Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنّ اللّهَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [QS. Al-Baqarah : 106].
Mengenai firman Allah ta’ala : مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”; Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhumaa, ia mengatakan : “Artinya adalah ما نبدل من آية = “yang Kami (Allah) gantikan”.
Masih mengenai ayat yang sama, dari Mujahid, Ibnu Juraij meriwayatkan مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ “Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”; maksudnya adalah ما نمحو من آية= “ayat mana saja yang Kami (Allah) hapuskan”.
Ibnu Abi Nujaih meriwayatkan dari Mujaahid, bahwa ia menuturkan : مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”; artinya نثبت خطها ونبدل حكمها= “Kami (Allah) biarkan tulisannya, tetapi Kami ubah hukumnya”. Hal itu diriwayatkan dari beberapa shahabat Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu.
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”, As-Suddi mengatakan : نسخها قبضها “Nasakh berarti menarik (menggenggamnya)”.
Sedangkan Ibnu Abi Hatim mengatakan : قبضها ورفعها “yaitu menggenggam dan mengangkatnya”; sebagaimana firman-Nya : «الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة» ”Orang yang sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya”. Demikian juga firman-Nya : «لو كان لابن آدم واديان من ذهب لابتغى لهما ثالثاً» ”Seandainya Ibnu Adam mempunyai dua lembah emas, niscaya mereka akan mencari lembah yang ketiga”.
Masih berhubungan dengan firman-Nya : مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”; Ibnu Jarir mengatakan :
ما ينقل من حكم آية إلى غيره فنبدله ونغيره، وذلك أن يُحوَّل الحلالُ حرامًا والحرام حلالا والمباح محظورًا، والمحظور مباحًا. ولا يكون ذلك إلا في الأمر والنهي والحظر والإطلاق والمنع والإباحة. فأما الأخبار فلا يكون فيها ناسخ ولا منسوخ.
“(Maknanya) : Hukum suatu ayat yang Kami (Allah) pindahkan kepada lainnya dan Kami ganti dan ubah, yaitu mengubah yang halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal, yang boleh menjadi tidak boleh, dan yang tidak boleh menjadi boleh. Dan hal itu tidak terjadi kecuali dalam hal perintah, larangan, keharusan, muthlaq, dan ibahah (kebolehan). Sedangkan ayat-ayat yang berkenaan dengan kisah-kisah tidak mengalami nasikh maupun mansukh”.
Kata an-naskhu (النسخ) berasal dari naskhul-kitaab (نسخ الكتاب), yaitu menukil dari suatu naskah ke naskah lainnya. Demikian halnya naskhul-hukmi (نسخ الحكم), berarti penukilan dan pemindahan redaksi ke redaksi yang lain, baik yang di-nasakh itu hukum maupun tulisannya, karena keduanya tetap saja berkedudukan mansukh (di-nasakh).
Firman-Nya أَوْ نُنسِهَا ”Atau Kami jadikan lupa”. Bisa dibaca dengan (salah satu dari) dua bacaan, yaitu nansa-ahaa (نَنْسَأَهَا) dan nunsihaa (ننسها). ننسأها berarti nu-akhkhiruhaa (نؤخرها).
Mengenai firman Allah ta’ala : مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا; ‘Aliy bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata :
يقول ما نبدل من آية أو نتركها لا نبدلها
Allah berfirman,”Ayat-ayat yang Kami rubah atau tinggalkan, tidak Kami ganti”.
Sedangkan Mujaahid meriwayatkan dari beberapa orang shahabat Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu; أو ننسأها berarti : نثبت خطها ونبدل حكمها “Kami tidak merubah tulisannya dan hanya merubah hukumnya saja”.
‘Athiyah Al-‘Aufi mengatakan nunsi-uhaa أو ننسأها, (berarti) : نؤخرها فلا ننسخها “Kami akhirkan ayat tersebut dan Kami tidak menghapusnya”.
Masih berkaitan dengan ayat مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا, Adl-Dlahhak mengatakan : الناسخ والمنسوخ “yaitu nasikh dari yang mansukh”.
Mengenai bacaan au nunsihaa أو ننسها, ‘Abdurrazzaaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Qatadah mengenai firman-Nya : مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا, ia mengatakan :
كان الله عز وجل: ينسي نبيه صلى الله عليه وسلم ما يشاء, وينسخ ما يشاء
“Allah ‘azza wa jallaa menjadikan Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam lupa dan menasakh ayat sesuai dengan kehendak-Nya”.
‘Ubaid bin ‘Umair mengatakan au nunsihaa أو ننسها, berarti : نرفعها من عندكم “Kami mengangkatnya dari kalian”.
