tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post9705757899809426..comments2024-03-24T04:17:07.334+07:00Comments on Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة: Kedudukan Hadis “Nabi SAW Melihat Allah SWT Dalam Sebaik-baik Bentuk”Unknownnoreply@blogger.comBlogger26125tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-64740996900789282342011-05-06T21:16:55.682+07:002011-05-06T21:16:55.682+07:00salam
mohon kiranya dibahas soal mimpi bertemu ra...salam<br /><br />mohon kiranya dibahas soal mimpi bertemu rasulullaah. apakah benar dalam mimpi kita itu adalah rasulullaah? dan sebaiknya kita ceritakan atau jangan mimpi tersbut. bolehkah kita memohon mimpi bertemu rasulullah atau allah?<br /><br />terima kasihAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-20937685126203371982009-12-22T11:18:18.423+07:002009-12-22T11:18:18.423+07:00Ada beberapa cara. Cara paling mudah adalah 'n...Ada beberapa cara. Cara paling mudah adalah 'nyontek' analisis yang telah dilakukan oleh para ahli hadits/muhadditsiin mengenai hadits dimaksud. Kemudian kita telusuri jalan masing-masing riwayat dalam kitab-kitab hadits standar. Tengok perawinya dan statusnya dalam kitab-kitab biografi para perawi hadits. Kurang lebih seperti itu. Bisa juga - bagi yang punya - memanfaatkan program Maktabah Syamilah. 'Membiasakan' membaca kitab hadits dan sanadnya sangat membantu (kata Syaikh Ibnu 'Utsaimin) dalam menghapal perawi hadits, baik yang tsiqah ataupun yang dla'if.<br /><br />Namun yang pasti, saya adalah pelajar pemula yang masih banyak kelirunya sehingga perlu koreksian dan nasihat dari teman-teman semua. Jika ingin bertanya, bertanyalah pada para ustadz yang sudah dikenal keilmuannya....Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-28765737401210708772009-12-10T23:32:54.059+07:002009-12-10T23:32:54.059+07:00Akhiy, gimana sih caranya sampai kita bisa tahu le...Akhiy, gimana sih caranya sampai kita bisa tahu letak suatu riwayat atau komentar seorang imam terhadap seorang rawi ada didalam buku anu jilid ke sekian halaman ke sekian. apa kita harus baca berjilid-jilid kitab hadits dulu? benar deh ana ga habis pikir...berapa lama waktu yang harus dihabiskan untuk menulis bahasan serinci diatas? Inti pertanyaan ana, apa tips dari antum agar bisa menulis pembahasan ilmiah dalam masalah hadits dengan terperinci seperti tulisan antum ini? maklum ana masih sangat2 pemula....Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-84614370120231857112009-11-26T11:26:36.528+07:002009-11-26T11:26:36.528+07:00Mengenai perkataan antum :
"Dan juga SP men...Mengenai perkataan antum : <br /><br /><i>"Dan juga SP menganggap Abdurrahman bin Aisy tidak dikenal kredibilitasnya karena tidak ada yg menganggapnya tsiqah selain Ibnu Hibban"</i>.<br /><br />SP memang tidak mempunyai metode yang jelas dalam penyikapan tautsiq Ibnu Hibbaan. Kadang ia membelanya (seperti saat ia menjelaskan manhaj Syaikh Ahmad Syaakir), kadang pula ia tidak menganggapnya/tidak mempertimbangkannya seperti dalam bahasan hadits ru'yah. Selebihnya cuma berapologi saja dengan alasan-alasan yang tidak jelas.<br /><br />Kalau "intinya" adalah mudltharib, ya ini seperti "pokoknya" mudltharib. Bercabangnya satu sanad dengan satu poros rawi itu tidak selalu dianggap mudltharib, kecuali jika diketahui bahwa asal sanad dan hadits itu satu. Lha wong di sini asal sanadnya menunjukkan ganda, dan haditsnya sendiri memungkinkan diriwayatkan oleh banyak perawi.... Lah, bagaimana bisa memaksakan diri mudltharib ? aneh !!Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-42403782321746146302009-11-26T11:13:01.985+07:002009-11-26T11:13:01.985+07:00Selain Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy, ada be...Selain Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy, ada beberapa ulama yang memberikan jarh yang keras terhadap Muhammad bin ‘Utsmaan dengan dusta (atau yang selevel dengannya), seperti : ‘Abdullah bin Usamah Al-Kalbiy, Ibraahim bin Ishaaq, Ash-Shawaaf, Dawud bin Yahyaa, ‘Abdurrahman bin Yusuf bin Khiraasy, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Ahmad Al-‘Adawiy, dan Muhammad bin ‘Ubaid bin Hammaad. Semuanya jarh ini <b>berporos</b> dari nukilan Ibnu ‘Uqdah [Taariikh Baghdaad]. Dari sinilah kemudian jarh-jarh tersebut ternukil (dan diikuti) oleh para ulama muta’khkhirin, seperti Adz-Dzahabiy, Ibnul-Jauziy, de el el.<br /><br />Al-Khathiib Al-Baghdaadiy – sebagai salah seorang ulama yang paling ‘alim mengenai seluk-beluk ahlul-Baghdad – membawakan riwayat dengan sanadnya dari ‘Aliy bin Muhammad bin Nashr, ia berkata : Aku mendengar Hamzah As-Sahmiy berkata : Aku bertanya kepada Abu Bakr bin ‘Abdaan mengenai Ibnu ‘Uqdah jika ia menghikayatkan satu hikayat dari seseorang dari kalangan syaikh dengan satu jarh, apakah perkataannya itu diterima atau tidak diterima ? Ia menjawab : ‘Tidak diterima”.<br /><br />Apalagi diketahui antara Ibnu ‘Uqdah dan Ibnu Abi Syaibah ini punya perbedaan madzhab.<br /><br />Akhirnya di sini kita ketahui bahwa ta’dil pada Muhammad bin ‘Utsmaan harus lebih didahulukan daripada yang menjarhnya (dari nukilan mutaqaddimiin).<br /><br />Mengenai pendla’ifan Adz-Dzahabiy kepada Muhammad bin ‘Utsmaan, karena ia mendapat nukilan bahwa ada ulama mutaqaddimin yang memberikan jarh kepadanya. Dan sudah kita lihat tidak benarnya jarh yang dimaksud. Oleh karena itu, yang tersisa dari perkataan Adz-Dzahabiy adalah pujian mengenai keimaman dan kehafidhan Muhammad bin ‘Utsman – sebagaimana dalam kitab As-Siyar.<br /><br />Hal yang sama dengan Ibnul-Jauziy yang memasukkan Muhammad bin ‘Utsman pada Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin no. 3119. Ia berkata : “Ia meriwayatkan dari ayahnya, Yahya bin Ma’iin, dan yang lainnya. ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya telah mendustakannya”. Telah jelas, bahwa jarh-jarh tersebut tidak benar.<br /><br />Itu saja yang dapat saya komentari. Maap, gak bisa maksimal karena sesuatu dan lain hal.