Dari ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ.
“Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala”.[1]
Hadits ini berbicara tentang permasalahan seorang qadliy. Namun seorang mufti (pemberi fatwa) juga bisa tercakup padanya dengan terkumpulnya sebab bahwasannya perkataan mereka berdua diperintahkan untuk menghasilkan hukum syar’iy. Oleh karena itu, perkataan mereka diberikan ‘udzur jika keliru.
Jika seorang mufti berasal dari kalangan ahlul-‘ilmi (ulama) yang terkumpul padanya syarat-syarat untuk berfatwa dan telah mencurahkan seluruh kemampuannya untuk meraih/mencapai kebenaran, kemudian ia berfatwa dengan dugaan kuat bahwa yang ia putuskan tersebut benar berdasarkan dalil-dalil (yang ia ketahui), namun ternyata keliru; maka ia tidak berdosa dalam kekeliruannya itu. Hal ini masuk dalam kaidah emas yang terkandung dalam firman Allah ta’ala :
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu” [QS. Al-Ahzaab : 5].
Juga sebagaimana ditunjukkan oleh hadits yang disebutkan di awal pembahasan ini.
Pahala ijtihad tetap ada terjaga dan tidak hilang akibat kekeliruannya, karena syari’at telah memerintahkankanya untuk memenuhi kewajiban berfatwa, dan ia telah melakukan apa yang diperintahkan. Maka, ia berhak memperoleh pahala atas usaha yang dilakukan. Namun pahala yang ia dapatkan tidaklah sebesar pahala yang diperoleh mufti yang benar (dalam ijtihadnya). Mufti yang benar dalam ijtihadnya telah menunjukkan kebenaran. Sedangkan ia keliru sehingga belum menunjukkan kepada kebenaran.
Jika ada yang berfatwa padahal ia bukan seorang yang layak berfatwa, lalu keliru; atau ia seorang ahli fatwa namun belum mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencari kebenaran, lalu keliru; maka ia tidak diberikan ‘udzur dalam kekeliruannya. Bahkan ia termasuk orang yang berdosa, karena ia telah menyesatkan (orang lain) dari jalan Allah. Allah ta’ala telah berfirman :
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
“(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu” [An-Nahl : 25].[2]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًَا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًَا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًَا جُهَّالًَا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍِ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba. Namun Allah akan mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga bila tidak tersisa seorang pun ulama, manusia mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu. Mereka pun sesat dan menyesatkan (orang lain)”.[3]
Ibnul-Mundzir rahimahullahu ta’ala berkata :
وإنما يؤجر الحاكم إذا أخطأ إذا كان عالمًَا بالاجتهاد فالجتهد، وأما إذا لم يكن عالمًَا فلا
“Seorang hakim yang keliru hanyalah diberi pahala jika ia seorang yang ‘aalim terhadap metodologi ijtihad, lalu melakukan ijtihad. Jika ia bukan seorang yang ‘aalim, tidak diberikan pahala”.
Ia berdalil dengan hadits tiga golongan qaadliy dimana padanya disebutkan dua golongan yang masuk neraka :
وَقَاضٍِ قَضَى بِغَيْرِ حَقٍّ، فَهُوَ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ قَضَى وَهُوَ لَا يَعْلَمُ؛ فَهُوَ فِي النَّارِ
“Qaadliy (hakim) yang memutuskan perkara bukan berdasarkan kebenaran, maka ia masuk neraka. Dan qaadliy (hakim) yang memutuskan perkara dalam keadaan ia tidak mengetahui (ilmunya), maka ia pun masuk neraka”.
Al-Khaththaabiy rahimahullahu ta’ala berkata dalam Ma’aalimus-Sunan :
إنما يؤجر المجتهد إذا كان جامعًَا لآلة الاجتهاد، فهو الذي نعذره بالخطاَ، بخلاف المتكلِّفِ، فيُخاف عليه
“Seorang mujtahid hanya diberi pahala apabila terkumpul padanya peralatan/sarana untuk berijtihad. Ia lah yang kami beri ‘udzur jika keliru. Berbeda halnya dengan orang memaksakan (membebani) diri untuk berfatwa, maka ia sangat perlu dikhawatirkan”.
