Ngobrol Privatisasi


Kalimat ini mulai akrab di telinga saya semenjak saya mengikuti pembahasan pengelolaan sumberdaya air berikut Draft Undang-Undang Pengelolaan Sumberdaya Air (yang sekarang telah disahkan) beberapa tahun silam. Ada pertanyaan menggelitik di benak saya, bagaimana sebenarnya hukum privatisasi ini menurut kaca mata syari’at Islam ? Di bawah ini adalah sedikit dari apa yang pernah saya tulis beberapa bulan lalu. Semoga ada manfaatnya.
Apa Sebenarnya Makna Privatisasi Itu ?
Dari penjelasan pak Coen Pontoh (lihat : http://coenpontoh.wordpress.com/2005/09/13/privatisasi/), nampak bahwa makna privatisasi beserta bentuk-bentuk penerapannya adalah sangat luas dan kompleks. Satu hal yang dapat saya tarik benang merah – mohon diluruskan jika keliru – bahwasannya privatisasi itu adalah satu usaha pengalihan kewenangan negara/fungsi negara (sebagian atau seluruhnya) kepada swasta, baik dalam instrument kebijakan, pelayanan, pemilikan atau pengelolaan asset (sumberdaya).
Terkait dengan hal itu, dalam beberapa hadits, saya melihat beberapa hal menarik terkait privatisasi ini. Hadits-hadits tersebut antara lain :
1. Penyerahan pengelolaan kebun kurma milik negara kepada Yahudi Khaibar dengan sistem bagi hasil.
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَا ظَهَرَ عَلَى خَيْبَرَ أَرَادَ إِخْرَاجَ اْليَهُوْدِ مِنْهَا وَكَانَتِ اْلأَرْضُ حِيْنَ ظَهَرَ عَلَيْهَا للهِ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِلْمسْلِمِيْنَ وَأَرَادَ إِخْرَاجَ اْليَهُوْدِ مِنْهَا فَسَأَلَتِ اْليَهُوْدُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُقِرَّهُمْ بِهَا أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا وَلَهُمْ نِصْفُ الثَّمَرِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُقِرُّكُمْ بهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا فَقَرُّوْا بِهَا حَتَّى أَجْلاهُمْ عُمَرُ إِلَى تَيْمَاءَ وَأرِيْحَاءَ
Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menaklukkan Khaibar, beliau menginginkan orang-orang Yahudi keluar. Hal itu disebabkan wilayah orang kafir yang ditaklukkan, maka ia menjadi milik Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslimin. Akan tetapi orang-orang Yahudi itu memohon kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk tetap tinggal di Khaibar, sementara mereka ingin mengelola tanah pertanian di situ dengan memperoleh separuh dari hasil panennya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka : “Kami mengijinkan kalian tetap tinggal di sini selama kami mau”. Maka orang-orang Yahudi tersebut tetap tinggal disitu sampai akhirnya mereka dipindahkan ke Taimaa’ dan Arihaa’ oleh ‘Umar radliyallaahu ‘anhu” [HR. Al-Bukhari no. 2983, 2213].
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍِ أَوْ زَرْعٍِ فَكَانَ يُعْطِي أَزْوَاجَهُ مِائَةَ وَسْقٍِ ثَمَانُوْنَ وَسْقٍِ تَمْرٍِ وَعِشْرُوْنَ وَسْقٍِ شَعِيْرٍ
Dari Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah memperkerjakan orang-orang (Yahudi) Khaibar untuk menggarap tanah pertanian, dan mereka mendapatkan separuh dari hasil buah-buahan dan pertanian. Dari hasil pembagian itu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memberi jatah kepada para istrinya 100 wasq yang terdiri dari 80 wasq kurma dan 20 wasq gandum [HR. Al-Bukhari no. 2203].
Orang-orang Yahudi memohon kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam diberikan hak untuk mengelola tanah negara.
Para ulama mengambil hadits di atas sebagai dalil diperbolehkannya musaqat dan muzara’ah. Musaqat adalah menyerahkan pohon kepada orang yang mengairi dan menggarapnya, lalu dia mendapat upah tertentu. Sedangkan muzara’ah adalah menyerahkan tanah kepada orang yang menanaminya dengan upah tertentu dan hasilnya. Secara pintas, praktek muzara’ah dan musaqat ini adalah semacam penyewaan tanah.
Al-Mawardi berkata ketika menjelaskan kebijakan khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab dan ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhuma :
