga sudah berusaha memahami dalil dan membandingkan dalil yang digunakan para ulama')


Disini, apakah tidak boleh ust Abul jauzaa menguatkan pendapat akan wajibnya sutrah ???


Jika ustadz berpendapat sutrah sunnah maka itu tidak mengapa, akan tetapi tidak bolehkah jika ada orang berpendapat wajibnya sutrah berdasarkan dalil yang ada dan ada ulama yang berpendapat demikian, bahkan ada ulama' yang berpendapat bahwa hal ini memeng perkara khilaf ??


terus apa dhawabit bahwa khilaf tersebut mu'tabar dan bukan ???

Syukron

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Diskusi ini sifatnya menjadi cyclic saja, ada beberapa hal yang esensinya diulang dengan kemasan kalimat berbeda.

@Ustadz Aris,... perkataan antum :

Saya tidak tahu mengapa Ustadz Abul Jauzaa tidak membawakan nukilan ini padahal beliau membahas pendapat Ibnu Qudamah tentang masalah sutroh dalam shalat.

Saya tidak tahu kapan saya membahas perkataan Ibnu Qudamah dalam artikel di atas atau dalam komentar sebelumnya. Tepatnya, saya menukil. Saya yakin kita paham bedanya antara menukil dan membahas. Jika seandainya ada yang bertanya pada saya, mengapa saya tidak menukil perkataan Ibnu Qudaamah di atas, maka saya akan katakan kepadanya : Saya menulis artikel di atas bukan untuk menurunkan semua perkataan ulama atau fuqahaa'. Bukan pula membahas secara detail semua dalil dan pendapat yang ada, dulu ataupun sekarang. Saya menulis hanya sesuai dengan kebutuhan. Bukankah rekan-rekan telah membaca tidak semua ulama yang saya sebutkan di atas saya tuliskan perkataannya ? Dan saya rasa, perkataan Ibnu Rusyd dan Dr. Wahbah telah cukup mewakili dari apa yang ingin saya sampaikan bahwa sebagian ulama dulu dan sekarang (kontemporer) ada yang mengatakan ijma' dalam permasalahan tidak wajibnya sutrah.

Selanjutnya,.... mari kita tengok (kembali) dan pahami bersama duduk permasalahan yang ada. Jumhur ulama - katakanlah begitu - yang berpendapat sunnahnya (tidak wajib) sutrah telah mengatakan ijma' dengan alasan : Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah shalat tanpa memakai sutrah. Di antara hadits-hadits yang terkuat yang mereka pergunakan telah saya tuliskan di atas. Jika seandainya gugur pendalilan mereka (dan itu telah saya tuliskan bahasannya di atas), apakah ijma' mustahabnya sutrah dalam shalat dalam hal ini punya sandaran ? Bagaimana bisa kita berpegang pada pendapat yang mengklaim ijma' namun tidak ditopang pendalilan yang 'pas' ? Oleh karena itu, konsekuensinya, ketika pendalilan mereka tidak berterima, maka itu kembali ke asal perintah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, yaitu wajib memakai sutrah ketika shalat. Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam telah melarang kita shalat, kecuali jika menghadap sutrah. Ini konsekuensi dari pemahaman salaf itu sendiri.

Dan sebagai catatan penting, sependek pengetahuan saya, klaim ijma' itu sebenarnya merupakan klaim ijma' sukutiy dari yang diucapkan muta'khkhirin, termasuk dalam hal ini Ibnu Qudaamah.

Tidak ada perkataan dari shahabat - lagi-lagi sependek pengetahuan saya - yang menyatakan bahwa sutrah itu hanya sunnah saja. Begitu juga sebaliknya, ia adalah wajib. Namun lihatlah atsar berikut :

Dari Qurrah bin 'Iyas, dia berkata: "'Umar telah melihat saya ketika saya sedang shalat di antara dua tiang, maka dia memegangi tengkuk saya, lalu mendekatkan saya kepada sutrah. Maka dia berkata: "Shalatlah engkau dengan menghadap kepadanya".

