Apakah Membayar Zakat Fitrah/Fithri dengan Uang Merupakan Satu Kebid’ahan dalam Agama ?


Tanya : Apakah membayar zakat fitrah dengan uang merupakan satu kebid’ahan dalam agama ?
Jawab : Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Jumhur ulama mengatakan tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah (fithri) berupa uang. Inilah yang dipegang kuat oleh Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, Hanabilah, dan Dhahiriyyah. Sedangkan ulama lain, seperti Al-Hasan Al-Bashriy, ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, Ats-Tsauriy, Abu Haniifah, dan yang lainnya; berpandangan boleh mengeluarkan zakat fitrah (fithri) dengan uang.

Dalil Pokok Madzhab Pertama
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad bin As-Sakan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Jahdlam : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ja’far, dari ‘Umar bin Naafi’, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri di bulan Ramadlan kepada manusia; satu shaa’ tamr (kurma) atau satu shaa’ gandum atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan wanita dari kalangan umat muslimin. Dan beliau pun memerintahkan agar mengeluarkannya sebelum orang-orang keluar mengerjakan shalat (‘Ied)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1503].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي سَرْحٍ الْعَامِرِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Iyadl bin ‘Abdllah bin Sa’d bin Abi Sarh Al-‘Aamiriy, bahwasannya ia mendengar Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu berkata : “Dulu kami mengeluarkan zakat fithri (sebanyak) satu shaa’ makanan, atau satu shaa’ gandum, atau satu shaa’ tamr (kurma), atau satu shaa’ keju, atau satu shaa’ anggur kering (kismis)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1506].
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ الدِّمَشْقِيُّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ السَّمْرَقَنْدِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا مَرْوَانُ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو يَزِيدَ الْخَوْلَانِيُّ وَكَانَ شَيْخَ صِدْقٍ وَكَانَ ابْنُ وَهْبٍ يَرْوِي عَنْهُ حَدَّثَنَا سَيَّارُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ مَحْمُودٌ الصَّدَفِيُّ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
Telah menceritakan kepada kami Mahmuud bin Khaalid Ad-Dimasyqiy[1] dan ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan As-Samarqandiy[2], mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Marwaan[3] - ‘Abdullah berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Yaziid Al-Khaulaaniy[4], ia seorang syaikh yang jujur, dan Ibnu Wahb meriwayatkan darinya : Telah menceritakan kepada kami Sayyaar bin ‘Abdirrahmaan[5] - : Mahmuud berkata : Ash-Shadafiy, dari ‘Ikrimah[6], dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan perkataan yang tidak senonoh, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1506; hasan].
Sisi pendalilannya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri bagi kaum muslimin dengan menyebut jenisnya. Jenis-jenis yang disebutkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut merupakan jenis-jenis makanan pokok. Semua jenis makanan pokok bagi satu penduduk negeri dapat diqiyaskan dengan hal-hal tersebut (misalnya : beras). Suatu kewajiban jika telah ditentukan jenisnya, maka tidak boleh diganti dengan selainnya. Apalagi dalam riwayat Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa telah disebutkan salah satu tujuan pengeluaran zakat fithri tersebut adalah sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Tidaklah tercapai tujuan tersebut kecuali dengan penunaian berupa bahan makanan pokok.
Pendalilan lain yang dipakai adalah bahwa di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam uang (berupa dinar dan dirham) telah tersebar dan dipakai, namun beliau tidak pernah memerintahkan mengeluarkan zakat berupa uang dan tetap menyebutkan beberapa makanan pokok yang tertera dalam hadits di atas.
Dalil Pokok Madzhab Kedua
Allah ta’ala berfirman :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” [QS. At-Taubah : 103].
Ayat ini sebagai dalil bahwa asal dari kewajiban zakat yang diambil adalah (pada) harta/maal. Dan asal dari harta adalah apa-apa yang dimiliki berupa emas dan perak.
Penjelasan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang zakat fithri dengan gandum dan kurma hanyalah untuk sekedar memudahkan dalam memenuhi kebutuhan, dan bukan membatasi jenisnya.
