PROLOG
Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan di blog ini yang berjudul : Pembahasan Hadits Ummu Ath-Thufail : Benarkah Tuhannya Wahabi Berambut Keriting (Bincang Bersama Abu Salafy) yang mana mendapat respon di dua tempat (minimalnya). Namun sependek yang saya baca, justru bahasannya tidak menyentuh esensi yang ingin saya tuju. Pada tulisan terdahulu saya ingin menjelaskan kedustaan dari tuduhan bahwa tuhan Wahabiy itu pemuda berambut kriting dan berjambul. Hal itu berawal dari pemahaman jelek atas perkataan Ibnu Taimiyyah. Ibnu Taimiyyah memang menshahihkan hadits Ummu Thufail (setidaknya saya membaca isyarat tashhih beliau di dua kitab) – dan beliau keliru dalam hal ini. Namun itu jauh lebih keliru jika kemudian tashhih itu memaksa satu pemahaman bahwa tuhan Wahabiy itu adalah pemuda amrad berambut kriting dan berjambul. Padahal, Ibnu Taimiyyah sendiri menafikkan pemahaman itu dan telah menjelaskannya. Tashhih dan pengambilan ‘ibrah hukum itu dua hal yang berbeda. Harap diperhatikan. Itu yang pertama. Selanjutnya adalah tuduhan kepada Asy-Syaikh Al-Albaniy menshahihkan hadits dimaksud sebagaimana terdapat dalam Dhilaalul-Jannah (hadits no. 471). Telah dijelaskan bahwa yang dishahihkan oleh beliau – dengan melihat keterangan dan kalimat-kalimat yang ada dalam Dhilalul-Jannah – hanya sebatas lafadh : “Aku telah melihat Rabb-ku dalam mimpiku dalam wujud/bentuk yang paling baik”. Apalagi itu ditunjukkan dengan pen-dla’if-an beliau dalam Adl-Dla’iifah atas hadits pemuda amrad itu. Saya pribadi tidak sependapat dengan tashhih beliau atas hadits no. 471 – walaupun yang beliau tashhih itu sebatas kalimat : “Aku telah melihat Rabb-ku dalam mimpiku dalam wujud/bentuk yang paling baik”. Tidak lain adalah karena keberadaan sanadnya terlalu lemah untuk bisa terangkat dengan adanya syawaahid. Juga ini berkaitan dengan tashhih yang katanya dilakukan oleh Adz-Dzahabiy. Kemudian bahasan/tanggapan berkembang dengan pembicaraan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Allah dalam sebaik-baik bentuk (dalam mimpi beliau). Dalam tulisan terdahulu telah sedikit disinggung nukilan bahwa jumhur Ahlus-Sunnah yang berpendapat memungkinkannya melihat Allah dalam mimpi. Akhirnya tanggapan terbaru muncul dengan bahasan (takhrij) pendla’ifan hadits ru’yatullah itu. Oleh karena itu, pada kesempatan ini – dengan segala keterbatasan yang ada (weh,…gaya nich) – saya tulis tanggapan atas hal tersebut. Banyak hal yang saya singkat bahasannya, seperti misal penyebutan komentar ulama terhadap perawi. Atau penyebutan sebagian jalan-jalan hadits, sehingga ada beberapa jalan yang tidak saya sertakan di tulisan ini. Untuk membantu, saya sertakan dalam catatan kaki jalan sanad masing-masing riwayat. Mungkin saja ada salah dalam penulisan, mohon dimaafkan dan masukannya untuk koreksi…..
HADITS ‘ABDURRAHMAN BIN ‘AAISY RAHIMAHULLAH
Mu’adz bin Jabal radliyalaahu ‘anhu berkata :
احتبس علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات غداة عن صلاة الصبح حتى كدنا نتراءى قرن الشمس فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم سريعا فثوب بالصلاة وصلى وتجوز في صلاته فلما سلم قال كما أنتم على مصافكم ثم أقبل إلينا فقال انى سأحدثكم ما حبسني عنكم الغداة انى قمت من الليل فصليت ما قدر لي فنعست في صلاتي حتى استيقظت فإذا انا بربى عز وجل في أحسن صورة فقال يا محمد أتدري فيم يختصم الملأ الأعلى قلت لا أدري يا رب قال يا محمد فيم يختصم الملأ الأعلى قلت لا أدري رب فرأيته وضع كفه بين كتفي حتى وجدت برد أنامله بين صدري فتجلى لي كل شيء وعرفت فقال يا محمد فيم يختصم الملا الأعلى قلت في الكفارات قال وما الكفارات قلت نقل الاقدام إلى الجمعات وجلوس في المساجد بعد الصلاة وإسباغ الوضوء عند الكريهات قال وما الدرجات قلت إطعام الطعام ولين الكلام والصلاة والناس نيام قال سل قلت اللهم انى أسألك فعل الخيرات وترك المنكرات وحب المساكين وأن تغفر لي وترحمني وإذا أردت فتنة في قوم فتوفني غير مفتون وأسألك حبك وحب من يحبك وحب عمل يقربنى إلى حبك وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم انها حق فادرسوها وتعلموها
“Suatu pagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tertahan melakukan shalat Shubuh, hingga kami hampir-hampir melihat munculnya matahari. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan segera lalu mengerjakan shalat sunnah, kemudian melakukan shalat Shubuh, dan beliau melakukan seperlunya dalam shalat. Ketika selesai salam, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Bagaimana keadaan kalian ?”. Lalu beliau menghadap kami dan bersabda : “Sesungguhnya semalam aku bangun dan melakukan shalat sesuai kemampuanku, lalu aku mengantuk dalam shalatku, hingga akhirnya aku terbangun (dalam mimpi). Tiba-tiba aku berjumpa Rabb-ku dalam sebaik-baik bentuk, lalu Dia berfirman : ‘Wahai Muhammad, apakah engkau tahu tentang apa yang diperbantahkan oleh Al-Malaul-A’laa ?’. Aku menjawab : ‘Aku tidak tahu, wahai Rabb-ku’. Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali. Lalu aku melihat Dia meletakkan telapak tangan-Nya di antara dua pundakku, hingga aku merasakan dinginnya jari-jemari-Nya di antara dadaku. Lalu tampaklah bagiku segala sesuatu dan aku mengenalnya. Lalu Dia berfirman : ‘Ya Muhammad, tentang apakah yang diperbantahkan oleh Al-Malaul-A’laa ?’. Aku menjawab : ‘Tentang kaffaaraat. Dia bertanya : ‘Apakah kaffaaraat itu ?’. Aku menjawab : ‘Melangkahkan kaki untuk berjama’ah, duduk di dalam masjid setelah shalat, dan menyempurnakan wudlu pada seluruh anggota badan (yang perlu dibasuh)’. Dia bertanya : Apakah derajat itu ?’. Aku menjawab : ‘Memberi makanan, kata-kata halus, dan melakukan shalat di saat manusia tidur’. Dia berfirman : ‘Mintalah !’. Aku berkata : ‘Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu untuk dapat melakukan berbagai kebaikan, meninggalkan berbagai kemunkaran, mencintai orang-orang miskin, dan agar Engkau mengampuni serta merahmatiku. Dan jika Engkau menghendaki fitnah pada satu kaum, maka wafatkanlah aku tanpa terkena fitnah. Aku meminta kepada-Mu kecintaan-Mu, kecintaan orang yang mencintai-Mu, dan kecintaan kepada amal yang mendekatkanku kepada kecintaan-Mu’. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya hal itu adalah kebenaran, maka pelajarilah dan kuasailah”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 5/243, At-Tirmidzi dalam As-Sunan no. 3235 dan Al-‘Ilal Al-Kabiir no. 661, Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 17/203-205, dan Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir 20/109 no. 616.
At-Tirmidziy (5/286) berkata : “Hadits ini hasan shahih. Aku pernah bertanya kepada Muhammad bin Ismaa’iil (yaitu Al-Bukhariy – Abul-Jauzaa’) tentang hadits ini, maka ia menjawab : ‘Hadits ini hasan shahih” [selesai].
Kedudukan hadits tersebut memang seperti yang dikatakan oleh At-Tirmidzi dan Al-Bukhariy rahimahumallah.
Sebagian kalangan ada yang men-dla’if-kannya dengan alasan adanya idlthirab, khususnya bahwa riwayat ini center-nya ada pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Pen-dla’if-an ini tidak benar. Berikut perinciannya – bi-idznillahi ta’alaa – :
Hadits tentang ini diriwayatkan dalam beberapa jalan dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Aayisy secara marfu’.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah[1] no. 467 & Al-Ahaadul-Matsaaniy[2] no. 2585, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid[3] hal. 533 no. 318, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad[4] 3/514 no. 901, Ad-Daarimiy dalam As-Sunan[5] no. 2195, Ad-Daaruquthniy dalam Ar-Ru’yah[6] no. 236, dan Ibnul-Jauziy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanaahiyyah[7] 1/31 no. 11; semuanya dari jalan Al-Waliid bin Muslim, dari ‘Abdurrahman bin Yaziid bin Jaabir, dari Khaalid bin Al-Lajlaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy secara marfu’.
Al-Waliid bin Muslim mempunyai mutaba’ah dari Al-Auza’iy sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad[8] 3/514 no. 902, dan Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah[9] 2/321 no. 1100. Juga dari Shadaqah bin Khaalid sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 467 & Al-Ahaadul-Matsaaniy no. 2585, dan Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah[10] 4/35-37. Juga dari Muhammad bin Syu’aib bin Syaabuur sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak[11] 1/520-521.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Mandah dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah[12] no. 75, Ath-Thabariy dalam At-Tafsiir[13] 11/476, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat[14] 2/72-73 no. 644 dari ‘Abdurrahman bin Zaid bin Jaabir dan Al-Auza’iy, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aayisy secara marfu’.
Al-Waliid bin Muslim seorang mudallis, namun di sini ia telah menjelaskan penyimakannya dari ‘Abdurrahmaan bin Zaid bin Jaabir. ‘Abdurrahmaan bin Zaid bin Jaabir adalah seorang tsiqah masyhur, termasuk perawi yang dipakai jama’ah (ahli hadits). Shadaqah bin Khaalid termasuk penduduk negeri Syaam yang tsiqah. Al-Auza’iy adalah seorang imam tsiqah lagi masyhur. Khaalid bin Al-Lajlaaj; ia telah di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibbaan. Selain itu, beberapa perawi tsiqah telah meriwayatkan darinya[15] sehingga riwayatnya dapat dipakai sebagai hujjah. Ibnu Hajar berkomentar tentangnya dalam At-Taqriib : “Jujur (shaduuq) lagi faqih”. Adapun ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, para ulama berselisih pendapat akan status pershahabatannya.
Abu Haatim mengatakan bahwa ia bukan shahabat, namun seorang tabi’iy [Al-Jarh wat-Ta’diil, 5/262]. Abu Haatim juga membawakan perkataan Abu Zur’ah bahwa ia tidak dikenal (laisa bi-ma’ruuf). Ibnu ‘Abdil-Barr berkata : “Tidak benar status pershahabatannya, karena haditsnya goncang (mudltharib)…” [Usudul-Ghaabah, 3/465]. At-Tirmidziy berkata : “’Abdurrahman bin ‘Aaisy tidak pernah mendengar (riwayat/hadits) dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Sunan At-Tirmidziy 5/286]. Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata : “Ibnu Hibban berkata : ‘Ia mempunyai status pershahabatan’. Ibnu Sakan berkata : Dikatakan ia mempunyai status pershahabatan. Adapun ulama yang menyebutkannya sebagai shahabat antara lain : Muhammad bin Sa’d, Al-Bukhaariy, Abu Zur’ah Ad-Dimasyqiy, Abul-Hasan bin Sumai’, Abul-Qaasim, Al-Baghawiy, Abu Zur’ah Al-Harraaniy, dan yang lainnya [Al-Ishaabah, 6/291].[16] Perkataan Ibnu Hajar bahwasannya Al-Bukhari berpendapat ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy mempunyai status shahabat perlu dicermati kembali, sebab dalam kitab Al-‘Ilal Al-Kabiir karangan At-Tirmidziy (2/894), Al-Bukhari mengatakan ‘Abdurrahman tidak pernah berjumpa dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Qaani’ menyebutkannya dalam Mu’jamush-Shahabah 2/175-176 no. 658. Begitu pula Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah 4/1862 no. 1886.
Ibnu Khuzaimah – yang kemudian diikuti oleh Ibnu ‘Abdil-Barr – berkata : “Tidak ada yang mengatakan dalam haditsnya : ‘Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihia wa sallam’ kecuali Al-Waliid bin Muslim”. Namun perkataan ini disanggah oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishaabah 6/292 : “Al-Waliid bin Muslim tidaklah bersendirian dalam penegasan penyimakan itu, namun ia diikuti oleh Hammaad bin Maalik Al-Asyja’iy, Al-Waliid bin Yaziid Al-Bairuutiy, ‘Ammaarah bin Bisyr, dan yang lainnya”.[17]
‘Abdurrahman adalah perawi yang ma’ruf, bukan majhul (tidak dikenal) !! [18]
Jika ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini tetap pershahabatannya dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka sanad hadits ini adalah shahih. Dan jika tidak tetap status pershahabatannya, jadilah ia riwayat mursal. Kesimpulan terakhir inilah yang raajih.
2. Dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian/salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad[19] 4/66 & 5/378 dan Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq[20] 34/464-465, ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah[21] hal. 489-490 no. 1121, dan Ibnu Mandah dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah[22] no. 74; dari semuanya dari jalan Abu ‘Aamir, dari Zuhair bin Muhammad, dari Yaziid bin Yaziid bin Jaabir, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian (beberapa orang) shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid[23] hal. 537-538 no. 55 dan Ibnu ‘Asaakir dalam Taarikh Dimasyq[24] 34/464 & 465; semuanya dari jalan Abu ‘Aamir (kecuali satu riwayat dari Ibnu ‘Asaakir : Dari Sa’iid bin ‘Aamir), dari Zuhair bin Muhammad, dari Yaziid bin Yaziid bin Jaabir, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
Sanad hadits ini shahih. Perawi dari Abu ‘Aamir sampai dengan ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy adalah tsiqah. Mubham-nya nama shahabat tidak me-mudlarat-kan hadits ini. Adapun Zuhair bin Muhammad, maka pada asalnya ia adalah perawi tsiqah, namun kemudian ada masalah pada hapalannya. Haditsnya yang diriwayatkan oleh penduduk ‘Iraq adalah shahih, sedangkan yang berasal dari penduduk Syaam adalah dla’iif.[25] Adapun hadits ini adalah riwayat penduduk ‘Iraq darinya.
Tidak ada pertentangan antara periwayatan dari salah seorang shahabat dengan sebagian (beberapa orang) shahabat. Hal itu dikarenakan salah seorang shahabat tadi termasuk dari beberapa orang shahabat yang hadir di masjid ketika Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam yang kesemuanya diriwayatkan oleh ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy rahimahullah. Ini bukan termasuk idlthirab karena dua riwayat tersebut dapat dijamak.
3. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’aadz bin Jabal secara marfu’.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad[26] 5/243, At-Tirmidzi dalam As-Sunan[27] no. 3235 dan Al-‘Ilal Al-Kabiir no. 661, Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal[28] 17/203-205, dan Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir[29] 20/109 no. 616; dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Zaid bin Abi Salaam, dari Abu Salaam (Zaid bin Salaam bin Abi Salaam), dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’adz bin Jabal secara marfuu’.
Sanad hadits ini shahih.[30]
Al-Mizziy berkata : “Diriwayatkan oleh Abu Ahmad bin ‘Adiy, dari Al-Fadhl bin Hubaab, dari Al-Khuzaa’iy, kemudian ia berkata : Hadits ini mempunyai beberapa jalan. Dan aku melihat bahwa Ahmad bin Hanbal menshahihkan riwayat yang dibawakan oleh Musaa bin Khalaf, dari Yahyaa bin Abi Katsiir. Ia (Ahmad) berkata : ‘Hadits ini adalah yang paling shahih” [Tahdziibul-Kamaal, 17/206].