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-6366211927042012872009-11-26T11:11:48.755+07:002009-11-26T11:11:48.755+07:00Al-Waliid bin Muslim memang mudallis dan ia menggu...Al-Waliid bin Muslim memang mudallis dan ia menggunakan shighah 'an dalam riwayat Ad-Daaruquthniy. Selama ia tidak menjelaskan (tashrih) penyimakannya, maka riwayatnya adalah lemah (dla'if). <br />Adapun Muhammad bin 'Utsmaan bin Abi Syaibah, maka ia seorang imam dan haafidh. Adz-Dzahabiy berkata : "Muhammad bin 'Utsmaan bin Abi Syaibah, Al-Imaam Al-Haafidh, Al-Musnad" [Siyaru A'laamin-Nubalaa', 14/21]. Ada penjelasan menarik dari Al-Mu'allimiy Al-Yamaaniy mengenai jarh yang diberikan oleh sebagian ulama semasanya dalam kitab At-Tankiil. Mengenai jarh dari Muthayyin (Muhammad bin 'Abdillah Al-Hadlramiy), maka ia tidak diterima karena statusnya aqraan. Telah masyhur perselisihan di antara keduanya. Sedangkan jarh Ad-Daaruquthniy yang mengatakan ia mengambil kitab Numair dan meriwayatkan hadits dengannya; maka ini bukan kalimat/pernyataan jarh yang diakui. Hal yang sama dari perkataan Al-Barqaaniy. <br />Bersamaan dengan itu telah tsabit ta'dil dari Abu 'Aliy Shaalih bin Muhammad dengan lafadh jazm : tsiqah. Begitu juga 'Abdaan. Ibnu 'Adiy menggunakan lafadh ta'dil pertengahan : laa ba'sa bihi. Al-Khathiib berkata : "Ia mempunyai banyak hadits, luas pengetahuan riwayatnya, serta pengetahuan dan pemahaman yang dalam" [Taariikh Baghdaad, 2/42]. Ibnul-Munadiy berkata : "Kami mendengar para syaikh dan senior muhadiits mengatakan : telah mati hadits orang-orang Kufaah dengan wafatnya Musa bin Ishaq, Muhammad bin 'Utsmaan, Abu Ja'far Al-Hadlramiy, dan 'Ubaid bin Ghanaam". Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat (9/155), dan berkata "Para shahabat kami menulis (hadits) darinya....". Maslamah bin Al-Qaasim mengatakan : "Laa ba'sa bihi, orang-orang menulis riwayat darinya, dan aku tidak mengetahui seorang pun yang meninggalkannya" [Lisaanul-Miizaan, 5/281].Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-80666824441248258152009-11-26T06:41:07.775+07:002009-11-26T06:41:07.775+07:00Tapi Al-Walid bin Muslim itu mudallis dan di sini ...Tapi Al-Walid bin Muslim itu mudallis dan di sini dia 'an'anah.<br />Lalu Muhammad bin Utsman bin Abu Syaibah itu dianggap pendusta oleh Imam Ahmad, coba perhatikan dialog antara secondprince dgn "pria idaman" di blog SP ttg tanggapan balik untuk tulisan antum.<br />Inti dasarnya adalah bahwa hadits Abdurrahman bin Aisy itu mdhtharib, kalau bisa dibuktikan bahwa dia tidak mudhtharib maka shahihlah hadits itu.<br />Dan juga SP menganggap Abdurrahman bin Aisy tidak dikenal kredibilitasnya karena tidak ada yg menganggapnya tsiqah selain Ibnu Hibban.<br />Tolong dipertimbangkan atau minta bantuan ustadz menelaahnya, karena jelas ini membuat kami yg hanya mengikuti debat ini menjadi bingung dan mulai kehilangan kepercayaan pada ahli hadits salafy.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-16237944091224501332009-11-25T13:39:21.601+07:002009-11-25T13:39:21.601+07:00Alhamdulillah, saya telah buka Sunan Ad-Daaruquthn...Alhamdulillah, saya telah buka Sunan Ad-Daaruquthniy (ta'liq : Abuth-Thayyib Muhammad Saymsul-Haq 'Adhim 'Abadiy, tahqiq : Syu'aib Al-Arna'uth - Muassasah Ar-Risalah), Kitaabush-Shiyaam, hadits no. 2183 dan menemukan riwayat yang antum (akh Anshariy Taslim) maksud, yaitu :<br /><br />حدثنا أبو القاسم ابن منيع ثنا داود بن رشيد أبو الفضل الخوارزمي ثنا الوليد بن مسلم عن الوليد بن سليمان قال : سمعت ربيعة بن يزيد قال : سمعت عبد الرحمن بن عائش صاحب رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : الفجر فجران فأما المستطيل في السماء فلا يمنعن السحور ولا تحل فيه الصلاة وإذا اعترض فقد حرم الطعام فصل صلاة الغداة إسناد صحيح <br /><br />Kata Ad-Daruquthniy, sanadnya adalah shahih.<br /><br />Juga dalam Ma'rifatush-Shahaabah karya Abu Nu'aim Al-Ashbahaaniy, hal. 1862, biografi no. 1886 (tahqiq : 'Aadil bin Yuusuf Al'Azaaziy; Daarul-Wathan) terdapat riwayat sebagai berikut :<br /><br />حدثنا محمد بن أحمد بن الحسن، ثنا محمد بن عثمان بن أبي شيبة، ثنا أبي، ثنا أبو معاوية، عن سهيل. عن أبيه، عن عبد الرحمن بن عائش قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((من نزل منزلاًَ فقال : أعؤذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق، لم ير في منزله ذلك شيئاًَ يكرهه حتى يرتحل عنه)).<br />قال سهيل : قال أبي : فلقيت عبد الرحمن بن عائش في المنام، فقلت له : حدثك النبي صلى الله عليه وسلم هذا الحديث، قال : نعم.<br /><br />Jika dua riwayat ini shahih (dan kebetulan sekali saat ini saya belum bisa menemukan waktu luang untuk menelaahnya), tentu saja itu menguatkan status samaa' 'Abdurrahman bin 'Aaisy dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ru'yah di atas. Konsekuensinya, status 'Abdurrahmaan bin 'Aaisy adalah shahabat tanpa bisa terbantahkan (dengan dua syahid ini).<br /><br />Jika status 'Abdurrahmaan bin 'Aaisy adalah shahabat, maka kemungkinan adanya kelemahan riwayat itu semakin kecil. Ia bisa membawakan riwayatnya sendiri, atau membawakan riwayat dari Maalik bin Yakhaamir (ia seorang muhdlaram; termasuk riwayat Al-Ashaaghir - Al-Akaabir), atau membawakan riwayat dari sebagian shahabat yang lain. Apalagi syahid hadits ru'yah ini banyak.<br /><br />Maka tidak ada jalan lain kecuali mengatakan bahwa hadits tersebut adalah <b>shahih</b>.<br /><br /><br />[Silakan dibantu explore haditsnya dengan maktabah syamilah, karena saya di sini mempelajarinya/menelaahnya secara manual, hingga banyak menyita waktu].<br /><br />Baarakallaahu fiik !!!Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-45599845396171715972009-11-25T09:21:53.108+07:002009-11-25T09:21:53.108+07:00wa'alaikumsalam warahmatullaah.
Terima kasih...wa'alaikumsalam warahmatullaah. <br /><br />Terima kasih atas komennya. Baik ia berstatus shahabat atau tidak, ia tetap shahih secara keseluruhan, karena beberapa jalan hadits (yang dibawakan oleh beberaa orang shahabat) adalah saling menguatkan - bukan saling memberikan 'illat.<br /><br />Adapun kajian mengenai 'Abdurrahman bin 'Aaisy secara khusus, terima kasih atas masukannya, insya Allah hal ini akan saya kaji lebih lanjut. Tentu saja di rumah dengan sempitnya waktu dan referensi yang saya miliki.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-61644340510093450082009-11-24T21:08:47.966+07:002009-11-24T21:08:47.966+07:00Assalamu 'alaikum.