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ فَقِيلَ مَنَعَ ابْنُ جَمِيلٍ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فَقِيرًا فَأَغْنَاهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا قَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَمَّا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَعَمُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهِيَ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ وَمِثْلُهَا مَعَهَا
Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib : Telah menceritakan kepada kami Abuz-Zinaad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikan shadaqah (zakat). Lalu dikatakan kepada beliau bahwa Ibnu Jamiil, Khaalid bin Al-Waliid, dan 'Abbaas bin 'Abdil-Muthallib tidak mau mengeluarkan zakat. Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Mengapa Ibnu Jamiil tidak mau mengeluarkan zakatnya sebab dahulunya dia faqir namun kemudian Allah dan Rasul-Nya menjadikannya kaya? Adapun Khaalid, sungguh kalian telah mendhalimi Khaalid, karena dia telah mewaqafkan baju-baju besi dan peralatan perangnya untuk berjuang di jalan Allah. Adapun 'Abbaas bin 'Abdul Muthallib dia adalah paman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, namun demikian dia tetap wajib berzakat dan yang semisalnya selain itu" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1468].
Sisi pendalilannya adalah bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membolehkan bagi Khaalid untuk membuat perhitungan bagi dirinya yang senilai dengan zakat yang diwajibkan kepadanya.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنْ الْإِبِلِ صَدَقَةُ الْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنْ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الْحِقَّةُ وَعِنْدَهُ الْجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْجَذَعَةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Tsumaamah : Bahwasannya Anas radliyallaahu ‘anhu telah menceritakan kepadanya : Bahwa Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu pernah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya shallallaahu 'alaihi wa sallam, yaitu : "Barangsiapa yang memiliki onta dan terkena kewajiban zakat jadza'ah sedangkan dia tidak memiliki jadza'ah dan yang dia miliki hanya hiqqah; maka dibolehkan dia mengeluarkan hiqqah sebagai zakat, namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah sedangkan dia tidak memiliki hiqqah namun dia memiliki jadza'ah; maka diterima zakat darinya berupa jadza'ah dan dia menerima (diberi) dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun; maka diterima zakat darinya berupa bintu labun, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqah; maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhadl; maka diterima zakat darinya berupa bintu makhadl, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1453].
Hadits di atas menunjukkan diperbolehkannya membayar zakat yang diwajibkan dengan sesuatu yang senilai dengannya. Qiyasnya, hal itu berlaku pula pada kewajiban zakat fithri.
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ أَوْ قَالَ رَمَضَانَ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ
Telah menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri, atau zakat Ramadlaan bagi setiap laki-laki maupun wanita, orang merdeka maupun budak; berupa satu shaa' kurma atau satu shaa' gandum". Kemudian orang-orang menyamakannya dengan setengah shaa' burr [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1511].
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ وَسُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَعَدَلَ النَّاسُ بَعْدُ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ قَالَ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يُعْطِي التَّمْرَ فَأُعْوِزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ التَّمْرَ عَامًا فَأَعْطَى الشَّعِيرَ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad[7] dan Sulaimaan bin Daawud Al-‘Atakiy[8], mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad[9], dari Ayyuub[10], dari Naafi’[11], ia berkata : Telah berkata ‘Abdullah (bin ‘Umar) : “Orang-orang menyamakan setelah itu dengan setengah shaa’ burr”. Naafi’ berkata : “’Abdullah memberikan kurma. Lalu penduduk Madinah pun kesulitan untuk mendapatkan kurma, lalu ia (‘Abdullah) memberikan gandum” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1615; shahih].
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعٍ مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعٍ مِنْ شَعِيرٍ قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَجَعَلَ النَّاسُ عَدْلَهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Laits. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Laits, dari Naafi’ : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mengeluarkan zakat fithri satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum”. Ibnu ‘Umar berkata : “Orang-orang menyamakannya dengan dua mudd hinthah (sejenis gandum)” [Diriwayatkan Muslim no. 984].