Tiga riwayat dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy di atas dapat kita cermati yang terdiri dari satu riwayat mursal dan dua riwayat muttashil. Riwayat mursal ‘Abdurrahmaan kita palingkan pada dua riwayat yang lain yang menyebutkan perantara antara dia dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari jalan sebagian/salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; dan dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhum.
Dua riwayat ini tidak mudltharib - walau berporos pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy - karena perawi sebelum dan setelah ‘Abdurrahman berbeda. Ini menunjukkan ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy menerima hadits dari dua pihak, yaitu dari Maalik bin Yakhaamir (dari Mu’adz bin Jabal) dan dari salah seorang/sebagian shahabat Nabi shallalaahu ‘alahi wa sallam, dan kemudian menyampaikannya pada pihak yang berbeda pula. Semua shahih, no problemo. Ini sangat memungkinkan.
Contoh seperti ini banyak, misalnya dalam Shahih Muslim no. 1691 :
وحدثني عبدالملك بن شعيب بن الليث بن سعد. حدثني أبي عن جدي. قال: حدثني عقيل عن ابن شهاب، عن أبي سلمة بن عبدالرحمن بن عوف وسعيد بن المسيب، عن أبي هريرة؛ أنه قال:
أتى رجل من المسلمين رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو في المسجد. فناداه. فقال: يا رسول الله! إني زنيت. فأعرض عنه. فتنحى تلقاء وجهه. فقال له: يا رسول الله! إني زنيت. فأعرض عنه. حتى ثنى ذلك عليه أربع مرات. فلما شهد على نفسه أربع شهادات، دعاه رسول الله صلى الله عليه وسلم. فقال (أبك جنون؟) قال: لا. قال (فهل أحصنت؟) قال: نعم. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (اذهبوا به فارجموه).
أتى رجل من المسلمين رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو في المسجد. فناداه. فقال: يا رسول الله! إني زنيت. فأعرض عنه. فتنحى تلقاء وجهه. فقال له: يا رسول الله! إني زنيت. فأعرض عنه. حتى ثنى ذلك عليه أربع مرات. فلما شهد على نفسه أربع شهادات، دعاه رسول الله صلى الله عليه وسلم. فقال (أبك جنون؟) قال: لا. قال (فهل أحصنت؟) قال: نعم. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (اذهبوا به فارجموه).
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-Malik bin Syu’aib bin Laits bin Sa’d : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari kakekku, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Uqail, dari Ibnu Syihaab (yaitu Az-Zuhriy – Abul-Jauzaa’), dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf dan Sa’iid bin Al-Musayyib, dari Abu Hurairah, ia berkata : “Seorang laki-laki dari kaum muslimin mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Ia pun berseru dan berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina’. Beliau berpaling dari orang itu dan tidak mau menghadap ke arahnya. Orang itu berkata lagi : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina’. Beliau berpaling lagi, hingga orang itu bersumpah atas dirinya sebanyak empat kali. Setelah ia bersumpah atas dirinya empat kali, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan bertanya : ‘Apakah engkau gila ?’. Ia menjawab : ‘Tidak’. Beliau bertanya lagi : ‘Apakah engkau telah menikah ?’. Ia menjawab : ‘Ya’. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Bawa ia pergi dan rajamlah ia” [selesai].
Kemudian setelah itu Al-Imam Muslim rahimahullah membawakan sanad lain dan berkata :
وحدثني أبو الطاهر وحرملة بن يحيى. قالا: أخبرنا ابن وهب. أخبرني يونس. ح وحدثنا إسحاق بن إبراهيم. أخبرنا عبدالرزاق. أخبرنا معمر وابن جريج. كلهم عن الزهري، عن أبي سلمة، عن جابر ابن عبدالله، عن النبي صلى الله عليه وسلم، نحو رواية عقيل عن الزهري، عن سعيد وأبي سلمة، عن أبي هريرة.
“Telah menceritakan kepadaku Abuth-Thaahir dan Harmalah bin Yahyaa, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Yuunus - :
Dan telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar dan Ibnu Juraij - :
Mereka semua (Yuunus, Ma’mar, dan Ibnu Juraij – Abul-Jauzaa’) dari Az-Zuhriy, dari Abu Salamah, dari Jaabir bin ‘Abdillah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – semisal riwayat ‘Uqail, dari Az-Zuhriy, dari Sa’iid dan Abu Salamah, dari Abu Hurairah” [selesai].
Perhatikan !! Az-Zuhriy dan/atau Abu Salamah dalam hadits yang sama membawakan dua riwayat : pertama, dari Abu Hurairah; dan kedua, dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhuma. Dua-duanya shahih. Tidak ada idlthirab.
Kembali ke hadits ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy. Tidak menjadi masalah jika ia meriwayatkan dari salah seorang shahabat atau sebagian shahabat, dan di bagian lain ia meriwayatkan dari Maalik bin Yakhaamir (tabi’iy senior tsiqah – muhdlaram) dari Mu’aadz bin Jabal.
Oleh karena itu, alasan seseorang yang mengatakan :
Hadis Abdurrahman bin Aaisy adalah hadis yang dhaif karena mudhtharib dan oleh karena ia hanya dikenal melalui hadis yang mudhtharib ini maka sungguh tidak tsabit sima’nya (pendengarannya) dari Rasulullah SAW. Pendapat yang benar mengenainya adalah dia bukanlah sahabat Nabi dan ia sendiri tidak dikenal. Hadis tersebut sangat jelas kedhaifannya. Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Musnad Ahmad hadis no 16672, 22162, 23258 telah menyatakan bahwa hadis Ibnu ‘Aaisy dhaif karena mudhtharib dan pendapat inilah yang benar.
kita jawab :
Memang benar ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy bukan berstatus shahabat, sehingga hadits yang ia riwayatkan langsung dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dihukumi mursal alias dla’if. Adapun klaim bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy seorang perawi yang tidak dikenal lagi mastur (majhul haal), maka ini tidak benar. Ibnu Hibbaan telah memberikan tautsiq kepadanya. Juga Ahmad bin Hanbal dan Al-Bukhariy rahimahumallah yang telah menshahihkan riwayatnya dimana ini juga merupakan isyarat tashhih terhadap sanad sekaligus perawinya (ta’dil). Apakah Al-Bukhariy dan Ahmad akan menshahihkan hadits jika di dalamnya terdapat perawi majhul ?
Anggapan adanya idlthiraab juga tidak benar. Setelah diteliti tiga riwayat yang dibawakan oleh ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy dapat ditarjih dan dijamak sehingga hilang sifat idlthirab-nya.
Walhasil, hadits ini adalah shahih, insya Allah.
[Selain Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhariy, dan At-Tirmidziy, hadits ini juga dishahihkan oleh Ibnu Katsiir dalam Tafsir-nya 7/80-81, Ahmad Syaakir dalam Tafsir Ath-Thabariy 11/476, Al-Albaniy dalam beberapa tempat pada kitabnya, dan yang lainnya].
HADITS IBNU ‘ABBAS RADLIYALLAAHU ‘ANHUMAA
عن بن عباس ان النبي صلى الله عليه و سلم قال أتاني ربي عز و جل الليلة في أحسن صورة أحسبه يعني في النوم فقال يا محمد هل تدري فيم يختصم الملأ الأعلى قال قلت لا قال النبي صلى الله عليه و سلم فوضع يده بين كتفي حتى وجدت بردها بين ثديي أو قال نحري فعلمت ما في السماوات وما في الأرض ثم قال يا محمد هل تدري فيم يختصم الملأ الأعلى قال قلت نعم يختصمون في الكفارات والدرجات قال وما الكفارات والدرجات قال المكث في المساجد والمشي على الاقدام إلى الجمعات وإبلاغ الوضوء في المكاره ومن فعل ذلك عاش بخير ومات بخير وكان من خطيئته كيوم ولدته أمه وقل يا محمد إذا صليت اللهم اني أسألك الخيرات وترك المنكرات وحب المساكين وإذا أردت بعبادك فتنة ان تقبضني إليك غير مفتون قال والدرجات بذل الطعام وإفشاء السلام والصلاة بالليل والناس نيام
Dari Ibnu Abbas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Rabbku ‘azza wa jalla datang kepadaku malam tadi dalam sebaik-baik bentuk” – aku mengira maksudnya adalah dalam tidur (kata perawi – Abul-Jauzaa’) -. Lalu Dia berfirman : ‘Wahai Muhammad, apakah kamu tahu mengenai apa Al-Mala’ul A’laa (para malaikat) bertengkar?. Aku berkata : ‘Tidak’. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Lalu Dia meletakkan tangan-Nya di antara dua pundakku hingga aku dapati dinginnya antara dua dadaku”. Atau beliau bersabda : “Antara tenggorokanku”. Maka tahulah aku apa yang ada di langit dan di bumi. Kemudian Allah berfirman : ‘Wahai Muhammad, apakah kamu tahu mengenai apa Al-Mala’ul-A’laa (para malaikat) bertengkar?’. Aku berkata : ‘Ya , mereka bertengkar mengenai al-kaffaaraat dan ad-darajaat’. Allah bertanya : ‘Apa itu al-kaffaaraat dan ad-darajaat ?”. Nabi menjawab : “Diam di masjid, berjalan kaki untuk berjama’ah, dan menyempurnakan wudlu dalam kondisi tidak menyenangkan. Barangsiapa melakukan hal itu maka ia hidup dengan baik dan mati dengan baik. Dia bersih dari dosa seperti baru dilahirkan ibunya”. Allah berfirman : “Dan katakanlah wahai Muhammad apabila kamu selesai shalat : ‘Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan-kebaikan, meninggalkan hal yang mungkar, dan cinta kepada orang-orang miskin. Dan bila Engkau menginginkan fitnah bagi para hambamu maka cabutlah nyawaku kepada-Mu dengan tanpa fitnah’. Beliau bersabda : “Dan ad-darajaat adalah dengan memberikan makanan, menyebarkan salam dan shalat malam saat manusia tidur”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad[31] 1/368, At-Tirmidziy dalam As-Sunan[32] no. 3233, Ibnul-Jauziy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanaahiyyah[33] 1/34-35 no. 14, ‘Abd bin Humaid dalam Al-Musnad[34] 1/510-511 no. 681, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid[35] hal. 540 no. 320; dari Ma’mar, dari Ayyuub, dari Abu Qilaabah, dari Ibnu ‘Abbas secara marfuu’.
Mengomentari jalur hadits ini, Ibnul-Jauziy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanaahiyyah (1/34) berkata :
قد رواه أحمد في مسنده بإسناد حسن.
“Telah diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya[36] dengan sanad hasan” [selesai].
Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah[37] 2/320-321 no. 1099 dari ‘Abbaad bin Manshuur, dari Ayyuub, dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas secara marfu’.
Namun yang benar, riwayat ini dla’iif karena adanya inqitha’ (keterputusan) antara Abu Qilaabah dan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhuma.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dalam As-Sunan[38] no. 3234, Abu Ya’laa dalam Al-Musnad[39] no. 2608, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah[40] no. 469, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid[41] hal. 538-539 no. 319, dan Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah[42] 2/320 no. 1098; dari jalan Mu’aadz bin Hisyaam, dari ayahnya, dari Qataadah, dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas secara marfu’.
Riwayat ini pun dla’if karena Qataadah tidak pernah mendengar (hadits) dari Abu Qilaabah., sebagaimana dikatakan Abu Haatim [lihat Tahdziibul-Kamaal, 17/203].
Ibnul-Jauziy dalam Al-‘Ilal (1/20) berkata : “Hadits itu keliru. Yang mahfuudh bahwasannya Khaalid bin Al-Lajlaaj meriwayatkan dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dan ‘Abdurrahmaan tidak pernah mendengar hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [selesai].
Oleh karena itu, nampak bagi kita bahwa sanad hadits di atas saling berselisihan lagi dla’iif.
HADITS MU’ADZ BIN JABAL
Sudah include dalam pembahasan hadits ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy.
HADITS TSAUBAAN RADLIYALLAAHU ‘ANHU
عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن ربي أتاني الليلة في أحسن صورة وفي هذه الأخبار ووضع يده بين كتفي
Dari Tsaubaan, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Rabb-ku pernah mendatangiku di satu malam dalam sebaik-baik bentuk”. Dalam khabar ini disebutkan : “Dan Dia meletakkan tangan-Nya di antara dua pundakku”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah[43] no. 470.
Abu Sallaam Al-Aswad Al-Habsyiy, ia seorang tabi’iy tsiqah. Namun ia tidak pernah mendengar dari Tsaubaan sebagaimana dikatakan Ahmad bin Hanbal, Yahyaa bin Ma’iin, ‘Aliy bin Al-Madiiniy, dan Abu Haatim [lihat Al-Maraasil, hal. 215-216]. Dengan kata lain, riwayatnya dari Tsauban berstatus mursal.
Abu Yaziid, ia adalah Ghailaan bin Anas Al-Kalbiy. Ibnu Hajar berkata : “Maqbuul”. Ibnu Abi Haatim tidak menyebut padanya jarh ataupun ta’dil-nya. Beberapa perawi tsiqaat telah meriwayatkan darinya. Al-Mizziy menyebutkan perawi yang meriwayatkan darinya antara lain : Syu’aib bin Abi Hamzah, ‘Abdullah bin Al-‘Allaa’ bin Zabr, ‘Abdurrahmaan bin ‘Amr Al-Auzaa’iy, ‘Isaa bin Musaa Al-Qurasyiy, dan Manshuur Al-Khaulaaniy [Tahdziibul-Kamaal, 23/127].
Sebagian muhadditsiin berpendapat jika ada sejumlah perawi tsiqah yang meriwayatkan dari perawi majhuul, maka periwayatan mereka menguatkan status perawi majhul tersebut. Ibnu Abi Haatim berkata : “Aku pernah bertanya kepada ayahku mengenai riwayat para perawi tsiqaat dari seorang yang tidak tsiqah, apakah itu termasuk hal yang menguatkannya ?”. Ayahku (Abi Haatim) berkata : “Apabila ia dikenal (ma’ruf) dengan ke-dla’if-annya, maka hal itu tidak dapat menguatkan riwayatnya itu darinya. Namun jika ia seorang perawi majhul, maka hal itu bermanfaat (menguatkan) baginya atas riwayat para perawi tsiqat tersebut darinya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 1/1/36].[44]
Adapun Abu Shaalih, ia adalah sekretaris Al-Laits bin Sa’d. Para ulama berbeda pendapat tentangnya. ‘Abdul-Malik bin Syu’aib bin Al-Laits, Yahyaa bin Ma’iin, Abu Zur’ah, dan yang lainnya memberikan pujian kepadanya. Namun Ahmad bin Hanbal, Abu ‘Aliy Shaalih bin Muhammad, Ahmad bin Shaalih, An-Nasa’iy, dan yang lainnya memberikan celaan (jarh) kepadanya. Adapun Abu Haatim memberikan kritik secara secara proporsonal, yaitu hadits-hadits yang ia riwayatkan di akhir umurnya adalah diingkari, namun jika selain itu diterima. Perkataan ini senada dengan Ahmad bin Hanbal dalam satu riwayat.
Ibnu Hajar dalam At-Taqriib memberikan kesimpulan : “Shaduuq (jujur) namun banyak salahnya. Tsabt dalam kitabnya, dan padanya terdapat kelalaian (ghaflah)”.
Di sini, riwayat Abu Shaalih diambil dari Mu’aawiyyah bin Shaalih. Al-Mizziy menukil perkataan Ibnu ‘Adiy[45] :
ولعبد الله بن صالح روايات كثيرة، عن صاحبه الليث بن سعد، وعنده عن معاوية بن صالح نسخة كبيرة، .....