Kayaknya antum harus merala...Assalamu 'alaikum.<br />Kayaknya antum harus meralat pendapat bahwa Abdurrahman bin 'A`isy bukan sahabat, karena setelah saya teliti secara pembuktian ilmiah dan logika dia adalah sahabat Nabi saw. <br />Antum bisa baca di Ma'rifatus Shahabah Abu Nu'aim dimana Abu Nu'aim menyebutkan riwayat tashrih bis samaa` dari Abdurrahman dari Rasulullah saw selain hadits ru'yah, tapi hadits ttg doa.<br />Lalu ada pula riwayat dalam sunan Ad-Daraquthni, kitab Ash-Shiyam, bab: Fii Waqtis Sahr ada riwayat mauquf dari Abdurrahman bin 'Aisy dgn sanad yg shahih menurut Ad-Daraquthni dan disana ada kalimat yg menerangkan bahwa Abdurrahman ini adalah sahabat Nabi saw.<br />Saya sendiri juga akan membahas itu dalam tulisan khusus, cuma mungkin ngak sekarang, masih sibuk bro...:)<br />Kalau terbukti bahwa Abdurrahman bin Aisy adalah sahabat Nabi saw, maka tak perlu pusing dgn ocehan si Rafidhi itu terhadap idhthirab pada haditsnya.<br />Wallahu a'lam.Anshari Taslimhttp://alponti.multiply.com/noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-4070295578247589002009-11-24T12:36:33.030+07:002009-11-24T12:36:33.030+07:00Ya, terima kasih atas infonya. Kebetulan sudah mba...Ya, terima kasih atas infonya. Kebetulan sudah mbaca 'bantahan' baliknya (?!). Cuma cyclic saja, tidak ada penambahan berarti. Selebihnya cuma logika-logika yang bersangkutan saja.<br /><br />Tentang Ibnu 'Aisy, memang telah terjadi perselisihan tajam di kalangan ulama. Jumhur mengatakan Ibnu 'Aisy adalah shahabat.<br /><br />'Alaa kulli haal, terima kasih atas komennya.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-84101762303191311502009-11-24T12:16:11.100+07:002009-11-24T12:16:11.100+07:00Si Broto atau secondprince telah membuat bantahan ...Si Broto atau secondprince telah membuat bantahan balik dari komentar antum ini. Tapi kalau ana sendiri malah cenderung menguatkan pendapat bahwa Abdurrahman bin A`isy itu adalah sahabi. Sebab, apa landasan mereka yg menolak bahwa Abdurrahman adalah shahabi? Dalam Ma'rifatus Shahabah ada riwayat lain selain riwayat "Ikhtisham Al Mala` AL'A'la" ini dimana Abdurrahman mendengarnya langsung dari Rasulullah saw. <br />Bahkan, Ibnu Hajar sendiri sepertinya menarjih bahwa Abdurrahman ini adalah shahabi dan dia menjelaskan beberapa riwayat darinya dari Rasulullah saw, dan bahwa yg meriwayatkan dari Mu'adz itu adalah Abdurrahman As-Saksaki yg menurutnya berbeda dgn Abdurrahman bin 'A`isy. Coba periksa kembali Al-Ishabah. Wallahu a'lam.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-79196309400242422442009-11-17T12:03:50.780+07:002009-11-17T12:03:50.780+07:00Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari kerid...Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. <br /><br />Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha BijaksanaAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-11359448390232210852009-11-17T08:33:03.404+07:002009-11-17T08:33:03.404+07:00KESIMPULAN
Sebagaimana yang dapat kita lihat, bah...<b>KESIMPULAN</b><br /><br />Sebagaimana yang dapat kita lihat, bahwa hadits ru’yah ini adalah <b>shahih</b>.<br /><br />Kalau kita mengikuti logika pendla’ifan masing-masing hadits, maka :<br /><br />1. Hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy adalah dla’if karena idlthiraab dalam sanad, tidak dalam matan. Maka di sini ia bisa dijadikan i’tibaar.<br /><br />2. Hadits Ibnu ‘Abbas dla’if. Satu jalur karena inqitha’ dan jalur lain ghairu mahfudh (sebagaimana ditegaskan Ibnu-Jauziy). Sanad yang ghairu mahfudh (yaitu dari jalan Mu’aadz bin Hisyaam, dari ayahnya, dari Qataadah, dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas secara marfu’) tidak bisa dijadikan i’tibar, sedangkan yang lain dapat dijadikan I’tibar. <br /><br />3. Hadits Tsauban adalah dla’if karena inqitha’ dan kedla’ifan Abu Shaalih. <br /><br />4. Hadits Jaabir adalah dla’iif karena Simaak bin Harb.<br /><br />5. Hadits Abu Umaamah dla’if karena adanya inqitha’ dan kedla’ifan Laits.<br /><br />6. Hadits Abu Raafi’ adalah dla’if jiddan dan tidak kita pakai.<br /><br />Coba perhatikan kedla’ifan masing-masing dengan pikiran yang jernih. Nampak bahwa dengan kedla’ifannya ia tetap berstatus shahih lighairihi atau minimal hasan lighirihi. Perkataan bahwa hadits-hadits tersebut tidak bisa saling menguatkan hanyalah merupakan igauan semata, dan penerapan prinsip YPD (Yang Penting Dla’if). He….he….he….<br /><br />Saya kira cukup tanggapan saya yang tidak saya tulis secara optimal ini, di sela-sela waktu luang saya – akhir tahun banyak kerjaan euiy.<br /><br />Semoga ada manfaatnya.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-42022426062609752912009-11-17T08:32:25.198+07:002009-11-17T08:32:25.198+07:00HADITS JAABIR
Penolakan tahsin hadits Jaabir ini ...<b>HADITS JAABIR</b><br /><br />Penolakan tahsin hadits Jaabir ini adalah yang paling tidak saya mengerti dari rekan Rafidlah kita ini. Sudah jelas sekali bahwa <b>rukun sanad yang dibawakan oleh Ibnu Abi ‘Aashim di sini adalah rukun sanad yang dibawakan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (mulai pangkal sampai ujung sanad)</b>, yang tentu saja bukan berkualitas dla’if menurut standar penilaian Ahlus-Sunnah. Gak tahu kalau yang bersangkutan memakai standar penilaian Syi’ah.<br /><br />Memang benar bahwa sebagian ulama hadits telah melemahkannya dari sisi hapalannya. Tapi harus fair juga dong (dan ini harus disebutkan) bahwa para ulama lain memberikan tautsiq kepadanya.<br /><br />Pertanyaan sederhananya yang layak diberikan kepada teman Rafidliy kita ini : <i>“Apakah semua riwayat yang dibawakan oleh Simaak bin Harb adalah dla’if ?”</i>. Jika ia mendla’ifkan semua riwayat Simaak, maka berapa banyak hadits dalam Shahih Muslim yang akan berkualitas dla’if ? Jika ia menjawab tidak semua, maka mana saja yang tidak dla’if ? Kriterianya apa ? Kriteria ini generik, atau kriteria sesuai selera ? Saya tebak, yang bersangkutan akan kesulitan karena tidak punya standar yang jelas alias gelap. Apalagi melihat kenyataan Muslim dalam Shahih-nya sering meletakkan hadits Simaak dalam ushul riwayat.