فَقَدْ اصْطَفَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ أَرْضِ السَّوَادِ أَمْوَالَ كِسْرَى وَأَهْلَ بَيْتِهِ وَمَا هَرَبَ عَنْهُ أَرْبَابُهُ أَوْ هَلَكُوا فَكَانَ مَبْلَغُ غَلَّتِهَا تِسْعَةَ آلَافِ أَلْفِ دِرْهَمٍ كَانَ يَصْرِفُهَا فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ وَلَمْ يَقْطَعْ شَيْئًا مِنْهَا ، ثُمَّ إنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَقْطَعَهَا ؛ لِأَنَّهُ رَأَى إقْطَاعَهَا أَوْفَرَ لِغَلَّتِهَا مِنْ تَعْطِيلِهَا وَشَرَطَ عَلَى مَنْ أَقْطَعَهَا إيَّاهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ حَقَّ الْفَيْءِ فَكَانَ ذَلِكَ مِنْهُ إقْطَاعَ إجَارَةٍ لَا إقْطَاعَ تَمْلِيكٍ فَتَوَفَّرَتْ غَلَّتُهَا حَتَّى بَلَغَتْ عَلَى مَا قِيلَ خَمْسِينَ أَلْفَ أَلْفِ دِرْهَمٍ فَكَانَ مِنْهَا صَلَاتُهُ وَعَطَايَاهُ ثُمَّ تَنَاقَلَهَا الْخُلَفَاءُ بَعْدَهُ
‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu pernah membuat kebijaksanaan bagi kepentingan negara dan orang banyak, untuk mengambil dari tanah sawad – harta Kisraa dan keluarganya, serta yang ditinggal lari oleh oleh para pemiliknya, atau yang telah mati. Penghasilan tanah itu sebesar sembilan juta dirham. Kemudian harta itu dipergunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin, dan ia tidak menjadikannya sebagai iqtha’ sedikitpun. Kemudian saat kekhalifahan ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu, ia menjadikannya sebagai tanah iqtha’, karena ia berpendapat dengan menjadikannya sebagai tanah iqtha’ akan lebih efisien dan produktif. Dan, memberikan syarat bagi orang yang menerima iqtha’ lahan itu untuk memberikan fai’ lahan yang ia garap. Iqtha’ yang diberikan adalah iqtha’ penyewaan, bukan iqtha’ pemilikan. Sehingga, ia dapat mengefisienkan dan meningkatkan penghasilan lahan itu hingga mencapai nilai lima puluh juta dirham. Dari hasil itulah, ia dapat memberikan bantuan dan pemberian kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Oleh khalifah-khalifah berikutnya, lahan itu kemudian dipindah-pindahkan penggarapannya kepada pihak yang berbeda” [Al-Ahkaam As-Sulthaaniyyah, hal. 385].
Al-Mawardi melanjutkan :
وَالسُّلْطَانُ فِيهِ بِالْخِيَارِ عَلَى وَجْهِ النَّظَرِ فِي الْأَصْلَحِ بَيْنَ أَنْ يَسْتَغِلَّهُ لِبَيْتِ الْمَالِ كَمَا فَعَلَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَبَيْنَ أَنْ يَتَخَيَّرَ لَهُ مِنْ ذَوِي الْمُكْنَةِ وَالْعَمَلِ مَنْ يَقُومُ بِعِمَارَةِ رَقَبَتِهِ بِخَرَاجٍ يُوضَعُ عَلَيْهِ مُقَدَّرٌ بِوُفُورِ الِاسْتِغْلَالِ وَنَقْصِهِ كَمَا فَعَلَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
“Dan sulthan/pemerintah dapat menetapkan kebijaksanaan dalam pemanfaatan lahan itu bagi kepentingan yang paling besar. Yaitu, dengan menggunakannya sebagai sumber pemasukan baitul-maal, seperti yang dilakukan oleh ‘Umar radliyallaahu ‘anhu; atau memilih orang-orang yang mampu dan dipercaya untuk mengelola dan mempergunakan tanah itu, dengan ketentuan harus membayar kharaj lahan yang besarnya ditentukan sesuai dengan hasil lahan itu, seperti yang dilakukan oleh ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu” [idem, hal. 386].
Pertanyaan :
Jika negara mempunya asset lahan produktif misalnya, namun ia tidak bisa mengelolanya karena beberapa kendala dan keterbatasan. Kemudian ia melihat ada sektor swasta yang mempunyai kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Nah,… ketika negara menyerahkan pengelolaan tanah atau asset tersebut kepada pihak swasta dengan sistem bagi hasil atau semisalnya, bisakah ini disebutkan praktek privatisasi ? (Yaitu privatisasi dalam makna berpindahnya sebagian kewenangan negara kepada swasta dalam hal pengelolaan asset).
2. Pemberian sebidang tanah negara kepada beberapa orang shahabat radliyallaahu ‘anhum.