“’Abdullah bin Shaalih mempunyai riwayat yang cukup banyak. (Diantaranya) dari shahabatnya Al-Laits bin Sa’d, padanya terdapat tulisan/salinan yang sangat besar/banyak dari Mu’awiyyah bin Shaalih…..” [Tahdziibul-Kamal, 15/107].
Perkataan Ibnu ‘Adiy di atas menunjukkan bahwa riwayat Mu’awiyyah bin Shaalih dari Abu Shaalih diambil dari kitab. Bukan dari hapalan. Oleh karena itu, sangat besar kemungkinan riwayatnya dari Mu’awiyyah ini berderajat shahih, atau minimal hasan.
Kesimpulan status hadits Tsaubaan adalah dla’if dengan sebab keterputusan antara Abu Sallaam dan Tsaubaan, namun ia menjadi shahih dengan penguat-penguatnya sebagaimana dituliskan di artikel ini.
Maka, perkataan seseorang :
Syaikh Al Albani dalam Zhilal Al Jannah no 470 mengakui kelemahan Abdullah bin Shalih bahkan beliau menambahkan bahwa Abu Yahya tidak dikenal dan Abu Yazid adalah Ghailan bin Anas yang menurut manhaj Syaikh Al Albani maka ia seorang majhul hal karena menurut Syaikh tidak ada yang menyatakan ta’dil padanya. Syaikh memang tidak menyebutkan kalau sanad hadis ini terputus dan tentu kenyataan bahwa sanad tersebut munqathi’ malah memperberat status sanad hadisnya. Oleh karena itu kami cukup heran dengan Syaikh Al Albani yang menyatakan bahwa hadis ini shahih dengan syawahid.
telah terjawab pada uraian di atas. Jika yang bersangkutan merasa heran, maka saya pribadi juga cukup heran atas ‘keheranan’-nya itu. Kelemahan dalam hadits Tsaubaan karena adanya inqitha’ – pun jika dimasukkan juga kelemahan ‘Abdullah bin Shaalih dan Abu Yahyaa – adalah tidak terlalu berat dan dapat menjadi kuat jika adanya ada penguatnya (dari hadits lainnya yang sama atau semakna).
HADITS JAABIR BIN SAMURAH RADLIYALLAAHU ‘ANHU
عن جابر بن سمرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن الله تعالى تجلى لي في أحسن صورة فسألني فيما يختصم الملأ الأعلى قال قلت ربي لا أعلم به قال فوضع يده بين كتفي حتى وجدت بردها بين ثديي أو وضعهما بين ثديي حتى وجدت بردها بين كتفي فما سألني عن شيء إلا علمته
Dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah ta’ala menampakkan diri kepadaku dalam sebaik-baik bentuk. Maka Dia bertanya kepadaku : ‘Apakah yang diperbantahkan oleh Al-Malaul-A’la (para malaikat) ?’ Aku berkata : “Wahai Rabb-ku, aku tidak mengetahuinya’. Maka Dia meletakkan tangan-Nya di antara dua pundakku hingga aku merasakan dinginnya di antara dua dadaku’. Atau : Dia meletakkan dua tangan-Nya di antara dua dadaku hingga aku merasakan dinginnya di antara dua pundakku. Tidaklah Dia bertanya kepadaku tentang sesuatu kecuali aku mengetahuinya”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah[46] no. 465.
Mengomentari hadits ini, Asy-Syaikh Al-Albaniy rahimahullah berkata : “Sanadnya hasan. Para perawinya tsiqaat, termasuk rijaal Shahiihain (Al-Bukhariy dan Muslim) selain Simaak bin Harb. Ia termasuk rijaal Muslim saja. Di dalamnya terdapat pembicaraan sebagaimana telah lalu penjelasannya sebelum hadits ini…” [Dhilaalul-Jannah, hal. 203].
Kedudukan hadits tersebut memang seperti yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy rahimahullah.
Sebagian kalangan men-dla’if-kan hadits ini dengan sebab Simaak bin Harb. Ia dianggap hadisnya mudltharib, hafalannya yang buruk alias tidak dlabith, dan ia mengalami ikhtilath. Memang benar beberapa ulama mengkritiknya seperti Syu’bah, Sufyan Ats-Tsauriy, Ahmad bin Hanbal, An-Nasa’iy, dan yang lainnya. Namun pendla’ifan itu tidak pada semua riwayat Simaak. Contoh : Walaupun Syu’bah mendla’ifkannya (dan Syu’bah ini termasuk ulama yang mutasyaddid dalam men-jarh), namun ia sendiri meriwayatkan hadis darinya dan direkam dalam kitab Shahih.
حدثنا علي بن خشرم أخبرنا عيسى يعني بن يونس عن شعبة عن سماك بن حرب عن علقمة بن وائل عن أبيه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا تقولوا الكرم ولكن قولوا الحبلة يعني العنب
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Khasyram : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Isaa – yaitu Ibnu Yunus - , dari Syu’bah, dari Simaak bin Harb, dari ‘Alqamah bin Waail, dari ayahnya, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau besabda : “Janganlah kalian menyebut ‘karm’. Tapi sebutlah ia dengan ‘hablah’ – yaitu untuk anggur” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. 2248].
Contoh lain sangat mudah didapat dalam Shahih Muslim.
Kembali pada hadits ru’yah,… pen-dla’if-an hadits ini berbagai alasan di atas adalah sangat lemah. Jalur periwayatan dalam hadits ini, yaitu : mulai Abu Bakr bin Abi Syaibah, dari Yahyaa bin Abi Bukair, dari Ibraahiim bin Thahmaan, dari Simaak bin Harb, dari Jaabir bin Samurah merupakan jalur periwayatan yang dipakai Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya !!
وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا يحيى بن أبي بكير عن إبراهيم بن طهمان حدثني سماك بن حرب عن جابر بن سمرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إني لأعرف حجرا بمكة كان يسلم علي قبل أن أبعث إني لأعرفه الآن
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Abi Bukair, dari Ibraahiim bin Thahmaan : Telah menceritakan kepadaku Simaak bin Harb, dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh aku mengenal batu di Makkah yang dulu pernah mengucapkan salam kepadaku sebelum aku diutus (sebagai Nabi). Sungguh sekarang aku masih mengenalnya” [Diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya no. 2277].
Apakah hadits di atas juga termasuk dla’if (karena anggapan ke-dlaif-an Simaak) ? Jika iya, sungguh, ini perkataan muhdats.
Ia dikritik para ulama terutama dalam periwayatan dari ‘Ikrimah, bukan dalam semua riwayatannya. Pun anggapan bahwa haditsnya mudltharib, harus ditunjukkan alasannya dan buktinya. Bertaburan hadits Simaak bin Harb dalam Shahih Muslim dari Jaabir bin Samurah. Apakah ini juga dianggap mudltharib ?
Ahmad bin ‘Abdillah Al-‘Ijliy berkata tentangnya : “…..Jaaizul-hadiits, kecuali dalam periwayatan hadits ‘Ikrimah. Terkadang ia menyambungkan sesuatu dari Ibnu ‘Abbas, dan terkadang ia berkata : ‘Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Padahal (hadits/riwayat) itu hanyalah ‘Ikrimah yang menceritakan dari Ibnu ‘Abbas…”.
Ya’quub pernah bertanya kepada ‘Aliy bin Al-Madiiniy : “Apa pendapatmu tentang riwayat Simaak dari ‘Ikrimah ?”. Ia menjawab : “Mudltharib”.
Ibnu Hajar dalam At-Taqriib 1/394 menyatakan kalau Simmaak bin Harb jujur tetapi riwayatnya dari Ikrimah mudltharib, ia mengalami kekacauan hafalan dan ia menerima riwayat dengan talqiin.
Lagi pula, tidak semua hadits ru’yah itu mudltharib. Jalur periwayatan Simaak bin Harb dari Jaabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu yang dibawakan oleh Ibnu Abi ‘Aashim di sini bersih dari idlthirab.
Oleh karena itu, jalur periwayatan Ibraahiim bin Thahmaan, dari Simaak bin Harb, dari Jaabir (atau lebih didetailkan : Abu Bakr bin Abi Syaibah, dari Yahyaa bin Abi Bukair, dari Ibraahiim bin Thahmaan, dari Simaak bin Harb, dari Jaabir bin Samurah) merupakan jalur periwayatan yang maqbul menurut kesepakatan Ahlus-Sunnah secara umum.
HADITS ABU UMAAMAH RADLIYALLAAHU ‘ANHU
عن أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : تراءى لي ربي في أحسن الصورة ثم ذكر الحديث
Dari Abu Umaamah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Rabb-ku memperlihatkan diri kepadaku dalam sebaik-baik bentuk”. Kemudian beliau menyebutkan hadits.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah[47] no. 466.
Asy-Syaikh Al-Albaniy berkata : “Hadits shahih dengan penguat hadits-hadits sebelumnya dan setelahnya. Rijal-nya tsiqaat kecuali Laits, ia adalah Ibnu Abi Sulaim. Ia mengalami ikhtilath (bercampur hapalannya)” [Dhilaalul-Jannah, hal. 203].
Selain kelemahan yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy, juga ada keterputusan antara Ibnu Saabith – ia adalah ‘Abdurrahman bin Saabith – dan Abu Umaamah radliyallaahu ‘anhu; sebagaimana dikatakan oleh Yahyaa bin Ma’iin dalam riwayat ‘Abbaas Ad-Duuriy dalam At-Taariikh 2/365.
Kesimpulannya : Hadits Abu Umaamah adalah dla’iif dengan sebab ke-dla’if-an Laits dan inqitha’ antara Ibnu Saabith dan Abu Umaamah. Dan ia menjadi shahih dengan penguat beberapa hadits sebelumnya.
HADITS ABU RAAFI’ RADLIYALLAAHU ‘ANHU
عن أبي رافع قال خرج علينا رسول الله صلى الله عليه و سلم مشرق اللون فعرف السرور في وجهه فقال رأيت ربي في أحسن صورة فقال لي يا محمد أتدري يم يختصم الملأ الأعلى ؟ فقلت يا رب في الكفارات قال وما الكفارات ؟ قلت إبلاغ الوضوء أماكنه على الكراهيات والمشي على الأقدام إلى الصلوات وانتظار الصلاة بعد الصلاة
Dari Abu Raafi’ yang berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar kepada kami dengan wajah yang cerah dan tampak kegembiraan di wajahnya. Kemudian beliau bersabda : “Aku melihat Rabbku dalam sebaik-baik bentuk dan Dia berkata kepadaku “Wahai Muhammad apakah kamu tahu mengenai apa Al-Mala’ul-A’laa (para malaikat) bertengkar?”. Aku menjawab : “Wahai Rabbku tentang Al-Kafaaraat?”. Dia berfirman “Apa itu Al-Kafaaraat?” Aku menjawab : “Menyempurnakan wudhu’ dalam keadaan yang tidak disukai, berjalan untuk shalat berjama’ah dan menunggu waktu shalat setelah shalat”.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir[48] 1/317 no. 938.
Hadits ini sangat lemah karena keberadaan Ja’far bin Muhammad bin Maalik Al-Fazariy Al-Kuufiy. Ia adalah guru Ath-Thabaraniy yang dikatakan dla’iif dan pemalsu hadits sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Taraajum Syuyukh Ath-Thabaraniy no 331.
Al-Haitsamiy berkata tentang hadits di atas : “Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir, padanya ada perawi : ‘Abdullah bin Ibraahiim bin Al-Husain, dari ayahnya. Aku tidak melihat biografinya” [Majmu’uz-Zawaaid, 1/237 no. 1222].
Hadits Abu Raafi’ Ini tetap dalam keadaanya (dla’if jidan) dan tidak boleh dipakai sebagai hujjah dari sisi manapun.
KESIMPULAN UMUM
Hadits melihat Allah dalam sebaik-baik bentuk (di waktu tidur/mimpi oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) secara keseluruhan adalah shahih dari sisi sanad maupun matan (lafadh)-nya tanpa keraguan. Beberapa hadits saling menguatkan. Sebagian di antaranya shahih, hasan, dan juga dla’iif. Kalau pun toh masing-masing jalan dianggap dla’if, maka itu tidak menutup kemungkinan bahwa hadits itu dapat naik status menjadi hasan li-ghairihi.
Walhamdulillahi rabbil-‘aalamiin….. semoga bermanfaat.
Direvisi tanggal 16 Nopember 2009, terutama untuk perbaikan kalimat “terangkat status majhul haal-nya” menjadi “status majhul haal-nya menjadi kuat” dalam catatan kaki 15, juga beberapa kekeliruan huruf, kata, atau susunan kalimat/kata yang lainnya.
[1] Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim dan Shadaqah, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Jaabir, ia berkata : Khaalid bin Al-Lajlaaj pernah pergi bersama kami, lalu Mak-huul memanggilnya dan berkata kepadanya : “Wahai Abu Ibrahim, ceritakanlah kepada kami hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy”. Ia (Khaalid bin Al-Lajlaaj) berkata : “Aku mendengar ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “…..(al-hadits)…”.
[2] Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar : Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khaalid dan Al-Waliid bin Muslim, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Jaabir, ia adalah ‘Abdurrahman bin Yaziid bin Jaabir, ia berkata : Khaalid bin Al-Lajlaaj pernah pergi/berjalan bersama kami, maka Mak-huul memanggilnya dan berkata kepadanya : “Wahai Abu Ibrahim, ceritakanlah kepada kami hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aayisy”. Ia (Khaalid bin Al-Lajlaaj) berkata : “Aku mendengar ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “…..(al-hadits)…”.
[3] Al-Waliid meriwayatkan, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Yaziid bin Jaabir, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Al-Lajlaaj, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “…..(al-hadits)….”.
[4] Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Abdirrahman, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al-Qaasim bin Bisyr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Yaziid bin Jaabir, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Khaalid bin Al-Lajlaaj : (Aku mendengar) ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy (Al-Hadlramiy) berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “……(al-hadits)….”.
[5] Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Mubaarak : Telah menceritakan kepadaku Al-Waliid bin Muslim : Telah menceritakan kepada Ibnu Jaabir, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj. Makhuul memintanya untuk menceritakan hadits kepadanya. Lalu ia (Khaalid) berkata : Aku mendengar ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “……(al-hadits)….”.
[6] Telah menceritakan kepada kami Abul-Hasan ‘Aliy bin ‘Abdillah bin Mubasysyar : Telah menceritakan kepada kami Abul-Asy’ats Ahmad bin Al-Miqdaam : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Yaziid bin Jaabir, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : …..(al-hadits)…”.
[7] Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin ‘Ubaidillah, ia berkata : Telah mengkhabarkankepada kami ‘Aliy bin Ahmad bin Basriy, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Abu ‘Abdillah bin Baththah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Aliy Ismaa’iil bin Al-‘Abbaas Al-Warraaq, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Hassaan Al-Azraq, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Waliid bin Muslim, dari ‘Abdurrahmaan bin Zaid bin Jaabir, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “……(al-hadits)….”.
[8] Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad Al-Muqriy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Haamid Al-Hadlramiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin ‘Umar bin Khaalid Al-Aqtha’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Isaa bin Yuunus, dari Al-Auza’iy, dari ‘Abdurrahmaan bin Yaziid, ia berkata : Aku mendengar Khaalid bin Al-Lajlaaj mengatakan : Dari ‘Abdurrahman bin ‘Aayisy, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar pada waktu Shubuh…….dst.”.
[9] Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Ahmad bin Al-Hasan bin ‘Abdil-Jabbaar Ash-Shuufiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin ‘Umar Ar-Raqiy, ia berkata : Telah mencertakan kepada kami ‘Isaa bin Yuunus, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Auzaa’iy, dari ‘Abdurrahman bin Yaziid bin Jaabir, ia berkata : Aku mendengar Khaalid bin Al-Lajlaaj menceritakan hadits kepada Mak-huul, dari ‘Abdurrahman bin ‘Aayisy, ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “…..(al-hadits)….”.