<br /><br />Sangat aneh, ketika teman kita ini menyangkutkan pada hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy yang ia klaim mudltharib – yang kemudian ingin menunjukkan bahwa Simaak dalam penyampaian hadits ini juga mudltharib. Jaka sembung makan kedondong…. Gak nyambung dong!<br /><br />Gampangnya, mari kita lihat kesimpulan dari para ahli hadits dari Simaak bin Harb ini. Ibnu Hajar mengatakan : “Simaak bin Harb bin Aus bin Khaalid Adz-Dzuhliy Al-Bakriy Al-Kuufiy Abu Mughiirah. Shaduuq. Riwayatnya dari ‘Ikrimah secara khusus adalah mudltharib. Di akhir umurnya hapalannya berubah. Kadangkala ia meriwayatkan dengan talqin (صدوق وروايته عن عكرمة خاصة مضطربة وقد تغير بأخرة فكان ربما تلقن)” [At-Taqriib].<br /><br />Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang mudltharib adalah riwayatnya dari ‘Ikrimah. Sama dengan perkataan para imam sebelumnya. Adapun ikhtilath yang dialami oleh ‘Ikrimah terjadi pada akhir umurnya. Adapun talqin, maka ini tidak selalu.<br /><br />Martabat shaduuq menempati peringkat keempat dalam tingkatan jarh wa ta’dil menurut Ibnu Hajar. Ini maknanya bahwa rawi tersebut baik ‘adalah-nya, namun sedikit kurang dalam ke-dlabith-annya. Karena itu, kadang-kadang ia diisyaratkan dengan lafadh laa ba’sa bihi atau laisa bihi ba’sun, yaitu riwayatnya diterima dan masuk dalam <b>derajat hasan</b>.<br /><br />Adz-Dzahabi mengatakan : “Shaduuq shaalih”. Dalam terminology Adz-Dzahabi (lihat Al-Muuqidhah hal. 81-82), lafadh mengindikasikan haditsnya <b>jayyid</b>, namun tidak menduduki puncak keshahihan. Ekuivalen dengan hasan.<br /><br />Ini kesimpulan yang sangat bagus yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabi setelah melihat berbagai jarh dan ta’dil para imam kepada Simaak. <br /><br />Selain itu, sependek pengetahuan saya dari beberapa praktek yang dilakukan oleh Syaikh Al-Albani, murid-muridnya, dan juga dengan beberapa pihak yang sering kontra dengan mereka; semuanya tidak ada yang memutlakkan kedla’ifan pada Simaak.<br /><br />Intinya,…. pelemahan rekan Rafidlah kita atas hadits Jaabir karena Simaak bin Harb adalah pelemahan yang paling saya ingkari.<br /><br />Apalagi – seperti kebiasanya – ia mencari dalih bahwa ada sebagian perawi dalam Shahihain yang mendapat jarh. Itu betul. Tapi menjadikan itu alasan untuk menolak riwayat Simaak, khususnya dalam rantai riwayat yang sama persis seperti yang digunakan Muslim dalam Shahih-nya adalah lemah dan rejected. Mengada-ada dan ujung-ujungnya kok ngasal (?)Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-56323221993608850412009-11-17T08:31:51.800+07:002009-11-17T08:31:51.800+07:00Akhirnya,… riwayat kedudukan Ghailaan di sini buka...Akhirnya,… riwayat kedudukan Ghailaan di sini bukan perawi dla’iif. Ia bisa dipakai sebagai hujjah dengan keadaan-keadaan yang telah disebutkan oleh Syaikh Al-Albani. <br /><br />Mengenai Abu Shaalih, nampaknya teman Rafidlah kita tidak bisa menjawab hujjah yang saya sampaikan. Malahan, ia menggunakan metode kuno yang ia kira bisa membuat saya terkaget-kaget dengan menampilkan pendapat Syaikh Al-Albani atas Abu Shaalih. Tidak ilmiah…..<br /><br />Ibnu Hajar sendiri telah memberikan kesimpulan perincian jarh atas Abu Shaalih : ““Shaduuq (jujur) namun banyak salahnya. <b>Tsabt dalam kitabnya</b>, dan padanya terdapat kelalaian (ghaflah)”.<br /><br />Apa makna tsabt dalam kitabnya ? Tentu saja jika ia meriwayatkan melalui perantaraan (bantuan) kitabnya, maka haditsnya maqbul. Ini perincian yang sangat bagus. Dan di sini, ia meriwayatkan hadits Mu’awiyyah bin Shaalih dengan perantaraan kitabnya, karena ia mempunyai catatan-catatan hadits darinya. Oleh karena itu, haditsnya dari Mu’awiyyah tidak turun dari derajat hasan. Wallaahu a’lam.<br /><br />Adapun Abu Yahyaa yang dikatakan tidak dikenal ini, maka ia sebenarnya adalah : Sulaim bin ‘Aamir Al-Kalaa’iy, Abu Yahyaa Al-Himshiy. Seorang tsiqah. Jadi tidak perlu dipersoalkan.<br /><br />Akhirnya, jelas sudah bahwa kelemahan hadits Tsaubaan hanya ada pada inqithaa’-nya saja. Ini kelemahan yang ringan. Sangat wajar jika Syaikh Al-Albani menghukumi shahih lighairihi. Dan sebaliknya, keheranan Anda menjadi tidak wajar karena ketidakvalidan metode penilaian Anda.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-13321860603094534322009-11-17T08:31:23.334+07:002009-11-17T08:31:23.334+07:00Saya tambahi keterangan Syaikh Al-Albani :
والمج...Saya tambahi keterangan Syaikh Al-Albani : <br /><br />والمجهول الذي لم يرو عنه إلا واحد هو المعروف بمجهول العين وهذه هي الجهالة التي ترتفع برواية اثنين عنه فأكثر وهو المجهول الحال والمستور وقد قبل روايته جماعة بغير قيد وردها الجمهور كما في "شرح النخبة" ص 24 قال : <br />"والتحقيق أن رواية المستور ونحوه مما فيه الاحتمال لا يطلق القول بردها ولا بقبولها بل يقال: هي موقوفة إلى استبانة حاله كما جزم به إمام الحرمين". <br />قلت: وإنما يمكن أن يتبين لنا حاله بأن يوثقه إمام معتمد في توثيقه وكأن الحافظ أشار إلى هذا بقوله: إن مجهول الحال هو الذي روى عنه اثنان فصاعدا ولم يوثق"وإنما قلت: "معتمد في توثيقه" لأن هناك بعض المحدثين لا يعتمد عليهم في ذلك لأنهم شذوا عن الجمهور فوثقوا المجهول منهم ابن حبان وهذا ما بينته في القاعدة التالية <br />نعم يمكن أن تقبل روايته إذا روى عنه جمع من الثقات ولم يتبين في حديثه ما ينكر عليه وعلى هذا عمل المتأخرين من الحفاظ كابن كثير والعراقي والعسقلاني وغيرهم. وانظر بعض الأمثلة فيما يأتي 204 – 207.<br /><br />“Orang yang majhul yang hanya satu orang perawi meriwayatkan darinya itulah yang dikenal dengan majhul ‘ain. Kemajhulan ini dapat terangkat oleh adanya dua atau lebih perawi darinya. Ini yang disebut majhul haal dan mastur; dan riwayatnya diterima oleh jama’ah tanpa ikatan dan ditolak oleh jumhur seperti dijelaskan dalam Syarhun-Nukhbah (hal. 24) : <br /><br />‘Sesungguhnya riwayat perawi yang mastur dan sejenisnya yang mengandung beberapa kemungkinan, <b>tidak dapat ditolak atau diterima secara mutlak</b>, namun ia bergantung pada kejelasan keadaan perawi, seperti yang diyakini oleh Imam Al-Haramain’. <br /><br />Aku (Al-Albani) katakan : Mungkin kejelasan keadaan perawi diperoleh dari adanya tautsiq dari seorang imam yang diakui tautsiq-nya. Dalam pernyataannya (Al-Haafidh) bahwa majhul hal adalah orang yang teriwayatkan haditsnya oleh dua atau lebih perawi, tetapi tidak ada pengakuan terpercaya. Aku katakan : Imam yang diakui tautsiq-nya, karena di sana ada ahli-ahli hadits yang tidak dapat diandalkan tautsiq-nya seperti berbedanya Ibnu Hibban dari tradisi/kebiasaan para ahli hadits pada umumnya. Ini akan saya jelaskan pada pedoman berikutnya.