Asy-Syafi’iy Bertabarruk dengan Kubur Abu Hanifah


Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahulah meriwayatkan :

أخبرنا القاضي أبو عبد الله الحسين بن علي بن محمد الصيمري قال أنبأنا عمر بن إبراهيم المقرئ قال نبأنا مكرم بن أحمد قال نبأنا عمر بن إسحاق بن إبراهيم قال نبأنا علي بن ميمون قال سمعت الشافعي يقول اني لأتبرك بأبي حنيفة وأجيء إلى قبره في كل يوم يعني زائرا فإذا عرضت لي حاجة صليت ركعتين وجئت إلى قبره وسألت الله تعالى الحاجة عنده فما تبعد عني حتى تقضى

Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Qaadliy Abu ‘Abdillah Al-Husain bin ‘Aliy bin Muhammad Ash-Shiimariy, ia berkata : Telah memberitakan kepada kamu ‘Umar bin Ibraahiim Al-Muqri’, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Mukarram bin Ahmad, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami ‘Umar bin Ishaaq bin Ibraahiim, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami ‘Aliy bin Maimuun, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : “Sesungguhnya aku akan ber-tabarruk dengan Abu Haniifah. Aku akan datang ke kuburnya setiap hari – yaitu untuk berziarah - . Apabila aku mempunyai satu hajat, aku pun shalat dua raka’at lalu datang ke kuburnya untuk berdoa kepada Allah ta’ala tentang hajat tersebut di sisinya. Maka tidak lama setelah itu, hajatku pun terpenuhi” [Taariikh Baghdaad 1/123].

Kisah ini seringkali dibawakan untuk melegalkan amalan tabarruk kepada orang yang telah meninggal. Namun kisah ini tidak shahih. Asy-Syaikh Al-Albaniy rahimahullah berkata :

فهذه رواية ضعيفة بل باطلة فإن عمر بن إسحاق بن إبراهيم غير معروف وليس له ذكر في شيء من كتب الرجال , و يحتمل أن يكون هو عمرو - بفتح العين - بن إسحاق بن إبراهيم بن حميد بن السكن أبو محمد التونسى و قد ترجمه الخطيب ( 12 / 226 ) . و ذكر أنه بخاري قدم بغداد حاجا سنة ( 341 ) و لم يذكر فيه جرحا و لا تعديلا فهو مجهول الحال , و يبعد أن يكون هو هذا إذ أن وفاة شيخه علي بن ميمون سنة ( 247 ) على أكثر الأقوال , فبين وفاتيهما نحو مائة سنة فيبعد أن يكون قد أدركه .

“Ini adalah riwayat yang lemah, bahkan baathil. ‘Umar bin Ishaaq bin Ibraahiim tidak dikenal, dan tidak disebutkan satupun dalam kitab-kitab rijaal. Kemungkinan ia adalah ‘Amr – dengan fathah pada huruf ‘ain – bin Ishaaq bin Ibraahiim bin Humaid bin As-Sakan Abu Muhammad At-Tuunisiy. Al-Khathiib telah menyebutkan biografinya (dalam At-Taariikh 12/226). Disebutkan bahwa ia orang Bukhara yang tiba di Baghdad pada perjalanan hajinya tahun 341 H. Tidak disebutkan padanya jarh maupun ta’dil, sehingga ia seorang yang berstatus majhuul haal. Namun kemungkinan ini jauh saat diketahui gurunya yang bernama ‘Aliy bin Maimuun wafat pada tahun 247 H menurut mayoritas pendapat. Maka diperoleh penjelasan kematian keduanya berjarak sekitar 100 tahun sehingga jauh kemungkinan ia bertemu dengannya (‘Aliy bin Maimuun)” [Silsilah Ad-Dla’iifah, 1/78].

Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وهذا كذلك معلوم كذبه بالاضطرار عند من له معرفة بالنقل، فإن الشافعي لما قدم بغداد لم يكن ببغداد قبر ينتاب للدعاء عنده البتة، بل ولم يكن هذا على عهد الشافعي معروفا، وقد رأى الشافعي بالحجاز واليمن والشام والعراق ومصر من قبور الأنبياء والصحابة والتابعين، من كان أصحابها عنده وعند المسلمين، أفضل من أبي حنيفة، وأمثاله من العلماء. فما باله لم يتوخ الدعاء إلا عنده. ثم أصحاب أبي حنيفة الذين أدركوه، مثل أبي يوسف ومحمد وزفر والحسن بن زياد وطبقتهم، لم يكونوا يتحرون الدعاء، لا عند قبر أبي حنيفة ولا غيره.