[10] Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-Waahid bin Ahmad Al-Maliihiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Manshuur Muhammad bin Muhammad bin Sam’aan An-Naisaabuuriy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdil-Jabbaar Ar-Rayyaaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Humaid bin Zanjuwaih : Telah mengkhabarkan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar : Telah mengkhabarkan kepada kami Shadaqah bin Khaalid : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahman bin Yaziid bin Jaabir, ia berkata : Khaalid bin Al-Lajlaaj pernah pergi bersama kami, lalu Mak-huul memanggilnya dan berkata kepadanya : “Wahai Abu Ibrahim, ceritakanlah kepada kami hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy”. Ia (Khaalid bin Al-Lajlaaj) berkata : “Aku mendengar ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “…..(al-hadits)…”.
[11] Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah memberitakan kepada kami Al-‘Abbaas bin Al-Waliid bin Maziid Al-Bairuutiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Syu’aib bin Syaabuur : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Yaziid bin Jaabir : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Al-Lajlaaj : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin ‘Aayisy Al-Hadlramiy, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “…….(al-hadits)….”.
[12] Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ya’quub bin Yuunus dan Khaitsamah bin Sulaimaan, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-‘Abbaas bin Al-Waliid bin Maziid : Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Jaabir dan Al-Auza’iy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Al-Lajlaaj : Aku mendengar ‘Abdurrahmaan bin ‘Aayisy berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami pada waktu shubuh….dst.”.
[13] Telah menceritakan kepadaku Al-‘Abbaas bin Al-Waliid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Jaabir, ia berkata – Dan juga telah menceritakan kepada kami Al-Auza’iy – ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Khaalid bin Al-Lajlaaj, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami pada waktu Shubuh…dst.”.
[14] Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh dan Abu Sa’iid Muhammad bin Musa, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-‘Abbaas bin Al-Waliid bin Maziid Al-Bairuutiy : Telah mengkhabarkan kepadaku ayahku : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Jaabir, ia berkata - Dan juga telah mengkhabarkan kepada kami Al-Auza’iy – mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Al-Lajlaaj, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami pada waktu Shubuh….dst.”.
[15] Al-Mizziy menyebutkan beberapa perawi yang meriwayatkan darinya : Zur’ah bin Ibraahiim, Zaid bin Waaqid, Abu Qilaabah ‘Abdullah bin Zaid Al-Jarmiy, ‘Abdullah bin Salimah Al-Muraadiy, ‘Abdurrahmaan bin ‘Amr Al-Auzaa’iy, ‘Abdurrahmaan bin Yaziid bin Jaabir, ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, ‘Utsmaan bin Abi ‘Aatikah, ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, Maslamah bin ‘Abdillah Al-Juhanniy, Mak-huul Asy-Syaamiy, Mundzir bin Naafi’, dan Yaziid bin Yaziid bin Jaabir [lihat Tahdziibul-Kamaal, 8/160].
Lihat pula isyarat ta’dil Ahmad bin Hanbal terhadap Khaalid sebagaimana dapat dilihat pada catatan kaki no. 18.
Oleh karena itu, sangatlah ‘lucu bin aneh’ ketika membaca komentar seseorang :
Selain itu kami ingin mengajak pembaca untuk memperhatikan salah seorang perawi yang bernama Khalid bin Al Lajlaaj. Biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 3 no 215 bahwa dia seorang perawi Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i. Tidak ada satupun ulama yang menyatakan ia tsiqat kecuali Ibnu Hibban yang memasukkannya ke dalam kitab Ats Tsiqat. Salafy (termasuk Syaikh Al Albani) biasanya tidak menghiraukan tautsiq Ibnu Hibban karena menurut mereka Ibnu Hibban sering mentsiqahkan perawi majhul tetapi aneh sepertinya Syaikh Al Albani tidak mempermasalahkan Khalid bin Al Lajlaaj, beliau malah menyatakan ia tsiqat dan menegaskan kalau hadisnya shahih. Apakah ini suatu kontradiksi? Silakan dinilai
Dikarenakan yang bersangkutan tidak banyak membaca kitab Asy-Syaikh Al-Albaniy, maka ia pun merasa keanehan. Padahal, dalam Tamaamul-Minnah telah dijelaskan metodologi kritik beliau terutama bagi beberapa perawi yang tidak mendapat ta’dil/tautsiq kecuali dari Ibnu Hibbaan. Jikalau sekelompok orang perawi tsiqah meriwayatkan darinya, maka status majhul haal-nya menjadi kuat dan riwayatnya menjadi hasan, atau bahkan bisa menjadi shahih !! Berikut sedikit nukilannya :
والآن أقدم الشواهد الدالة على صواب مسلكي وخطئه فيما رماني به من أقوال أهل العلم.
1 - قال الذهبي في ترجمة مالك بن الخير الزبادي:
"محله الصدق ... روى عنه حيوة بن شريح وابن وهب وزيد بن الحباب ورشدين. قال ابن القطان: هو ممن لم تثبت عدالته ... يريد أنه ما نص أحد على أنه ثقة ... والجمهور على أن من كان من المشايخ قد روى عنه جماعة ولم يأت بما ينكر عليه أن حديثه صحيح"
1 - قال الذهبي في ترجمة مالك بن الخير الزبادي:
"محله الصدق ... روى عنه حيوة بن شريح وابن وهب وزيد بن الحباب ورشدين. قال ابن القطان: هو ممن لم تثبت عدالته ... يريد أنه ما نص أحد على أنه ثقة ... والجمهور على أن من كان من المشايخ قد روى عنه جماعة ولم يأت بما ينكر عليه أن حديثه صحيح"
وأقره على هذه القاعدة في "اللسان" وفاتهما أن يذكرا أنه في "ثقات ابن حبان" 7 / 460 وفي "أتباع التابعين" كالهيثم بن عمران هذا! وبناء على هذه القاعدة - التي منها كان انطلاقنا في تصحيح الحديث - جرى الذهبي والعسقلاني وغيرهما من الحفاظ في توثيق بعض الرواة الذين لم يسبقوا إلى توثيقهم مطلقا فانظر مثلا ترجمة أحمد بن عبدة الآملي في "الكاشف" للذهبي و "التهذيب" للعسقلاني.
وأما الذين وثقهم ابن حبان وأقروه بل قالوا فيهم تارة: "صدوق" وتارة: "محله الصدق" وهي من ألفاظ التعديل كما هو معروف فهم بالمئات فأذكر الآن عشرة منهم من حرف الألف على سبيل المثال من "تهذيب التهذيب" ليكون القراء على بينة من الأمر:
1 - أحمد بن ثابت الجحدري.
2 - أحمد بن محمد بن يحيى البصري.
3 - أحمد بن مصرف اليامي.
4 - إبراهيم بن عبد الله بن الحارث الجمحي.
5 - إبراهيم بن محمد بن عبد الله الأسدي.
6 - إبراهيم بن محمد بن معاوية بن عبد الله.
7 - إسحاق بن إبراهيم بن داود السواق.
8 - إسماعيل بن إبراهيم البالسي.
9 - إسماعيل بن مسعود بن الحكم الزرقي.
10 - الأسود بن سعيد الهمداني.
كل هؤلاء وثقهم ابن حبان فقط. وقال فيهم الحافظ ما ذكرته آنفا من عبارتي التوثيق ووافقه في ذلك غيره من الحفاظ في بعضهم وفي غيرهم من أمثالهم ومن عادته أن يقول في غيرهم ممن وثقهم ابن حبان ممن روى عنه الواحد والاثنان:
"مستور" أو: "مقبول". كما حققته في موضع آخر.
وأما الذين وثقهم ابن حبان وأقروه بل قالوا فيهم تارة: "صدوق" وتارة: "محله الصدق" وهي من ألفاظ التعديل كما هو معروف فهم بالمئات فأذكر الآن عشرة منهم من حرف الألف على سبيل المثال من "تهذيب التهذيب" ليكون القراء على بينة من الأمر:
1 - أحمد بن ثابت الجحدري.
2 - أحمد بن محمد بن يحيى البصري.
3 - أحمد بن مصرف اليامي.
4 - إبراهيم بن عبد الله بن الحارث الجمحي.
5 - إبراهيم بن محمد بن عبد الله الأسدي.
6 - إبراهيم بن محمد بن معاوية بن عبد الله.
7 - إسحاق بن إبراهيم بن داود السواق.
8 - إسماعيل بن إبراهيم البالسي.
9 - إسماعيل بن مسعود بن الحكم الزرقي.
10 - الأسود بن سعيد الهمداني.
كل هؤلاء وثقهم ابن حبان فقط. وقال فيهم الحافظ ما ذكرته آنفا من عبارتي التوثيق ووافقه في ذلك غيره من الحفاظ في بعضهم وفي غيرهم من أمثالهم ومن عادته أن يقول في غيرهم ممن وثقهم ابن حبان ممن روى عنه الواحد والاثنان:
"مستور" أو: "مقبول". كما حققته في موضع آخر.
“Sekarang akan aku (Al-Albaniy) sampaikan beberapa bukti yang menunjukkan validitas metodologi yang aku pergunakan dari pendapat-pendapat ahli ilmu dan kekeliruan tuduhannya kepadaku.
Adz-Dzahabiy mengatakan dalam biografi Maalik bin Al-Kair Az-Zabaadiy :
Kedudukannya adalah shidq (jujur)…. Hiwah bin Syuraih, Ibnu Wahb, Zaid bin Hubab, dan Rusydin telah meriwayatkan (hadits) darinya. Ibnul-Qaththaan berkata : ‘Ia termasuk orang yang tidak pasti ke-‘adalah-annya’. Maksudnya, tidak seorang pun menyatakan bahwa ia tsiqah. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang yang termasuk golongan syaikh yang diriwayatkan (haditsnya) oleh Jama’ah dan tidak meriwayatkan sesuatu yang munkar, maka haditsnya shahih”.
Al-Haafidh mengakuinya berdasarkan kaidah ini dalam Al-Lisaan, namun keduanya (Al-Haafidh dan Adz-Dzahabiy) lupa menyebutkan bahwa Maalik bin Al-Khair Az-Zabadiy ini terdapat dalam Ats-Tsiqaat-nya Ibnu Hibbaan (7/460) dan dalam atba’ut-taabi’in seperti halnya Al-Haitsam bin ‘Imraan. Berdasarkan kaedah ini – yang menjadi pegangan kami dalam menshahihkan hadits - , Adz-Dzahabiy, Al-‘Asqalaaniy, dan para haafidh yang lain memberikan tautsiq kepada sebagian perawi yang belum memperoleh tautsiq secara mutlak. Lihatlah misalnya biografi Ahmad bin ‘Abdah Al-Aamiliy dalam Al-Kaasyif karya Adz-Dzahabiy dan At-Tahdziib karya Al-‘Asqalaaniy.
Adapun orang yang telah memperoleh tautsiq Ibnu Hibbaan dan diakui oleh ahli hadits, bahwa terkadang mereka mengatakan mengenai orang-orang ini : ‘Jujur’, dan dalam kesempatan lain : ‘Tempatnya kejujuran’ – dimana ini adalah sebagian dari kata-kata ta’dil (pujian) sebagaimana telah dimaklumi, dan jumlah mereka ratusan. Di sini aku akan sebutkan sepuluh saja dari mereka yang berinisial dimuali huruf ‘alif, sebagai contoh – dinukil dalam tahdziibut-Tahdziib – agar Pembaca dapat mengetahui dengan jelas. Berikut nama-nama dari sepuluh orang tersebut :
1. Ahmad bin Tsaabit
2. Ahmad bin Muhammad bin Yahyaa Al-Bashriy.
3. Ahmad bin Musharrif.
4. Ahmad bin Musharrif Al-Yaamiy.
5. Ibraahiim bin ‘Abdillah bin Al-Haarits Al-Jumahiy.
6. Ibraahiim bin Muhammad bin ‘Abdillah Al-Asadiy.
7. Ibraahiim bin Muhammad bin Mu’aawiyyah bin ‘Abdillah.
8. Ishaaq bin Ibraahiim bin Daawud As-Sawwaaq.
9. Ismaa’il bin Ibraahiim Al-Baalisiy.
10. Al-Aswad bin Sa’iid Al-Hamadaniy.
Mereka semua hanya memperoleh tautsiq dari Ibnu Hibbaan. Mengenai orang-orang tersebut, Al-Haafidh menyatakan bahwa apa yang baru saja aku sebutkan adalah dari dua ungkpan tautsiq dan disepakati oleh para huffadh yang lain mengenai sebagian mereka dan mengenai orang-orang semisal yang lain. Di antara kebiasaan Al-Haafidh mengenai perawi-perawi lain yang memperoleh tautsiq Ibnu Hibbaan, dimana hanya satu atau dua orang yang meriwayatkan dari mereka, adalah mengatakan : ‘mastur’ atau ‘maqbul’, seperti yang aku sebutkan di tempat lain….” [selesai perkataan Al-Albaniy rahimahullah dalam Tamaamul-Minnah hal. 204-206].
[16] Melalui perantaraan ta’liq Husain Asad atas Sunan Ad-Darimiy hal. 1365-1366.
[17] Idem.
[18] Walau pendapat raajih mengatakan ia bukan berstatus shahabat, namun dengan dimasukkannya ia di jajaran para shahabat oleh sebagian muhaaditsiin menunjukkan ia seorang perawi ma’ruf, sekaligus merupakan tautsiq yang diberikan mereka kepadanya (seperti Al-Baghawiy, Ibnu Qaani’, Ibnu Hibbaan, dan yang lainnya).
Ahmad bin Hanbal telah menshahihkan hadits ini (yaitu dari jalan Ibnu Jaabir), sebagaimana tertera dalam Tahdziibul-Kamaal (17/203) :
“Abu Zur’ah Ad-Dimasyqiy juga berkata : ‘Aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal : ‘Sesungguhnya Ibnu Jaabir telah menceritakan sebuah hadits dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Aku telah melihat Rabb-ku dalam sebaik-baik bentuk’. Qatadah juga menceritakan hadits tersebut dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas; mana di antara keduanya yang lebih engkau cintai ?’. Ahmad menjawab : ‘Hadits Qatadah itu tidak ada apa-apanya. Dan perkataan (yang dianggap/shahih) di sini adalah yang dikatakan Ibnu Jaabir” [selesai].
Begitu juga tashhiih At-Tirmidziy dan Al-Bukhariy sebagaimana disinggung di awal pembahasan.
Sudah ma’ruf bahwa tashhih terhadap satu hadits merupakan tashhih terhadap sanadnya. Termasuk di sini ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Ringkas kata, Ahmad bin Hanbal telah memberikan ta’dil kepadanya.
Tiga orang perawi telah meriwayatkan darinya yaitu : Khaalid bin Al-Lajlaaj, Rabii’ah bin Yaziid, dan Abu Sallaam Al-Aswad. Ketiganya adalah perawi tsiqah.
[19] Pertama (4/66): Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir : Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Muhammad, dari Yaziid bin Yaziid – yaitu Ibnu Jaabir, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy, dari sebagian shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui mereka pada waktu Shubuh……dst.”.
Kedua (5/378): Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir : Telah menceritakan kepada kami Zuhair – yaitu Ibnu Muhammad - , dari Yaziid bin Yaziid – yaitu Ibnu Jaabir - , dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy, dari sebagian shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui mereka pada waktu Shubuh……dst.”.
[20] Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Qaasim bin Al-Hushain hadits tersebut secara lengkap : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Aliy bin Al-Mudzhib : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Ja’far : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Aamir : Telah mengkhabarkan kepada kami Zuhair [bin Muhammad], dari Yaziid bin Yaziid, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui mereka….dst.”.