Sisi pendalilannya adalah : Para shahabat telah mengkonversikan satu shaa’ kurma dan gandum dengan setengah shaa’ burr (gandum berkualitas bagus) atau dua mudd hinthah. Ini sebagai dalil bolehnya membayarkan zakat fithri berdasarkan kesetaraan nilai.
[Jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada pendalilan padanya, karena dua riwayat di atas tetap menyebutkan bahan makanan; maka ini tidak bisa diterima. Jika pembayaran zakat fithri memang tidak boleh dengan nilainya/harganya, niscaya burr atau hinthah yang dibayarkan harus dengan takaran yang sama. Pembedaan pengkonversian antara beberapa jenis gandum dalam zakat fithri itu mengandung penjelasan bahwa pengkonversian tersebut didasarkan atas nilainya. Adapun disebutkannya burr atau hinthah, maka itu bukan pembatas dalam standar pengkonversian ini].
حدثنا أبو أسامة عن زهير قال سمعت أبا إسحاق يقول أدركتهم وهم يعطون في صدقة رمضان الدراهم بقيمة الطعام.
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah[12], dari Zuhair[13], ia berkata : Aku mendengar Abu Ishaaq[14] berkata : “Aku menjumpai mereka menunaikan shadaqah Ramadlaan (zakat fihtri) beberapa dirham senilai makanan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 3/174].
Maksud dari perkataan ‘menjumpai mereka’ adalah menjumpai para tabi’in dan sebagian shahabat, sebab Abu Ishaaq termasuk golongan tabi’iy pertengahan yang menjumpai beberapa orang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sanad riwayat ini lemah karena faktor penyimakan Zuhair dari Abu Ishaaq As-Sabii’iy adalah setelah ikhtilath-nya.[15] Akan tetapi ia mempunyai syawaahid dari riwayat berikut yang menguatkannya :
حدثنا وكيع عن قرة قال جاءنا كتاب عمر بن عبد العزيز في صدقة الفطر نصف صاع عن كل إنسان أو قيمته نصف درهم
Telah menceritakan kepada kami Wakii’[16], dari Qurrah[17], ia berkata : “Telah datang kepada kami kitab ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz[18] tentang zakat fithri sebanyak setengah shaa’ bagi setiap orang atau dengan nilainya/harganya seharga setengah dirham” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/174; shahih].
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz adalah amiirul-mukminiin yang termasuk generasi tabi’in pertengahan – semasa dengan Abu Ishaaq As-Sabii’iy. Sebagian shahabat pernah di bawah kepemimpinannya semasa ia menjadi gubernur Madinah. Ada kemungkinan bahwa perintahnya atas zakat fithri di sini ia berlakukan semenjak ia menjadi gubernur Madiinah hingga ia menjadi khalifah, wallaahu a’lam.
حدثنا وكيع عن سفيان عن هشام عن الحسن قال لا بأس أن تعطى الدراهم في صدقة الفطر
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan[19], dari Hisyaam[20], dari Al-Hasan[21], ia berkata : “Tidak mengapa diberikan berupa uang dirham dalam zakat fithri” [idem].
Al-Hasan Al-Bashriy termasuk tabi’iy pertengahan yang semasa dengan Abu Ishaaq As-Sabii’iy dan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz.
وقال طاوس: قال معاذ رضي الله عنه لأهل اليمن: ائتوني بعرض، ثياب خميص أو لبيس، في الصدقة، مكان الشعير والذرة، أهون عليكم، وخير لأصحاب النبي صلى الله عليه وسلم بالمدينة.
Dan telah berkata Thaawuus : Mu’aadz radliyallaahu ‘anhu pernah berkata kepada penduduk Yaman : “Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian khamiis atau pakaian lainnya sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik/bermanfaat bagi para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madinah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara ta’liq, dan disambungkan oleh Yahyaa bin Aadaam dalam Al-Kharaaj no. 525 dengan sanad shahih sampai Thaawuuus bin Kaisaan].
Tarjih
Pada asalnya, zakat fithri harus dibayarkan sesuai dengan jenis yang disebutkan dalam nash. Namun jika terpaksa, atau karena adanya kebutuhan dan maslahat yang kuat, maka diperbolehkan membayarkan zakat fithri dengan nilainya (uang atau yang lainnya). Inilah pendapat Ishaaq bin Rahawaih, Abu Tsaur, Ahmad dalam salah satu riwayatnya, serta pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah rahimahumullah. Ibnu Taimiyyah berkata :
والأظهر في هذا‏:‏ أن إخراج القيمة لغير حاجة ولا مصلحة راجحة، ممنوع منه؛ ولهذا قَدَّر النبي صلى الله عليه وسلم الجبران بشاتين، أو عشرين درهمًا، ولم يعدل إلى القيمة؛ ولأنه متى جوز إخراج القيمة مطلقًا، فقد يعدل المالك إلى أنواع رديئة، وقد يقع في التقويم ضرر؛ ولأن الزكاة مبناها على المواساة، وهذا معتبر في قدر المال وجنسه، وأما إخراج القيمة للحاجة أو المصلحة أو العدل، فلا بأس به، مثل أن يبيع ثمر بستانه، أو زرعه بدراهم، فهنا إخراج عشر الدراهم يجزيه، ولا يكلف أن يشتري ثمرًا، أو حنطة، إذ كان قد ساوي الفقراء بنفسه، وقد نص أحمد على جواز ذلك‏.‏
