Studi Kritis Hadits Taat Kepada Ali Berarti Taat Kepada Nabi


Telah ada pembahasan sebelumnya di Blog ini mengenai hadits yang bertema sebagaimana judul di atas.[1] Namun tidak mengapa jika pada kesempatan kali ini saya akan kembali mengulang apa yang telah dituliskan karena ada sebagian orang yang minim ilmu hadits ingin menshahihkan hadits ini dengan menempuh segala cara, walau dengan cara paling mengherankan.
Saya akan membawakan riwayat Al-Haakim dalam Al-Mustadrak :
أخبرنا أبو أحمد محمد الشيباني من أصل كتابه ثنا علي بن سعيد بن بشير الرازي بمصر ثنا الحسن بن حماد الحضرمي ثنا يحيى بن يعلى ثنا بسام الصيرفي عن الحسن بن عمرو الفقيمي عن معاوية بن ثعلبة عن أبي ذر رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله ومن أطاع عليا فقد أطاعني ومن عصى عليا فقد عصاني
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Ahmad Muhammad Asy-Syaibaaniy dari kitab induknya : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Sa’iid bin Basyiir Ar-Raaziy di Mesir : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ya’laa : Telah menceritakan kepada kami Bassaam Ash-Shairafiy, dari Al-Hasan bin ‘Amru Al-Fuqaimiy, dari Mu’aawiyyah bin Tsa’labah, dari Abu Dzarr radliyallaahu ta’ala ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang mentaatiku, maka sungguh ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka sungguh ia telah mendurhakai Allah. Barangsiapa yang mentaati ’Aliy, maka sungguh ia telah mentaatiku. Dan barangsiapa yang mendurhakai ’Aliy, maka sungguh ia telah mendurhakaiku” [Al-Mustadrak, 3/121].

Di antara kelemahan riwayat ini terletak pada :
1.    Yahyaa bin Ya’laa; ia adalah Al-Aslamiy Al-Qathawaaniy, Abu Zakariyyah Al-Kuufiy.
Ibnu Ma’iin berkata : “Tidak ada apa-apanya (laisa bi-syai’)”. Al-Bukhaariy berkata : “Mudltharibul-hadiits”. Abu Haatim berkata : “Dla’iiful-hadiits, tidak kuat (laisa bil-qawiy)”. Ibnu ‘Adiy memasukkannya dalam Al-Kaamil fidl-Dlu’afaa’ dan berkata : “Orang Kuffah yang termasuk Syi’ah mereka” [Tahdziibul-Kamaal, 32/52].
Kemudian,…. muncullah orang-orang yang menebarkan syubhat dengan merekayasa analisa dimana mereka mengatakan bahwa Yahyaa bin Ya’laa di atas bukan Al-Aslamiy, akan tetapi Al-Muhaaribiy – seorang yang tsiqah. Tidak lain dan tidak bukan mereka adalah orang-orang Syi’ah sebagaimana Pembaca bisa menduganya.
Sebenarnya sangat jelas bahwa Yahyaa bin Ya’laa ini adalah Al-Aslamiy. Terus terang saya tidak mengerti alur logika yang mereka bangun untuk menyangah. Berikut beberapa bukti yang menegaskannya :
Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal (32/51-52) saat menyebutkan orang-orang yang mengambil riwayat dari Yahyaa bin Ya’laa Al-Aslamiy, diantaranya ia menyebutkan :  Al-Hasan bin Hammaad Sajjaadah. Sajjaadah adalah nama masyhur dari Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy.[2] Akan tetapi saat menyebutkan orang-orang yang mengambil riwayat dari Yahyaa bin Ya’laa Al-Muhaaribiy, ia sama sekali tidak menyebut Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy [lihat Tahdziibul-Kamaal, 32/47-48].
Begitu pula saat Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal (6/130) menyebutkan guru-guru/syaikh dari Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy, diantaranya ia menyebutkan Yahyaa bin Ya’laa Al-Aslamiy. Ia tidak menyebutkan satu pun orang yang bernama Yahyaa bin Ya’laa Al-Muhaaribiy.
Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil (9/87-88 no. 2132) menyebutkan hadits di atas dengan sanadnya, dan meletakkannya dalam biografi Yahyaa bin Ya’laa Al-Aslamiy. Sebagaimana telah ma’ruf dalam ilmu hadits, seorang perawi lebih mengetahui hadits yang ia bawakan dari selainnya. Di sini Ibnu ‘Adiy – sebagai perawi hadits – telah menjelaskan bahwa Yahyaa bin Ya’laa dalam hadits tersebut adalah Al-Aslamiy.[3]
Ini merupakan bukti yang sangat kuat bahwa Yahyaa yang dimaksud adalah Al-Aslamiy, karena telah dibuktikan secara bolak-balik dalam penyebutan biografi Al-Aslamiy dengan Sajjaadah (Al-Hasan bin Hammaad Al-Hadlramiy) plus pernyataan Ibnu ‘Adiy atas identitas perawi yang ia riwayatkan.
Tidak disebutkannya nama Al-Aslamiy dalam jajaran murid (tilmidz) Bassaam Ash-Shairafiy, maka itu bukan hujjah, bukan pula pembatas, dengan qarinah yang saya sebutkan di atas. Justru riwayat ini sebagai hujjah atas kekurangan Al-Mizziy ketika menyebutkan murid-murid Bassaam bin ‘Abdillah dalam kitabnya. Betapa banyak nama guru atau murid seorang perawi yang tidak dituliskan dalam At-Tahdziib, namun terdapat/tercantum dalam riwayat-riwayat hadits.[4]
Orang yang mengatakan bahwa Yahyaa bin Ya’laa tersebut adalah Al-Muhaaribiy tidak pernah bisa membuktikan secara bolak-balik biografi guru-murid sebagaimana Al-Aslamiy, melainkan hanya satu arah saja. Padahal telah diketahui bahwa pembuktian bolak-balik adalah salah satu jenis pembuktian paling kuat dalam menentukan identitas seorang perawi.
2.    Mu’aawiyyah bin Tsa’labah. Al-Bukhaariy menyebutkannya dalam At-Kabiir (7/333 no. 1431) dan Ibnu Abi Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil (8/378 no. 1733) dimana keduanya tidak memberikan jarh maupun ta’dil. Ada dua orang yang meriwayatkan darinya, yaitu Abul-Jahhaaf Dawud bin Abi ‘Auf dan Al-Hasan bin ‘Amru Al-Fuqaimiy. Maka status Mu’aawiyyah ini adalah majhul haal atau mastuur.
Adapun dimasukkannya Mu’aawiyyah oleh Ibnu Hibbaan ke dalam kitab Ats-Tsiqaat-nya (5/416), maka ini tautsiq yang tidak lah dipandang selama tidak diikuti ulama yang lainnya, karena Ibnu Hibbaan ini terkenal dengan pentautsiqannya terhadap para perawi majhul. Sangat aneh jika ada yang mengikuti begitu saja pentautsiqan Ibnu Hibbaan ini sementara para ulama dulu dan sekarang ramai mengkritik Ibnu Hibbaan dalam masalah ini [lihat penjelasan sederhananya di : Taisiru ‘Ulumil-Hadits hal 144, 162-163; dan Taisiru Diraasatil-Asaanid hal. 133-134].[5]
Mu’aawiyyah ini termasuk golongan tabi’iy, bukan shahabat. Oleh karena itu, berlaku keumuman kaedah yang menolak riwayat perawi majhul haal, meskipun ia tergolong tabi’iin. Ini adalah madzhab jumhur muhadditsiin [lihat selengkapnya : Al-Khulaashah fii ‘Ilmil-Jarh wat-Ta’dil, hal. 118-119].
Bagaimana bisa ia dikatakan seorang yang hasanul-hadits ? Heran saya…..
Adapun berdalil dengan perkataan Al-Haitsamiy dalam Al-Majma' (9/135) yang menisbatkan pada Al-Bazzaar mengatakan bahwa hadits Abu Dzarr itu rijalnya tsiqah; maka perlu dikritisi; miminal ada dua :
Pertama, lafadh yang dibawakan Al-Bazzaar (Kasyful-Astaar 3/201) sedikit berbeda dengan lafadh hadits di atas. Lafadh Al-Bazzaar adalah : "Wahai 'Aliy, barangsiapa yang meninggalkanku, maka ia telah meninggalkan Allah. Dan barangsiapa yang meninggalkanmu wahai 'Aliy, maka ia telah meninggalkanku".
Kedua, sanad keduanya berkumpul pada Mu'aawiyyah bin Tsa'labah, perawi majhul.
Ini saja tambahan ringan dari apa yang pernah saya tulis sebelumnya. Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa' – 1431].