[21] Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Abu ‘Aamir – yaitu ‘Abdul-Malik bin ‘Amr - : Telah mengkhabarkan kepada kami Zuhair – yaitu Ibnu Muhammad - , dari Yaziid – yaitu Ibnu Jaabir – dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aayisy, dari sebagian shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam pernah keluar menemui mereka pada waktu Shubuh….”.
[22] Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin Yuusuf Ath-Tharaaifiy di Mesir : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Marzuuq : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir Al-‘Aqadiy : Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Muhammad, dari Yaziid bin Jaabir, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aayisy, dari sebagian shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada waktu Shubuh….dst.”.
[23] Telah menceritakan kepada kami Abu Musaa Muhammad bin Al-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Aamir ‘Abdul-Malik bin ‘Amr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Zuhair – ia adalah Ibnu Muhammad - , dari Yaziid – Abu Musa berkata : Ia adalah Yaziid bin Jaabir - , dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami….”.
[24] Pertama : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr ‘Abdul-Ghaffaar bin Muhammad Siirawiy dalam kitabnya, dan telah menceritakan kepadaku darinya Abul-Mahaasin Ath-Thabasiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Al-Hairiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Asham : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim bin Marzuuq : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Aamir : Telah mengkhabarkan kepada kami Zuhair bin Muhammad, dari Yaziid bin Yaziid, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami…..dst.”.
Kedua : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Qaasim ‘Aliy bin Ibraahiim - secara qiraa’at - : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Aliy Al-Ahwaaziy - secara ijaazah - : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Syujaa’ Faatik bin ‘Abdillah Al-Muzaahimiy di (daerah) Shuur : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Qaasim ‘Aliy bin Muhammad bin Thaahir Ash-Shuuriy di (daerah) Shuur - : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Hasan Muhammad bin Sulaimaan bin Muslim Al-Baghdaadiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Maimuun bin Al-Ashbagh An-Nashiibiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid bin ‘Aamir : Telah mengkhabarkan kepada kami Zuhair bin Muhammad, dari Yaziid bin Yaziid bin Jaabir, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami pada waktu Shubuh….dst.”.
[25] Sebagaimana dikatakan oleh Al-Bukhariy, Ahmad, dan Abu Haatim [lihat Tahdziibul-Kamaal, 9/416-418].
[26] Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Abu Sa’iid maulaa Bani Haasyim : Telah menceritakan kepada kami Jahdlam – yaitu Al-Yamaamiy – : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa – yaitu Ibnu Abi Katsiir - : Telah menceritakan kepada kami Zaid – yaitu Ibnu Abi Salaam - , dari Abu Salaam, ia adalah Zaid bin Salaam bin Abi Salaam yang dinisbahkan kepada kakeknya : Bahwasannya ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy telah menceritakan kepadanya, dari Maalik bin Yakhaamir : Bahwasannya Mu’adz bin Jabal berkata : “……(al-hadits)….”.
[27] Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mu’aadz bin Haanii’ Abu Haanii’ Al-Yasykuriy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Jahdlam bin ‘Abdillah, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Zaid bin Sallaam, dari Abu Sallaam, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, bahwasannya ia (‘Abdurrahmaan) telah menceritakan kepadanya (Abu Sallaam), dari Maalik bin Yakhaamir As-Saksakiy, dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata : “…….(al-hadits)….”.
[28] Telah mengkhabarkan kepada kami dengannya Abul-Faraj bin Qudaamah, Abul-Ghanaaim bin ‘Allaan, dan Ahmad bin Syaibaan, mereka berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Hanbal, ia berkata : Telah mengkhabarkan Ibnul-Hushain, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnul-Hushain, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Mudzhib, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Qathii’iy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Sa’iid Maulaa Bani Haasyim, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Jahdlam, yaitu Al-Yamaamiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Abi Katsiir, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Abi Sallaam, dari Abu Sallaam, ia adalah Zaid bin Sallaam bin Abi Sallaam, dinisbahkan kepada kakeknya, bahwasannya ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy telah menceritakan kepadanya, dari Maalik bin Yakhaamir : Bahwasannya Mu’aadz bin Jabal berkata : “……(al-hadits)….”.
[29] Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ‘Umar bin Ash-Shabbaah Ar-Raqiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sinaan Al-‘Uuqiy : Telah menceritakan kepada kami Jahdlam bin ‘Abdillah Al-Yamaamiy : -
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muhammad At-Tamaar Al-Bashriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Khuzaa’iy : Telah menceritakan kepada kami Musaa bin Khalaf Al-‘Ammiy; mereka berdua (Jahdlam bin ‘Abdillah Al-Yamaamiy dan Musa bin Khalaf Al-‘Ammiy) berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Zaid bin Sallaam, dari kakeknya Mamthuur, dari Abu ‘Abdirrahmaan As-Saksakiy, dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’aadz bin Jabal, ia berkata : “……(al-hadits)….”.
Perawi yang bernama Abu ‘Abdirrahmaan As-Saksakiy tidak diketemukan biografinya. Kemungkinan besar telah terjadi kekeliruan dalam penyebutan namanya, yaitu ‘Abdurrahman As-Saksakiy atau lebih dikenal dengan nama ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy. Wallaahu a’lam.
Adapun Mamthuur (Al-Habasyiy) adalah Abu Sallaam Al-Aswad Al-Habasyiy, tsiqah namun sering memursalkan riwayat.
[30] Ada riwayat lain dari Mu’aadz bin Jabal yang marfu’ sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa melalui jalur ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy. Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/521, Ath-Thabaraniy dalam Ad-Du’aa no. 1415, dan Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 545 dari jalan Sa’iid bin Suwaid Al-Qurasyiy, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa, dari Mu’aadz bin Jabal, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang hadits yang semisal. Namun padanya terdapat ‘Abdurrahmaan bin Ishaaq. Ia adalah Abu Syaibah Al-Waasithiy Al-Kuufiy, seorang yang matruk.
[31] Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Ayyuub, dari Abu Qilaabah, dari Ibnu ‘Abbas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “…..(al-hadits)….”.
[32] Telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabiib dan ‘Abd bin Humaid, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Abu Qilaabah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “…….(al-hadits)….”.
[33] Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hushain, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnul-Mudzhib, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Ja’far : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, ia berkata : Telah menceritakan ayahku, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Ayyuub, dari Abu Qilaabah, dari Ibnu ‘Abbas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “…..(al-hadits)….”.
[34] Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Ayyuub, dari Abu Qilaabah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “……(al-hadits)….”.
[35] Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil-A’laa Ash-Shan’aaniy – dan ia seorang yang tsiqah - , ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Ayyuub, dari Abu Qilaabah, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “….(al-hadits)….”.
[36] Al-Musnad 1/368.
[37] Telah menceritakan kepada kami Al-Firyaabiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ibraahiim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Raihaan bin Sa’iid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Manshuur, dari Ayyuub, dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Abbas menceritakan hadits kepadanya, yaitu : “…..(al-hadits)….”.
[38] Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mu’aadz bin Hisyaam, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qataadah, dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “…..(al-hadits)….”.
[39] Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Muhammad bin Ash-Shabbaah : Telah menceritakan kepada kami Mu’aadz bin Hisyaam : Telah mengkhabarkan kepadaku ayahku, dari Qataadah, dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “……(al-hadits)….”.
[40] Telah menceritakan kepada kami Abu Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Mu’aadz bin Hisyaam : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qataadah, dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Telah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “…..(al-hadits)….”.
[41] Telah menceritakan kepada kami Bundaar dan Abu Musaa, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Mu’aadz, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qataadah, dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “……(al-hadits)….”.
[42] Telah menceritakan kepada kami Al-Firyaabiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-Qawaayiriy dan Ishaaq bin Rahawaih, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada ami Mu’aadz bin Hisyaam, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qataadah, dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam : “…..(al-hadits)….”.
[43] Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Fudlaalah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Shaalih : Telah menceritakan kepada kami Mu’awiyyah bin Shaalih, dari Abu Yahya, dari Abu Yaziid, dari Abu Salaam Al-Aswad, dari Tsaubaan, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “……(al-hadits)….”.
[44] Sebagaimana telah lalu penjelasan manhaj Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam catatan kaki no. 15.
[45] Al-Kaamil, juz 2 lembar 1240.
[46] Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abi Bukair : Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Thahmaan : Telah menceritakan kepada kami Simmaak bin Harb, dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “…..(al-hadits)….”.
[47] Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Laits, dari Ibnu Saabith, dari Abu Umaamah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “….(al-hadits)….”.
[48] Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Maalik Al-Fazariy Al-Kuufiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Yaquub Al-Asdi, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ibraahaim bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Al-Hasan, dari ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Ubaidullaah bin Abi Raafi’, dari Abi Raafi’, ia berkata : “……..(al-hadits)….”.
Comments
Ustadz, ada yang merespons lagi tuh di secondprince.wordpress.com. Saya yang masih awam tentang hadits jadi bingung nih..
Ya saya sudah melihat jawaban yang bersangkutan atas tulisan di atas…. Semakin dijawab, kok saya semakin tambah yakin bahwa apa yang saya tulis di atas adalah benar. Sebenarnya saya malas untuk memberikan tanggapan. Tapi berhubung antum meminta untuk menanggapi, tak apalah jika saya tulis sedikit tanggapan. Ada beberapa hal yang mungkin perlu saya perjelas……
KAIDAH TASHHIH HADITS ADALAH TASHHIH TERHADAP SANADNYA
Saya kira yang bersangkutan adalah orang yang berpengetahuan tentang hal ini sehingga saya cukup menuliskan kaedah umum (ia akan mengerti) tanpa menuliskan perincian dan istitsna’2 (exceptions)-nya. Tapi melihat tanggapannya, sepertinya kali ini mengharuskan saya untuk menulis lebih.
Pada asalnya, tashhih seorang muhaddits maknanya tashhiih li-dzaatihi. Maknanya, hadits tersebut telah memenuhi persyaratan shahih. Termasuk dalam hal ini persyaratan perawi yang include di dalamnya persyaratan ‘adaalah. Konsekuensinya, para perawi yang menyusun sanad hadits adalah ‘adil menurut penilaian muhaddits tersebut. Kecuali jika disebutkan dari muhaddits tersebut (baik secara langsung atau tidak langsung) bahwa hadits yang ia tashhiih terdapat cacat (baik dari faktor perawi, kebersambungan sanad, atau yang lainnya), maka tashhiih yang ia berikan adalah tashhiih li-ghairihi. Ini kaedah umumnya…... Dan yang saya sebutkan dalam tulisan saya di atas adalah kaedah umum ini dimana teman Rafidlah kita itu tidak perlu miris terhadapnya. Sama halnya ketika disebutkan tingkatan hadits shahih yang keempat sampai keenam : Hadits yang sesuai persyaratan Al-Bukhari dan Muslim – sesuai persyaratan Al-Bukhari saja – sesuai persyaratan Muslim. Apa makna sesuai persyaratan Al-Bukhari dan/atau Muslim ? Maknanya hadits tersebut diriwayatkan dari jalur para perawi yang terdapat di dua kitab (Shahih l-Bukhari dan Shahih Muslim) atau salah satunya. Ini juga kaedah umum. Apakah kaedah umum ini berlaku secara mutlak ? Tentu saja tidak…. Sebagaimana beberapa kaedah yang ma’ruf dalam ilmu hadits, ushul fiqh, dan fiqh, ada exception2-nya…… Ada beberapa hadits – walau ia memakai jalur perawi yang dipakai oleh Al-Bukhari dan/atau Muslim – berkualitas dla’if. Kenapa ? Telah ma’ruf di kalangan ahli hadits bahwa tidak semua perawi dalam Shahihain selamat dari kritik. Diantara mereka dinyatakan jumhur sebagai perawi dla’if. Contohnya,…. Ismaa’iil bin ‘Abdillah bin ‘Abdillah bin Uwais, Qathn bin Nusair, Asbaath bin Nashr, dan lain-lain. Ini mah tidak usah dibahas………. Karena dah ma’ruf.
Oleh karena itu, orang Rafidlah tersebut tidak perlu menolak kaedah umum yang saya sampaikan. Kalau mau menanggapi, seharusnya komentarnya adalah : “itu tidak berlaku mutlak…..” atau : “itu ada perinciannya….”. Ini baru benar…………
TA’DIL TERHADAP ‘ABDURRAHMAN BIN ‘AAISY
Orang Rafidlah tersebut menolak ta’dil ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy (yang sebelumnya ia ingin menyanggap kaedah umum yang saya sampaikan), bahwa tashhih Al-Bukhari tidak menunjukkan ta’dil beliau terhadapnya. Ia lalu menyampaikan contoh Asbaath bin Abil-Yasa’ Al-Bashri dan Katsiir bin ‘Abdillah bin ‘Amr. Lah,… yang aneh…. contoh ini justru menjadi hujjah saya atas dirinya, bukan hujjah dirinya terhadap saya. Tentu saja jika dihubungkan dengan apa yang saya tulis di awal. Asbaath dikatakan majhul oleh Abu Haatim dan Ibnu Hajar. Penilaian mereka berdua sebenarnya dilandaskan oleh penilaian Al-Bukhari terhadap Asbaath dalam At-Taariikh Al-Kabiir. Perlu diketahui, kitab At-Taariikh Al-Kabiir merupakan ushul dari kitab Al-Jarh wat-Ta’dil dengan beberapa penambahan. Dalam kitab taariikh-nya, Al-Bukhariy berdiam diri (tidak memberikan penilaian, baik jarh maupun ta’dil) terhadap Asbaath. Sebagian ahli hadits menilai bahwa diamnya Al-Bukhariy menandakan perawi tersebut adalah majhul (menurut beliau). Sedangkan yang lain (seperti Adz-Dzahabi dalam Al-Muuqidhah) menyatakan sedikit memberikan penekanan dan penajaman, bahwa perawi yang tidak mendapat jarh maupun ta’dil namun dipakai hujjah oleh Al-Bukhariy dan Muslim atau salah satu di antara keduanya dalam Shahih-nya, maka statusnya adalah tsiqah, dan haditsnya qawiy (kuat). Ini pendapat jumhur muhadditsiin.
Al-Bukhari hanya membawakan satu hadits Asbaath dalam Shahih-nya yang mengikuti Muslim bin Ibrahim dari periwayatan Hisyaam Ad-Dastuwaa’iy :
حدثنا مسلم حدثنا هشام حدثنا قتادة عن أنس ح وحدثني محمد بن عبد الله بن حوشب حدثنا أسباط أبو اليسع البصري حدثنا هشام الدستوائي عن قتادة عن أنس رضى الله تعالى عنه
Telah menceritakan kepada kami Muslim : telah menceritakan kepada kami Hisyaam : telah menceritakan kepada kami Qataadah, dari Anas :
Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Abdillah bin Hausyab : Telah menceritakan kepada kami Asbaath Abul-Yasa’ Al-Bashri : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam Ad-Dastuwaa’iy, dari Qatadah, dari Anas radliyallaahu ‘anhu…. [Shahih Al-Bukhari no. 1963 versi digital atau no. 2069 versi tercetak].
Hadits ini disebutkan kembali oleh Al-Bukhari pada nomor 2508 (atau no. 2373 versi digital) :
حدثنا مسلم بن إبراهيم حدثنا هشام حدثنا قتادة عن أنس رضى الله تعالى عنه قال
Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam : Telah menceritakan kepada kami Qataadah, dari Anas radliyallaahu ‘anhu.
Jadi hadits Asbaath itu qawiy (kuat) lidzaatihi berdasarkan kaedah yang diterangkan Adz-Dzahabiy karena Al-Asbaath ini tsiqah.
Atau……ia shahih dengan mutaba’ah dari Muslim bin Ibraahiim jika kita tetap menganggap status Asbaath ini majhul jika kita ingin menetapkan berdasarkan perkataan Ibnu Hajar.