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhumaa, ia menceritakan :
قال عمر: أقرؤنا أبيّ وأقضانا علي, وإِنا لندع من قول أبي, وذلك أن أبيا يقول: لا أدع شيئاً سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم, وقد قال الله: {ما ننسخ من آية أو ننسها} وقوله: {نأت بخير منها أو مثلها}, أي في الحكم بالنسبة إلى مصلحة المكلفين
“Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu mengatakan,”Orang yang terbaik bacaannya di antara kami adalah Ubay dan yang paling ahli dalam hukum adalah ‘Ali, dan kami akan meninggalkan kata-kata ‘Ubay dimana ia mengatakan : ‘Aku tidak akan meninggalkan sesuatu apapun yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam’; padahal Allah ta’ala telah berfirman : مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا ”Ayat mana saja yang Kami nasakh atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya” dan firman-Nya : نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا ”Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya”. Yaitu hal hukum yang berkaitan dengan kepentingan para mukallaf”.[1]
Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas mengenai firman-Nya : نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا ”Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya”, ia mengatakan :
خير لكم في المنفعة وأرفق بكم.
“Yaitu memberi manfaat yang lebih baik bagi kalian dan lebih ringan”.
Masih mengenai firman-Nya نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا”Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya”; Qatadah mengatakan : “Yaitu ayat yang di dalamnya mengandung pemberian keringanan, rukhshah, perintah, dan larangan”.
Dan firman Allah ta’ala :
ألم تعلم أن الله على كل شيء قدير * ألم تعلم أن الله له ملك السموات والأرض وما لكم من دون الله من ولي ولا نصير
”Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? Tidakkah engkau mengetahui bahwa kerajaan dan bumi adalah milik kepunyaan Allah? Dan tidak ada bagi kalian selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong”
Al-Imam Abu Ja’far bin Jarir rahimahullah mengatakan :
فتأويل الآية: ألم تعلم يا محمد أن لي ملك السماوات والأرض وسلطانهما دون غيري، أحكم فيهما وفيما فيهما بما أشاء، وآمر فيهما وفيما فيهما بما أشاء، وأنهى عما أشاء، وأنسخ وأبدل وأغير من أحكامي التي أحكم بها في عبادي ما أشاء إذا أشاء، وأقر فيهما ما أشاء.
”Penafsiran ayat tersebut adalah sebagai berikut : ‘Hai Muhammad, tidakkah engkau mengetahui bahwa hanya Aku (Allah) pemilik kerajaan dan kekuasaan atas langit dan bumi. Di dalamnya Aku putuskan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Ku, dan di sana Aku mengeluarkan perintah dan larangan, dan (juga) me-nasakh, mengganti, serta merubah hukum-hukum yang Aku berlakukan di tengah-tengah hamba-Ku sesuai kehendak-Ku, jika Aku mengehendaki”.
Lebih lanjut Abu Ja’far mengatakan :
وهذا الخبر وإن كان من الله تعالى خطابا لنبيه صلى الله عليه وسلم على وجه الخبر عن عظمته، فإنه منه تكذيب لليهود الذين أنكروا نَسْخَ أحكام التوراة، وجحدوا نبوة عيسى ومحمد، عليهما الصلاة والسلام، لمجيئهما بما جاءا به من عند الله بتغير ما غير الله من حكم التوراة. فأخبرهم الله أن له ملك السماوات والأرض وسلطانهما، وأن الخلق أهل مملكته وطاعته وعليهم السمع والطاعة لأمره ونهيه، وأن له أمرهم بما يشاء، ونهيهم عما يشاء، ونسخ ما يشاء، وإقرار ما يشاء، وإنشاء ما يشاء من إقراره وأمره ونهيه
“Ayat tersebut meskipun diarahkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk memberitahu keagungan Allah ta’ala, namun sekaligus hal itu dimaksudkan untuk mendustakan orang-orang Yahudi yang mengingkari nasakh (penghapusan) hukum-hukum Taurat dan menolak kenabian ‘Isa ‘alaihis-salam dan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam. Karena keduanya datang dengan membawa beberapa perubahan dari sisi Allah ‘azza wa jalla untuk merubah hukum-hukum Taurat. Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahwa kerajaan dan kekuasaan atas langit dan bumi ini hanyalah milik-Nya, semua makhluk ini berada di bawah kekuasaan-Nya. Mereka harus tunduk dan patuh menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dia mempunyai hak memerintah dan melarang mereka, me-nasakh, menetapkan, dan membuat segala sesuatu menurut kehendak-Nya”.