[2]     Lihat biografinya dalam Tahdziibul-Kamaal 6/129-133 no. 1219.
[3]     Anehnya, ada yang menolak pernyataan Ibnu ‘Adiy ini dengan alasan bahwa syaikh dari Al-Hasan bin Hammaad bukan hanya Al-Aslamiy, namun juga At-Taimiy. Ini lucu. Sudah disebutkan di atas bahwa murid (tilmidz) dari Yahyaa bin Ya’laa Al-Aslamiy adalah Al-Hasan bin Hammaad. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah Al-Aslamiy; bukan At-Taimiy.
Selain itu, pengetahuan Ibnu ‘Adiy akan hadits yang dibawakannya lebih dikedepankan dari selainnya. Kaidah asal ini hanya dapat dipalingkan jika ada qarinah yang kuat bahwa Ibnu ‘Adiy telah keliru dalam penyebutan biografi dan/atau hadits yang ia bawakan. Kenyataannya, orang yang menyanggah itu hanya berhujjah dengan asumsi. Jika logika asumsi itu dituruti, mungkin setiap orang dapat mengkritik hadits seenaknya saja tanpa ilmu dan kaedah yang dikenal para muhadditsiin. Oleh karena itu, tidak perlu kita hiraukan orang yang sok tahu yang menyatakan Yahyaa bin Ya’laa dalam sanad Ibnu ‘Adiy bukan Al-Aslamiy.
Telah menjadi satu tradisi : Meninggalkan yang telah jelas, mencari yang masih kabur.
[4]     Satu contoh kecil saja, Ishaaq Al-Azraq tidak masuk dalam jajaran murid Bassaam bin ‘Abdillah Ash-Shairafiy yang tertulis dalam kitab At-Tahdziib, padahal Al-Baihaqiy membawakan riwayat Ishaaq dari Bassaam dalam Al-Kubraa no. 20760. Begitu juga sebaliknya, Bassaam bin ‘Abdillah tidak masuk dalam jajaran syaikh (guru) dari Ishaaq Al-Azraq yang tertulis dalam At-Tahdziib.
Juga, Al-Hasan bin ‘Amru Al-Fuqaimiy ini tidak dituliskan sebagai murid Mu'aawiyyah bin Tsa'labah oleh Al-Bukhaariy, Ibnu Abi Haatim, maupun Ibnu Hibbaan dalam kitab biografi mereka. Namun kenyataannya dalam riwayat yang sedang dibahas ini, Al-Hasan mengambil riwayat dari Mu'aawiyyah bin Tsa'labah. Masih banyak contoh yang lainnya.
Intinya, pokok hujjah adalah riwayat.
[5]     Mungkin saja ada yang berlindung di balik nama Asy-Syaikh Ahmad Syaakir – padahal beliau dikritik keras para ulama hadits sejamannya atau setelahnya karena kaedah yang beliau terapkan dalam pen-tautsiq-an perawi.