وَسَأَلَهُ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ أَنْ يُقْطِعَهُ أَرْضًا كَانَتْ بِيَدِ الرُّومِ فَأَعْجَبَهُ ذَلِكَ ، وَقَالَ : أَلَا تَسْمَعُونَ مَا يَقُولُ ؟ فَقَالَ : وَاَلَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَيُفْتَحَنَّ عَلَيْكَ . فَكَتَبَ لَهُ بِذَلِكَ كِتَابًا
“Abu Tsa’labah Al-Khusyaniy telah meminta bagian sebidang tanah yang berada di wilayah negara Romawi dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mendengar itu, beliau terkejut dan bersabda : “Apakah kalian mendengar apa yang dikatakannya ?”. Ia menjawab : “Demi Dzat yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh daerah itu dibebaskan untukmu”. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabulkan permintaannya dan membuatkan satu dokumen yang menegaskannya” [HR. Abu ‘Ubaid dalam Al-Amwal no. 681, ‘Abdurrazzaq 4/8503, dan Ahmad 4/193-194; para perawinya tsiqaat].
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِل عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْطَعَهُ أَرْضًا بِحَضْرَمَوتَ.
Dari ‘Alqamah bin Waail, dari bapaknya : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan kepadanya sebidang tanah di Hadlramaut” [HR. Abu Dawud no. 3058 dan At-Tirmidzi no. 1381; shahih].
عن بن عمر : أن النبي صلى الله عليه وسلم أقطع الزبير حضر فرسه فأجرى فرسه حتى قام ثم رمى بسوطه فقال أعطوه من حيث بلغ السوط
Dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan iqtha’ kepada Az-Zubair sebidang tanah sejauh lompatan kudanya. Lalu ia melarikan kudanya hingga berhenti, kemudian ia melemparkan cambuknya. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berikanlah ia sejauh lemparan cambuknya itu” [HR. Abu Dawud no. 3072 dan Ahmad 2/156; dla’if. Namun hadits semakna diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3151 dan 5224 dimana dalam riwayat ini Az-Zubair diberikan iqtha’ oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebidang tanah seluas 2/3 farsakh dari lahan milik Bani Nadliir].
Banyak fuqahaa’ yang meletakkan hadits-hadits di atas pada Baab Ihyaa’ Al-Amwaat (Bab Menghidupkan Tanah Mati) dan berhujjah tentang kebolehan memberikan iqtha’ tanah kepada seseorang yang ingin memanfaatkannya (menghidupkannya) dengan pertimbangan kemaslahatan. Terdapat perincian mengenai status lahan yang dijadikan iqtha’, dan kemudian para ulama berselisih pendapat di dalamnya.
Pertanyaan :
Bisakah disebut privatisasi dalam makna pengalihan kepemilikan terhadap asset negara (berupa lahan-lahan yang tidak produktif) kepada individu tertentu (swasta) ? Kasus kongkrit : Bolehkah individu atau swasta meminta lahan-lahan tidur (milik negara) – sebagaimana banyak terdapat di Kalimantan – kepada negara untuk diusahakan perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI), atau yang semisalnya ? Bisakah ia disebut privatisasi ?
3. Pemberian tanah yang mengandung bahan tambang kepada beberapa orang shahabat radliyalaahu ‘anhum.
عن كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني عن أبيه عن جده : أن النبي صلى الله عليه وسلم أَقْطَعَ بِلَالُ بْنُ الْحَارِثِ الْمَعَادِنَ الْقَبَلِيَّةَ جَلْسِيَّهَا وَغَوْرِيَّهَا ، وَحَيْثُ يَصْلُحُ الزَّرْعُ مِنْ قَدَسٍ وَلَمْ يُقْطِعْهُ حَقَّ مُسْلِمٍ
Dari Katsiir bin ‘Abdillah bin ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzanniy, dari bapaknya, dari kakeknya : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan iqtha’ kepada Bilaal bin Al-Harits Al-Muzanniy sumber tambang Al-Qabaliyyah, baik yang terlihat mapun yang ada di dalam tanah, dan lahan yang dapat ditanami di daerah Gunung Quds, dan beliau tidak memberikan lahan itu sebagai hak seorang muslim” [HR. Abu Dawud no. 3062, Ahmad 1/306, dan yang lainnya; hasan].
Sebagian ulama menjelaskan kebolehan bagi seorang imam untuk memberikan iqtha’ bahan tambang yang tidak terlihat, seperti emas, perak, tembaga, dan besi dimana dalam pemanfaatannya diperlukan proses penambangan dan pengolahan; berdasarkan hadits di atas [lihat Syarhus-Sunnah oleh Al-Baghawiy, 8/279 dan Aunul-Ma’bud oleh ‘Adhim ‘Abadiy, 8/316]. Dan inilah yang raajih.