<br /><br />Memang benar bahwa riwayat majhul <b>dapat diterima</b> jika ada sejumlah besar perawi-perawi yang terpercaya meriwayatkan darinya hadits yang tidak mengandung unsur pengingkaran. Pendapat ini dianut oleh sejumlah ulama muta’akhkhirin seperti Ibnu Katsir, Al-‘Iraqiy, Al-‘Asqalaniy, dan yang lainnya. Lihat contohnya pada halaman 204-207” [selesai – lihat Tamaamul-Minnah, hal. 19-20].<br /><br />Setelah membaca ini, dimana letak kontradiksinya ? Sekarang, siapa yang lebih pantas dianjurkan untuk membaca kitab Syaikh Al-Albani dan kitab-kitab hadits lainnya ya ? saya…….<br /><br />[sebagai bahan bacaan, Syaikh ‘Amr bin ‘Abdil-Mun’im telah membuat satu bab bahasan mengenai metode Syaikh Al-Albani dalam penyikapan terhadap hadits mastuur – termasuk kritik-kritik terhadapnya dalam kitab Taisiru Diraasatil-Asaanid, hal. 65-69].<br /><br />Kembali ke bahasan,….. Syaikh Al-Albani tetap berhujjah dengan Ghailaan, termasuk pada alamat yang Anda tunjukkan di Silsilah Ash-Shahiihah no. 32 : <br /><br />و هذا سند لا بأس به في المتابعات ، و رجاله ثقات غير غيلان المقرىء ، و لعله غيلان بن أنس الكلبي مولاهم الدمشقي ، فإن يكن هو ، فهو مجهول الحال ، روى عنه جماعة ، و قال الحافظ : إنه مقبول .<br /><br />“Sanad hadits ini tidak mengapa (laa ba’sa bih) dalam mutaaba’aat, dan rijalnya tsiqah selain Ghailaan Al-Muqri’. Kemungkinan ia adalah Ghailaan bin Anas Al-Kalbiy Ad-Dimasyqiy. Jika orang tersebut adalah benar dia, maka dia berstatus majhul haal. Jama’ah meriwayatkan darinya. Al-Haafidh berkata : “maqbul” [selesai].<br /><br />Begitu juga dalam Irwaaul-Ghaliil (5/75) :<br /><br />وابن أبي مريم ضعيف لاختلاطه لكن تابعه أبو يزيد غيلان وهو مقبول كما في " التقريب " .<br /><br />“Dan Ibnu Abi Maryam, ia dla’iif dikarenakan faktor ikhtilaath-nya (bercampur hapalannya). Namun ia mempunyai mutaba’ah Abu Yaziid Ghailaan, dan ia seorang yang maqbul sebagaimana tertera dalam At-Taqriib” [selesai].Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-64810033930695750412009-11-17T08:30:42.722+07:002009-11-17T08:30:42.722+07:00HADITS TSAUBAAN
Tentang Ghailaan bin Anas Al-Kalb...<b>HADITS TSAUBAAN</b><br /><br />Tentang Ghailaan bin Anas Al-Kalbiy,……….. telah disebutkan bahwa Ibnu Hajar berkomentar dalam At-Taqriib : ‘maqbuul’. Ibnu Abi Haatim tidak menyebut padanya jarh ataupun ta’dil-nya. Beberapa perawi tsiqaat telah meriwayatkan darinya. Al-Mizziy menyebutkan perawi yang meriwayatkan darinya antara lain : Syu’aib bin Abi Hamzah, ‘Abdullah bin Al-‘Allaa’ bin Zabr, ‘Abdurrahmaan bin ‘Amr Al-Auzaa’iy, ‘Isaa bin Musaa Al-Qurasyiy, dan Manshuur Al-Khaulaaniy [Tahdziibul-Kamaal, 23/127].<br /><br />Nah,…kemudian teman Rafidlah kita ini – dengan segala kepercayan dirinya – mengatakan :<br /><br /><i>“Percuma saja saudara Penulis itu mengutip berpanjang-panjang karena pada kenyataannya Syaikh Al-Albani sendiri mengatakan kalau Ghailan bin Anas Al-Kalbi adalah seorang yang majhul haal….”</i>.<br /><br />Saya jadi bertanya apakah yang bersangkutan paham tidak dengan manhaj Syaikh terhadap hadits mastuur (majhul haal) ? Mungkin yang bersangkutan salah paham dengan tulisan saya pada catatan kaki no. 15 : <i>“maka terangkatlah status majhul haal-nya”</i>. Mungkin beliaunya memahami dari perkataan saya ini, istilah majhul haal-nya hilang. Padahal yang saya maksud status majhul haal nya “terangkat” adalah menjadi kuat dan bisa dijadikan hujjah, sebagaimana nukilan saya dari penjelasan Abu Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil (1/1/36) di atas. Mungkin pilihan kata saya “terangkat” dalam tulisan di atas kurang tepat. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini akan sedikit saya perbaiki kalimatnya agar tidak salah paham – dan itu <b>tidak mengubah esensi hujjah saya</b>. <br /><br />Mengenai majhul haal ini, sebenarnya dulu telah saya ketika membahas hadits Maalik Ad-Daar. Tapi mungkin yang bersangkutan lupa. Ada baiknya saya ulang : <br /><br /><i><b>Majhul haal</b>, yaitu status perawi dimana yang meriwayatkan sebanyak dua orang atau lebih, namun tidak ada seorang pun yang men-tsiqah-kannya. Disebut juga mastur. Hadits atau riwayat dari perawi yang majhul haal atau mastur ini <b>tidak ditolak dan juga tidak diterima secara mutlak.</b> Jelasnya, <b>apabila yang meriwayatkan darinya beberapa perawi tsiqah – meskipun tidak ada yang men-tsiqah-kannya – maka haditsnya/riwayatnya dapat diterima</b>. Immaa derajatnya hasan atau shahih. Diterima riwayatnya karena yang meriwayatkan darinya sejumlah perawi tsiqah, yang mereka tidak meriwayatkan dari seorang perawi kecuali perawi tsiqah atau yang mereka angap tsiqah. Akan tetapi jika yang meriwayatkan darinya hanya perawi-perawi dla’if, maka riwayatnya tertolak dan haditsnya dla’if</i> [selesai].<br /><br />Sedikit berbeda dengan definisi di atas, Syaikh Al-Albani tidak mensyaratkan bahwa perawi tsiqah tersebut tidak meriwayatkan kecuali dari perawi tsiqah yang lain. Oleh karena itu, beliau tetap mempergunakan perawi yang berstatus majhul (haal) jika sejumlah perawi tsiqah meriwayatkan darinya.<br /><br />Dan mohon maaf yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada teman Rafidlah kita jika pada tulisan di atas saya tidak maksimal menuliskan keterangan-keterangan dari Syaikh Al-Albani secara lengkap mengenai majhul haal. Hingga mengakibatkan teman kita yang terhormat ini buru-buru menyimpulkan. Salah lagi….he…he…he…. (dan ini juga tidak luput dari ketidaktepatan saya dalam menulis “terangkat” sehingga teman Rafidlah kita salah paham…he…he….).Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-14629152348935412612009-11-17T08:30:04.929+07:002009-11-17T08:30:04.929+07:00INKONSISTENSI SYAIKH AL-ALBANIY ?