“Dan hal ini demikian juga telah diketahui sebagai kebohongan secara pasti yang dilakukan oleh orang yang mengetahui seluk-beluk penukilan, karena Asy-Syafi’iy saat tiba di Baghdad, tidak ada di kota tersebut kuburan yang dijadikan tempat khusus untuk berdoa. Bahkan ini tidak terjadi di masa Asy-Syafi’iy. Asy-Syafi’iy telah melihat kuburan para Nabi, para shahabat, dan tabi’in di Hijaaz, Yaman, Syaam, dan ‘Iraq, yang mereka itu menurutnya (Asy-Syafi’iy) dan kaum muslimin semuanya lebih utama dibandingkan Abu Hanifah dan yang semisalnya dari kalangan ulama. Lantas, bagaimana mungkin ia hanya menyengaja berdoa di sisi Abu Haniifah saja ? Kemudian para shahabat Abu Haniifah yang bertemu (semasa) dengannya seperti Abu Yusuf, Muhammad (bin Al-Hasan), Zufar, Al-Hasan bin Ziyaad, dan yang setingkat dengan mereka tidaklah bermaksud berdoa di sisi kubur Abu Haniifah ataupun yang lainnya” [Iqtidlaa’ Ash-Shiraathil-Mustaqiim, 2/206].

Terkait dengan bahasan ini, Ibnul-Qayyim rahimahullah memberikan penjelasan yang cukup bagus :

فلو كان الدعاء عند القبور، والصلاة عندها، والتبرك بها فضيلة أو سنة أو مباحا، لفعل ذلك المهاجرين والأصار، وسنّوا ذلك لمن بعدهم، ولكن كانوا أعلم بالله ورسوله ودينه من الخلوف التي خلفت بعدهم، وكذلك التابعون لهم بإحسان راحوا على هذه السبيل، وقد كان عندهم من قبور أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم بالأمصار عدد كثير، وهم متوافرون، فما منهم من استغاث عند قبر صاحب، ولا دعاه، ولا دعا به، ولا دعا عنده، ولا استشقى به، ولا استسقى به، ولا استنصر به، ومن المعلوم أن مثل هذا مما تتوفّر الهمم على نقله، بل على نقل ما دونه.

“Seandainya berdoa di sisi kuburan, shalat di sisinya, dan mencari berkah dengannya adalah suatu keutamaan atau sesuatu yang disunnahkan atau diperbolehkan; tentunya hal itu pernah dilakukan oleh kaum Muhajirin dan Anshar, dan mencontohkannya kepada generasi setelah mereka. Akan tetapi mereka adalah orang yang lebih mengetahui tentang Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya daripada orang-orang yang datang belakangan setelah mereka. Seperti itulah, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (tabi’in) menempuh jalan ini, padahal di sekitar mereka banyak terdapat makam para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berada di berbagai negeri dan jumlah mereka (tabi’in) pun cukup banyak. Namun, tidak ada seorang pun yang meminta pertolongan (istighatsah) di sisi makam seorang shahabat, tidak juga berdoa kepadanya, berdoa dengan perantaraannya, berdoa di sisiya, meminta kesembuhan, meminta hujan, dan meminta pertolongan dengannya. Sebagaimana diketahui bahwa hal seperti ini termasuk sesuatu yang memiliki perhatian penuh untuk diriwayatkan, bahkan meriwayatkan hal yang lebih rendah daripada itu” [Ighaatsatul-Lahfaan, 1/204 dengan sedikit perubahan – dinukil melalui perantaraan At-Tabarruk, Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu oleh Dr. Naashir Al-Judai’, hal. 405].

Demikian risalah kecil ini dituliskan, semoga ada manfaatnya.

[Abu Al-Jauzaa’ – Hotel Naripan, Bandung, 29 Desember 2009].

Sources : Silsilah Adl-Dla’iifah oleh Al-Albaniy, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1412, Riyadl; Taariikh Baghdaad oleh Al-Khathiib Al-Baghdaadiy, Daarul-Kutub, Beirut; Iqtidlaa’ Ash-Shiraathil-Mustaqiim oleh Ibnu Taimiyyah, tahqiq : Dr. Naashir Al-‘Aql, Daarul-‘Aalamil-Kutub, Cet. 7/1419, Beirut; At-Tabarruk, Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu oleh Dr. Naashir Al-Judai’, Maktabah Ar-Rusyd, Cet. Thn. 1411, Riyaadl; dan Zaahid Al-Kautsariy wa Araauhul-I’tiqadiyyah, ‘Ardlun wa Naqdun oleh ‘Aliy bin ‘Abdillah Al-Fahiid, hal. 242-244, Universitas Ummul-Qurra’ (Thesis Magister/S2), Makkah.

Comments

Anonim mengatakan...