Comments

Abu Zayd Al-'Ashriy mengatakan...

Assalaamu'alaykum

Ustadz, bagaimana cara membedakan siapa yang benar dalam kasus klaim "guru-murid" [maksudnya, mana yang benar si pemilik kitab jarh wa ta'dil atau si pemilik kitab hadits] semisal kasus diatas antara Bassaam dan tilmidznya. Kalau dalam kasus diatas kan enak sebab ada qariinah kuat dari Ibnu 'Adiy. Nah, bagaimana kalau dalam kasus lain yang tidak ada qariinah dalam hal ini[dengan asusmsi kasus dengan kondisi semacam ini pernah ada yakni kasus dengan tanpa qarinah]. Mudah2an pertanyaan ana jelas stadz, ana juga bingung menjelaskan maksud pertanyaan ana dengan kata2 secara terulis. Kalau ga jelas, ya sudahlah mungkin ana akan hubungi antum lewat YM, insyaa Allah...

Anonim mengatakan...

assalamualaikum..,afwan Ust kluar dr tema d atas..,ini tntng Hadits2 yg berkaitan dgn bulan Rajab,semua hadits tntng keutamaan Bulan rajab adalah lemah dan palsu, tp bagaimaa dgn Hadits yag diriwayatkan oleh Imam Muslim:
“Telah menceritakan pada kami Abubakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan pada kami AbduLLAAH bin Numairih, telah menceritakan pada kami Ibnu Numair, telah menceritakan pada kami ayah kami, telah menceritakan pada kami Utsman bin Hakim Al-Anshari berkata: Aku bertanya pada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab dan kami saat itu sedang berada di bulan Rajab, maka ia menjawab: Aku mendengar Ibnu Abbas -semoga ALLAAH meridhoi mereka berdua- berkata: Adalah Nabi -semoga shalawaat dan salaam senantiasa tercurah pada diri beliau- berpuasa (di bulan Rajab) sampai kami berkata nampaknya beliau akan mempuasai (bulan Rajab) seluruhnya, lalu beliau tidak berpuasa sampai kami berkata: Nampaknya beliau tidak akan mempuasai (bulan Rajab) seluruhnya.

bagaimana mengkompromikan hadits2 lemah n palsu dng hadits Shahih yg di keluarkan oleh Iman Muslim..,
Syukran, barakallahu fiek, ^_^

Anonim mengatakan...

Alhamdulillah ....
ini benar-benar majelis ilmu , semoga Allah meridloi antum semua .
Ana tunggu jawaban ustad atas pertanyaan ikhwan diatas.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Artikel di atas mendapat respon dari seorang Rafidliy. Namun seperti biasa, ia menganggap orang tidak memahami apa yang dikatakannya, padahal sebenarnya ia sendiri yang tidak paham apa yang sedang ia tulis dan bicarakan. Dan seperti biasanya pula, di sini akan saya komentari secara ringkas akan sebagian sanggahannya, dan Pembaca budiman dapat mengetahui dan menimbang-nimbang siapa sebenarnya berhujjah dengan sarang laba-laba.

Pokok hadits yang dibahas dalam artikel ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Mustadrak 3/121. Saya mengatakan bahwa Yahyaa bin Ya’laa adalah Al-Aslamiy sedangkan ia mengatakan Al-Muhaaribiy. Ditinjau dari segi hubungan dengan Al-Hasan bin Hammaad, maka yang masuk penilaian adalah Al-Aslamiy. Dalam Tahdziibul-Kamaal disebutkan bahwa daftar murid Al-Aslaamiy di antaranya Hammaad, dan di antara daftar guru Hammaad adalah Al-Aslamiy. Tidak ada ruang di sini untuk mengatakan Al-Muhaaribiy…... Ini point pertama agar Pembaca bisa memahaminya.

Kemudian ia berapologi bahwa selain Al-Aslamiy, di situ juga ada nama (Yahyaa bin Ya’laa) At-Taimiy, yang juga punya murid Al-Hasan bin Hammaad; dan dalam daftar guru Al-Hasan bin Hammaad pun ada nama At-Taimiy. Ini point kedua.

[sebagai catatan saja : ini bukanlah satu hal yang tidak saya ketahui menilik ia pun telah menyebutkannya dalam tulisannya terdahulu].