Inilah yang dilakukan shahabat 'Umar radliyallaahu 'anhu.

Dan yang lainnya.

Inilah yang dilakukan salaf kita.

Ringkasnya, jumhur ulama yang berpendapat sutrah itu adalah sebatas sunnah saja berdalil pada hadits-hadits yang lemah, atau hadits hahih namun tidak tepat digunakan sebagai hujjah.

Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dan sebagai tambahan info dari link yang disampaikan oleh al-akh @anonym di atas dari perkataan Asy-Syaikh Asy-Syinqithiy :

القول الثاني : وذهب الإمام أحمد في رواية ، ويحكى عن مالك أيضاً ، وهو مذهب داود الظاهري ، وبعض أصحاب الحديث-رحمة الله على الجميع- إلى القول بوجوب السترة .

"Pendapat kedua : Imam Ahmad dalam satu riwayat, dan juga dihikayatkan dari Maalik, Daawud Adh-Dhaahiriy, serta sebagian ashhaabul-hadiits - semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka semua - berpendapat wajibnya sutrah".

Akhirnya,... sampai saat ini saya masih sreg dengan pendapat yang menyatakan kewajiban sutrah bagi orang yang melaksanakan shalat.

Wallaahu a'lam.

Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan.

aris munandar mengatakan...

Jika kita katakan memakai sutrah itu wajib dalam pengertian orang yang tidak memakai sutroh itu telah melakukan perbuatan yang haram maka terdapat kaedah:
النهي يقتضي الفساد
Sehingga konsekuensinya, shalat orang yang tidak memakai sutroh itu BATAL alias tidak sah.
Jika kita katakan bahwa kaedah di atas hanya berlaku untuk larangan yang bersifat khusus maka larangan tidak bersutroh bagi orang yang shalat adalah larangan yang bersifat khusus. Sehingga seharusnya, kaedah di atas berlaku untuk kasus ini.
Mohon pencerahan dari ustadz Abul Jauzaa.

aris munandar mengatakan...

Saya tidak sreg dengan nukilan Syaikh Syinqithi mengenai wajibnya sutrah adalah salah satu pendapat Imam Ahmad dengan alasan sebagai berikut:
Ibnu Qudamah, beliau adalah beliau tentang mazhab Imam Ahmad meski demikian dengan tegas beliau mengatakan tidak ada khilaf tentang dianjurkannya sutroh. Andai memang ada satu riwayat (baca:pendapat) dari Imam Ahmad, saya yakin beliau tidak akan berani mengatakan demikian.
Mohon pencerahan dari Ustadz Abul Jauzaa.

Anonim mengatakan...

Al-Imam Malik rahimahullah pengarang kitab Al-Mutawaththa’,tidak mau menjadikan kitabnya sebagai patokan standar ilmu fiqih karena apa ? ya karena seperti yang beliau sampaikan bahwa sebuah pendapat bisa diterima atau di tolak kecuali pendapat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam tentunya.

Perpedaan pendapat dalam fiqih ini ( artikel ) ini semoga menambah wawasan ke ilmuan dan bukan bentuk saling memaksakan kehendak.

pak'e hanah mengatakan...

apa yang harus dilakukan seorang makmum masbuk ketika sedang menyempurnakan rekaat yang ketinggalan mendapati makmum yang ada di depannya (sebagai sutroh) pergi dari tempat duduknya? apakah dia harus maju/pindah mencari sutroh yang baru? adakah riwayat atau fatwa ulama terkait dengan hal ini.
syukron

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Jika ada sesuatu/seseorang yang dekat dengannya yang bisa ia gunakan sebagai sutrah, maka ia dapat bergeser menuju sutrah tersebut.

