Para ulama telah berbeda pendapat mengenai hal ini. Pokok persoalannya adalah pemahaman dan penarikan hukum atas firman Allah ta’ala :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ ........ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; ……… anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. An-Nisaa’ : 23].
Sebagian ulama berpendapat tidak bolehnya seorang laki-laki menikahi anak istri dari suami yang lain (anak tiri) jika terkumpul padanya dua kondisi :
1. Anak tiri dalam asuhan/pemeliharaan ayah tirinya.
2. Ayah tiri (si laki-laki) tersebut telah mencampuri ibu tirinya.[1]
Jika terkumpul dua kondisi ini, maka haram bagi ayah tiri menikahi anak tirinya, karena statusnya adalah mahram baginya. Namun jika dua kondisi tersebut tidak terpenuhi atau hanya satu kondisi saja yang terpenuhi, maka tidak mengapa jika ayah tiri menikahi anak tiri. Pendapat ini merupakan pendapat dari Amiirul-Mukminiin ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu, Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah, dan ternukil dari Malik bin Anas rahimahullah.
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
أخرجه عبد الرزاق وابن المنذر وغيرهما من طريق إبراهيم بن عبيد عن مالك بن أوس قال: كانت عندي امرأة قد ولدت لي، فماتت فوجدت عليها، فلقيت علي بن أبي طالب فقال لي: مالك؟ فأخبرته، فقال: ألها ابنة؟ يعني من غيرك، قلت: نعم قال: كانت في حجرك؟ قلت: لا، هي في الطائف، قال: فانكحها، قلت: فأين قوله تعالى :{وَرَبَائِبُكُمُ} قال إنها لم تكن في حجرك......
والأثر صحيح عن علي.
“Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq, Ibnul-Mundzir, dan yang lainnya dari jalan Ibraahiim bin ‘Ubaid, dari Maalik bin Aus, ia berkata : “Aku pernah mempunyai istri yang melahirkan, lalu istriku itu meninggal dan akupun sedih. Maka aku menemui ‘Aliy bin Abi Thaalib. Ia berkata kepadaku : ‘Ada apa denganmu ?’. Aku pun mengkhabarkan kepadanya apa yang terjadi. ‘Aliy lalu bertanya : ‘Apakah istrimu mempunyai anak perempuan, yaitu dari selainmu (= anak tiri) ?’. Aku jawab : ‘Ya’. Ia kembali bertanya : ‘Apakah anak perempuan tirimu itu dalam asuhanmu ?’. Aku jawab : ‘Tidak, ia ada di Thaaif’. Ia berkata : ‘Nikahilah ia !’. Aku berkata : ‘Lantas bagaimana dengan ayat {وَرَبَائِبُكُمُ} (anak perempuan/tiri dari istri yang telah aku campuri) ?’. ‘Aliy berkata : ‘Ia tidak dalam asuhanmu’….
Atsar ini shahih dari ‘Aliy” [Fathul-Baariy, 9/158 – lihat pula Mushannaf ‘Abdirrazzaaq no. 10834].
Namun jumhur ulama berpendapat bahwa anak tiri itu haram untuk dinikahi, baik ia ada dalam asuhan bapak tiri ataupun tidak. Mereka hanya mensyaratkan adanya jima’ saja. Kalimat dalam ayat di atas keluar dari tempat keumumannya (خرج مخرج الغالب), sehingga tidak ada mafhum padanya.[2] Maksudnya, ayat tersebut berbicara tentang keumuman seorang anak tiri (rabiibah) yang berada di asuhan/pemeliharaan orang tuanya. Oleh karena itu, tidak ada mafhum mukhalafah atas ayat dimaksud jika anak tiri tidak dalam asuhan/pemeliharaan, boleh bagi ayah tiri untuk menikahinya. Hal ini seperti firman Allah ta’ala :
وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا
“Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian” [QS. An-Nuur : 33].
QS. An-Nuur : 33 tidak mengkonsekuensikan jika ada budak wanita yang tidak menginginkan kesucian boleh dipaksa untuk melakukan pelacuran.
Pendapat jumhur inilah yang raajih dalam permasalahan ini, insya Allah.
عن أم حبيبة بنت أبي سفيان قالت: يارسول الله، انكح أختي بنت أبي سفيان، فقال: (أوتحبين ذلك). فقلت: نعم، لست لك بمخلية، وأحب من شاركني في الخير أختي، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (إن ذلك لا يحل لي). قلت: فإنا نحدث أنك تريد أن تنكح بنت أبي سلمة؟ قال: (بنت أم سلمة). قلت: نعم، فقال: (لو أنها لم تكن ربيبتي في حجري ما حلت لي، أنها لابنة أخي من الرضاعة، أرضعتني وأبا سلمة ثويبة، فلا تعرضن علي بناتكن ولا أخواتكن).