Untuk menyelesaikan permasalahan antara Al-Aslamiy dan At-Taimiy, maka kita menengok riwayat Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil yang juga membawakan sanad Al-Haakim di atas. Ia (Ibnu ‘Adiy) berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin Sa’iid Ar-Raaziy : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Hammaad Sajjaadah : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ya’laa, dari Bassaam bin ‘Abdillah Ash-Shairafiy, dari Mu’aawiyyah bin Tsa’labah, dari Abu Dzarr secara marfu’. Di sini Ibnu ‘Adiy meletakkannya pada biografi Al-Aslamiy. Bukan At-Taimiy, apalagi Al-Muhaaribiy. Sesuai dengan kaidah ma’ruf dalam ilmu hadits, bahwa pengetahuan perawi terhadap riwayat yang dibawakannya lebih didahulukan daripada selainnya. Maka, perkataan Ibnu ‘Adiy yang menyatakan Yahyaa bin Ya’laa iu adalah Al-Aslamiy adalah didahulukan. Dan itu sangat sesuai dengan pembuktian bolak-balik guru murid pada point pertama dan kedua.

Hujjah yang saya bangun pada artikel di atas dalam menentukan identitas Yahyaa bin Ya’laa adalah dengan tiga hal tersebut. Tiga hal tersebut adalah satu hal yang tidak terpisahkan.

Untuk menolong pendapatnya, ia pun membuat statement aneh bahwa Ibnu ‘Adiy dalam menetapkan Al-Aslamiy itu tidak punya hujjah. Persisnya ia berkata :

Telah kami katakan Ibnu Ady tidak menampilkan hujjah apapun.

Ya ini aneh. Justru perkataan Ibnu ‘Adiy itu merupakan hujjah dalam perselisihan ini….. kok sekarang ia mengatakan Ibnu ‘Adiy tidak menampilkan hujjah. Aneh bukan ? Sebenarnya kalimat yang lebih tepat : Ia lah yang tidak punya hujjah untuk menampik perkataan Ibnu ‘Adiy.
Kalau kita turuti keinginan orang Rafidliy itu, ya kaidah-kaidah ilmu hadits yang ma’ruf sebaiknya di-delete saja dan digantikan dengan kaidah-kaidah buatannya. [Terserah, barangkali kawan-kawannya ingin mengikuti dan memakainya ….].

Ibnu ‘Adiy mengetahui bahwa Yahyaa bin Ya’laa itu adalah Al-Aslamiy berasal dari gurunya, dan gurunya pun dari gurunya, dan seterusnya. Orang Rafidliy itu mungkin sadar bahwa sanggahannya tidak cukup untuk merobohkan bukti kuat ini, lalu ia pun melemahkan sisi guru Ibnu ‘Adiy yang bernama : ‘Aliy bin Sa’iid bin Basyiir Ar-Raaziy. Ia menukilkan perkataan Ad-Daaruquthniy yang melemahkan ‘Aliy bin Sa’iid. Persisnya ia berkata :

Daruquthni berkata “ia tidak kuat dalam hadis” dan terkadang Daruquthni berkata “ia meriwayatkan hadis-hadis yang tidak diikuti oleh yang lain”.

Ia mengambil sumber dari Liisaanul-Miizaan.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ini pun juga layak kita kritisi. Mengapa ia tidak membawakan perkataan lain dalam kitab Al-Liisaan yang membicarakan ‘Aliy bin Sa’iid ? Mungkin ia lupa bahwa ‘Aliy bin Sa’iid bin Basyiir Ar-Raaziy adalah perawi yang dipakai Al-Haakim dalam sanad hadits di atas yang ia sendiri mengisyaratkan keshahihannya….....

Namun sebelum itu, ada hal yang perlu saya sampaikan. Ia menterjemahkan perkataan Ad-Daaruquthniy : laisa bi-dzaaka dengan : “ia tidak kuat dalam hadits". Ini sebenarnya gak tepat-tepat betul. Dalam ilmu al-jarh wat-ta’dil, lafadh jarh laisa bi-dzaaka itu bisa bermacam-macam. Ia bisa bermakna derajat di bawah tsiqah, bisa berarti shaduuq, bisa bermakna tidak dijelaskan status itqan-nya karena sedikitnya hadits yang ia miliki, bisa bermakna layyin, bisa bermakna tidak kuat, dan lainnya [lihat Al-Khulashah, hal. 317-319].

Kembali ke status ‘Aliy bin Sa’iid, maka akan saya bawakan secara ringkas :

Ad-Daaruquthniy berkata : “Haditsnya tidak seperti itu (laisa fii hadiitsihi kadzaaka). Ia telah meriwayatkan beberapa hadits yang tidak ada mutaba’ah-nya. Ada hal yang tidak sreg pada diriku tentangnya. Shahabat kami di Mesir memperbincangkannya….ia itu seperti ini (sambil berisyarat dengan tangannya)”. Hamzah (pembawa riwayat Ad-Daaruquthniy) berkata : “Sepertinya ia tidak tsiqah” .
Catatan : Dalam Liisaanul-Miizaan, Ibnu Hajar menisbatkan perkataan ‘tidak tsiqah’ kepada Ad-Daaruquthniy; maka ini tidak benar, karena perkataan itu merupakan penafsiran dari Hamzah setelah melihat Ad-Daaruquthniy mengibas-ngibaskan tangannya.