Jika tidak, maka ia tetap berdiri di tempat tersebut melanjutkan shalat dengan menahan orang yang akan lewat di depannya semampunya. Wallaahu a'lam.

abu wafa mengatakan...

quote :

Jika ada sesuatu/seseorang yang dekat dengannya yang bisa ia gunakan sebagai sutrah, maka ia dapat bergeser menuju sutrah tersebut

apa batasan 'dekat dengan sutrah', yg sy maksudkan adalah jarak ny?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sependek pengetahuan saya, tidak ada batasan penjelasan spesifik terkait pengkuantitatifan jarak. Bergeser di sini yang menyebabkan ia tidak banyak bergerak selain gerakan shalat. Wallaahu a'lam bis-shawwaab.

Anonim mengatakan...

Untuk pembahasan sutroh ini, kita bisa melihat di risalah

أحكام السترة في مكة وغيرها

Bisa didownload di

http://ia310828.us.archive.org/2/items/4368waq/4368.pdf

Kemungkinan ust aris dan ust abul jauzaa juga sudah pernah membacanya, tapi gak apa2, bisa untuk teman-teman yang lainnya


Syukron

Unknown mengatakan...

Setelah menyebutkan alasan dari pihak ulama yang mewajibkan sutroh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan, “Berbagai alasan yang dikemukakan oleh ulama yang menyatakan hukum memasang sutroh adalah sunnah dan mereka yang menyuarakan demikian adalah mayoritas ulama dinilai lebih kuat dan lebih rojih. Jika tidak demikian, maka kita kembalikan ke hukum asal sesuatu adalah baroatudz dzimmah yaitu terlepas dari kewajiban. Tidak boleh dihukumi wajib sampai ada dalil yang jelas dan memuaskan.”

Ditambah lagi ada klaim ijma’ dari Ibnu Rusyd dan Ibnu Qudamah yang menyatakan hukum sutroh adalah sunnah (bukan wajib). Yang ini tentu saja tidak boleh kita abaikan. Jika memang klaim ijma’ ini benar, maka tentu saja pendapat ulama setelah adanya ijma’ ini yang meragukan.

Satu kritikan lagi, dalam hadits Ibnu Abbas,
إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ
“(Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat) tanpa menghadap dinding”. Ulama yang mewajibkan sutroh mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan, “belum tentu beliau tidak menghadap sutroh yang lainnya.”

Sanggahannya: Apakah penafsiran (ulama yang mewajibkan sutroh) seperti ini berasal dari salaf ataukah hanya pendapat ulama belakangan (mutaakhirin)? Ulama salaf semacam Imam Asy Syafii jelas menafsirkan jidar dalam hadits tersebut dengan “sutroh”. Adakah ulama salaf (sebelum Imam Syafi’i) yang menafsirkan jidar dengan tembok seperti ulama yang mewajibkan sutroh pahami? Jika tidak, maka patut dipertanyakan penafsiran semacam itu dari ulama yang mewajibkan.

Barakallahu fiikum

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Yang benar, tidak ada ijma' dalam masalah ini. Silakan antum baca kembali apa yang tertulis di sini.

Mengenai hadits Ibnu 'Abbaas, itu juga telah dijawab. Pendalilan jumhur dalam hal ini lemah. Dalam ilmu ushul pun tidak bisa diterima yang semacam itu. Juga dalam hadits. Bukankah telah saya tulis, bahwa dalam jalur hadits yang lain dari Ibnu 'Abbaas telah dikatakan bahwa beliau shalat di 'Arafah dengan menancapkan 'anazah ? Yang menjadi asal hujjah itu riwayat atau pendapat ?

Anonim mengatakan...

syukron atas artikel ini dan diskusinya, ini bisa mnambah wawasan ana
afwan, mungkin pengetahuan ana msih dangkal tapi timbul pertanyaan di benak ana dari artikel dan diskusi d atas ,

1. yang mana kh lebih di dahulukan pendapat para ulama kah ( dengan berbagai tulisannya ) atau pendapat rasulullah ( dengan hadistnya )?