Contoh kedua yang dibawakan adalah Katsiir bin ‘Abdillah bin ‘Amr. Di situ justru memperjelas permasalahan yang saya sampaikan. Al-Bukhariy mentashhih hadits Katsiir dari ayahnya dari kakeknya. Ia menghasankan riwayat Katsir karena Yahya bin Sa’iid Al-Anshariy – dengan keimaman beliau – telah meriwayatkan hadits darinya. Al-Bukhariy memberikan tashhih hadits Katsiir mengenai waktu yang diharapkan di hari Jum’at karena ia menganggap hadits Katsiir ini hasan dengan alasan yang telah dituliskan. Maka tidak ada hubungannya dengan perkataan Ahmad, Ibnu Ma’in, dan jama’ah ahli hadits yang mendla’ifkannya, karena yang saya tekankan di sini adalah tashhih hadits include terhadap tashhih sanadnya . Jelasnya, ketika Al-Bukhari men-tashhih hadits Katsir tentang hari Jum’at itu, maka ia men-ta’dil Katsir.
Kembali pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Ketika Al-Bukhariy men-tashhih haditsnya dari jalur Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’aadz bin Jabal secara marfu’; maka ia juga men-tashhih sanadnya dan juga memberikan ta’dil kepada perawinya. Kita ingin tanya kepada teman Rafidlah kita itu : “Ada gak perkataan Al-Bukhariy yang men-jarh ‘ secara jelas pada Abdurrahman bin ‘Aaisy ?”. Al-Bukhariy hanya mengatakan bahwa ‘Abdurrahman ini hanya mempunyai satu hadits dimana para ulama menganggap haditsnya tersebut mudltharib. Tentu saja lain jika Al-Bukhari mengatakan : “mudltharibul-hadiits”. Tapi di sini tidak… Ini bukan jarh. Sebab, seorang yang tsiqah juga bisa mempunyai hadits mudltharib. Contohnya banyak…. Lantas, apa itu sangat musykil bagi teman Rafidliy kita ini jika tashhih beliau dibawa kepada tashhih sanad – sesuai keumuman kaedah - ? Lantas bagaimana dengan perkataan Abu Zur’ah bahwa ia tidak dikenal (laisa bi-ma’ruuf). Ini memang kalimat jarh, namun sifatnya muqayyad. Jika ada seorang ulama/muhaddits yang diakui memberikan ta’dil kepadanya atau menegaskan bahwa ia seorang yang ma’ruf, maka sifat tidak dikenal (majhul) ini hilang, karena orang yang mengetahui menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahui. Dan ini telah diisyaratkan terhadap tashhih Al-Bukhariy.
Juga dengan tashhih Ahmad bin Hanbal. Tidak ternukil sama sekali ia men-jarh ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Bahkan ada dua riwayat darinya yang men-tashhih riwayat ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Pertama, dalam Tahdziibul-Kamaal (17/203) : “Abu Zur’ah Ad-Dimasyqiy juga berkata : ‘Aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal : ‘Sesungguhnya Ibnu Jaabir telah menceritakan sebuah hadits dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Aku telah melihat Rabb-ku dalam sebaik-baik bentuk’. Qatadah juga menceritakan hadits tersebut dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas; mana di antara keduanya yang lebih engkau cintai ?’. Ahmad menjawab : ‘Hadits Qatadah itu tidak ada apa-apanya. Dan perkataan (yang dianggap/shahih) di sini adalah yang dikatakan Ibnu Jaabir” [selesai]. Kedua, dalam Tahdziibul-Kamaal (17/206) : “Diriwayatkan oleh Abu Ahmad bin ‘Adiy, dari Al-Fadhl bin Hubaab, dari Al-Khuzaa’iy, kemudian ia berkata : Hadits ini mempunyai beberapa jalan. Dan aku melihat bahwa Ahmad bin Hanbal menshahihkan riwayat yang dibawakan oleh Musaa bin Khalaf, dari Yahyaa bin Abi Katsiir. Ia (Ahmad) berkata : ‘Hadits ini adalah yang paling shahih”[selesai].
Teman kita ini merasa aneh dengan perbedaan hadits yang di-tashhih antara Al-Bukhariy dan Ahmad (ia hanya memandang satu perkataan Ahmad saja). Saya juga bingung, apa yang dianehkan ? aneh-aneh saja……….. Tidak ada masalah jika ada perbedaan tashhih antara Al-Bukhariy dengan Ahmad, karena yang sedang kita perbincangkan adalah sisi ta’dil atas ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Saya memang berhujjah dengan tashhih keduanya dalam hal ta’dil perawi di sisi mereka. Bukan mempergunakan hadits ini secara keseluruhan dan bersamaan dalam penyimpulan hukum, karena saya telah tegaskan bahwa jalur Qatadah itu dla’if.…..
Kelihatannya, teman Rafidlah kita tidak memahami esensi yang dibicarakan.
Ta’dil terhadap ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini dikuatkan lagi oleh beberapa faktor (sebagian telah saya sebutkan) :
1. Ibnu Hibban telah mencantumkannya dalam Ats-Tsiqaat ---- ingat, saya tidak sedang bergantung semata-mata dari tautsiq Ibnu Hibban, namun ini merupakan penguat dari qarinah2 yang ada.
2. Walaupun pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy bukan termasuk shahabat, namun dengan dimasukkannya ia oleh sebagian muhaddits dalam thabaqah shahabat, maka ini petunjuk akan ke-‘adalah-annya.
[adapun pertanyaan teman Rafidlah kita : “Mengapa saya berpegang pada tautsiq Ibnu Hibban, namun tidak berpegang pada perkataannya bahwa Ibnu ‘Aaisy bukan seorang shahabat; maka saya jawab : Jelas beda antara tautsiq dengan thabaqah perawi, tidak ada korelasi linear antara keduanya. Ia menyangka jika kita melemahkan pendapat seorang muhaddits tentang peletakan thabaqah perawi (apakah ia shahabat, tabi’iin, atau tabi’ut-taabi’iin), juga harus berkonsekuensi melemahkan jarh dan ta’dil yang diberikan muhaddits tersebut kepadanya. Pemahaman macam apa ini ya ?....].
3. Tiga perawi tsiqah meriwayatkan darinya.
4. Satu lagi saya tambah : Umumnya, penghukuman idlthirab pada satu hadits oleh muhadditsiin dimaksudkan terjadi pada perawi tsiqah (atau minimal shaduuq). Bahkan sebagian ulama yang mengkhususkan pembicaraan mudltharib ini hanya pada perawi-perawi tsiqaat (lihat Al-Jawaahirus-Sulaimaniyyah Syarh Al-Mandhumah Al-Baiquniyyah hal. 337). Karena jika idlthiraab ini terjadi atau berporos pada perawi dla’iif, maka ia sudah gugur dari segi asalnya dan ta’arudl atau perselisihan sanad setelah rawi tersebut tidak dianggap.
Beberapa qarinah ini semua menunjukkan akan ke-‘adalah-an ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Dan ‘adalah itu tidak hanya diketahui dari tashrih ta’dil atau pujian yang diberikan oleh muhadditsiin pada seorang perawi. Ada banyak jalan/cara untuk mengetahui sifat ‘adl (ta’dil muhadditsiin) pada seorang perawi [bisa lihat selengkapnya dalam Al-Hadiitsush-Shahih wa Manhajul-‘Ulamaa’il-Muslimiin fit-Tashhih hal. 95-98 dan Al-Jawaahirus-Sulaimaniyyah Syarh Al-Mandhumah Al-Baiquniyyah hal. 55-60 – padanya ada beberapa jalan/cara, adayang maqbul, ada pula yang mardud].
IDLTHIRAB HADITS ‘ABDURRAHMAAN BIN ‘AAISY
Teman Rafidliy kita tetap berpendapat bahwa hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy itu idlthirab. Telah saya sebutkan ada dua riwayat yang tersisa yang berputar/berporos pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy :
(1) Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian/seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
(2) Dari Abu Salaam (Zaid bin Salaam bin Abi Salaam), dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’adz bin Jabal secara marfuu’.
Untuk nomor 1, teman Rafidlah kita tetap memecahnya menjadi dua untuk lebih mengesankan ke-idlthirab-annya sesuai dengan yang ia inginkan, yaitu :
a. Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian (ba’dlu) shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
b. Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
Dua riwayat di atas masing-masing berasal dari Khaalid bin Al-Lajlaaj. Dalam setiap bahasan hadits mudltharib disebutkan bahwa satu hadits tidak dikatakan mudltharib jika ia bisa ditarjih atau dijamak. Di sini jamak bisa dilakukan. Di atas saya telah menuliskan bahwa tidak ada pertentangan antara sebagian shahabat dengan seorang laki-laki dari kalangan shahabat. Lafadh seorang laki-laki dari kalangan shahabat termasuk bagian dari sebagian shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dalam ilmu ushul, itu termasuk bagian lafadh ‘aam dan lafadh khaash. Antara yang khaash dan ‘aam bukan merupakan bagian kontradiksi, sehingga tidak mengharuskan adanya idlthirab satu dengan lainnya.
Saya ulangi : Sanad ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy hanya ada dua, yaitu :
(1) Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian/seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
(2) Dari Abu Salaam (Zaid bin Salaam bin Abi Salaam), dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’adz bin Jabal secara marfuu’.
Hadits di atas tampak oleh kita bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy menerima riwayat dari orang yang berbeda dan menyampaikannya kepada orang yang berbeda pula. Setelah menukil kalimat saya ini, teman Rafidlah kita itu berkata :
“Sungguh lucu kalimat ini. Jika syarat mudltharib adalah perawi sebelum dan sesudah Abdurrahman harus sama, maka sudah jelas ia bukan mudltharib, tetapi satu sanad yang utuh dan tsabit”.
Halo….halo….. dalam kalimat mana saya mengatakan syarat mudltharib adalah perawi sebelum dan sesudah Abdurrahman harus sama ya ? Saya baca ulang tulisan saya di atas gak ada tuh kalimat yang dimaksud…. baik secara lafadh ataupun makna. Itu hanya karangan teman Rafidlah kita saja untuk membuat opini menguatkan pendapatnya yang salah. Sangat jelas saya katakan :
“Dua riwayat ini tidak mudltharib - walau berporos pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy - karena perawi sebelum dan setelah ‘Abdurrahman berbeda. Ini menunjukkan ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy menerima hadits dari dua pihak, yaitu dari Maalik bin Yakhaamir (dari Mu’adz bin Jabal) dan dari salah seorang/sebagian shahabat Nabi shallalaahu ‘alahi wa sallam, dan kemudian menyampaikannya pada pihak yang berbeda pula. Semua shahih, no problemo. Ini sangat memungkinkan”.
Saya mengatakan hal di atas sebagai qarinah saja (bukan syarat). Tidak lain karena hal itu sangat memungkinkan. Apalagi hadits itu sendiri sangat memungkinkan diriwayatkan dari banyak jalan sanad (bukan dengan sanad tunggal). Bukankah hadits tersebut diucapkan oleh kesaksian para shahabat saat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di masjid ? Maka, bukan hal yang aneh jika ada beberapa shahabat meriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kemudian beberapa diantaranya diriwayatkan melalui jalur ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini, ia sampaikan kepada Khaalid bin Al-Lajlaaj dan Abu Salaam pada waktu yang berbeda.
Ini akan berbeda jika dilalah hadits menunjukkan satu jalan sanad, namun kemudian ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy meriwayatkannya dari dua pihak yang berbeda. Ya, saya sepakat hadits ini adalah mudltharib.
Sebenarnya contoh yang saya berikan dari riwayat Az-Zuhri dalam Shahih Muslim cukup untuk membuat perbandingan dalam hal ini. Namun sayangnya – sebagaimana kebiasaannya – teman Rafidlah kita ini membuat ta’wil2 yang cukup mengherankan..... (bisa banyak komentar diberikan, tapi gak usahlah…hemat kata).
Satu lagi,…. teman Rafidlah kita berkata :
“Kalau ia meriwayatkan dari seorang shahabat, maka untuk apa pula meriwayatkan hadits tersebut dari tabi’in ?”.
Seorang perawi mengambil hadits dari tabi’in dan shahabat sekaligus tidak menyebabkan cacat riwayat secara mutlak, karena di sini Ibnu ‘Aaisy memang mempunyai dua jalur periwayatan. Tidak masalah.
Saya pikir cukup pembicaraan tentang idlthirab ini, karena sudah jelas. Intinya mah, saya sangat tidak sependapat dengan perkataan teman Raafidliy kita ini. Saya tidak mengingkari keberadaan sebagian ulama yang mendla’ifkan hadits Ru’yah yang dibawakan oleh Ibnu ‘Aaisy ini dengan alasan adanya idlthiraab, sama seperti alasan yang disampaikan teman Rafidlah kita.
Kalaupun misal sanad hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini dihukumi idlthiraab, maka ia tetap bisa dijadikan i’tibar, karena hal itu hanya menunjukkan kurangnya sifat dlabth dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Dua jalur sanad yang ia bawakan tetap bersanad dla’if. Tidak dapat dipastikan mana di antara dua sanad tersebut yang mahfudh (shahih). Bersamaan dengan itu, matan haditsnya hanya satu. Jika ada hadits lain yang menguatkan, maka hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy secara keseluruhan bisa terangkat dari ke-dla’if-an (akibat idlthirab sanad) menjadi hasan atau shahih.
INKONSISTENSI SYAIKH AL-ALBANIY ?
Terus terang saya senyum2 geli melihat defense berlebihan yang dilakukan oleh teman Rafidlah kita ini dalam menutupi kekurangpengetahuannya. Dalam ucapannya terdahulu ia mengkritik Syaikh Al-Albani yang dianggapnya tidak konsisten ketika menjadikan riwayat Khaalid bin Al-Lajlaaj sebagai hujjah. Katanya, Syaikh Al-Albani biasanya tidak menghiraukan tautsiq yang hanya diberikan oleh Ibnu Hibban.
Telah saya sanggah perkataan orang ini bahwa sikap beliau menggunakan riwayat Khaalid bin Al-Lajlaaj adalah sesuai dengan metode/manhaj yang telah ia terangkan sendiri. Makanya, sangat keliru jika teman Rafidlah kita ini ‘menyalahkan’ Syaikh Al-Albani, karena justru di sini beliau menunjukkan kesesuaiannya dengan manhaj beliau yang telah diterangkan dalam Tamaamul-Minnah. Ya,… berhubung ia tidak tahu metode yang diterangkan Syaikh Al-Albani, yang sesuai pun dianggap gak konsisten. He…he…he…
Dan anehnya, kok tiba-tiba karena ingin membela diri - malu ngaku keliru – dengan menampilkan beberapa statement dari Syaikh Al-Albani yang ia anggap gak konsisten dengan manhaj beliau terhadap tashhih Ibnu Hibban. Lucu dan gak ada relevansinya jika dikaitkan dengan kritikannya pertama dan sanggahan saya terhadapnya.
Akan saya lanjutkan pembahasan ini di paragraph selanjutnya….
HADITS TSAUBAAN
Tentang Ghailaan bin Anas Al-Kalbiy,……….. telah disebutkan bahwa Ibnu Hajar berkomentar dalam At-Taqriib : ‘maqbuul’. Ibnu Abi Haatim tidak menyebut padanya jarh ataupun ta’dil-nya. Beberapa perawi tsiqaat telah meriwayatkan darinya. Al-Mizziy menyebutkan perawi yang meriwayatkan darinya antara lain : Syu’aib bin Abi Hamzah, ‘Abdullah bin Al-‘Allaa’ bin Zabr, ‘Abdurrahmaan bin ‘Amr Al-Auzaa’iy, ‘Isaa bin Musaa Al-Qurasyiy, dan Manshuur Al-Khaulaaniy [Tahdziibul-Kamaal, 23/127].
Nah,…kemudian teman Rafidlah kita ini – dengan segala kepercayan dirinya – mengatakan :
“Percuma saja saudara Penulis itu mengutip berpanjang-panjang karena pada kenyataannya Syaikh Al-Albani sendiri mengatakan kalau Ghailan bin Anas Al-Kalbi adalah seorang yang majhul haal….”.