ومثل أن يجب عليه شاة في خمس من الإبل، وليس عنده من يبيعه شاة، فإخراج القيمة هنا كاف، ولا يكلف السفر إلى مدينة أخري ليشتري شاة، ومثل أن يكون المستحقون للزكاة طلبوا منه إعطاء القيمة؛ لكونها أنفع، فيعطيهم إياها، أو يرى الساعي أن أخذها أنفع للفقراء، كما نقل عن معاذ بن جبل أنه كان يقول لأهل اليمن‏:‏ ائتوني بخميص، أو لبيس أسهل عليكم، وخير لمن في المدينة من المهاجرين والأنصار‏.‏
“Yang lebih nampak benar dalam permasalahan ini adalah : Bahwasannya mengeluarkan (zakat) dengan nilai/harga tanpa kebutuhan ataupun maslahat yang kuat adalah terlarang. Oleh karena itu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan keputusan untuk zakat berupa dua ekor kambing atau duapuluh dirham. Dan beliau tidak langsung menyetarakannya dengan nilainya/uang. Sebab, jika diperbolehkan mengeluarkan zakat dengan nilainya/harganya secara mutlak, maka itu akan dapat menyebabkan pemilik harta menyamakannya dengan sesuatu yang jelek. Bahkan kadangkala hal ini menimbulkan dampak yang buruk, karena zakat dibangun atas asas memberikan sesuatu kepada orang lain. Hal ini hanya dianggap jika diberikan sesuai jumlah dan jenis harta itu sendiri. Adapun mengeluarkan zakat fithri dengan nilainya karena kebutuhan, kemaslahatan, atau keadilan, maka tidak mengapa. Misalnya (ada seseorang yang) menjual buah-buahan di kebun atau lahan pertaniannya dengan dirham. Dalam hal ini, jika orang tersebut mengeluarkan sepersepuluh (zakat pertanian) dari uang dirhamnya tersebut diperbolehkan. Ia tidak dibebani untuk membeli (dengan uang dirhamnya itu) buah-buahan atau gandum (dalam pembayaran zakatnya). Pada kondisi tersebut, orang-orang faqir telah mendapatkan kesamaan dalam zakat tersebut. Ahmad (bin Hanbal) telah mengatakan kebolehannya tentang hal itu.
Misalnya, seseorang yang diwajibkan padanya mengeluarkan zakat seekor kambing untuk (kepemilikan) lima ekor onta dimana pada saat itu tidak ada orang yang menjual kambing; maka membayar zakat dengan nilainya pada waktu itu diperbolehkan/mencukupi. Ia tidak dibebankan untuk bersafar ke kota lain hanya untuk membeli seekor kambing. Misal yang lain, ada beberapa orang mustahiq zakat yang meminta kepadanya agar diberikan uang. Karena dipandang lebih bermanfaat atau petugas zakat memandang memberikan uang lebih bermanfaat bagi orang-orang faqir; maka dalam hal ini diperbolehkan memberikan (zakat) dalam bentuk uang kepada mereka. Hal itu sebagaimana dinukil dari Mu’aadz bin Jabal ketika ia berkata kepada penduduk Yaman : ‘Berikanlah kepadaku baju khamiish atau pakaian lainnya, karena itu lebih mudah bagimu dan lebih baik bagi para shahabat Muhaajiriin dan Anshaar yang tinggal di Madinah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 25/82-83].
Inilah yang tampak dari pendapat Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah saat berkata :
ثم لو صح هذا الأثر لم يدل على قول أبي حنيفة أنه لا فرق بين القيمة والعين بل يدل لقول من يجوز إخراج القيمة مراعاة لمصلحة الفقراء والتيسير على الأغنياء وهو اختيار ابن تيمية
“Kemudian seandainya shahih atsar ini[22], maka hal itu tidak menunjukkan (kebenaran) perkataan Abu Haniifah yang tidak membedakan antara nilai/harga dan wujud fisik barang zakat. Bahkan perkataan itu menunjukan (kebenaran) orang yang mengatakan diperbolehkannya mengeluarkan harga/nilainya untuk menjaga kemaslahatan orang-orang faqir dan kemudahan bagi orang-orang kaya (dalam menunaikan zakat). Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah” [Tamaamul-Minnah, hal. 379].
Asy-Syaikh Abu Maalik dalam Shahih Fiqhis-Sunnah (2/84) dan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmuul dalam At-Tarjiih fii Masaailish-Shaum waz-Zakaah (hal. 145) juga merajihkan pendapat ini.
Inilah pendapat pertengahan – wallaahu a’lam – dengan melihat nash-nash yang ada.
Kembali pada pertanyaan di atas. Seandainya pun ada seseorang yang memegang perajihan pendapat jumhur tentang terlarangnya/tidak sahnya penunaian zakat fithri dengan uang, maka tidak boleh baginya menghukumi pendapat yang ia pandang marjuh (lemah) sebagai bid’ah. Tidak setiap pendapat yang lemah berkonsekuensi bid’ah. Apalagi dalam hal ini telah ternukil dari salaf yang membolehkannya.  
Oleh karena itu, hendaklah para ikhwan – apalagi mereka yang mengaku berinstisab pada madzhab salaf[23] (baca : salafy) – tidak bersikap gegabah dan tergesa-gesa dalam menghukumi sesuatu.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – bogor, 6 September 2010, 01:54 WIB].