Terus terang sa...<b>INKONSISTENSI SYAIKH AL-ALBANIY ?</b><br /><br />Terus terang saya senyum2 geli melihat defense berlebihan yang dilakukan oleh teman Rafidlah kita ini dalam menutupi kekurangpengetahuannya. Dalam ucapannya terdahulu ia mengkritik Syaikh Al-Albani yang dianggapnya tidak konsisten ketika menjadikan riwayat Khaalid bin Al-Lajlaaj sebagai hujjah. Katanya, Syaikh Al-Albani biasanya tidak menghiraukan tautsiq yang hanya diberikan oleh Ibnu Hibban. <br /><br />Telah saya sanggah perkataan orang ini bahwa sikap beliau menggunakan riwayat Khaalid bin Al-Lajlaaj adalah sesuai dengan metode/manhaj yang telah ia terangkan sendiri. Makanya, sangat keliru jika teman Rafidlah kita ini ‘menyalahkan’ Syaikh Al-Albani, karena justru di sini beliau menunjukkan kesesuaiannya dengan manhaj beliau yang telah diterangkan dalam Tamaamul-Minnah. Ya,… berhubung ia tidak tahu metode yang diterangkan Syaikh Al-Albani, yang sesuai pun dianggap gak konsisten. He…he…he… <br /><br />Dan anehnya, kok tiba-tiba karena ingin membela diri - malu ngaku keliru – dengan menampilkan beberapa statement dari Syaikh Al-Albani yang ia anggap gak konsisten dengan manhaj beliau terhadap tashhih Ibnu Hibban. Lucu dan gak ada relevansinya jika dikaitkan dengan kritikannya pertama dan sanggahan saya terhadapnya.<br /><br />Akan saya lanjutkan pembahasan ini di paragraph selanjutnya….Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-13374368078601251562009-11-17T08:29:19.138+07:002009-11-17T08:29:19.138+07:00“Dua riwayat ini tidak mudltharib - walau berporos...<i>“Dua riwayat ini tidak mudltharib - walau berporos pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy - karena perawi sebelum dan setelah ‘Abdurrahman berbeda. Ini menunjukkan ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy menerima hadits dari dua pihak, yaitu dari Maalik bin Yakhaamir (dari Mu’adz bin Jabal) dan dari salah seorang/sebagian shahabat Nabi shallalaahu ‘alahi wa sallam, dan kemudian menyampaikannya pada pihak yang berbeda pula. Semua shahih, no problemo. Ini sangat memungkinkan”</i>.<br /><br />Saya mengatakan hal di atas sebagai qarinah saja (bukan syarat). Tidak lain karena hal itu sangat memungkinkan. Apalagi hadits itu sendiri sangat memungkinkan diriwayatkan dari banyak jalan sanad (bukan dengan sanad tunggal). Bukankah hadits tersebut diucapkan oleh kesaksian para shahabat saat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di masjid ? Maka, bukan hal yang aneh jika ada beberapa shahabat meriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kemudian beberapa diantaranya diriwayatkan melalui jalur ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini, ia sampaikan kepada Khaalid bin Al-Lajlaaj dan Abu Salaam pada waktu yang berbeda. <br /><br />Ini akan berbeda jika dilalah hadits menunjukkan satu jalan sanad, namun kemudian ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy meriwayatkannya dari dua pihak yang berbeda. Ya, saya sepakat hadits ini adalah mudltharib. <br /><br />Sebenarnya contoh yang saya berikan dari riwayat Az-Zuhri dalam Shahih Muslim cukup untuk membuat perbandingan dalam hal ini. Namun sayangnya – sebagaimana kebiasaannya – teman Rafidlah kita ini membuat ta’wil2 yang cukup mengherankan..... (bisa banyak komentar diberikan, tapi gak usahlah…hemat kata).<br /><br />Satu lagi,…. teman Rafidlah kita berkata : <br /><br /><i>“Kalau ia meriwayatkan dari seorang shahabat, maka untuk apa pula meriwayatkan hadits tersebut dari tabi’in ?”</i>.<br /><br />Seorang perawi mengambil hadits dari tabi’in dan shahabat sekaligus tidak menyebabkan cacat riwayat secara mutlak, karena di sini Ibnu ‘Aaisy memang mempunyai dua jalur periwayatan. Tidak masalah.<br /><br />Saya pikir cukup pembicaraan tentang idlthirab ini, karena sudah jelas. Intinya mah, saya <b>sangat tidak sependapat</b> dengan perkataan teman Raafidliy kita ini. Saya tidak mengingkari keberadaan sebagian ulama yang mendla’ifkan hadits Ru’yah yang dibawakan oleh Ibnu ‘Aaisy ini dengan alasan adanya idlthiraab, sama seperti alasan yang disampaikan teman Rafidlah kita.<br /><br />Kalaupun misal sanad hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini dihukumi idlthiraab, maka ia tetap bisa dijadikan i’tibar, karena hal itu hanya menunjukkan kurangnya sifat dlabth dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Dua jalur sanad yang ia bawakan tetap bersanad dla’if. Tidak dapat dipastikan mana di antara dua sanad tersebut yang mahfudh (shahih). Bersamaan dengan itu, matan haditsnya hanya satu. Jika ada hadits lain yang menguatkan, maka hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy secara keseluruhan bisa terangkat dari ke-dla’if-an (akibat idlthirab sanad) menjadi hasan atau shahih.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-32087547284954107612009-11-17T08:28:31.970+07:002009-11-17T08:28:31.970+07:00IDLTHIRAB HADITS ‘ABDURRAHMAAN BIN ‘AAISY
Teman R...<b>IDLTHIRAB HADITS ‘ABDURRAHMAAN BIN ‘AAISY</b><br /><br />Teman Rafidliy kita tetap berpendapat bahwa hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy itu idlthirab. Telah saya sebutkan ada dua riwayat yang tersisa yang berputar/berporos pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy :<br /><br />(1) Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian/seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.<br /><br />(2) Dari Abu Salaam (Zaid bin Salaam bin Abi Salaam), dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’adz bin Jabal secara marfuu’.<br /><br />Untuk nomor 1, teman Rafidlah kita tetap memecahnya menjadi dua untuk lebih mengesankan ke-idlthirab-annya sesuai dengan yang ia inginkan, yaitu : <br /><br />a. Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian (ba’dlu) shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.<br /><br />b. Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.<br /><br />Dua riwayat di atas masing-masing berasal dari Khaalid bin Al-Lajlaaj. Dalam setiap bahasan hadits mudltharib disebutkan bahwa satu hadits tidak dikatakan mudltharib jika ia bisa ditarjih atau dijamak. Di sini jamak bisa dilakukan. Di atas saya telah menuliskan bahwa tidak ada pertentangan antara sebagian shahabat dengan seorang laki-laki dari kalangan shahabat. Lafadh <i>seorang laki-laki dari kalangan shahabat</i> termasuk bagian dari <i>sebagian shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i>. Dalam ilmu ushul, itu termasuk bagian lafadh ‘aam dan lafadh khaash. Antara yang khaash dan ‘aam bukan merupakan bagian kontradiksi, sehingga tidak mengharuskan adanya idlthirab satu dengan lainnya. <br /><br />Saya ulangi : Sanad ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy hanya ada dua, yaitu :<br /><br />(1) Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian/seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.<br /><br />(2) Dari Abu Salaam (Zaid bin Salaam bin Abi Salaam), dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’adz bin Jabal secara marfuu’.