Ibnu Yuunus berkata : “Ia adalah seorang yang punya pemahaman yang baik untuk memahami dan menghapal (hifdh). Ia termasuk dari kalangan ahli hadits yang agung/terhormat. Orang-orang memperbincangkannya”. Hamzah bin Muhammad Al-Kinaaniy mengatakan bahwa ‘Abdaan bin Ahmad Al-Jawaaliqiy mengagungkannya. Maslamah bin Qaasim berkata : “Tsiqah, termasuk orang yang berpengetahuan dalam hadits. Telah menceritakan kepadaku darinya lebih dari satu orang”. Adz-Dzahabiy berkata : “Al-Haafidh, al-baari’ (pandai)”.

[bisa dicek dalam : Mausuu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy, hal. 462 no. 2457, Taariikh Dimasyq 42/510-512, Liisaanul-Miizaan 5/542-543, dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 14/145-146].

Di sini dapat kita lihat bahwa ‘Aliy bin Sa’iid ini seorang yang tsiqah, tidak turun dari derajat hasan. Jarh Ad-Daaruquthniy adalah jarh yang ringan. Apalagi nampak bahwa jarh yang ia berikan didasarkan rekan-rekannya yang di Mesir telah membicarakannya. Orang-orang membicarakannya – kata Ibnu Hajar – disebabkan ia dekat dengan penguasa, bukan dari sisi haditsnya. Ibnu Yuunus adalah orang yang paling tahu tentang penduduk Mesir dari selainnya telah mensifatinya dengan kepahaman (fahm) dan hapalan. Apalagi Maslamah bin Qaasim secara jazm telah mentsiqahkannya.

Tidak ada alasan untuk menolak perkataan Ibnu ‘Adiy terhadap Yahyaa bin Ya’laa. Kembali ke kaidah asal : bahwa pengetahuan perawi terhadap riwayat yang dibawakannya lebih didahulukan daripada selainnya.

Apologi lain, orang Raafidliy itu mengqiyaskan kaidah pengetahuan perawi terhadap riwayat yang dibawakannya lebih didahulukan daripada selainnya; dengan tashhih dari Al-Haakim. Persisnya :

Lha Al Hakim itu sendiri adalah perawi yang meriwayatkan hadis ini dengan sanad yang salah satunya sama dengan sanad Ibnu Ady, ia justru menshahihkan hadis ini. Dengan logika yang sama maka kita dapat mengatakan kalau Al Hakim lebih mengetahui hadis yang ia bawakan daripada selainnya..

Qiyas ma’al-faariq. Logika tidak nyambung. Tashhih itu dihasilkan dari identifikasi perawi. Jika Al-Haakim menshahihkan sanad hadits di atas, maka yang jadi bahasan kembali ke : “Siapa gerangan Yahyaa bin Ya’laa dimaksud ?”. Apakah di sini Al-Haakim mengidentifikasi Yahyaa bin Ya’laa ? Tidak bukan ? Telah terbukti bahwa Yahyaa bin Ya’laa dalam sanad hadits yang diperbincangkan adalah Al-Aslamiy. Maka, tashhih ini jelas keliru, karena Al-Aslamiy ini dilemahkan para ahli hadits.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sampai di sini sebenarnya komentar ini telah selesai, karena telah jelas siapa sebenarnya Yahyaa bin Ya’laa ini dengan menggunakan sanad Al-Haakim dan Ibnu ‘Adiy. Yahyaa bin Ya’la yang menerima hadits dari Bassaam bin ‘Abdillah Ash-Shairafiy, dari Mu’aawiyyah bin Tsa’labah, dari Abu Dzarr; adalah Al-Aslamiy. Seorang perawi dla’if.

Orang Rafidlah tersebut berkata :

Logika yang kami bangun sebelumnya adalah dalam biografi Yahya bin Ya’la Al Muharibi seperti yang disebut dalam Tahdzib Al Kamal, Al Mizzi menyebutkan orang-orang yang mengambil riwayat dari Yahya bin Ya’la Al Muharibi diantaranya ia menyebutkan Al Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismail [Al Bukhari], keduanya adalah yang meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Ya’la. Akan tetapi saat menyebutkan orang yang mengambil riwayat dari Yahya bin Ya’la Al Aslamy, Al Mizzi sama sekali tidak menyebutkan Al Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismail..

Ia menuliskan kalimat-kalimat di atas untuk menyatakan bahwa logika yang ia bangun sama dengan logika pembuktian saya.

Para Pembaca budiman bisa menilai, apakah inti berpikir saya sama dengan dia ? Silakan baca ulang artikel di atas plus penjelasan tambahan di kolom komentar ini.

Jika ia menyebut orang-orang yang mengambil riwayat dari Al-Muhaaribiy adalah Al-Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismaa’iil; apakah dalam tulisannya tersebut telah ia nyatakan bahwa dalam jajaran guru Al-Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismaa’iil ada nama Al-Muharibiy ? Sepanjang yang saya ketahui : Tidak.


Adapun mengenai sanad lain; sebenarnya ini tidak fokus saya bahas, karena telah terjawab secara tidak langsung pada artikel di atas. Namun nampaknya orang Raafidliy tersebut tidak puas akan ketidakpahaman dirinya sehingga membuat logika-logika berputar untuk meyakinkan bahwa apa yang dituliskan telah benar. Tapi tidak mengapa jika saya sedikit menyinggungnya.