Saya jadi bertanya apakah yang bersangkutan paham tidak dengan manhaj Syaikh terhadap hadits mastuur (majhul haal) ? Mungkin yang bersangkutan salah paham dengan tulisan saya pada catatan kaki no. 15 : “maka terangkatlah status majhul haal-nya”. Mungkin beliaunya memahami dari perkataan saya ini, istilah majhul haal-nya hilang. Padahal yang saya maksud status majhul haal nya “terangkat” adalah menjadi kuat dan bisa dijadikan hujjah, sebagaimana nukilan saya dari penjelasan Abu Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil (1/1/36) di atas. Mungkin pilihan kata saya “terangkat” dalam tulisan di atas kurang tepat. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini akan sedikit saya perbaiki kalimatnya agar tidak salah paham – dan itu tidak mengubah esensi hujjah saya.
Mengenai majhul haal ini, sebenarnya dulu telah saya ketika membahas hadits Maalik Ad-Daar. Tapi mungkin yang bersangkutan lupa. Ada baiknya saya ulang :
Majhul haal, yaitu status perawi dimana yang meriwayatkan sebanyak dua orang atau lebih, namun tidak ada seorang pun yang men-tsiqah-kannya. Disebut juga mastur. Hadits atau riwayat dari perawi yang majhul haal atau mastur ini tidak ditolak dan juga tidak diterima secara mutlak. Jelasnya, apabila yang meriwayatkan darinya beberapa perawi tsiqah – meskipun tidak ada yang men-tsiqah-kannya – maka haditsnya/riwayatnya dapat diterima. Immaa derajatnya hasan atau shahih. Diterima riwayatnya karena yang meriwayatkan darinya sejumlah perawi tsiqah, yang mereka tidak meriwayatkan dari seorang perawi kecuali perawi tsiqah atau yang mereka angap tsiqah. Akan tetapi jika yang meriwayatkan darinya hanya perawi-perawi dla’if, maka riwayatnya tertolak dan haditsnya dla’if [selesai].
Sedikit berbeda dengan definisi di atas, Syaikh Al-Albani tidak mensyaratkan bahwa perawi tsiqah tersebut tidak meriwayatkan kecuali dari perawi tsiqah yang lain. Oleh karena itu, beliau tetap mempergunakan perawi yang berstatus majhul (haal) jika sejumlah perawi tsiqah meriwayatkan darinya.
Dan mohon maaf yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada teman Rafidlah kita jika pada tulisan di atas saya tidak maksimal menuliskan keterangan-keterangan dari Syaikh Al-Albani secara lengkap mengenai majhul haal. Hingga mengakibatkan teman kita yang terhormat ini buru-buru menyimpulkan. Salah lagi….he…he…he…. (dan ini juga tidak luput dari ketidaktepatan saya dalam menulis “terangkat” sehingga teman Rafidlah kita salah paham…he…he….).
Saya tambahi keterangan Syaikh Al-Albani :
والمجهول الذي لم يرو عنه إلا واحد هو المعروف بمجهول العين وهذه هي الجهالة التي ترتفع برواية اثنين عنه فأكثر وهو المجهول الحال والمستور وقد قبل روايته جماعة بغير قيد وردها الجمهور كما في "شرح النخبة" ص 24 قال :
"والتحقيق أن رواية المستور ونحوه مما فيه الاحتمال لا يطلق القول بردها ولا بقبولها بل يقال: هي موقوفة إلى استبانة حاله كما جزم به إمام الحرمين".
قلت: وإنما يمكن أن يتبين لنا حاله بأن يوثقه إمام معتمد في توثيقه وكأن الحافظ أشار إلى هذا بقوله: إن مجهول الحال هو الذي روى عنه اثنان فصاعدا ولم يوثق"وإنما قلت: "معتمد في توثيقه" لأن هناك بعض المحدثين لا يعتمد عليهم في ذلك لأنهم شذوا عن الجمهور فوثقوا المجهول منهم ابن حبان وهذا ما بينته في القاعدة التالية
نعم يمكن أن تقبل روايته إذا روى عنه جمع من الثقات ولم يتبين في حديثه ما ينكر عليه وعلى هذا عمل المتأخرين من الحفاظ كابن كثير والعراقي والعسقلاني وغيرهم. وانظر بعض الأمثلة فيما يأتي 204 – 207.
“Orang yang majhul yang hanya satu orang perawi meriwayatkan darinya itulah yang dikenal dengan majhul ‘ain. Kemajhulan ini dapat terangkat oleh adanya dua atau lebih perawi darinya. Ini yang disebut majhul haal dan mastur; dan riwayatnya diterima oleh jama’ah tanpa ikatan dan ditolak oleh jumhur seperti dijelaskan dalam Syarhun-Nukhbah (hal. 24) :
‘Sesungguhnya riwayat perawi yang mastur dan sejenisnya yang mengandung beberapa kemungkinan, tidak dapat ditolak atau diterima secara mutlak, namun ia bergantung pada kejelasan keadaan perawi, seperti yang diyakini oleh Imam Al-Haramain’.
Aku (Al-Albani) katakan : Mungkin kejelasan keadaan perawi diperoleh dari adanya tautsiq dari seorang imam yang diakui tautsiq-nya. Dalam pernyataannya (Al-Haafidh) bahwa majhul hal adalah orang yang teriwayatkan haditsnya oleh dua atau lebih perawi, tetapi tidak ada pengakuan terpercaya. Aku katakan : Imam yang diakui tautsiq-nya, karena di sana ada ahli-ahli hadits yang tidak dapat diandalkan tautsiq-nya seperti berbedanya Ibnu Hibban dari tradisi/kebiasaan para ahli hadits pada umumnya. Ini akan saya jelaskan pada pedoman berikutnya.
Memang benar bahwa riwayat majhul dapat diterima jika ada sejumlah besar perawi-perawi yang terpercaya meriwayatkan darinya hadits yang tidak mengandung unsur pengingkaran. Pendapat ini dianut oleh sejumlah ulama muta’akhkhirin seperti Ibnu Katsir, Al-‘Iraqiy, Al-‘Asqalaniy, dan yang lainnya. Lihat contohnya pada halaman 204-207” [selesai – lihat Tamaamul-Minnah, hal. 19-20].
Setelah membaca ini, dimana letak kontradiksinya ? Sekarang, siapa yang lebih pantas dianjurkan untuk membaca kitab Syaikh Al-Albani dan kitab-kitab hadits lainnya ya ? saya…….
[sebagai bahan bacaan, Syaikh ‘Amr bin ‘Abdil-Mun’im telah membuat satu bab bahasan mengenai metode Syaikh Al-Albani dalam penyikapan terhadap hadits mastuur – termasuk kritik-kritik terhadapnya dalam kitab Taisiru Diraasatil-Asaanid, hal. 65-69].
Kembali ke bahasan,….. Syaikh Al-Albani tetap berhujjah dengan Ghailaan, termasuk pada alamat yang Anda tunjukkan di Silsilah Ash-Shahiihah no. 32 :
و هذا سند لا بأس به في المتابعات ، و رجاله ثقات غير غيلان المقرىء ، و لعله غيلان بن أنس الكلبي مولاهم الدمشقي ، فإن يكن هو ، فهو مجهول الحال ، روى عنه جماعة ، و قال الحافظ : إنه مقبول .
“Sanad hadits ini tidak mengapa (laa ba’sa bih) dalam mutaaba’aat, dan rijalnya tsiqah selain Ghailaan Al-Muqri’. Kemungkinan ia adalah Ghailaan bin Anas Al-Kalbiy Ad-Dimasyqiy. Jika orang tersebut adalah benar dia, maka dia berstatus majhul haal. Jama’ah meriwayatkan darinya. Al-Haafidh berkata : “maqbul” [selesai].
Begitu juga dalam Irwaaul-Ghaliil (5/75) :
وابن أبي مريم ضعيف لاختلاطه لكن تابعه أبو يزيد غيلان وهو مقبول كما في " التقريب " .
“Dan Ibnu Abi Maryam, ia dla’iif dikarenakan faktor ikhtilaath-nya (bercampur hapalannya). Namun ia mempunyai mutaba’ah Abu Yaziid Ghailaan, dan ia seorang yang maqbul sebagaimana tertera dalam At-Taqriib” [selesai].
Akhirnya,… riwayat kedudukan Ghailaan di sini bukan perawi dla’iif. Ia bisa dipakai sebagai hujjah dengan keadaan-keadaan yang telah disebutkan oleh Syaikh Al-Albani.
Mengenai Abu Shaalih, nampaknya teman Rafidlah kita tidak bisa menjawab hujjah yang saya sampaikan. Malahan, ia menggunakan metode kuno yang ia kira bisa membuat saya terkaget-kaget dengan menampilkan pendapat Syaikh Al-Albani atas Abu Shaalih. Tidak ilmiah…..
Ibnu Hajar sendiri telah memberikan kesimpulan perincian jarh atas Abu Shaalih : ““Shaduuq (jujur) namun banyak salahnya. Tsabt dalam kitabnya, dan padanya terdapat kelalaian (ghaflah)”.
Apa makna tsabt dalam kitabnya ? Tentu saja jika ia meriwayatkan melalui perantaraan (bantuan) kitabnya, maka haditsnya maqbul. Ini perincian yang sangat bagus. Dan di sini, ia meriwayatkan hadits Mu’awiyyah bin Shaalih dengan perantaraan kitabnya, karena ia mempunyai catatan-catatan hadits darinya. Oleh karena itu, haditsnya dari Mu’awiyyah tidak turun dari derajat hasan. Wallaahu a’lam.
Adapun Abu Yahyaa yang dikatakan tidak dikenal ini, maka ia sebenarnya adalah : Sulaim bin ‘Aamir Al-Kalaa’iy, Abu Yahyaa Al-Himshiy. Seorang tsiqah. Jadi tidak perlu dipersoalkan.
Akhirnya, jelas sudah bahwa kelemahan hadits Tsaubaan hanya ada pada inqithaa’-nya saja. Ini kelemahan yang ringan. Sangat wajar jika Syaikh Al-Albani menghukumi shahih lighairihi. Dan sebaliknya, keheranan Anda menjadi tidak wajar karena ketidakvalidan metode penilaian Anda.
HADITS JAABIR
Penolakan tahsin hadits Jaabir ini adalah yang paling tidak saya mengerti dari rekan Rafidlah kita ini. Sudah jelas sekali bahwa rukun sanad yang dibawakan oleh Ibnu Abi ‘Aashim di sini adalah rukun sanad yang dibawakan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (mulai pangkal sampai ujung sanad), yang tentu saja bukan berkualitas dla’if menurut standar penilaian Ahlus-Sunnah. Gak tahu kalau yang bersangkutan memakai standar penilaian Syi’ah.
Memang benar bahwa sebagian ulama hadits telah melemahkannya dari sisi hapalannya. Tapi harus fair juga dong (dan ini harus disebutkan) bahwa para ulama lain memberikan tautsiq kepadanya.
Pertanyaan sederhananya yang layak diberikan kepada teman Rafidliy kita ini : “Apakah semua riwayat yang dibawakan oleh Simaak bin Harb adalah dla’if ?”. Jika ia mendla’ifkan semua riwayat Simaak, maka berapa banyak hadits dalam Shahih Muslim yang akan berkualitas dla’if ? Jika ia menjawab tidak semua, maka mana saja yang tidak dla’if ? Kriterianya apa ? Kriteria ini generik, atau kriteria sesuai selera ? Saya tebak, yang bersangkutan akan kesulitan karena tidak punya standar yang jelas alias gelap. Apalagi melihat kenyataan Muslim dalam Shahih-nya sering meletakkan hadits Simaak dalam ushul riwayat.
Sangat aneh, ketika teman kita ini menyangkutkan pada hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy yang ia klaim mudltharib – yang kemudian ingin menunjukkan bahwa Simaak dalam penyampaian hadits ini juga mudltharib. Jaka sembung makan kedondong…. Gak nyambung dong!
Gampangnya, mari kita lihat kesimpulan dari para ahli hadits dari Simaak bin Harb ini. Ibnu Hajar mengatakan : “Simaak bin Harb bin Aus bin Khaalid Adz-Dzuhliy Al-Bakriy Al-Kuufiy Abu Mughiirah. Shaduuq. Riwayatnya dari ‘Ikrimah secara khusus adalah mudltharib. Di akhir umurnya hapalannya berubah. Kadangkala ia meriwayatkan dengan talqin (صدوق وروايته عن عكرمة خاصة مضطربة وقد تغير بأخرة فكان ربما تلقن)” [At-Taqriib].
Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang mudltharib adalah riwayatnya dari ‘Ikrimah. Sama dengan perkataan para imam sebelumnya. Adapun ikhtilath yang dialami oleh ‘Ikrimah terjadi pada akhir umurnya. Adapun talqin, maka ini tidak selalu.
Martabat shaduuq menempati peringkat keempat dalam tingkatan jarh wa ta’dil menurut Ibnu Hajar. Ini maknanya bahwa rawi tersebut baik ‘adalah-nya, namun sedikit kurang dalam ke-dlabith-annya. Karena itu, kadang-kadang ia diisyaratkan dengan lafadh laa ba’sa bihi atau laisa bihi ba’sun, yaitu riwayatnya diterima dan masuk dalam derajat hasan.
Adz-Dzahabi mengatakan : “Shaduuq shaalih”. Dalam terminology Adz-Dzahabi (lihat Al-Muuqidhah hal. 81-82), lafadh mengindikasikan haditsnya jayyid, namun tidak menduduki puncak keshahihan. Ekuivalen dengan hasan.
Ini kesimpulan yang sangat bagus yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabi setelah melihat berbagai jarh dan ta’dil para imam kepada Simaak.
Selain itu, sependek pengetahuan saya dari beberapa praktek yang dilakukan oleh Syaikh Al-Albani, murid-muridnya, dan juga dengan beberapa pihak yang sering kontra dengan mereka; semuanya tidak ada yang memutlakkan kedla’ifan pada Simaak.
Intinya,…. pelemahan rekan Rafidlah kita atas hadits Jaabir karena Simaak bin Harb adalah pelemahan yang paling saya ingkari.
Apalagi – seperti kebiasanya – ia mencari dalih bahwa ada sebagian perawi dalam Shahihain yang mendapat jarh. Itu betul. Tapi menjadikan itu alasan untuk menolak riwayat Simaak, khususnya dalam rantai riwayat yang sama persis seperti yang digunakan Muslim dalam Shahih-nya adalah lemah dan rejected. Mengada-ada dan ujung-ujungnya kok ngasal (?)
KESIMPULAN
Sebagaimana yang dapat kita lihat, bahwa hadits ru’yah ini adalah shahih.
Kalau kita mengikuti logika pendla’ifan masing-masing hadits, maka :
1. Hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy adalah dla’if karena idlthiraab dalam sanad, tidak dalam matan. Maka di sini ia bisa dijadikan i’tibaar.
2. Hadits Ibnu ‘Abbas dla’if. Satu jalur karena inqitha’ dan jalur lain ghairu mahfudh (sebagaimana ditegaskan Ibnu-Jauziy). Sanad yang ghairu mahfudh (yaitu dari jalan Mu’aadz bin Hisyaam, dari ayahnya, dari Qataadah, dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas secara marfu’) tidak bisa dijadikan i’tibar, sedangkan yang lain dapat dijadikan I’tibar.