<br /><br />Hadits di atas tampak oleh kita bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy menerima riwayat dari orang yang berbeda dan menyampaikannya kepada orang yang berbeda pula. Setelah menukil kalimat saya ini, teman Rafidlah kita itu berkata :<br /><br /><i>“Sungguh lucu kalimat ini. Jika syarat mudltharib adalah perawi sebelum dan sesudah Abdurrahman harus sama, maka sudah jelas ia bukan mudltharib, tetapi satu sanad yang utuh dan tsabit”</i>.<br /><br />Halo….halo….. dalam kalimat mana saya mengatakan syarat mudltharib adalah perawi sebelum dan sesudah Abdurrahman harus sama ya ? Saya baca ulang tulisan saya di atas gak ada tuh kalimat yang dimaksud…. baik secara lafadh ataupun makna. Itu hanya karangan teman Rafidlah kita saja untuk membuat opini menguatkan pendapatnya yang salah. Sangat jelas saya katakan :Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-79392521345253542009-11-17T08:16:52.601+07:002009-11-17T08:16:52.601+07:00Ta’dil terhadap ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini dikuat...Ta’dil terhadap ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini dikuatkan lagi oleh beberapa faktor (sebagian telah saya sebutkan) :<br /><br />1. Ibnu Hibban telah mencantumkannya dalam Ats-Tsiqaat ---- ingat, saya tidak sedang bergantung semata-mata dari tautsiq Ibnu Hibban, namun ini merupakan penguat dari qarinah2 yang ada. <br /><br />2. Walaupun pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy bukan termasuk shahabat, namun dengan dimasukkannya ia oleh sebagian muhaddits dalam thabaqah shahabat, maka ini petunjuk akan ke-‘adalah-annya.<br /><br />[adapun pertanyaan teman Rafidlah kita : “Mengapa saya berpegang pada tautsiq Ibnu Hibban, namun tidak berpegang pada perkataannya bahwa Ibnu ‘Aaisy bukan seorang shahabat; maka saya jawab : Jelas beda antara tautsiq dengan thabaqah perawi, tidak ada korelasi linear antara keduanya. Ia menyangka jika kita melemahkan pendapat seorang muhaddits tentang peletakan thabaqah perawi (apakah ia shahabat, tabi’iin, atau tabi’ut-taabi’iin), juga harus berkonsekuensi melemahkan jarh dan ta’dil yang diberikan muhaddits tersebut kepadanya. Pemahaman macam apa ini ya ?....].<br /><br />3. Tiga perawi tsiqah meriwayatkan darinya.<br /><br />4. Satu lagi saya tambah : Umumnya, penghukuman idlthirab pada satu hadits oleh muhadditsiin dimaksudkan terjadi pada perawi tsiqah (atau minimal shaduuq). Bahkan <b>sebagian</b> ulama yang mengkhususkan pembicaraan mudltharib ini hanya pada perawi-perawi tsiqaat (lihat Al-Jawaahirus-Sulaimaniyyah Syarh Al-Mandhumah Al-Baiquniyyah hal. 337). Karena jika idlthiraab ini terjadi atau berporos pada perawi dla’iif, maka ia sudah gugur dari segi asalnya dan ta’arudl atau perselisihan sanad setelah rawi tersebut tidak dianggap. <br /><br />Beberapa qarinah ini semua menunjukkan akan ke-‘adalah-an ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Dan ‘adalah itu tidak hanya diketahui dari tashrih ta’dil atau pujian yang diberikan oleh muhadditsiin pada seorang perawi. Ada banyak jalan/cara untuk mengetahui sifat ‘adl (ta’dil muhadditsiin) pada seorang perawi [bisa lihat selengkapnya dalam Al-Hadiitsush-Shahih wa Manhajul-‘Ulamaa’il-Muslimiin fit-Tashhih hal. 95-98 dan Al-Jawaahirus-Sulaimaniyyah Syarh Al-Mandhumah Al-Baiquniyyah hal. 55-60 – padanya ada beberapa jalan/cara, adayang maqbul, ada pula yang mardud].Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-39675795664575696512009-11-17T08:14:57.562+07:002009-11-17T08:14:57.562+07:00Kembali pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Ketika Al-Bu...Kembali pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Ketika Al-Bukhariy men-tashhih haditsnya dari jalur Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’aadz bin Jabal secara marfu’; maka ia juga men-tashhih sanadnya dan juga memberikan ta’dil kepada perawinya. Kita ingin tanya kepada teman Rafidlah kita itu : “Ada gak perkataan Al-Bukhariy yang men-jarh ‘ secara jelas pada Abdurrahman bin ‘Aaisy ?”. Al-Bukhariy hanya mengatakan bahwa ‘Abdurrahman ini hanya mempunyai satu hadits dimana para ulama menganggap haditsnya tersebut mudltharib. Tentu saja lain jika Al-Bukhari mengatakan : “mudltharibul-hadiits”. Tapi di sini tidak… Ini bukan jarh. Sebab, seorang yang tsiqah juga bisa mempunyai hadits mudltharib. Contohnya banyak…. Lantas, apa itu sangat musykil bagi teman Rafidliy kita ini jika tashhih beliau dibawa kepada tashhih sanad – sesuai keumuman kaedah - ? Lantas bagaimana dengan perkataan Abu Zur’ah bahwa ia tidak dikenal (laisa bi-ma’ruuf). Ini memang kalimat jarh, namun sifatnya muqayyad. Jika ada seorang ulama/muhaddits yang diakui memberikan ta’dil kepadanya atau menegaskan bahwa ia seorang yang ma’ruf, maka sifat tidak dikenal (majhul) ini hilang, karena orang yang mengetahui menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahui. Dan ini telah diisyaratkan terhadap tashhih Al-Bukhariy.<br /><br />Juga dengan tashhih Ahmad bin Hanbal. Tidak ternukil sama sekali ia men-jarh ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Bahkan ada dua riwayat darinya yang men-tashhih riwayat ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. <b>Pertama</b>, dalam Tahdziibul-Kamaal (17/203) : “Abu Zur’ah Ad-Dimasyqiy juga berkata : ‘Aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal : ‘Sesungguhnya Ibnu Jaabir telah menceritakan sebuah hadits dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : <i>‘Aku telah melihat Rabb-ku dalam sebaik-baik bentuk’</i>. Qatadah juga menceritakan hadits tersebut dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas; mana di antara keduanya yang lebih engkau cintai ?’. Ahmad menjawab : ‘Hadits Qatadah itu tidak ada apa-apanya. Dan perkataan (yang dianggap/shahih) di sini adalah yang dikatakan Ibnu Jaabir” [selesai]. <b>Kedua</b>, dalam Tahdziibul-Kamaal (17/206) : “Diriwayatkan oleh Abu Ahmad bin ‘Adiy, dari Al-Fadhl bin Hubaab, dari Al-Khuzaa’iy, kemudian ia berkata : Hadits ini mempunyai beberapa jalan. Dan aku melihat bahwa Ahmad bin Hanbal menshahihkan riwayat yang dibawakan oleh Musaa bin Khalaf, dari Yahyaa bin Abi Katsiir. Ia (Ahmad) berkata : ‘Hadits ini adalah yang paling shahih”[selesai].<br /><br />Teman kita ini merasa aneh dengan perbedaan hadits yang di-tashhih antara Al-Bukhariy dan Ahmad (ia hanya memandang satu perkataan Ahmad saja). Saya juga bingung, apa yang dianehkan ? aneh-aneh saja……….. Tidak ada masalah jika ada perbedaan tashhih antara Al-Bukhariy dengan Ahmad, karena yang sedang kita perbincangkan adalah sisi ta’dil atas ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Saya memang berhujjah dengan tashhih keduanya dalam hal ta’dil perawi di sisi mereka. Bukan mempergunakan hadits ini secara keseluruhan dan bersamaan dalam penyimpulan hukum, karena saya telah tegaskan bahwa jalur Qatadah itu dla’if.….. <br /><br />Kelihatannya, teman Rafidlah kita tidak memahami esensi yang dibicarakan.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-65231589947790146382009-11-17T08:14:13.891+07:002009-11-17T08:14:13.891+07:00TA’DIL TERHADAP ‘ABDURRAHMAN BIN ‘AAISY