2. berkaitan dengan pertnyaan d atas, yang mana kah lebih di dahulukan hadist dla’iif kh atau hadist Shahih kh??

Mohon para ustad skalian bisa mnjelaskan dan memberikan pencerahan kepada saya .

afwan sebelumnya ustad,
jazakallah

Anonim mengatakan...

Seru sekali diskusinya. Alhamdulillah ana dapat banyak faedah dari diskusi dua orang ustadz kita ini -hafidlohumallah- baik dalam hal khilaf, adab, maupun cara memahami dalil.

Sekedar tambahan wacana tentang masalah ini, ada link menarik berikut: http://www.firanda.com/index.php/konsultasi/fiqh/69-benarkah-hukum-sutroh-adalah-sunnah-menurut-ijmak-ulama

Anonim mengatakan...

Untuk tambahan informasi dalam maslah ini (terutama tentang klaim ijma' ulama' akan mustahab-nya sutroh)

Kita bisa lihat tulisan Ustadz Firanda -semoga Alloh menjaganya-

di http://www.firanda.com/index.php/konsultasi/fiqh/69-benarkah-hukum-sutroh-adalah-sunnah-menurut-ijmak-ulama

Semoga kita dapat mengambil manfaat dari tulisan beliau

Syukron

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@anonim, terima kasih atas informasinya. Satu kehormatan tersendiri bagi saya apa yang didiskusikan di sini menjadi bahasan oleh beliau (Ustadz Firanda).

junedi mengatakan...

Assalamu'alaykum.. syukron atas ilmu nya .baarokallahu fiyk. http://tentarakecilku.blogspot.com/

Anonim mengatakan...

hmm.. Menarik diskusi kedua ahli.
Hanya saja dlm hal ini al akh 'PNS' lebih mendekati kebenaran ketimbang 'USTADZ'.

Kesimpulannya ; Klaim pemberi 'ilmu' itu hanya datang dr ustadz/guru adalah kurang tepat. Sy kurang sreg.

Banyak pelaku bisnis, PNS, praktisi non basic agama lebih cermat dlm menyampaikan & memahami dalil dan tepat dlm penggunaannya, ketimbang sebagian / bbrp yg jadi ustadz.
Duhai.. seandainya mereka lebih banyak mengabdikan ilmu dan kecerdasannya untuk masyarakat.

Anonim mengatakan...

afwan akh, komentar antum terlalu menyinggung....ilmu memang harus diambil dari ulama-ulama yang dikenal dan diketahui ilmu dan ketakwaannya...ini merupakan metode dan manhaj ulama salaf dalam menuntut ilmu, coba kita lihat biografi imam Al Bukhory, Imam Ahmad, Syafi'i atau di zaman kita Syaikh Ibn Baz, Ibnu 'Utsaimin dll...mereka memiliki guru-guru yang jelas...tapi bukan berarti juga kita menolak ilmu atau al haq yang datang dari ustadz yang tidak berguru langsung dengan ulama...masing-masing memiliki keutamaan atas jerih payah mereka dalam berdakwah insyaalloh...jangan dibanding-bandingkan karena termasuk su'ul adab atau adab yang jelek terhadap ustadz atau bahkan ulama....barokallohu fiikum

Anonim mengatakan...

Sifat Sutrah sendiri bagaimana ustadz, yang shahih menurut dalil? Apakah cukup tanda berupa garis di lantai / ujung kain sajadah atau harus memiliki dimensi tinggi & lebar tertentu?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sutrah dengan garis, dalilnya lemah.

Kalau yang antum maksud dengan sifat sutrah dalam hal ukuran, maka ukuran sutrah (tingginya) adalah satu hasta. Beberapa ulama mengatakan ini adalah tinggi minimal. Tentang lebar (minimal)-nya, saya belum mengetahui dalilnya, karena Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sendiri pernah bersutrah dengan 'anazah (tombak kecil). Tentu saja lebarnya itu hanya beberapa cm saja.