[1]        Mahmuud bin Khaalid bin Abi Khaalid Yaziid As-Sulamiy Abu ‘Aliy Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah (w. 240 H dalam usia 73 tahun) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 924 no. 6553].
[2]        ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan bin Al-Fadhl bin Bahraam Ad-Daarimiy At-Tamiimiy Abu Muhammad As-Samarqandiy; seorang yang tsiqah, faadlil, dan mutqin (181-155 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 522 no. 3456].
[3]        Marwaan bin Muhammad bin Hassaan Al-Asadiy Ath-Thaathariy Abu Bakr/Hafsh/’Abdirrahmaan Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah (147/148-210 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 932 no. 6617].
[4]        Abu Yaziid Al-Khaulaaniy Al-Mishriy Ash-Shaghiir; seorang yang shaduuq [idem, hal. 1225 no. 8518].
[5]        Sayyaar bin ‘Abdirrahmaan Ash-Shadafiy Al-Mishriy; seorang yang shaduuq [idem, hal. 427 no. 2731].
[6]        ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w. 107 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707].
[7]        Musaddad bin Musarhad bin Musarbal bin Mustaurid Al-Asadiy Abul-Hasan Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 228 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [idem, hal. 935 no. 6642].
[8]        Sulaimaan bin Daawud Al-‘Atakiy; seorang yang tsiqah (w. 234 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 407 no. 2571].
[9]        Hammaad bin Zaid bin Dirham Al-Azdiy Al-Jahdlamiy Abu Ismaa’iil Al-Bashriy Al-Azraq; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih (95-179 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 268 no. 1506].
[10]       Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah (w. 131 H).Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 158 no. 610].
[11]       Naafi’ Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur (w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136].
[12]       Hammaad bin Usaamah bin Zaid Al-Qurasyiy Abu Usaamah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, kadang melakukan tadlis (w. 201 dalam usia 80 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 267 no. 1495]. Ibnu Hajar memasukkannya dalam tingkatan kedua mudallisiin, sehingga ‘an’anah yang dibawakannya tidak memudlaratkannya.
[13]       Zuhair bin Mu’aawiyyah bin Hudaij Abu Khaitsamah Al-Ju’fiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, kecuali riwayatnya dari Abu Ishaaq adalah dla’iif, karena ia mendengar riwayat darinya setelah ikhtilath-nya di akhir usianya/Abu Ishaaq (100-172/173 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 342 no. 2062].
[14]       ‘Amru bin ‘Abdillah Al-Hamdaaniy Abu Ishaaq As-Sabii’iy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, banyak haditsnya, ahli ibadah, namun berubah hapalannya pada akhir hayatnya (29/32-126/127/128/129 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 739 no. 5100].
[15]       Semula saya menyangka ia adalah Zuhair bin Muhammad At-Tamiimiy Al-‘Anbariy Abul-Mundzir Al-Khurasaaniy; seorang yang tsiqah, akan tetapi riwayat penduduk Syaam darinya lemah (w. 162 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 342 no. 2060] – karena bertaqlid kepada muhaqqiq kitab Mushannaf Ibni Abi Syaibah (Muhammad ‘Awwaamah, Daarul-Qiblah, Cet. 1/1427), sehingga saya mengatakan riwayat ini berkualitas shahih. Setelah melakukan pengecekan lebih lanjut, nampak bagi saya bahwa yang dimaksud dengan Zuhair di sini adalah Ibnu Mu’aawiyyah yang riwayatnya dari Abu Ishaaq mendapat kritikan banyak ulama.
Oleh karena itu, di sini saya akan meralat apa yang telah saya tulis dalam halaman facebook saya akan tashhiih riwayat tersebut. Wal-‘ilmu ‘indallaah.
[16]       Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah tsabat, lagi ‘aabid (127/128/129-196/197 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1037 no. 7464].
[17]       Qurrah bin Khaalid As-Saduusiy Abu Khaalid/Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi dlaabith (w. 155 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim [idem, hal. 800 no. 5575].
[18]       ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Marwaan bin Al-Hakam bin Abil-‘Aash Al-Qurasyiy Al-Umawiy Abu Hafsh Al-Madaniy; amiirul-mukminiin, yang sebagian ulama memasukkannya dalam jajaran Al-Khulaafaur-Raasyidiin (w. 101 H dalam usia 40 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 724 no. 4974].
[19]       Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqih (97-161 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 394 no. 2458].
[20]       Hisyaam bin Hassaan Al-Azdiy Al-Qurduusiy; seorang yang tsiqah (w. 146/147/148 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1020-1021 no. 7339].
Sebagian ulama ada yang mempermasalahkan riwayatnya dari Al-Hasan Al-Bashriy mursal, karena haditsnya dari Al-Hasan diambil melalui perantaraan Hausyab. Namun pendapat ini tertolak. Ibnu ‘Uyainah berkata : “Hisyaam adalah orang yang paling mengetahui tentang hadits Al-Hasan”. Hisyaam sendiri berkata : “Aku bertetangga dengan Al-Hasan selama 10 tahun” [Tahdziibul-Kamaal, 30/185]. Al-Bukhaariy pun menegaskan bahwa ia telah mendengar riwayat dari Al-Hasan dan ‘Athaa’ [At-Taariikh Al-Kabiir, 8/197 no. 2689]. Sesuai dengan kaidah yang ma’ruf bahwa yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang menafikkan. Karena dalam penetapan mengandung tambahan ilmu yang tidak dimiliki oleh pihak yang menafikkan.
[21]       Al-Hasan bin Abil-Hasan Yasaar Al-Bashriy atau lebih dikenal dengan nama Al-Hasan Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, faqiih, faadlil, lagi masyhuur (w. 110 H dalam usia 88/89 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 236 no. 1237].
[22]       Yaitu atsar Mu’aadz bin Jabal yang disebutkan oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq di atas.
[23]       Kami katakan : Bermadzhab salaf itu adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah !!!