3. Hadits Tsauban adalah dla’if karena inqitha’ dan kedla’ifan Abu Shaalih.
4. Hadits Jaabir adalah dla’iif karena Simaak bin Harb.
5. Hadits Abu Umaamah dla’if karena adanya inqitha’ dan kedla’ifan Laits.
6. Hadits Abu Raafi’ adalah dla’if jiddan dan tidak kita pakai.
Coba perhatikan kedla’ifan masing-masing dengan pikiran yang jernih. Nampak bahwa dengan kedla’ifannya ia tetap berstatus shahih lighairihi atau minimal hasan lighirihi. Perkataan bahwa hadits-hadits tersebut tidak bisa saling menguatkan hanyalah merupakan igauan semata, dan penerapan prinsip YPD (Yang Penting Dla’if). He….he….he….
Saya kira cukup tanggapan saya yang tidak saya tulis secara optimal ini, di sela-sela waktu luang saya – akhir tahun banyak kerjaan euiy.
Semoga ada manfaatnya.
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana
Si Broto atau secondprince telah membuat bantahan balik dari komentar antum ini. Tapi kalau ana sendiri malah cenderung menguatkan pendapat bahwa Abdurrahman bin A`isy itu adalah sahabi. Sebab, apa landasan mereka yg menolak bahwa Abdurrahman adalah shahabi? Dalam Ma'rifatus Shahabah ada riwayat lain selain riwayat "Ikhtisham Al Mala` AL'A'la" ini dimana Abdurrahman mendengarnya langsung dari Rasulullah saw.
Bahkan, Ibnu Hajar sendiri sepertinya menarjih bahwa Abdurrahman ini adalah shahabi dan dia menjelaskan beberapa riwayat darinya dari Rasulullah saw, dan bahwa yg meriwayatkan dari Mu'adz itu adalah Abdurrahman As-Saksaki yg menurutnya berbeda dgn Abdurrahman bin 'A`isy. Coba periksa kembali Al-Ishabah. Wallahu a'lam.
Ya, terima kasih atas infonya. Kebetulan sudah mbaca 'bantahan' baliknya (?!). Cuma cyclic saja, tidak ada penambahan berarti. Selebihnya cuma logika-logika yang bersangkutan saja.
Tentang Ibnu 'Aisy, memang telah terjadi perselisihan tajam di kalangan ulama. Jumhur mengatakan Ibnu 'Aisy adalah shahabat.
'Alaa kulli haal, terima kasih atas komennya.
Assalamu 'alaikum.
Kayaknya antum harus meralat pendapat bahwa Abdurrahman bin 'A`isy bukan sahabat, karena setelah saya teliti secara pembuktian ilmiah dan logika dia adalah sahabat Nabi saw.
Antum bisa baca di Ma'rifatus Shahabah Abu Nu'aim dimana Abu Nu'aim menyebutkan riwayat tashrih bis samaa` dari Abdurrahman dari Rasulullah saw selain hadits ru'yah, tapi hadits ttg doa.
Lalu ada pula riwayat dalam sunan Ad-Daraquthni, kitab Ash-Shiyam, bab: Fii Waqtis Sahr ada riwayat mauquf dari Abdurrahman bin 'Aisy dgn sanad yg shahih menurut Ad-Daraquthni dan disana ada kalimat yg menerangkan bahwa Abdurrahman ini adalah sahabat Nabi saw.
Saya sendiri juga akan membahas itu dalam tulisan khusus, cuma mungkin ngak sekarang, masih sibuk bro...:)
Kalau terbukti bahwa Abdurrahman bin Aisy adalah sahabat Nabi saw, maka tak perlu pusing dgn ocehan si Rafidhi itu terhadap idhthirab pada haditsnya.
Wallahu a'lam.
wa'alaikumsalam warahmatullaah.
Terima kasih atas komennya. Baik ia berstatus shahabat atau tidak, ia tetap shahih secara keseluruhan, karena beberapa jalan hadits (yang dibawakan oleh beberaa orang shahabat) adalah saling menguatkan - bukan saling memberikan 'illat.
Adapun kajian mengenai 'Abdurrahman bin 'Aaisy secara khusus, terima kasih atas masukannya, insya Allah hal ini akan saya kaji lebih lanjut. Tentu saja di rumah dengan sempitnya waktu dan referensi yang saya miliki.
Alhamdulillah, saya telah buka Sunan Ad-Daaruquthniy (ta'liq : Abuth-Thayyib Muhammad Saymsul-Haq 'Adhim 'Abadiy, tahqiq : Syu'aib Al-Arna'uth - Muassasah Ar-Risalah), Kitaabush-Shiyaam, hadits no. 2183 dan menemukan riwayat yang antum (akh Anshariy Taslim) maksud, yaitu :
حدثنا أبو القاسم ابن منيع ثنا داود بن رشيد أبو الفضل الخوارزمي ثنا الوليد بن مسلم عن الوليد بن سليمان قال : سمعت ربيعة بن يزيد قال : سمعت عبد الرحمن بن عائش صاحب رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : الفجر فجران فأما المستطيل في السماء فلا يمنعن السحور ولا تحل فيه الصلاة وإذا اعترض فقد حرم الطعام فصل صلاة الغداة إسناد صحيح
Kata Ad-Daruquthniy, sanadnya adalah shahih.
Juga dalam Ma'rifatush-Shahaabah karya Abu Nu'aim Al-Ashbahaaniy, hal. 1862, biografi no. 1886 (tahqiq : 'Aadil bin Yuusuf Al'Azaaziy; Daarul-Wathan) terdapat riwayat sebagai berikut :
حدثنا محمد بن أحمد بن الحسن، ثنا محمد بن عثمان بن أبي شيبة، ثنا أبي، ثنا أبو معاوية، عن سهيل. عن أبيه، عن عبد الرحمن بن عائش قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((من نزل منزلاًَ فقال : أعؤذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق، لم ير في منزله ذلك شيئاًَ يكرهه حتى يرتحل عنه)).
قال سهيل : قال أبي : فلقيت عبد الرحمن بن عائش في المنام، فقلت له : حدثك النبي صلى الله عليه وسلم هذا الحديث، قال : نعم.
Jika dua riwayat ini shahih (dan kebetulan sekali saat ini saya belum bisa menemukan waktu luang untuk menelaahnya), tentu saja itu menguatkan status samaa' 'Abdurrahman bin 'Aaisy dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ru'yah di atas. Konsekuensinya, status 'Abdurrahmaan bin 'Aaisy adalah shahabat tanpa bisa terbantahkan (dengan dua syahid ini).
Jika status 'Abdurrahmaan bin 'Aaisy adalah shahabat, maka kemungkinan adanya kelemahan riwayat itu semakin kecil. Ia bisa membawakan riwayatnya sendiri, atau membawakan riwayat dari Maalik bin Yakhaamir (ia seorang muhdlaram; termasuk riwayat Al-Ashaaghir - Al-Akaabir), atau membawakan riwayat dari sebagian shahabat yang lain. Apalagi syahid hadits ru'yah ini banyak.
Maka tidak ada jalan lain kecuali mengatakan bahwa hadits tersebut adalah shahih.
[Silakan dibantu explore haditsnya dengan maktabah syamilah, karena saya di sini mempelajarinya/menelaahnya secara manual, hingga banyak menyita waktu].
Baarakallaahu fiik !!!
Tapi Al-Walid bin Muslim itu mudallis dan di sini dia 'an'anah.
Lalu Muhammad bin Utsman bin Abu Syaibah itu dianggap pendusta oleh Imam Ahmad, coba perhatikan dialog antara secondprince dgn "pria idaman" di blog SP ttg tanggapan balik untuk tulisan antum.
Inti dasarnya adalah bahwa hadits Abdurrahman bin Aisy itu mdhtharib, kalau bisa dibuktikan bahwa dia tidak mudhtharib maka shahihlah hadits itu.
Dan juga SP menganggap Abdurrahman bin Aisy tidak dikenal kredibilitasnya karena tidak ada yg menganggapnya tsiqah selain Ibnu Hibban.
Tolong dipertimbangkan atau minta bantuan ustadz menelaahnya, karena jelas ini membuat kami yg hanya mengikuti debat ini menjadi bingung dan mulai kehilangan kepercayaan pada ahli hadits salafy.
Al-Waliid bin Muslim memang mudallis dan ia menggunakan shighah 'an dalam riwayat Ad-Daaruquthniy. Selama ia tidak menjelaskan (tashrih) penyimakannya, maka riwayatnya adalah lemah (dla'if).
Adapun Muhammad bin 'Utsmaan bin Abi Syaibah, maka ia seorang imam dan haafidh. Adz-Dzahabiy berkata : "Muhammad bin 'Utsmaan bin Abi Syaibah, Al-Imaam Al-Haafidh, Al-Musnad" [Siyaru A'laamin-Nubalaa', 14/21]. Ada penjelasan menarik dari Al-Mu'allimiy Al-Yamaaniy mengenai jarh yang diberikan oleh sebagian ulama semasanya dalam kitab At-Tankiil. Mengenai jarh dari Muthayyin (Muhammad bin 'Abdillah Al-Hadlramiy), maka ia tidak diterima karena statusnya aqraan. Telah masyhur perselisihan di antara keduanya. Sedangkan jarh Ad-Daaruquthniy yang mengatakan ia mengambil kitab Numair dan meriwayatkan hadits dengannya; maka ini bukan kalimat/pernyataan jarh yang diakui. Hal yang sama dari perkataan Al-Barqaaniy.
Bersamaan dengan itu telah tsabit ta'dil dari Abu 'Aliy Shaalih bin Muhammad dengan lafadh jazm : tsiqah. Begitu juga 'Abdaan. Ibnu 'Adiy menggunakan lafadh ta'dil pertengahan : laa ba'sa bihi. Al-Khathiib berkata : "Ia mempunyai banyak hadits, luas pengetahuan riwayatnya, serta pengetahuan dan pemahaman yang dalam" [Taariikh Baghdaad, 2/42]. Ibnul-Munadiy berkata : "Kami mendengar para syaikh dan senior muhadiits mengatakan : telah mati hadits orang-orang Kufaah dengan wafatnya Musa bin Ishaq, Muhammad bin 'Utsmaan, Abu Ja'far Al-Hadlramiy, dan 'Ubaid bin Ghanaam". Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat (9/155), dan berkata "Para shahabat kami menulis (hadits) darinya....". Maslamah bin Al-Qaasim mengatakan : "Laa ba'sa bihi, orang-orang menulis riwayat darinya, dan aku tidak mengetahui seorang pun yang meninggalkannya" [Lisaanul-Miizaan, 5/281].
Selain Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy, ada beberapa ulama yang memberikan jarh yang keras terhadap Muhammad bin ‘Utsmaan dengan dusta (atau yang selevel dengannya), seperti : ‘Abdullah bin Usamah Al-Kalbiy, Ibraahim bin Ishaaq, Ash-Shawaaf, Dawud bin Yahyaa, ‘Abdurrahman bin Yusuf bin Khiraasy, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Ahmad Al-‘Adawiy, dan Muhammad bin ‘Ubaid bin Hammaad. Semuanya jarh ini berporos dari nukilan Ibnu ‘Uqdah [Taariikh Baghdaad]. Dari sinilah kemudian jarh-jarh tersebut ternukil (dan diikuti) oleh para ulama muta’khkhirin, seperti Adz-Dzahabiy, Ibnul-Jauziy, de el el.
Al-Khathiib Al-Baghdaadiy – sebagai salah seorang ulama yang paling ‘alim mengenai seluk-beluk ahlul-Baghdad – membawakan riwayat dengan sanadnya dari ‘Aliy bin Muhammad bin Nashr, ia berkata : Aku mendengar Hamzah As-Sahmiy berkata : Aku bertanya kepada Abu Bakr bin ‘Abdaan mengenai Ibnu ‘Uqdah jika ia menghikayatkan satu hikayat dari seseorang dari kalangan syaikh dengan satu jarh, apakah perkataannya itu diterima atau tidak diterima ? Ia menjawab : ‘Tidak diterima”.
Apalagi diketahui antara Ibnu ‘Uqdah dan Ibnu Abi Syaibah ini punya perbedaan madzhab.
Akhirnya di sini kita ketahui bahwa ta’dil pada Muhammad bin ‘Utsmaan harus lebih didahulukan daripada yang menjarhnya (dari nukilan mutaqaddimiin).
Mengenai pendla’ifan Adz-Dzahabiy kepada Muhammad bin ‘Utsmaan, karena ia mendapat nukilan bahwa ada ulama mutaqaddimin yang memberikan jarh kepadanya. Dan sudah kita lihat tidak benarnya jarh yang dimaksud. Oleh karena itu, yang tersisa dari perkataan Adz-Dzahabiy adalah pujian mengenai keimaman dan kehafidhan Muhammad bin ‘Utsman – sebagaimana dalam kitab As-Siyar.
Hal yang sama dengan Ibnul-Jauziy yang memasukkan Muhammad bin ‘Utsman pada Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin no. 3119. Ia berkata : “Ia meriwayatkan dari ayahnya, Yahya bin Ma’iin, dan yang lainnya. ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya telah mendustakannya”. Telah jelas, bahwa jarh-jarh tersebut tidak benar.
Itu saja yang dapat saya komentari. Maap, gak bisa maksimal karena sesuatu dan lain hal.
Mengenai perkataan antum :
"Dan juga SP menganggap Abdurrahman bin Aisy tidak dikenal kredibilitasnya karena tidak ada yg menganggapnya tsiqah selain Ibnu Hibban".
SP memang tidak mempunyai metode yang jelas dalam penyikapan tautsiq Ibnu Hibbaan. Kadang ia membelanya (seperti saat ia menjelaskan manhaj Syaikh Ahmad Syaakir), kadang pula ia tidak menganggapnya/tidak mempertimbangkannya seperti dalam bahasan hadits ru'yah. Selebihnya cuma berapologi saja dengan alasan-alasan yang tidak jelas.
Kalau "intinya" adalah mudltharib, ya ini seperti "pokoknya" mudltharib. Bercabangnya satu sanad dengan satu poros rawi itu tidak selalu dianggap mudltharib, kecuali jika diketahui bahwa asal sanad dan hadits itu satu. Lha wong di sini asal sanadnya menunjukkan ganda, dan haditsnya sendiri memungkinkan diriwayatkan oleh banyak perawi.... Lah, bagaimana bisa memaksakan diri mudltharib ? aneh !!
Akhiy, gimana sih caranya sampai kita bisa tahu letak suatu riwayat atau komentar seorang imam terhadap seorang rawi ada didalam buku anu jilid ke sekian halaman ke sekian. apa kita harus baca berjilid-jilid kitab hadits dulu? benar deh ana ga habis pikir...berapa lama waktu yang harus dihabiskan untuk menulis bahasan serinci diatas? Inti pertanyaan ana, apa tips dari antum agar bisa menulis pembahasan ilmiah dalam masalah hadits dengan terperinci seperti tulisan antum ini? maklum ana masih sangat2 pemula....
Ada beberapa cara. Cara paling mudah adalah 'nyontek' analisis yang telah dilakukan oleh para ahli hadits/muhadditsiin mengenai hadits dimaksud. Kemudian kita telusuri jalan masing-masing riwayat dalam kitab-kitab hadits standar. Tengok perawinya dan statusnya dalam kitab-kitab biografi para perawi hadits. Kurang lebih seperti itu. Bisa juga - bagi yang punya - memanfaatkan program Maktabah Syamilah. 'Membiasakan' membaca kitab hadits dan sanadnya sangat membantu (kata Syaikh Ibnu 'Utsaimin) dalam menghapal perawi hadits, baik yang tsiqah ataupun yang dla'if.
Namun yang pasti, saya adalah pelajar pemula yang masih banyak kelirunya sehingga perlu koreksian dan nasihat dari teman-teman semua. Jika ingin bertanya, bertanyalah pada para ustadz yang sudah dikenal keilmuannya....
salam
mohon kiranya dibahas soal mimpi bertemu rasulullaah. apakah benar dalam mimpi kita itu adalah rasulullaah? dan sebaiknya kita ceritakan atau jangan mimpi tersbut. bolehkah kita memohon mimpi bertemu rasulullah atau allah?
terima kasih
Posting Komentar