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullahu ta’ala berkata :
لا يلزم من رد حكمه أو فتواه إذا اجتهد فأخطأ أن يأثم بذلك، بل إذا بذل وُسْعَه أُجِر، فإن أصاب ضُوعف أجرهُ، لكن لو أقدم فحكم أو أفتى بغير علم لحقه الإثمُ
“Tidak melazimkan bagi orang yang mengeluarkan satu hukum atau fatwa jika ia berijtihad lalu keliru dipikulkan dosa atas hal itu. Bahkan, jika ia telah mengerahkan seluruh kemampuannya (untuk berijtihad), akan diberikan pahala. Jika ia benar, dilipatkan pahalanya. Akan tetapi seandainya ia berani menghukumi atau berfatwa tanpa dasar ilmu, maka ia berhak mendapatkan dosa”.[4]
Telah berkata Muhyiyyus-Sunnah Al-Baghawiy rahimahullahu ta’ala :[5]
وقوله في الحديث : ((وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌُ)) لم يُرد به أنه يؤجر على الخطأ، بل يؤجر في اجتهاده في طلب الحق؛ لأن اجتهاده عبادة، والإثم في الخطأ عنه موضوع إذا لم يألُ جهدَه، وهذا فيمن كان جامعًَا لآلة الاجتهاد، فأما من لم يكن محلًَّا للاجتهاد، فهو متكلِّفٌُ لا يُعْذَرُ بالخطأ في الحكم، بل يُخاف عليه أعظم الوزر، رُوي عن بريدة - رضي الله عنه - عن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال : ((الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌُ : وَاحِدٌُ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِي النَّارِ، فَأَمَّا الَّذِيْ فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌُ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ. وَرَجُلٌُ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌُ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى الْجَهْلٍِ فَهُوَ فِي النَّارِ
“Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits : ‘Apabila ia berijtihad kemudian keliru, baginya satu pahala’; tidaklah dimaksud dengannya ia diberikan pahala karena kekeliruan (yang ia lakukan). Namun ia diberikan pahala dalam kesungguhannya (ijtihadnya) untuk mencari kebenaran, karena ijtihad merupakan bagian dari ibadah. Dosa dalam kekeliruan itu ada jika ia tidak bersungguh-sungguh dalam ijtihad. Dan ini ada pada diri orang yang berkumpul padanya peralatan/sarana untuk berijtihad. Adapun orang yang tidak berhak untuk berijtihad, maka ia termasuk orang yang telah memperberat-berat/memaksakan diri sehingga tidak diberikan ‘udzur atas kekeliruannya dalam memutuskan hukum. Bahkan, dikhawatirkan padanya tertimpa dosa yang sangat besar. Diriwayatkan dari Buraidah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : ‘Hakim itu ada tiga golongan. Dua masuk surga dan dua masuk neraka. Golongan yang masuk surga adalah orang yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan dengannya. Adapun orang yang mengetahui kebenaran namun ia menyimpang darinya dalam hukum, maka ia masuk neraka. Dan orang yang memutuskan perkara dengan kebodohan, maka ia juga masuk neraka”.[6]
[selesai – diambil dari kitab Fiqhu Asyraathis-Saa’ah karya Dr. Muhammad bin Ahmad bin Ismaa’iil Al-Muqaddam hafidhahullah, hal. 13-15; Ad-Daarul-‘Aaalamiyyah, Cet. 6/1429 – Abu Al-Jauzaa’, malam Ahad, 13 Maret 2010].
[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy 13/268 dan Muslim no. 1716 dari hadits ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu.
[2] Lihat Al-Futyaa wa Manaahijul-Iftaa’ hal. 134-136.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy 1/163-164 dan Muslim no. 2673.
[4] Fathul-Baariy, 13/318-319.