Orang yang diberikan iqtha’ lahan, maka ia adalah orang yang paling berhak atas barang tambang yang terkandung di dalamnya, dan ia boleh melarang orang lain untuk mengambilnya. Tentang status iqtha’-nya, para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa ia merupakan iqtha’ pemilikan. Orang yang mendapatkan iqtha’ lahan itu menjadi pemilik atas barang tambang itu, seperti harta yang lain, saat ia mengeksplorasinya. Setelah ia selesai memanfaatkan, ia boleh menjualnya selama masa hidupnya, dan berpindah kepada ahli warisnya setelah ia mati. Pendapat kedua, ia adalah iqtha’ hak penggunaan, sehingga ia tidak memiliki harta pokoknya, dan orang yang mendapatkan ijin itu boleh memanfaatkan selama ia tinggal di sana. Dan orang lain tidak boleh merebut darinya selama ia masih menggunakannya. Jika ia meninggalkan lahan itu, maka hukum iqtha’ tercabut darinya, dan kembali ke status terbuka bagi semua orang. [Al-Ahkaam As-Sulthaaniyyah oleh Al-Mawardiy, hal. 394].
Adapun barang tambang yang nampak di permukaan bumi (terlihat oleh mata) seperti celak mata, garam, ter, dan minyak; maka ia statusnya seperti air yang tidak boleh dijadikan iqtha’ dan manusia mempunyai hak yang sama terhadapnya. Dalilnya adalah :
رَوَى ثَابِتُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ : { أَنَّ الْأَبْيَضَ بْنَ حَمَّالٍ اسْتَقْطَعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِلْحَ مَأْرَبٍ فَأَقْطَعَهُ ، فَقَالَ الْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِيُّ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إنِّي وَرَدْتُ هَذَا الْمِلْحَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، وَهُوَ بِأَرْضٍ لَيْسَ فِيهَا غَيْرُهُ مَنْ وَرَدَهُ أَخَذَهُ وَهُوَ مِثْلُ الْمَاءِ الْعِدِّ بِالْأَرْضِ فَاسْتَقَالَ الْأَبْيَضُ فِي قَطِيعَةِ الْمِلْحِ . فَقَالَ قَدْ أَقَلْتُكَ عَلَى أَنْ تَجْعَلَهُ مِنِّي صَدَقَةً . فَقَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ : هُوَ مِنْكَ صَدَقَةٌ ، وَهُوَ مِثْلُ الْمَاءِ الْعِدِّ مَنْ وَرَدَهُ أَخَذَهُ }
Tsabit bin Sa’id meriwayatkan dari bapaknya, dari kakeknya : “Al-Abyadl bin Hammaal meminta Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk memberinya iqtha’ sumber garam Ma’rab, dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabulkannya. Mengetahui hal itu, Al-Aqra’ bin Haabis At-Tamimiy berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mendatangi sumber garam itu pada masa jahiliyyah. Sumber itu terletak di wilayah yang hanya memiliki sumber garam itu saja, dan saat itu setiap orang datang ke sumber itu dan dapat mengambilnya dengan bebas. Ia seperti air ‘Idd di tanah”. Setelah itu, beliau meminta Al-Abyadl untuk menyerahkan kembali iqtha’ sumber garam itu. Al-Abyadl pun menuruti permintaan itu, dan berkata : “Aku telah serahkan sumber garam itu kepada engkau dengan syarat agar engkau jadikan sumber garam itu sebagai shadaqah dariku”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ia menjadi shadaqah darimu, dan ia berstatus seperti air ‘idd. Siapa saja yang mendatanginya, dapat mengambilnya” [HR. Abu Dawud no. 3064, At-Tirmidzi no. 1380, Ibnu Majah no. 2475, dan yang lainnya].
Pertanyaan :
Bisakah disebut privatisasi jika negara memberikan hak eksplorasi atas lahan yang mengandung bahan tambang terpendam seperti emas, perak, besi, dan semisalnya kepada swasta ? Mmmm……
Tulisan ini tidak ditujukan sebagai paparan atau jawaban, namun sebagai bahan pembuka diskusi selanjutnya. Ada beberapa hal sebenarnya dari tulisan di atas yang - mungkin - dapat dikonfrontasikan dengan beberapa pendapat rekan-rekan HT. Apalagi jika dihubungkan dengan hadits bahwa manusia bersekutu dalam tiga hal (rumput, air, dan api). Namun sepertinya bukan di sini dan saat ini untuk membahasnya…….
[Abul-Jauzaa’ – akhir Sya’ban 1430 H].