Tentang riwayat Khaitsamah bin Sulaimaan, maka ia meriwayatkan dari jalan : Ahmad bin Haazim : Telah memberitakan kepada kami Ahmad bin Shabiih Al-Qurasyiy dan Al-Hakam bin Sulaimaan Al-Habliy, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Ya’laa, dari Bassaam Ash-Shairafiy, dari Al-Fuqaimiy, dari Mu’aawiyyah bin Tsa’labah, dari Abu Dzarr secara marfu’.

Ahmad bin Shabiih dan Al-Hakam bin Sulaimaan mengambil dari satu orang yang sama (Yahyaa bin Ya’laa). Siapa Yahyaa bin Ya’laa dimaksud ? Pembicaraan tentang Yahyaa di sini sekaligus menjawab Yahyaa bin Ya’laa dalam sanad Abu Bakr Al-Ismaa’iliy dalam Mu’jamusy-Syuyuukh.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dalam biografi Al-Aslamiy disebutkan jajaran muridnya di antaranya Ahmad bin Shabiih, namun tidak Al-Hakam bin Sulaiman. Sebaliknya, jika kita melihat jajaran guru/syaikh dari Ahmad Shabiih, kita pun akan menemui Yahyaa bin Ya’laa Al-Aslamiy [Al-Jarh wat-Ta’diil, 2/56]. Ahmad, seorang yang shaduuq.
Dan dalam biografi Al-Muhaaribiy disebutkan jajaran muridnya adalah Al-Hakam bin Sulaimaan, namun tidak Ahmad bin Shabiih. Adapun Al-Hakam bin Sulaimaan, maka sampai saat ini saya belum mendapat keterangan tentangnya dan siapa gurunya.

Apapun itu, di sini juga semakin menguatkan penunjukkan Yahyaa bin Ya’laa itu adalah Al-Aslamiy karena ada kesesuaian dengan pembahasan sebelumnya. Tidak disebutkannya Al-Hakam bin Sulaimaan dalam jajaran murid Al-Aslamiy bukan merupakan hujjah untuk menolak Al-Aslamiy. Justru ini merupakan tambahan ilmu bahwa Al-Aslamiy juga punya murid bernama Al-Hakam bin Sulaiman.

Ringkas kata, Yahyaa bin Ya’laa yang diambil haditsnya oleh Ahmad bin Shabiih dan Al-Hakam bin Sulaimaan adalah Al-Aslamiy, bukan Al-Muhaaribiy.

Begitu pula dengan riwayat Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 3/128.

Kalau ia beralasan bahwa guru (orang yang diambil riwayatnya oleh) Muhammad bin Ismaa’iil adalah Al-Muhaaribiy, bukan Al-Aslamiy; maka – sekali lagi – itu bukan alasan yang cukup kuat untuk menolak Al-Aslamiy. Apalagi dalam sanad Muhammad bin Ismaa’iil (Al-Bukhaariy) itu tidak disebutkan secara jazm nisbah Al-Muhaaribiy. Yang menjadi hujjah adalah riwayat. Sama halnya jika kita tinjau dari sisi Muhammad bin Ismaa’iil. Tidak disebutkan dalam Tahdziibul-Kamaal dalam jajaran guru Muhammad bin Ismaa’iil orang yang bernama Yahyaa bin Ya’laa Al-Muhaaribiy. Namun itu bukan dalil untuk menolak Al-Muhaaribiy sebagai syaikh dari Al-Bukhaariy, sebab kita temukan dalam Shahih Al-Bukhaariy nama Yahyaa bin Ya’laa Al-Muhaaribiy (misalnya dalam hadits tentang shalat Jum’at).

Jika logika itu dibalik – sebagaimana tersirat dalam logika pikir orang Rafidlah tersebut – : Mengapa bukan nama Al-Muhaaribiy yang dianggap sebagai ‘tambahan keterangan’ dalam jajaran guru/murid perawi yang tidak menyebutkan namanya, sehingga kita anggap Yahyaa bin Ya’laa itu adalah Al-Muhaaribiy, bukan Al-Aslamiy ?.

Kita jawab : Jika kita melakukannya, maka kita akan merubuhkan pernyataan Ibnu ‘Adiy yang telah menegaskan bahwa yang dimaksud Yahyaa bin Ya’laa adalah Al-Aslamiy. Apalagi pernyataan Ibnu ‘Adiy ini telah dikokohkan dalam sebagian biografi perawi yang menunjukkan Yahyaa bin Ya’laa itu adalah Al-Aslamiy (lihat kembali tiga point pokok pada artikel ini). Sepanjang tidak ada tashrih dalam sanad yang menyatakan Al-Muhaaribiy, maka apa yang dikatakan Ibnu ‘Adiy tidak dapat dirobohkan dengan teori kemungkinan orang Rafidliy tersebut.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ada hujjah lain yang menggelitik yang disampaikan orang Rafidliy itu. Ia katakan :

Dan diantara ketiga Yahya bin Ya’la yang dimaksud hanya Yahya bin Ya’la Al Muharribi yang memiliki murid bernama Muhammad bin Ismail yaitu Al Bukhari dan Al Bukhari tidak mungkin meriwayatkan dari Yahya bin Ya’la Al Aslamy karena Bukhari sendiri mencelanya .