Dari Ummu Habiibah binti Abi Sufyaan ia berkata : “Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, anak perempuan Abu Sufyaan”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Apakah engkau senang akan hal itu ?”. Ummu Habiibah berkata : “Benar, aku tidak hanya ingin menjadi istrimu, dan aku ingin saudara perempuanku bergabung denganku dalam memperoleh kebaikan”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Saudara perempuanmu itu tidak halal bagiku”.[3] Ummu Habiibah berkata : “Kami mendengar khabar bahwa engkau ingin menikahi anak perempuan Abu Salamah ?”. Beliau besabda : “Anak perempuan Abu Salamah ?”. Ummu Habiibah menjawab : “Ya”. Beliau bersabda : “Seandainya ia bukan anak tiriku yang ada dalam asuhanku, dia tetap tidak halal aku nikahi, karena ia adalah anak perempuan saudara laki-lakiku dari hubungan penyusuan, yaitu aku dan Abu Salamah sama-sama pernah disusui oleh Tsuwaibah. Oleh karena itu, janganlah engkau tawarkan anak perempuanmu atau saudara perempuanmu kepadaku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 5101, Muslim no. 1449, dan yang lainnya].
Mengomentari hadits di atas, Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
جعل المناط في التحريم مجرد تزويجه أم سلمة وحكم بالتحريم لذلك، وهذا هو مذهب الأئمة الأربعة والفقهاء السبعة وجمهور الخلف والسلف
“Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan sebab keharaman hanya sekedar perkawinan beliau dengan Ummu Salamah dan yang demikian itu dihukumi haram oleh beliau. Inilah madzhab imam yang empat, fuqahaa’ yang tujuh, serta jumhur ulama khalaf dan salaf ” [Tafsiir Ibni Katsiir, 2/251].
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – http://abul-jauzaa.blogspot.com].
[1] Para ulama berbeda pendapat tentang makna ad-dukhuul dalam QS. An-Nisaa’ : 23. Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan perbedaan pendapat masalah ini :
وأما الدخول ففيه قولان: أحدهما أن المراد به الجماع وهو أصح قولي الشافعي، والقول الآخر وهو قول الأئمة الثلاثة المراد به الخلوة.
“Tentang makna ad-dukhuul, ada dua pendapat : Pertama, bahwa yang dimaksud dengannya adalah jimaa’. Ini merupakan pendapat yang paling shahih yang ternukil dari Asy-Syafi’iy. Kedua, dimana ini merupakan pendapat imam yang tiga (Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad), maksudnya adalah berdua-duaan/khalwat (antara suami istri)” [Fathul-Baariy, 9/158].
Pendapat yang raajih adalah pendapat pertama. Hal ini berdasarkan dua atsar berikut :
عن الثوري عن عاصم عن بكر بن عبد الله المزني قال قال بن عباس الدخول والتغشي والإفضاء والمباشرة والرفث واللمس هذا الجماع غير أن الله حيي كريم يكنى بما شاء عما شاء
Dari Ats-Tsauriy, dari ‘Aashim,, dari Bakr bin ‘Abdillah Al-Muzanniy, ia berkata : Telah berkata Ibnu ‘Abbas : “Ad-dukhuul, at-taghasyiy, al-mubaasyarah, ar-rafats, dan al-lams, ini semuanya maknanya adalah jima’ karena Allah Maha Pemalu dan Maha Pemurah yang memberi kiasan dengan apa saja pada apa saja yang Ia kehendaki” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq no. 10826; shahih].
عن بن جريج قال قلت لعطاء ((وربائبكم اللاتي في حجوركم)) ما الدخول بهن ؟ قال أن تهدى إليه فيكشف ويجلس بين رجليها قلت إن فعل ذلك بها في بيت أهلها قال حسبه قد حرم ذلك عليه بناتها قلت له نعم, ولم يكشف قال لا تحرم عليه الربيبة إن فعل ذلك بأمها
Dari Ibnu Juraij ia berkata : “Aku pernah bertanya kepada ‘Athaa’ tentang firman Allah ta’ala : ‘dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu’; apa makna ad-dukhuul dengan mereka ?”. Ia menjawab : “Maknanya adalah jika wanita/istri telah menyerahkan diri kepada suaminya, dan si suami telah menyingkap (pakaian)-nya serta duduk di antara dua kakinya (men-jima’-inya)’. Aku berkata : ‘(Apa pendapatmu) jika hal itu ia lakukan di rumah keluarga si istri ?’. Ibnu Juraij menjawab : ‘Telah cukup hal itu baginya untuk mengharamkan (untuk menikahi) anak-anak perempuan istrinya (= anak tiri)’. Aku berkata : ‘Jika ia hanya bersenang-senang dengan istrinya namun belum menyingkap (pakaian)-nya (untuk men-jima’-inya) ?’. Ia menjawab : ‘Tidak diharamkan anak perempuan si istri itu (rabiibah) baginya jika ia sekedar melakukan itu dengan ibunya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 10822; shahih. Lihat pula Tafsir Ibni Katsiir, 2/252].
[2] Para ulama menjelaskan satu kaedah sebagai berikut :
والمنطوق إذا خرج مخرج الغالب أو على حادثة فلا مفهوم له
“Satu manthuuq (bahasa nash) jika ia keluar dari tempat keumumannya atau satu peristiwa, maka tidak berlaku mafhum padanya” [Tafsir Ibni Katsiir, 2/394].
[3] Karena telah ada larangan dari Allah ta’ala :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ ........ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu,……… dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. An-Nisaa’ : 23].
Comments
Bismillah...
contoh kasus: ketika saya sedang bersama anak tiri saya, lalu ada teman saya bertanya "itu siapa?". Saya menjawab: "itu anak saya"....
apakah boleh kita menjawab dengan jawaban seperti itu?atau harus kita menjawab "itu anak tiri saya"..mohon diberi penjelasannya
Jazakumullah khairan
Posting Komentar