Berkenaan dengan hal tersebut, Penulis (Ibnu Katsir) katakan : “Yang membawa orang Yahudi membahas masalah nasakh ini adalah semata-mata karena kekufuran dan keingkarannya terhadap adanya nasakh tersebut. Menurut akal sehat, tidak ada suatu hal pun yang melarang adanya nasakh dalam hukum-hukum Allah ta’ala, karena Dia dapat memutuskan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya, sebagaimana Dia juga dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Yang demikian itu juga telah terjadi di dalam kitab-kitab dan syari’at-syari’at-Nya yang terdahulu. Misalnya, dahulu Allah ta’ala membolehkan Nabi Adam mengawinkan putrinya dengan putranya sendiri. Tetapi setelah itu Dia mengharamkan hal itu. Dia juga membolehkan Nabi Nuh setelah keluar dari kapal untuk memakan semua jenis hewan, tetapi setelah itu Dia menghapus penghalalan sebagiannya. Selain itu, dulu menikahi dua saudara puteri itu diperbolehkan bagi Israil (Nabi Ya’qub) dan anak-anaknya, tetapi hal itu diharamkan di dalam syari’at Taurat dan kitab-ktab setelahnya. Dia juga pernah menyuruh Nabi Ibrahim ‘alaihis-salam menyembelih puteranya, tetapi kemudian Dia me-nasakh-nya sebelum perintah itu dilaksanakan. Allah ta’ala juga memerintahkan mayoritas Bani Israil untuk membunuh orang-orang diantara mereka yang menyembah anak sapi, lalu Dia menarik kembali perintah pembunuhan tersebut agar tidak memusnahkan mereka.
Di samping itu, masih banyak lagi hal-hal yang berkenaan dengan masalah itu, orang-orang Yahudi sendiri mengakui dan membenarkannya. Dan jawaban-jawaban formal yang diberikan berkenaan dengan dalil-dalil ini, tidak dapat memalingkan sasaran maknanya, karena demikian itulah yang dimaksudkan. Dan sebagaimana yang masyhur tertulis di dalam kitab-kitab mereka mengenai kedatangan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dan perintah untuk mengikutinya. Hal itu memberikan pengertian yang mengharuskan untuk mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan bahwa suatu amalan tidak akan diterima kecuali yang didahulukan berdasarkan syari’atnya, baik dikatakan syari’atnya terdahulu itu terbatas sampai pengutusan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka yang demikian itu tidak disebut sebagai nasakh. Hal itu didasarkan oleh firman-Nya ثم أتموا الصيام إلى الليل ”Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam”. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa syari’at itu bersifat mutlaq, sedangkan syari’t Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam me-nasakh-nya. Bagaimanapun adanya, mengikutinya (Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam) merupakan suatu keharusan, karena beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam datang dengan membawa sebuah kitab yang merupakan kitab terakhir dari Allah ta’ala.
Dalam hal ini, Allah ta’ala telah menjelaskan dibolehkannya nasakh sebagai bantahan terhadap orang-orang Yahudi – la’natullaahi ‘alaihim – dimana Dia berfirman ألم تعلم أن الله على كل شيء قدير * ألم تعلم أن الله له ملك السموات والأرض ”Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? Tidakkah engkau mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?”.
Sebagaimana Dia mempunyai kekuasaan tanpa ada yang menandinginya, demikian pula halnya Dia yang berhak memutuskan hukum menurut kehendak-Nya.
ألا له الخلق والأمر
”Ketahuilah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah” [QS. Al-A’raf : 54].
Dan di dalam surat Aali ‘Imran yang mana konteks pembicaraan pada bab awal surat tersebut ditujukan kepada Ahlul-Kitab juga terdapat nasakh :
كل الطعام كان حلاً لبني إسرائيل إلا ما حرم إسرائيل على نفسه
”Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Nabi Ya’qub) untuk dirinya sendiri”.
Sebagaimana penafsiran ayat ini akan kami sampaikan pada pembahasan selanjutnya.
Kaum muslimin secara keseluruhan sepakat membolehkan adanya nasakh dalam hukum-hukum Allah ta’ala, karena di dalamnya terdapat hikmah yang sangat besar. Dan mereka semua mengakui terjadinya nasakh tersebut.
Seorang mufassir, Abu Muslim Al-Asbahani mengatakan : “Tidak ada nasakh dalam Al-Qur’an”. Pendapat Abu Muslim itu sangat lemah dan patut dotolak. Dan sangat mengada-ada dalam memberikan jawaban berkenaan dengan terjadinya nasakh. Misalnya (pendapat) mengenai masalah ‘iddah seorang wanita yang berjumlah empat bulan sepuluh hari setelah satu tahun. Dia tidak dapat memberikan jawaban yang diterima. Demikian halnya masalah pemindahan Kiblat dari Baitul-Maqdis ke Ka’bah, juga tidak memberikan jawaban sama sekali. Juga penghapusan kewajiban bersabar menghadapi kaum kafir satu lawan sepuluh menjadi satu lawan dua. Dan juga penghapusan (nasakh) kewajiban membayar sedekah sebelum mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan lain-lain.
والله أعلم
http://abul-jauzaa.blogspot.com
Comments
Posting Komentar