Hadits yang menceritakan tentang permulaan wahyu menunjukkan bahwa Khadijah radliyallaahu ‘anhaa adalah orang yang pertama kali mengetahui khabar kenabian (nubuwwah) dan turunnya wahyu. Ia adalah seorang yang membenarkan kerasulan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mendukung, memberikan semangat, dan menghibur untuk meringankan beban yang beliau pikul. Maka tidaklah mengherankan apabila ia menjadi orang yang pertama kali beriman (masuk Islam) sebagaimana dikatakan oleh Az-Zuhriy dan Ibnu Ishaaq.[1]
Kemudian ‘Ali bin Abi Thaalib menyusul masuk Islam setelah Khadiijah pada waktu itu dimana sebelum Islam[2], ia diasuh oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai balas budi beliau kepada Abu Thaalib yang miskin lagi banyak anak. ‘Ali adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan laki-laki.[3] Al-Haafidh menguatkan pendapat bahwa umur ‘Aliy saat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus (sebagai rasul) adalah sepuluh tahun.[4]
Banyak riwayat yang lemah dan palsu seputar masuk Islamnya ‘Aliy dan shalatnya (untuk pertama kali) pada hari Selasa, sehari setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Khadijah shalat. (Dikisahkan) bahwa ‘Aliy melakukan shalat tujuh tahun sebelum kaum muslimin lainnya shalat.[5] Sebenarnya banyak sekali keutamaan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu tanpa perlu ditambah kedustaan dan sikap berlebih-lebihan seperti itu.
Adapun Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, Ibnu Katsir telah ber-istinbath bahwa ia orang yang pertama kali masuk Islam melalui sebuah hadits shahih yang menerangkan :
إن الله بعثني إليكم، فقلتم : كذبت. وقال أبو بكر : صدق، وواساني بنفسه وماله
“Sesungguhnya mengutusku kepada kalian, sementara kalian mengatakan : Engkau dusta. Adapun Abu Bakr mengatakan : (Engkau) benar. Ia telah mengorbankan jiwa dan hartanya demi aku”.[6]
Setelah Abu Bakr masuk Islam, maka keluarganya pun masuk Islam. ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata :
لم أعقل أبويّ إلا وهما يدينان الدين
“Aku tidak mengetahui kedua orang tuaku kecuali keduanya memeluk agama (Islam)”.[7]
Az-Zuhriy berpendapat bahwa orang yang pertama kali masuk Islam adalah Zaid bin Haristah[8], maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dengan melihat perkataan Az-Zuhriy (yang lain) yang mengatakan orang yang pertama kali masuk Islam adalah Khadiijah, barangkali ia ingin mengatakan bahwa Zaid ini adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan laki-laki. Dan tampak sekali Al-Waqidiy ingin mengkompromikan/menjamak dua pendapat Az-Zuhriy tersebut.[9]
Setelah itu muncul upaya pengkompromian beberapa riwayat yang secara jelas menyebutkan nama-nama shahabat yang pertama masuk Islam.
Dan ditunjukkan oleh sebuah riwayat shahih tentang Islamnya Sa’d bin Abi Waqqaash di urutan ketiga, kemudian setelahnya disusul para shahabat yang lain.[10]
Al-Qur’an turun menceritakan Islamnya Sa’d sebagaimana ia menceritakan tentang dirinya sendiri :
حلفت أم سعد أن لا تكلمه أبداً حتى يكفر بدينه ولا تأكل ولا تشرب قالت : زعمتَ أن الله وصَّاك بوالديك، وأنا أمّك وأنا آمر بهذا. قال : مكثت ثلاثة أيام حتى غشي عليها من الجهد. فقام ابن لها يقال له عمارة فسقاها، فجعلت تدعو على سعد فأنزل الله عز وجل في القرآن هذه الآية : (وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي) وفيها (وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا) قال : فكانوا إذا أرادوا أن يطعموها شجروا فاها بعصا ثم أوجروها.
“Ummu Sa’d bersumpah untuk tidak berbicara dengannya selamanya hingga ia kembali kafir dari agamanya (Islam). Ia juga tidak mau makan dan minum. Ummu Sa’d berkata : ‘Engkau pasti tahu bahwa Allah telah menyuruhmu untuk berbuat baik kepada kedua orang tuamu. Dan aku adalah ibumu dan aku menyuruhmu untuk itu (kembali kafir dari agama Islam)’. Selama tiga hari Ummu Sa’d hanya diam tidak mau makan dan minum hingga keadaannya sangat kepayahan. Ketika salah seorang anaknya yang bernama ‘Umarah ingin memberinya minum, ia malah mendoakan kecelakaan bagi Sa’d. Hingga Allah ‘azza wa jalla pun menurunkan ayat ini dalam Al-Qur’an : ‘Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku’ – dan diantara terdapat ayat : ‘dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik’. Ia berkata : “Hingga keluarganya apabila ingin memberinya makan harus bersusah-payah membuka mulutnya dengan menggunakan tongkat”.[11]
Peristiwa tersebut menunjukkan betapa gigih sikap orang-orang mukmin dahulu dalam menghadapi berbagai macam fitnah/cobaan. Selain menggunakan kelembutan dan perasaan, mereka juga menggunakan kekerasan dan kekuatan.