Comments

Adni Abu Faris mengatakan...

Komentar singkat saja, kalo negara memberikan hak atas .... kepada .... berarti kan pada dasarnya hak dimaksud adalah hak negara, bukan hak swasta. Namun kemudian dialihkan ke swasta karena adanya (dugaan) manfaat yg lebih besar dari tindakan tsb. Jadi, swasta mendapatkan hak karena memang diberi oleh negara, bukan serta merta demikian.

Bagian yg dikritik atau kontradiksinya di mana yach?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya juga singkat ya pak...

Kalo dikatakan bahwa negara telah memberikan 'hak negara' pada swasta, kan setelah diberikan itu bukan lagi dikatakan hak negara.... Tp menjadi hak yang telah diberi (yaitu swasta). Apalagi jika kita bicara pada konteks hak kepemilikan. Ringkasnya, telah tjd perpindahan kepemilikan (asset) dari negara ke pribadi (swasta). Inilah salah satu bentuk privatisasi...

Adni Abu Faris mengatakan...

betul, namun pertanyaan saya tampaknya masih belum terjawab, letak masalah ato kontradiksinya di mana?

kalo saya mengajukan pertanyaan secara general: bumi, air dan kekayaan alam itu milik siapa? jawabnya tiada lain (milik Allah, ya iya lah... yg diberikan kepada) negara, bukan swasta.

perkara kemudian negara itu mengelola sendiri kekayaan alam tsb atau pengelolaan diserahkan kepada pihak swasta, itu soal lain.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Nah,... justru bagian 'soal lain' itulah yang menjadi bahasan di sini, karena menjadi ranah privatisasi.

Para penentang privatisasi tentu tidak sependapat dengan konsep 'penyerahan' (negara ke swasta) - spt yang antum isyaratkan - baik dalam lingkup pengelolaan atau pemilikan asset. Padahal syariat telah memberikan ruang untuk 2 hal ini.

Adni Abu Faris mengatakan...

imho, bumi, air dan kekayaan alam itu pada dasarnya milik umum/masyarakat, sbgmn dlm hadits, yg dikelola untuk kemaslahatan umum/masyarakat. dengan demikian, pada dasarnya negara itu hanyalah merupakan representasi dari masyarakat. atau dengan kata lain, negara pada dasarnya juga sebatas pengelola atas nama masyarakat. singkatnya, sekali lagi, negara hanyalah wakil/representasi dari rakyat. landasan filosofisnya kira-kira demikian. waLlahu a`lam bish shawab.

berdasarkan hal tersebut di atas, idealnya, tidak seharusnya kepemilikan tersebut kemudian dialihkan ke swasta. paling banter hanya hak pengelolaan, ini pun belum ideal. kenapa? karena dikhawatirkan milik umum/masyarakat tadi hanya dimanfaatkan untuk keuntungan segelintir orang.