Udah kangen sama tulisan ustadz, libur sebulan ya ustadz? jazakalloh khoir. ijin copas ya. abufatih abdulkholiq cirebon

Agus mengatakan...

Kitab Nataij Al afkar 2:28 karya Imam Ibnu Hajar,katanya Amr bin Ishaq bin Ibrohim di sebut sbg rowi yg tsiqoh..

Tolonga bagaimana penjelasan dari akhi?

Anonim mengatakan...

assalamualaikum ust. mengenai tabaruk

apakahah riwayat dibawah ini shahih
mohon bantuannya..kebanyakan hadist ini di jadikan hukum oleh saudara-saudara kita aswaja tentang dianjurkannya tabaruk2 dengan kubur orang-orang shalih

وقال أبو علي الغساني: أخبرنا أبو الفتح نصر بن الحسن السكتي السمرقندي، قدم علينا بلنسية عام أربع وستين وأربع مائة، قال: قحط المطر عندنا بسمرقند في بعض الأعوام فاستسقى الناس مرارا، فلم يسقوا، فأتى رجل صالح معروف بالصلاح إلى قاضي سمرقند، فقال له: إني رأيت رأيا أعرضه عليك. قال: وما هو؟ قال: أرى أن تخرج ويخرج الناس معك إلى قبر الإمام محمد بن إسماعيل البخاري، وقبره بخرتنك، ونستسقي عنده، فعسى الله أن يسقينا. قال: فقال القاضي: نعم، ما رأيت . فخرج القاضي والناس معه، واستسقى القاضي بالناس، وبكى الناس عند القبر، وتشفعوا بصاحبه، فأرسل الله تعالى السماء بماء عظيم غزير أقام الناس من أجله بخرتنك سبعة أيام أو نحوها، لا يستطيع أحد الوصول إلى سمرقند من كثرة المطر وغزارته، وبين خرتنك وسمرقند نحو ثلاثة أميال. هـ.
“Abu Ali Al Ghassani berkata, Abul Fath Nasr bin As Sikti As Samarqandi mengabarkan kepadaku: Kami datang dari Valencia pada tahun 464 H. Ketika itu selama beberapa tahun di Samarkand tidak pernah turun hujan. Maka orang-orang pun shalat istisqa berkali-kali, namun hujan belum juga turun. Maka seorang lelaki yang dikenal dengan keshalihannya mendatangi Qadhi kota Samarkand,
ia berkata kepada sang Qadhi: “Saya punya usul yang akan saya sampaikan kepada anda”
Qadhi berkata: “Apa itu?”
lelaki shalih berkata: “Menurutku sebaiknya anda keluar bersama orang-orang menuju kubur Imam Muhammad bin Ismail Al Bukhari, makam beliau berada di Kharatnak. Kita shalat istisqa di samping kubur beliau, mudah-mudahan Allah menurunkan hujan untuk kita”.
Qadhi berkata: “Baiklah, aku setuju”.
Maka keluarlah sang Qadhi Samarkand dengan orang-orang menuju kubur Imam Al-Bukhari, lalu shalat istisqa di sana. Orang-orang pun yang menangis di samping kubur, mereka juga meminta syafa’at kepada Imam al-Bukhari. Kemudian Allah menurunkan hujan yang sangat deras, hingga orang-orang saat itu menetap di Kharatnak sekitar tujuh hari. Tidak ada seorang pun dari mereka yang dapat pulang ke Samarkand karena banyak dan derasnya hujan. Padahal jarak antara Samarqand dan Kharatnak sekitar tiga mil“. (selesai nukilan)(Siyar A’lam An Nubala.)

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Antum bisa baca :

http://muslim.or.id/aqidah/riwayat-tentang-tawassul-dan-tabarruk-dalam-kitab-as-siyar.html.

Fikar mengatakan...

Sebagian orang mempertikaikan kesahihan kisah tersebut dengan cara yang tidak benar.

Menurut kajian Imam Khatib al-Baghdadi, segala periwayat kisah tersebut adalah orang - orang yang shaduq dan tsiqah (yakni orang - orang yang dipercayai) dan pandangan beliau ini turut diamini oleh ulama-ulama lain.

Pihak yang menolak kisah tersebut seperti al-Albani juga tidak menafikan kedudukan dan status para perawi kisah tersebut adalah orang - orang kepercayaan selain daripada " `Umar bin Ishaq bin Ibrahim" yang dikatakan sebagai seorang yang majhul (yakni yang tidak diketahui identitinya). Atas dasar tersebut maka al-Albani menghukumkan kisah tersebut sebagai dhaif bahkan batil. Tapi sebenarnya siapakah yang majhul? Umar bin Ishaq bin Ibrahim, ataukah Al Albani yang tidak tahu siapa Umar bin Ishaqdi sini?