Perhatikan statement-nya yang saya bold. Para ulama telah menjelaskan bahwa selain kitab Ash-Shahiih, Al-Bukhaariy tidak mensyaratkan adanya keshahihan. Ini bisa kita lihat kitab Al-Adabul-Mufrad, At-Taariikh Al-Ausath, dan yang lainnya. Konsekuensinya, para perawinya pun belum tentu perawi yang tsiqah, bahkan menurut pandangan Al-Bukhaariy sendiri. Bahkan, dalam sebagian perawi Shahiih Al-Bukhaariy sendiri ada dibicarakan oleh para ahli hadits (tentang jarh-nya) – termasuk Al-Bukhaariy sendiri.

Ada beberapa contohnya. Satu saja saya bawakan : Muhammad bin Yaziid bin Rifaa’ah Al-Kuufiy. Ibnu ‘Adiy berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Junaidiy : Telah menceritakan kepada kami Al-Bukhaariy : Telah menceritakan kepada kami Abu Hisyaam Ar-Rifaa’iy (yaitu Muhammad bin Yaziid), yatakallamuu fiihi (para ulama telah memperbincangkannya)” [Al-Kaamil, no. 1758]. Di kesempatan lain ia (Al-Bukhaariy) berkata : “Aku melihat mereka (para ulama) bersepakat atas kelemahannya” [Al-Mughniy fii Ma’rifati Rijaal Ash-Shahiihain, no. 2037]. Di sini dapat kita lihat bahwa Al-Bukhaariy meriwayatkan hadits dari Muhammad bin Yaziid, namun kemudian ia sendiri melemahkannya. Masih ada contoh yang lain, dan saya persilakan untuk mengeksplore sendiri dalam kutub rijaal.

Perhatian : Para ulama telah menjelaskan kaidah umum dalam ilmu hadits : Tashhih terhadap sanad hadits ekuivalen dengan tahshhih (tautsiq) terhadap perawinya. Ini tetap berlaku sepanjang tidak ada keterangan dari ulama tersebut yang mendla'ifkan perawi hadits dalam sanad yang ia bawakan. Namun jika ada keterangan ia melemahkan sebagian perawinya, maka ini baru dapat dipahami bahwa hadits tersebut shahih/kuat dengan adanya penguat yang lain.

Selanjutnya mengenai penolakan orang Rafidliy tersebut akan kemajhulan Mu’aawiyyah bin Tsa’labah, sebenarnya tidak perlu saya tanggapi, karena kedudukan sangat jelas. Alih-alih untuk mengoreksi, justru ia berdalih dengan memberikan contoh yang semakin menunjukkan ketidakpahaman akan kaedah-kaedah al-jarh wat-ta’dil. Ia (orang Raafidliy) tersebut berkata :

Kami tidak pernah menafikan mereka yang mengkritik Ibnu Hibban, yang justru kami tolak adalah orang yang seenaknya mencacatkan tautsiq Ibnu Hibban hanya karena ia telah dikritik para ulama. Cukup banyak para perawi yang dijadikan hujjah oleh para ulama walaupun hanya Ibnu Hibban yang mentautsiqnya. Ishaq bin Ibrahim bin Nashr adalah seorang perawi yang hanya mendapat tautsiq dari Ibnu Hibban [At Tahdzib juz 1 no 409]. Bahkan Bukhari menyebutkan biografinya tanpa jarh maupun ta’dil [Tarikh Al Kabir juz 1 no 1212] tetapi Bukhari sendiri telah berhujjah dengan hadis Ishaq bin Ibrahim dalam kitab Shahih Bukhari..

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Pertama, dalam beberapa kesempatan di blog ini saya juga telah menuliskan kapan tautsiq Ibnu Hibbaan itu diterima walaupun ia bersendirian dalam pentautsiqan itu. Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy dalam At-Tankil menjelaskan beberapa qarinahnya, di antaranya : jika Ibnu Hazm membawakan dengan lafadh jazm (seperti : mustaqiimul-hadiits, dll.), jika perawi tersebut adalah syaikhnya Ibnu Hibbaan (karena sesuai kaedah umum bahwa ia lebih mengetahui keadaan gurunya sendiri daripada yang lain), dan yang lainnya. Qarinah perawi itu termasuk generasi tabi’iy bukan qarinah ma’ruf untuk menerima tautsiq Ibnu Hibbaan. Apalagi sampai mengebalkan generasi tabi’iin dari status majhul-haal. Ini sungguh aneh yang baru saya baca dari tulisan orang Rafidliy tersebut. Kalau ada tulisan atau buku yang membahas dan menguatkan perkataan orang Rafidliy tersebut (bahwa generasi tabi’iy kebal terhadap nisbah majhuul haal), mohon saya diberitahu, dengan senang hati akan saya baca…..