Orang Raf...<b>TA’DIL TERHADAP ‘ABDURRAHMAN BIN ‘AAISY</b><br /><br />Orang Rafidlah tersebut menolak ta’dil ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy (yang sebelumnya ia ingin menyanggap kaedah umum yang saya sampaikan), bahwa tashhih Al-Bukhari tidak menunjukkan ta’dil beliau terhadapnya. Ia lalu menyampaikan contoh Asbaath bin Abil-Yasa’ Al-Bashri dan Katsiir bin ‘Abdillah bin ‘Amr. Lah,… yang aneh…. contoh ini justru menjadi hujjah saya atas dirinya, bukan hujjah dirinya terhadap saya. Tentu saja jika dihubungkan dengan apa yang saya tulis di awal. Asbaath dikatakan majhul oleh Abu Haatim dan Ibnu Hajar. Penilaian mereka berdua sebenarnya dilandaskan oleh penilaian Al-Bukhari terhadap Asbaath dalam At-Taariikh Al-Kabiir. Perlu diketahui, kitab At-Taariikh Al-Kabiir merupakan ushul dari kitab Al-Jarh wat-Ta’dil dengan beberapa penambahan. Dalam kitab taariikh-nya, Al-Bukhariy berdiam diri (tidak memberikan penilaian, baik jarh maupun ta’dil) terhadap Asbaath. Sebagian ahli hadits menilai bahwa diamnya Al-Bukhariy menandakan perawi tersebut adalah majhul (menurut beliau). Sedangkan yang lain (seperti Adz-Dzahabi dalam Al-Muuqidhah) menyatakan sedikit memberikan penekanan dan penajaman, bahwa perawi yang tidak mendapat jarh maupun ta’dil namun dipakai hujjah oleh Al-Bukhariy dan Muslim atau salah satu di antara keduanya dalam Shahih-nya, maka statusnya adalah tsiqah, dan haditsnya qawiy (kuat). Ini pendapat jumhur muhadditsiin.<br /><br />Al-Bukhari hanya membawakan satu hadits Asbaath dalam Shahih-nya yang mengikuti Muslim bin Ibrahim dari periwayatan Hisyaam Ad-Dastuwaa’iy : <br /><br />حدثنا مسلم حدثنا هشام حدثنا قتادة عن أنس ح وحدثني محمد بن عبد الله بن حوشب حدثنا أسباط أبو اليسع البصري حدثنا هشام الدستوائي عن قتادة عن أنس رضى الله تعالى عنه<br /><br />Telah menceritakan kepada kami Muslim : telah menceritakan kepada kami <b>Hisyaam</b> : telah menceritakan kepada kami Qataadah, dari Anas : <br /><br />Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Abdillah bin Hausyab : Telah menceritakan kepada kami Asbaath Abul-Yasa’ Al-Bashri : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam Ad-Dastuwaa’iy, dari Qatadah, dari Anas radliyallaahu ‘anhu…. [Shahih Al-Bukhari no. 1963 versi digital atau no. 2069 versi tercetak].<br /><br />Hadits ini disebutkan kembali oleh Al-Bukhari pada nomor 2508 (atau no. 2373 versi digital) : <br /><br />حدثنا مسلم بن إبراهيم حدثنا هشام حدثنا قتادة عن أنس رضى الله تعالى عنه قال <br /><br />Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam : Telah menceritakan kepada kami Qataadah, dari Anas radliyallaahu ‘anhu.<br /><br />Jadi hadits Asbaath itu qawiy (kuat) lidzaatihi berdasarkan kaedah yang diterangkan Adz-Dzahabiy karena Al-Asbaath ini <b>tsiqah</b>. <br /><br />Atau……ia shahih dengan mutaba’ah dari Muslim bin Ibraahiim jika kita tetap menganggap status Asbaath ini majhul jika kita ingin menetapkan berdasarkan perkataan Ibnu Hajar.<br /><br />Contoh kedua yang dibawakan adalah Katsiir bin ‘Abdillah bin ‘Amr. Di situ justru memperjelas permasalahan yang saya sampaikan. Al-Bukhariy mentashhih hadits Katsiir dari ayahnya dari kakeknya. Ia menghasankan riwayat Katsir karena Yahya bin Sa’iid Al-Anshariy – dengan keimaman beliau – telah meriwayatkan hadits darinya. Al-Bukhariy memberikan tashhih hadits Katsiir mengenai waktu yang diharapkan di hari Jum’at karena ia menganggap hadits Katsiir ini hasan dengan alasan yang telah dituliskan. Maka tidak ada hubungannya dengan perkataan Ahmad, Ibnu Ma’in, dan jama’ah ahli hadits yang mendla’ifkannya, karena yang saya tekankan di sini adalah tashhih hadits include terhadap tashhih sanadnya . Jelasnya, ketika Al-Bukhari men-tashhih hadits Katsir tentang hari Jum’at itu, <b>maka ia men-ta’dil Katsir</b>.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-25024443204591628882009-11-17T08:12:43.540+07:002009-11-17T08:12:43.540+07:00Ya saya sudah melihat jawaban yang bersangkutan at...Ya saya sudah melihat jawaban yang bersangkutan atas tulisan di atas…. Semakin dijawab, kok saya semakin tambah yakin bahwa apa yang saya tulis di atas adalah benar. Sebenarnya saya malas untuk memberikan tanggapan. Tapi berhubung antum meminta untuk menanggapi, tak apalah jika saya tulis sedikit tanggapan. Ada beberapa hal yang mungkin perlu saya perjelas……<br /><br /><b>KAIDAH TASHHIH HADITS ADALAH TASHHIH TERHADAP SANADNYA </b><br /><br />Saya kira yang bersangkutan adalah orang yang berpengetahuan tentang hal ini sehingga saya cukup menuliskan kaedah umum (ia akan mengerti) tanpa menuliskan perincian dan istitsna’2 (exceptions)-nya. Tapi melihat tanggapannya, sepertinya kali ini mengharuskan saya untuk menulis lebih.<br /><br />Pada asalnya, tashhih seorang muhaddits maknanya tashhiih li-dzaatihi. Maknanya, hadits tersebut telah memenuhi persyaratan shahih. Termasuk dalam hal ini persyaratan perawi yang include di dalamnya persyaratan ‘adaalah. Konsekuensinya, para perawi yang menyusun sanad hadits adalah ‘adil <b>menurut penilaian muhaddits tersebut</b>. <b>Kecuali </b>jika disebutkan dari muhaddits tersebut (baik secara langsung atau tidak langsung) bahwa hadits yang ia tashhiih terdapat cacat (baik dari faktor perawi, kebersambungan sanad, atau yang lainnya), maka tashhiih yang ia berikan adalah tashhiih li-ghairihi. Ini kaedah umumnya…... Dan yang saya sebutkan dalam tulisan saya di atas adalah kaedah umum ini dimana teman Rafidlah kita itu tidak perlu miris terhadapnya. Sama halnya ketika disebutkan tingkatan hadits shahih yang keempat sampai keenam : Hadits yang sesuai persyaratan Al-Bukhari dan Muslim – sesuai persyaratan Al-Bukhari saja – sesuai persyaratan Muslim. Apa makna sesuai persyaratan Al-Bukhari dan/atau Muslim ? Maknanya hadits tersebut <b>diriwayatkan dari jalur para perawi yang terdapat di dua kitab (Shahih l-Bukhari dan Shahih Muslim) atau salah satunya</b>. Ini juga kaedah umum. Apakah kaedah umum ini berlaku secara mutlak ? Tentu saja tidak…. Sebagaimana beberapa kaedah yang ma’ruf dalam ilmu hadits, ushul fiqh, dan fiqh, ada exception2-nya…… Ada beberapa hadits – walau ia memakai jalur perawi yang dipakai oleh Al-Bukhari dan/atau Muslim – berkualitas dla’if. Kenapa ? Telah ma’ruf di kalangan ahli hadits bahwa tidak semua perawi dalam Shahihain selamat dari kritik. Diantara mereka dinyatakan jumhur sebagai perawi dla’if. Contohnya,…. Ismaa’iil bin ‘Abdillah bin ‘Abdillah bin Uwais, Qathn bin Nusair, Asbaath bin Nashr, dan lain-lain. Ini mah tidak usah dibahas………. Karena dah ma’ruf. <br /><br />Oleh karena itu, orang Rafidlah tersebut tidak perlu menolak kaedah umum yang saya sampaikan. Kalau mau menanggapi, seharusnya komentarnya adalah : <b><i>“itu tidak berlaku mutlak…..”</i></b> atau : <b><i>“itu ada perinciannya….”</i></b>. Ini baru benar…………Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.com