Namun jika yang antum maksud sifat secara umum, maka sutrah itu bisa dinding, tonggak kayu, atau yang semisalnya yang bisa kita jadikan pembatas dalam shalat.

wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Alhamdulillah, ada penjelasannya disini
http://firanda.com/index.php/konsultasi/fiqh/69-benarkah-hukum-sutroh-adalah-sunnah-menurut-ijmak-ulama

whoever mengatakan...

Bismillah.
Assalamu 'alaikum warahmatullah.
Ustadz Abul Jauzaa dan Ustadz Aris Munandar, saya ingin bertanya, dan mohon untuk dijawab secepatnya..

1. Saat seseorang masbuk dan tertinggal rakaat, apakah orang tsb harus berjalan beberapa langkah kedepan untuk mendekati sutroh saat shalat?

2. Dan hadits ini

عن أبي سعيد الخدري قال : قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم: إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة وليدن منها
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap ke sutrah dan mendekatlah padanya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 698].

Apakah hadits menunjukkan bahwa mendekat kepada sutroh itu dilakukan dalam shalat (berjalan ringan menuju sutroh), atau mendekati sutroh sebelum shalat ?

Mohon untuk diawab, jazakumullahu khair.
Mohon dijawab, semoga allah melimpahkan berkah-Nya kepada kita semua yang sedang mencari ilmu

Luthfi Abdu Robbihi mengatakan...

وَقَوْلُ ابْنِ الْعِمَادِ (يَنْبَغِي تَفْضِيلُ الطَّيْلَسَانِ عَلَى الرِّدَاءِ) فِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّ مَصْلَحَةَ الرِّدَاءِ أَعْظَمُ، فَالْأَوْجَهُ مَا اقْتَضَاهُ كَلَامُهُمْ مِنْ تَفْضِيلِ الرِّدَاءِ.
هَذَا كُلُّهُ إنْ وَجَدَ سُتْرَةً فِي صَلَاتِهِ، فَأَمَّا إذَا لَمْ يَجِدْهَا وَلَا أَمْكَنَهُ الْخَطُّ الْمُحَصِّلُ لِفَضْلِهَا فَهَلْ الْأَوْلَى جَعْلُهُ سُتْرَةً يُصَلِّي إلَيْهِ أَوْ زِيَادَةُ التَّجَمُّلِ بِهِ؟ كُلٌّ مُحْتَمَلٌ.
وَاَلَّذِي يَتَّجِهُ الْأَوَّلُ؛ لِأَنَّ السُّتْرَةَ وَاجِبَةٌ عِنْدَ جَمَاعَةٍ مِنْ الْعُلَمَاءِ؛ وَلِأَنَّ الْأَحَادِيثَ دَالَّةٌ عَلَى أَنَّهُ إذَا لَمْ يَضَعْ السُّتْرَةَ ضَرَّهُ مَا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ لِتَقْصِيرِهِ.

saya tertarik dengan ungkapan Ibnu hajar al-Haitami diatas.

Apakah wajib ini pendapat Ibnu Hajar al-Haitami?

Sepertinya kok tidak, beliau hanya sedang membicarakan bahwa Sutrah itu ada yang mengatakan wajib.

Abu Zuhriy mengatakan...

Ustadz tentang lafazh

بَيْنَ يَدَيْهِ

apakah termasuk juga dalam lafazh tersebut, orang yang 'melintasi' beberapa meter dihadapan seorang yang shalat tanpa sutrah ?

berikut ilustrasinya

<- (orang yang melintas)


(tempat sujudnya tanpa sutrah)

(orang yang shalat)

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

saya tidak paham maksud antum

Abu Zuhriy mengatakan...

Maksudnya "batasan" orang yang melintasi sutrah ustadz...