Menurut penjelasan sebahagian ulama lain, ada kemungkinan 'Umar bin Ishaq tersebut adalah `Amr bin Ishaq al-Himsi yang merupakan seorang yang diketahui dan bisa dipercayai. Jika begitu, maka tiadalah kecacatan pada sanad yang dikemukakan oleh Imam Khatib tersebut.

Selain daripada itu, perlu diberi perhatian juga bahawa kisah ini turut disampaikan melalui jalan lain, antaranya oleh:
1. Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam karya beliau "al-Khairat al-Hisan" yang merupakan manaqib Imam Abu Hanifah pada pasal 35 halaman 129 dengan sanad yang shahih
2. dan Imam Ibnu Abil Wafa menyebutkan kisah ini dalam "Tabaqat al-Hanafiyyah" pada halaman 519 dengan sanad lain melalui al-Ghaznawi.
3. Tidak ketinggalan para ulama di masa kita ini turut memuatkan kisah ini dalam karya mereka, misalnya Imam Muhammad Zahid al-Kawthari membawa kisah ini dalam "Maqalat al-Kawthariy" pada halaman 453 dan mengatakan bahawa sanad kisah ini adalah bagus (jayyid).
4. Mufti Muhammad Taqi Uthmani memuatkannya dalam karya beliau "Jahan-e-Deedah", jika kisah tersebut dianggap sebagai batil, pasti Mufti Muhammad Taqi yang terkenal sebagai seorang ulama bermazhab Hanafi dengan aliran Deobandi tidak akan memuatnya dalam karya beliau.

Tommi Marsetio mengatakan...

@mas Fikar,

Saya tunggu sanadnya ya. Anak TK pun bisa kalo disuruh mengklaim "sanadnya shahih, jayyid, hasan, dsb," tetapi kalo ga bisa menunjukkan sanadnya ya sama aja bohong...

Anonim mengatakan...

Ustadz, ada bantahan lucu oleh pahlawan kesiangan disini :

http://www.aswj-rg.com/2014/02/kesahihan-kisah-tabarruk-imam-syafie-dengan-imam-abu-hanifah.html

Nampaknya dia tidak mengerti dengan yang disebut "tashhih adalah cabang dari tautsiq" dan tidak mengerti pula kedudukan tashhih Al-Hakim dalam Al-Mustadrak.

Jika menggunakan cara dia berdalil, dia bisa dibuat KO oleh kaum Syi'ah dengan riwayat-riwayat dalam al-Mustadrak.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tanggapan yang tidak perlu ditanggapi. Tipikal bahasan hadits aswaja, terlalu dangkal. Asal ada yang mengatakan ini dan itu, bisa dijadikan dalil. Memang terlalu mundur ke belakang jika kita perlu menjelaskan ilmu jarh wa ta'diil, dan bagaimana manhaj dan pensikapan terhadap beberapa ulama, termasuk Al-Haakim. Juga tentang bahasan kebersambungan sanad.....

Unknown mengatakan...

Mohon penjelasan. ibnu taimiyyah mengatakan “sama sekali tidak terdapat anjurannya dalam riwayat-riwayat shahih dari tiga generasi terbaik umat Islam yang di puji oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabdanya: ‘Sebaik-baik umat adalah generasi yang aku diutus kepadanya (para sahabat), kemudian setelahnya (para tabi’in), kemudian setelahnya (tabi’ut tabi’in)’””. [nukilan dari blog http://kangaswad.wordpress.com/2011/01/10/riwayat-tentang-tawassul-dan-tabarruk-dalam-as-siyar/ ]

Ma’ruf Al Kharki wafat pada 200H. Dan diriwayatkan pula dari Ma’ruf Al Kharki bahwa ia mewasiatkan kepada saudaranya agar saudaranya tersebut berdoa di sisi kubur beliau. Bukankah beliau juga antara salafus soleh? tidakkah ini bermakna ada riwayat sahih dari salafus soleh, iaitu Ma’ruf Al Kharki?

Saya benar2 keliru. Mohon penjelasan.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya belum tahu riwayat tersebut beserta sanadnya sehingga tidak bisa menilai keshahihannya. Atau anda bisa membantu saya untuk mendapatkannya ?

mawarhatiku mengatakan...

sebenarnya puak2 tasauf dan tariqat ini.. sahih atau doif atau palsu belakang kira.. mereka cerita dulu kalaulah boleh menyokong pegangan mereka.. bunyi cerita pun pelik, mereka tutup akal fikiran .. dan terus terima......

kenapalah imam syafie nak tunggu kubur abu hanifah sahaja sedangkan kubur sahabat nabi lain yang logiknya lebih berkat dari kubur abu hanifah kat sana..