[5] Syarhus-Sunnah, 10/117-118.
[6] Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3573, At-Tirmidziy no. 1322, Ibnu Maajah no. 2315, dan dishahihkan oleh Al-Haakim serta disepakati oleh Adz-Dzahabiy 4/90.
Comments
membaca tulisan ini, ada yang mendorong saya ingin bertanya.
sebagai seorang awam, tentu yang saya lakukan adalah mengikuti para ulama. dimana dalam hal ini, saya berusaha mengikuti ulama sesuai dengan kemampuan saya. dan seringkali para ulama berselisih tentang sesuatu. semmentara saya, tak dapat menelaah lebih jauh terhadap dalil2 yang mereka gunakan. maka saya mengambil salah satu yang menurut apa yang saya yakini lebih dekat dengan kebenaran. sampai di sini, apakah yang saya lakukan ini benar atau salah?
kemudian, sebagai seorang laki2 yang merupakan kepala keluarga, saya berkewajiban membimbing keluarga untuk mentaati Alloh dan RosulNya. dan ini tentu tak lepas dari hal pertama di atas. saya memberitahukan dan 'memfatwakan' kepada keluarga saya berdasarkan apa yang saya yakini sebagai kebenaran. apakah yang saya lakukan benar ataukah tidak?
mohon penjelasannya ustadz...
btw, blognya makin terlihat menawan dengan hiasan gambar... :)
Apa yang antum lakukan adalah benar. Antum bisa mengambil pendapat ulama yang menurut antum lebih menentramkan hati, yang tentunya dengan melihat hujjah-hujjah yang mereka sampaikan.
Begitu pula posisi antum (dan kita semua) sebagai kepala keluarga. Kita bisa menyampaikan (atau bahkan bisa dihukumi wajib) pada apa-apa yang nampak pada kita sebagai satu kebenaran. Kita mendakwahkan kebenaran kepada keluarga adalah perwujudan pelaksanaan tanggung-jawab yang terpikul di pundak kita. Keluarga kita adalah tanggung jawab kita yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah kelak di akhirat. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :
كلكم راع ومسؤول عن رعيته ، والإمام راع ومسؤول عن رعيته ، والرجل راع في أهله ومسؤول عن رعيته
Setiap orang di antara kalian adalah pemimpin, dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang laki-laki juga pemimpin bagi KELUARGANYA, dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy].
Kewajiban orang awam adalah bertanya kepada ulama. Allah ta'ala berfirman :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui" [QS. An-Nahl : 43].
Jika kita telah mengikuti ulama pada satu permasalahan yang tidak kita ketahui ilmunya (tanpa rasa fanatik pada salah satu ulama tertentu), maka kita telah melaksanakan apa yang telah Allah wajibkan pada kita sebagaimana ayat di atas.
Kita hanya dibebankan pada apa yang kita mampu saja.
Allah ta'ala berfirman :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" [QS. Al-Baqarah : 286].
Adapun orang-orang yang memperberat-berat diri untuk berfatwa, pada hakekatnya ia telah membebani dirinya sendiri dengan sesuatu di luar kemampuannya. Inilah yang dicela.
Wallaahu a'lam.
jazakallahu khoiron..
subhanallah...terima kasih atas ilmunya...n jangan lupa mampir juga ke blog saya...
Ustadz apakah hadits diatas khusus kepada mufti, atau ahli fatwa, atau ulama kibaar yang berijtihad?
lantas bagaimana dengan muttabi' dari kalangan penuntut ilmu.. yang mana pasti dia akan dihadapkan dengan pendapat guru-gurunya, dan dia berusaha keras mencari manakah dari keduanya yang lebih kuat hujjahnya dan lebih pas sudut pandang dalam pemahaman nushush..
Apakah mereka ini termasuk yang mendapatkan satu pahala disisi Allah, karena mereka niatnya ikhlash, dan bersungguh-sungguh mencari kebenaran; hanya saja ternyata disisi Allah mereka keliru.
Jazaakallaahu khayran
Posting Komentar