- apakah yg dinamakan ''melintasi" adalah melitasi antara seseorang dan tempat sujudnya (yaitu melintasi TEPAT dihadapannya) ?

- atau termasuk juga, kita dikatakan "melintasi" jika lewat dihadapan orang yang tidak bersutrah, akan tetapi agak berjauhan dari tempat sujudnya.

(Agak sulit dijelaskan, hhe)

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Batasannya adalah ukuran tempat sujud shalat (kurang lebih tiga hasta). Gak masuk akal juga kan kalau misalnya gak ada batasannya, misalnya 100 m di depan orang yang shalat (maaf, terlalu hiperbolik).

Anonim mengatakan...

Maaf ustadz, apakah berarti boleh melintas di depan orang solat tanpa sutroh pada jarak lintasan dengan orang tersebut 5 meter misalnya?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Boleh

Anonim mengatakan...

Ustadz, nyambung pertanyaan anonim 5 Februari 2013 06.59,
Dari jawaban ustadz sebelumnya bahwa batasan boleh melintas di depan orang solat tanpa sutroh adalah 3 hasta. Jadi asalkan lebih dari 3 hasta boleh melintas di depannya. Lalu apa faedahnya dengan memasang sutroh yang jaraknya juga 3 hasta?
Pemahaman saya, kalau orang solat tidak pakai sutroh, maka ruang kosong (garis lurus imaginer) di depan orang tersebut tidak boleh dilewati (memang jadi kabur, berapa batasannya).
Apakah pemahaman saya ini salah, mohon diluruskan.
Terimakasih sebelumnya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ketika nash mengatakan bahwa orang yang shalat wajib memasang sutrah di depannya, maka tinggal dilakukan.

Adapun ukuran 3 hasta itu juga didasarkan contoh dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang dikatakan Bilaal radliyallaahu 'anhu :

كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِدَارِ ثَلَاثَةُ أَذْرُعٍ

"Jarak antara beliau dan tembol (ketika shalat) adalah 3 hasta" [shahih].

Faedah pertama dan utama memasang sutrah dengan jarak tiga hasta adalah mencontoh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Faedah lainnya adalah bahwa jarak 3 hasta tersebut merupakan ukuran sujud kita yang orang tidak boleh melewatinya. Dalam rentang ukuran tersebut, seseorang sanggup untuk menolak orang lain yang hendak lewat di depannya ketika shalat, sebagaimana perintah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam :

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنّمّا هُوَ شَيْطَانٌ

“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang menutupinya dari manusia (menghadap sutrah), lalu ada seseorang ingin melintas di hadapannya, hendaklah ia menolaknya pada lehernya. Kalau orang itu enggan untuk minggir (tetap memaksa lewat) perangilah (tahanlah dengan kuat) karena ia hanyalah setan" [Muttafaq 'alaih].

Orang yang tidak memasng sutrah, meskipun shalatnya sah, namun ia telah menyelisihi perintah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

wallaahu a'lam bish-shawwaab.

Anonim mengatakan...

Terimakasih ustadz atas jawabannya, isnyaAllah menambahkan ilmu bagi saya.
Mengenai hukum sutroh, saya juga lebih berpegang pada pendapat yg mewajibkannya. Mungkin yang saya tekankan di sini justru kepada orang yang melintas di depan orang yang solat tanpa sutroh. Selama ini saya selalu menahan diri untuk tidak melintas di depan orang yang solat tanpa sutroh, meskipun jalur yang akan saya lewati sampai 5 meter atau bahkan lebih. Alhamdulillah dengan penjelasan ustadz ini lebih meringankan.
Jazakallahu khairan.

Jellyfish mengatakan...

Bismillah,
Akh, mau tanya, apakah kalau kita menjadi makmum masbuk, setelah imam selesai apakah kita maju ke samping imam, dikarenakan kita sudah sholat sendiri/