Comments

Abu Ayaz mengatakan...

Alhamdulillah,
risalah yang sangat bermanfaat.
Ana ijin copas ya ustadz.
Jazaakallahu khayran.

deni mengatakan...

Ijin copas pak ustadz. Jazakallahu khaira

abu faris mengatakan...

jempols...!

aris munandar mengatakan...

قَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Diterjemahkan dengan:karena dia telah menghabiskan baju-baju besi dan peralatan perangnya untuk berjuang di jalan Allah.
Ini nampaknya kurang tepat, yang tepat adalah mewakafkan baju-baju besi ...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@ust. Aris,... antum BENAR, Abul-Jauzaa' SALAH. Saya kurang cermat dalam penterjemahan. Nanti jika telah dapat akses ke sambungan internet via desktop, segera saya perbaiki, karena saat ini hanya via hp.

Jazakallahu khairan.

Anonim mengatakan...

@mas abul-jauzza'
subhanalloh ..
afwan bkn mw membuat antum tinggi hati mas abul-jauzza' tp saya sangat senang dengan antum yg selalu mw menerima koreksi dan mengakui kesalahan ..
maju terus mas ..
barokallohufiik..

@ust.Aris
semoga Alloh menjaga antum dan para dai2 salafiyun yg lain ..
ust klo bs tolonk nulis ttg adab terhadap org yg baru knal donk krn ana sering liat beberapa ikhwan jogja "kurang" ramah dgn org yg baru knal padahal beberapa ikhwan ini sering nulis dibog mrka ttg pentinknya bermuka manis trhdp sesama muslim dan adab2 lain tp aplikasinya kurang..
barokallohufiik ..

Anonim mengatakan...

Akh Abul Jauzaa, mau tanya, antum sendiri pegang pendapat yang pertama atau yang kedua?

Jazakallaahu khoir. Artikel yang bagus. Baru tahu ana kalau ada ikhwan yang menganggap zakat fithr pakai uang itu bid`ah. Padahal, ini masuk wilayah rojih-majruh.

~Abu `Abdullaah~

Anonim mengatakan...

Jazakallah khair ustad,

Semoga semakin banyak ikhwan yang mengunjungi bloq antum , dan mengambil manfaat darinya.

Salah satu bentuk adab yang sering terjadi bi akhir bulan ramadhan.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Abu 'Abdillah,.... apa yang saya ketahui dan amalkan saat ini adalah yang tertulis di bagian tarjih.

abu wafa' mengatakan...

subhanalloh.benar2 artkl yg brmanfaat.ini sanggahn balik thd artkl di muslim.or.id.
Smoga ada diskusi yg menarik dsini.barokallohu fiik.

aris munandar mengatakan...

Maaf, sekedar tambahan info.
Membid'ahkan pembayaran zakat fitri dengan uang adalah zhahir perkataan Ibnu Utsaimin.
Dalam Majalis Syahri Ramadhan hal 273, cetakan kedua, Darul Hadits Mesir, Ibnu Utsaimin mengatakan:
ولا يجزئ إخراج قيمة الطعام لأن ذلك خلاف ما أمر به رسول الله وقد ثبت عنه أنه قال: من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد. وفي رواية: من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد. رواه مسلم وأصله في الصحيحين ومعني رد مردود.

Anonim mengatakan...

Sebagai tambahan informasi tentang mengeluarkan zakat fitri dengan uang

إخراج زكاة الفطر قيمتها من الدراهم

link http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=15034

Semoga bisa menambah ilmu kita

faidzin mengatakan...