Kedua, para ulama telah menjelaskan bahwa perawi yang tidak diberikan jarh maupun ta’dil, namun ia dijadikan hujjah Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahiih-nya, maka ia berpredikat tsiqah, haditsnya qawiy (kuat). Ada penjelasan lebih lanjut tentang hal ini. Kaidah ini telah dijelaskan Adz-Dzahabiy dalam Al-Muuqidhah. Rekan-rekan bisa membaca keterangan ringkasnya dalam kaedah kedelapan pada buku Taisiru ‘Ulumil-Hadiits oleh ‘Amru bin ‘Abdil-Mun’im. Latar belakang kaedah ini adalah bahwa Al-Bukhaariy dan Muslim telah berkomitmen menyusun kitabnya dengan persyaratan Shahih. Sehingga, secara umum perawi-perawi haditsnya pun berkatagori tsiqah.

Pertanyaannya : Apakah Mu’aawiyyah bin Tsa’labah ini termasuk rijal-nya Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya ?

Saya kira, orang Rafidliy tersebut tidak perlu berpura-pura menyanggah saya yang memegang pendapat Mu’aawiyyah adalah tab’iy – sementara ia sendiri juga merajihkan hal yang sama. Gaya-gaya basi ini memang menjadi ciri istimewanya dalam berdiskusi : Hanya ingin memperpanjang debat dan menampakkan kekayaan kritikan, walau core-nya kosong. Dijawab pun percuma, sebab antara saya dan dia tidak ada perbedaan. Aneh logika diskusi dan kritikan ini.

Adapun pengkait-kaitannya dengan masalah Maalik Ad-Daar, Simmaak, dan lain-lain; rekan-rekan bisa membandingkan apa yang ia tulis dengan apa yang saya tulis di blog ini. Banyak talbis yang ingin ia lontarkan untuk membela madzhab bathilnya….. Namun satu saja yang saya tanggapi, yaitu masalah Maalik Ad-Daar yang ia anggap sama kedudukannya dengan Mu’aawiyyah bin Tsa’labah. Rekan-rekan dapat melihat dan membaca apa yang saya tulis dengan melihat artikel yang ia maksud. Silakan lihat dalam daftar isi artikel di blog atau di search dengan bantuan google di sisi kanan atas blog ini.

Mengapa saya tidak mempermasalahkan Malik Ad-Daar adalah karena saya tahu orang yang meriwayatkan darinya empat orang (‘Aun bin Maalik Ad-Daar, ‘Abdullah bin Maalik Ad-Daar, Abu Shaalih As-Sammaan, dan ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Yarbuu’ – Taariikhul-Islaam oleh Adz-Dzahabiy). Dua di antaranya adalah perawi tsiqah. Kemudian, Al-Khaliiliy mengisyaratkan tautsiq kepadanya : atsnaa ‘alaihit-taabi’uun; dimana kalimat ini tidak dinukil oleh orang Raafidliy tersebut di awal tulisannya (karena ia hanya sampai pada perkataan : taabi’iy qadiim, muttafaqun ‘alaihi (tabi’iy awal yang disepakati). Data ini menyebabkan terangkatnya status majhul (haal) Maalik Ad-Daar. Sebagai catatan tambahan, ulama lain tidak menganggapnya alias tetap menetapkan status kemajhulan pada Maalik Ad-Daar.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Diskusi yang ada kemudian adalah diskusi karena ia keliru mendefiniskan majhul, status terangkatnya kemajhulan seorang perawi, dan kritikannya terhadap Syaikh Al-Albaaniy. Makanya saya memberikan kritikan seputar kritikannya kepada Al-Albaniy tentang majhul – walau saya tidak berhujjah dengan kemajhulan itu. Cara saya diskusi juga melakukan beberapa pembalikan atas pernyataannya sendiri dalam mengkritik Syaikh Al-Albaaniy. Kemudian, diskusi lebih fokus pada ‘illat irsaal yang dikatakan oleh Al-Khaliiliy – dan saya tidak memperpanjang bahasan kemajhulan Maalik Ad-Daar.

Nah, rekan-rekan bisa membandingkan tingkat akurasi penyamaannya dengan Maalik Ad-Daar. Sama ataukah berbeda ?

Tentang riwayat lain yang ia nukil dari Fadlaailush-Shahaabah no. 962, maka porosnya masih pada Mu’aawiyyah bin Tsa’labah. Adapun sentimennya terhadap Ibnu ‘Adiy adalah sentimen yang tidak berdasar. Ia memandang Ibnu ‘Adiy telah melemahkan Daawud bin Abi ‘Auf hanya gara-gara kebanyakan riwayatnya adalah tentang Ahlul-Bait. Ibnu ‘Adiy mengritiknya bukan semata-mata hadits yang ia bawakan sebagaimanay yang orang Rafidliy itu katakan; namun Ibnu ‘Adiy menilainya sebagai ghullatusy-syii’ah. Ibnu ‘Adiy tidak bersendiri dalam hal ini. Al-‘Uqailiy pun mengatakan hal yang sama. Al-Azdiy mengatakan : zaaigh dla’iif. Selain itu, hadits-hadits yang diriwayatkan Daawud yang tidak dijadikan hujjah Ibnu ‘Adiy pun tidak selamanya hadits-hadits yang menguntungkan kaum Syi’ah, namun juga hadits yang merugikan kaum Syi’ah. Di antaranya hadits tentang kemunculan kaum yang bernama Rafidlah yang pura-pura mencintai ‘Aliy dan perintah untuk membunuhnya. Ini sebagai bukti bahwa Ibnu ‘Adiy jauh lebih proporsional daripada orang Rafidliy tersebut.

Itu saja yang dapat saya tulis. Wallaahu a’lam.