namun, imho, patokan dlm hal ini adl maslahat-mudarat. jika memang negara belum mampu mengelola kekayaan alam tsb, dan membiarkan kekayaan itu menganggur juga malah mendatangkan mudarat yg lebih besar, maka tidak ada salahnya negara memberikan hak kelola kepada swasta dg persyaratan tertentu.

ada pun masalah misalnya seseorang membeli tanah yg ternyata di dalamnya terdapat kekayaan alam, maka di sini terdapat ta`arudh dan tarjih-nya tergantung dari sudut pandang.

waLlahu a`lam bish shawab...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kalau bicara 'idealnya', maka saya sangat setuju dengan antum. Dan memang, pihak yang lebih mampu menciptakan kemaslahatan luas - secara umum - adalah institusi negara.

Namun demikian, dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa syariat memberikan kewenangan pada ulil amri untuk berijtihad dalam masalah pengelolaan sumberdaya. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam pernah menyerahkan pengelolaan asset tanah pertanian Khaibar kepada Yahudi karena mereka lbh berpengalaman/mampu dibanding kaum muslimin. Beliau juga pernah memberikan sebidang tanah dan tambang kepada sebagian shahabat, yang notabene merupakan asset negara untuk mereka kelola dan diambil hasilnya. Tentu saja, perbuatan beliau itu menunjukkan tentang kebolehannya. Saya sepakat bahwa semua ini dengan pertimbangan kemaslahatan - walau mungkin dalam implementasinya akan tjd perbedaan pandangan dalam melihat sisi maslahat tsb. Jika demikian, tidak bijak kiranya ada orang/sekelompok orang yang secara berlebihan mengatakan privatisasi itu haram.

Mengenai perbedaan pandangan di kalangan ulama, ya benar memang ada. Bisa dibaca dlm buku2 fiqh standar.

Wallahu a'lam.

Anonim mengatakan...

ditunggu artikel lanjutannya ustadz, penasaran.. jazakallahu khair..

abuyahya mengatakan...

Ustadz, ada yang merinci hukum pengelolaan tanah yang mengandung tambang menjadi dua: boleh dikelola swasta/individu (privatisasi pengelolaan) jika tambangnya sedikit (dari hadits al muzaany), dan tidak boleh dikelola swasta jika tambangnya banyak (hadits al abyadh). Apakah benar, dan apakah yang seperti ada dasarnya dari qaul ulama salaf? Jika ada, batasan banyak sedikit itu bagaimana?

satu lagi ustadz, mengenai minyak di situ dikatakan tampak di muka bumi, maksudnya bukan minyak bumi ya? sebagaimana yg kita tahu, minyak bumi itu ditambang sehingga sepertinya lebih tepat digolongkan ke tambang yang tidak terlihat..

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Adakah keterangan dalam kedua hadits tersebut 'banyak' dan 'sedikit' ?.

Yang jadi pertimbangan adalah kemaslahatan.

Dulu, orang mengambil minyak bumi tidak seperti sekarang (dengan melakukan pemboran). Orang-orang mengambil minyak bumi dengan cara mengambil rembesan yang ada di permukaan tanah.

abuyahya mengatakan...

jazaakallaahu khair ustadz,
itulah makanya saya bertanya2 dari mana asalnya perincian banyak dan sedikit itu, kok dilihat2 gak ada keterangan di haditsnya..

hm, berarti kesimpulannya pada zaman sekarang dimana minyak tidak ada lagi yang merembes di permukaan (oil seepage, istilahnya), maka sumur2 minyak hukumnya seperti tambang terpendam.. syukron ustadz..

Anonim mengatakan...

ustadz,
dalam hadits tentang air, rumput, dan api. sebenarnya, apa 'illat ketiganya sehingga bisa diqiyaskan dgn hal lain? apakah api di situ bisa diqiyaskan dengan segala macam sumber energi? ataukah seperti penjelasan ulama, yaitu kayu bakar? sebab, tidak semua sumber energi itu didapat semudah mendapatkan air dan rumput, atau kayu bakar.. bahkan kebanyakannya membutuhkan teknologi dan biaya tinggi yang tidak semua orang mempunyai itu.. semisal energi minyak, energi angin, surya, panas bumi, dll.

Anonim mengatakan...

Ustadz, maaf sedikit out of topics :)
Bagaimana hukumnya bertanam di tanah/lahan yang tidak ada pemiliknya seperti pinggiran kali atau di hutan?