Assalamualaikum,
Saya rasa membid'ahkan sesuatu yang menurut pemahaman kita berlawanan dengan sunnah tidak mengapa.
Antum pun ketika berpendapat di blog ini bahwa tidak masyru' qunut subuh terus menerus ternyata dengan nyata menyebut perbuatan tersebut sebagai bid'ah (pada artikel tersebut disebutkan juga bbrp atsar yang menyebut qunut subuh terus menerus sebagai bid'ah). Padahal di akhir artikel antum mengenai qunut, antum menyebut bahwa permasalahan qunut adalah khilaf ijtihadiyah.
Artinya memang tidak masalah jika kita mengatakan bid'ah walaupun permasalahan tersebut masuk ruang khilaf ijtihadiyah.
Begitu pula masalah zakat fitri. Ustadz Aris mengatakan bahwa zahir ucapan Syaikh Utsaimin mengatakan bid'ah. Ya.. tidak apa-apa toh, kita mengatakan bid'ah selama pengetahuan kita (dan tarjih kita) seperti itu.
Jadi pernyataan antum : "Seandainya pun ada seseorang yang memegang perajihan pendapat jumhur tentang terlarangnya/tidak sahnya penunaian zakat fithri dengan uang, maka tidak boleh baginya menghukumi pendapat yang ia pandang marjuh (lemah) sebagai bid’ah." Saya rasa kurang tepat.
Boleh saja kita mengatakan bid'ah jika tarjih kita mengatakan bahwa suatu masalah berlawanan dengan sunnah (sebagaimana tarjih antum dalam masalah qunut sehingga antum mengatakan qunut subuh terus menerus sebagai bid'ah).
Yang penting adalah sikap dan akhlaq kita terhadap khilaf tersebut. Para ulama telah banyak mencontohkan. Berapa banyak mereka yang menganggap bid'ah pendapat yang dikuatkan ulama lain. Tapi sikap mereka tetap baik terhadap ulama lain tersebut.

Btw, sebelum ini kita pernah berdiskusi ttg masalah lain di milis salafy itb, mungkin antum masih ingat saya. Ini kunjungan perkenalan saya ke blog. Soalnya saya juga baru bikin blog di ayahzaid.blogspot.com. Tapi blog saya hanya berisi tulisan iseng-iseng saja. Jauh kualitasnya dibandingkan blog antum.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Membandingkan persoaln ini dengn qunut Shubuh adalah perbandingan yang berbeda. Perkataan bid'ah dalam qunut Shubuh dikatakan oleh shahabat jalil radliyallaahu 'anhu.

Pertanyaan saya, adakah salaf dalam permasalahan ini mengatakan bid'ah terhadap pihak yang yang membolehkan mengeluarkan zakat fithri dengan uang ? Jika tidak ada, maka inilah maksud perkataan saya.

Penentuan bid'ah itu ada kaedahnya sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al-Jizaaniy (dalam buku Al-Qawaaidu fii Ma'rifatl-Bida'). Dan jika kita teliti kaedah-kaedah tersebut beserta penerapannya, maka tidak ada hal yang bisa masuk untuk katagori bid'ahnya membayar zakat dengan uang.

Jika antum atau yang lain condong pada pendapat Ibnu 'Utsaimin yang mengatakan bid'ah, maka itu hak antum. Dan antum telah melaksanakan apa yang memang menjadi hak antum untuk menyandarkan pendapat pada seorang ulama. No problemo...

Walau dalam hal ini, saya tetap tidak sepakat dengan klaim bid'ah ini, walau saya memposisikan diri pentarjihan pada artikel di atas adalah marjuh.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Agar tidak salah paham, pada artikel di atas, saya sama sekali tidak pernah memaksudkan tidak bolehnya menjudge bid'ah pada permasalahan khilafiyyah ijtihadiyyah.

Yang saya tekankan di sini hanyalah dalam permasalahan ketika tidak ada salaf atau ulama mutaqaddimiin yang mengatakan bid'ahnya membayar zakat fithri dengan uang - ditambah sebagian salaf telah melakukannya - , maka di sinilah letak ketidaktepatan klaim bid'ah itu.

Tidak setiap pendapat yang lemah itu otimatis menjadi bid'ah.

Jika ada orang yang membolehkan dirinya mengklaim seenaknya tentang bid'ah pada pendapat yang marjuh, niscaya kita akan banyak dapati perkara bid'ah pada perkataan-perkataan ulama dan salaf......

aris munandar mengatakan...

Penilaian bid'ah dari salaf secara umum ataupun shahabat secara khusus bukanlah sebuah harga mati. artinya boleh jadi penilaian tersebut keliru.
Atha' bin Abi Rabah, seorang tabiin, menilai istinja' dengan air itu bid'ah dan penilain beliau tidak tepat.
وقال عطاء : غسل الدبر محدث
Lihat al Mugni jilid 1 hal 208, tahqiq Dr Abdullah bin Abdul Muhsin at Turki terbitan Dar Alam al Kutub Riyadh.

aris munandar mengatakan...

Shahabat Nabi Abdullah bin Mughaffal menilai bid'ah membaca basmalah dalam shalat sebelum membaca alfatihah dan penilaian ini suatu hal yang kurang tepat.
وعن ابن عبد الله بن مغفل قال : ( سمعني أبي وأنا أقول بسم الله الرحمن الرحيم فقال : يا بني إياك والحدث قال : ولم أر من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم رجلا كان أبغض إليه حدثا في الإسلام منه فإني صليت مع رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم ومع أبي بكر ومع عمر ومع عثمان فلم أسمع أحدا منهم يقولها فلا تقلها إذا أنت قرأت فقل الحمد لله رب العالمين )
- رواه الخمسة إلا أبا داود
Nailul Authar jilid 1 juz 2 hal 561, Darul Hadits Mesir cetakan pertama 1421 H.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya sepakat dengan contoh yang antum sebutkan. Dan masih ada beberapa contoh lainnya.

Adapun jika yang antum maksud tertuju pada kalimat saya di artikel/kolom komentar di sini, maka yang saya maksudkan adalah ketika ada satu perselisihan mu'tabar di kalangan salaf dan tidak ada satu pun yang mengatakan pendapat yang marjuh di antara keduanya adalah bid'ah; maka di sinilah letak ketidaktepatan penisbatan bid'ah pada pendapat marjuh tersebut oleh muta'akhkhiriin.

aris munandar mengatakan...

Ibnu Umar berpendapat bahwa shalat dhuha adalah bid'ah meski beliau menilai bahwa itu adalah sebaik-baik bid'ah.
وعن مجاهد، قال: دخلت أنا وعروة بن الزبير المسجدَ، فإذا ابنُ عمر جالس عند حُجرة عائشة، وإذا الناس في المسجد يُصلون صلاة الضحى، فسألناه عن صلاتهم، فقال: بدعة،. وقال مرة: ونِعمَتِ البِدْعةُ.
Zadul Maad karya Ibnul Qayyim jilid 1 hal 342, terbitan Muassasah ar Risalah Beirut, cetakan keempat 1425 H

aris munandar mengatakan...

Termasuk definisi bid'ah yang paling bagus adalah definisi yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah.
Bisa dibaca di link berikut ini:
http://ustadzaris.com/memahami-bidah-dengan-benar
Jika berdasarkan definisi di atas, tepatkah menggolongkan qunut shubuh secara rutin sebagai bid'ah?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Contoh antum di atas ('Umar) adalah dalam kasus penetapan bid'ah sehingga bisa dikritisi ketepatannya. Jika ada dalil yang menafikkan ketidakbid'ahan, tentu saja klaim bid'ah itu tertolak. Dan saya kira, kita semua telah mengetahui dalil-dalil yang banyak tentang masyru'-nya shalat Dluhaa.

Adapun dalam kasus zakat fithri dengan uang, maka kasusnya berbeda. Ketika tidak ada ulama terdahlu yang menetapkan bid'ah - padahal perselisihan itu telah masyhur di kalangan mereka - , apakah tepat jika orang-orang setelah mereka menetapkan bid'ah padanya ?

Kembali tentang qunut Shubuh, memang menjadi tidak tepat jika kita kembalikan pada definisi Ibnu Taimiyyah, terutama sekali jika salaf ini kembali pada tiga generasi utama Islam. Namun, jika kembalikan lagi pada asal perkara, yaitu pada riwayat, maka didapatkan satu pengetahuan bahwa qunut Shubuh secara terus-menerus TIDAK DIKENAL di jaman shahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Ditambah lagi, penisbatan itu dikatakan oleh salah seorang shahabat. Dan perkataannya pun selaras dengan dalil (karena dalam satu atsar Ibnu 'Umar, ia pun menyatakan bahwa ia tidak menghapalnya dari kalangan shahabat), dan tidak ada satu pun dalil yang memalingkannya. Selaras pula definisi umum bid'ah yang disampaikan oleh Asy-Syaathibi. Tentu, ini berbeda halnya dengan kasus Ibnu 'Umar yang antum sebutkan. Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

gunn mengatakan...

ustadz,
apakah kitab Al-Qawaaidu fii Ma'rifatl-Bida' sudah ada terjemahan bahasa indonesianya?
saya punya softcopy nya,
tp krn bahasa arab yg msh blm bgitu bagus,
jd agak kesulitan mbacanya.
terima kasih,
jazaakallahukhoyr.

gunn mengatakan...

astaghfirullah,
berarti saya selama ini termasuk kategori ikhwan yg sudah gegabah tersebut.
(beginilah kalau orang msh bodoh dlm perkara agama)