‘Utsman bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu masuk Islam sejak awal waktu, namun tidaklah benar riwayat tentang pengakuannya bahwa ia orang keempat yang masuk Islam.[12] Thalhah menyusul masuk Islam, namun tidak benar riwayat yang menceritakan perincian kisah ke-Islamannya.[13]
Lalu Az-Zubair bin Al-‘Awwaam masuk Islam. Riwayat-riwayat yang berasal dari anaknya yang masih kecil – yaitu ‘Urwah – dimana ia tidak mendapatkan riwayat dari ayahnya menjadikannya berstatus mursal. Az-Zubair masuk Islam pada usia delapan tahun.[14] Namun riwayat dari cucunya yang bernama Hisyam bin ‘Urwah (bin Az-Zubair) mengatakan bahwa Az-Zubair masuk Islam pada usia enam belas tahun.[15] Sedangkan riwayat mursal Abul-Aswad mengisyaratkan disiksanya pamannya, yaitu Az-Zubair, dengan api karena ke-Islamannya.[16]
Barangkali sumber khabar ini bersifat kekeluargaan, karena Abul-Aswad termasuk salah satu perawi kisah peperangan ‘Urwah darinya. Sementara dalam riwayat Al-Waaqidiy, Az-Zubair masuk Islam pada usia tujuh belas tahun.[17]
Di antara orang-orang yang masuk Islam pertama kali yang lain adalah Khaalid bin Sa’iid bin Al-‘Ash, namun perincian kisah ke-Islamannya tidaklah shahih dimana Al-Waqidiy menyendiri dalam periwayatannya.[18]
‘Abdullah bin Mas’uud saat menceritakan kisah keislamannya berkata :
كنت غلاماً يافعاً أرعى غنماً لعقبة بن أبي معيط بمكة، فأتى عليّ رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبو بكر وقد فرا من المشركين، فقال : يا غلام هل عندك لبن تسقينا ؟ قلت : إني مؤمن ولست بساقيكما، قالا : فهم عندك من جذعة لم ينزُ عليها الفحل بعد ؟ قلت : نعم. فأتيتها بها، فاعتقلها أبو بكر وأخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم الضرع فدعا، فحفل الضرع، وأتاه أبو بكر بصخرة منقعرة، فحلب ثم شرب هو وأبو بكر ثم سقياني، ثم قال للضرع : اقلُصْ، فقلص.
فلما كان بعد أتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم، قلت : علّمني من هذا القول الطيب - يعني القرآن - ، فقال رسول الله عليه وسلم : إنك غلام مُعَلَّم. فأخذت من فيه سبعين سورة ما ينازعني فيها أحد.
Waktu itu aku masih kecil. Aku biasa menggembalakan kambing milik ‘Uqbah bin Abi Mu’aith di Makkah. Pada satu hari, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr mendatangiku saat mereka berdua lari dari kejaran orang-orang musyrikiin. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku : “Wahai anak, apakah engkau mempunyai susu yang dapat kami minum ?”. Aku berkata : “Aku hanyalah orang yang dipercaya (untuk menggembala) yang tidak bisa memberikan minum kepada kalian berdua (tanpa ijin/sepengetahuan dari pemilik kambing)”. Mereka berdua berkata : “Apakah engkau mempunyai kambing betina tua yang tidak lagi dikawini oleh kambing jantan ?”. Aku menjawab : “Ya”. Maka aku membawa kambing itu kepada mereka berdua. Maka Abu Bakr mengikatnya, dan kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memegang teteknya dan berdoa. Maka tetek kambing itu membesar berisi susu. Abu Bakr kemudian mengambil sebuah batu cekung. Ia pun kemudian memerahnya, lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr meminumnya. Aku pun mereka beri minum. Setelah selesai, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada tetek kambing itu : “Mengkerutlah”. Maka ia pun mengkerut.
Setelah peristiwa itu, aku pun mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : “Ajarilah aku perkataan yang bagus itu – yaitu Al-Qur’an – “. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya engkau adalah seorang anak yang patut untuk diajari”. Maka aku pun berhasil mengambil pelajaran dari mulut beliau sebanyak tujuh puluh surat, satu hal tidak dapat dicapai oleh seorangpun (selain aku)”.[19]
Al-Waaqidiy menyebutkan bahwa ‘Abdullah bin Mas’uud memeluk agama Islam sebelum masuknya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ke Daarul-Arqaam.[20] Dan disebutkan pula satu riwayat dla’if lainnya bahwa Ibnu Mas’ud termasuk keenam yang masuk Islam.[21]
Tidak diragukan lagi bahwasannya Khabbaab bin Al-Arat juga juga termasuk diantara orang yang awal masuk Islam, namun tidak shahih riwayat yang menyebutkan ia masuk Islam pada usia enam tahun.[22] Begitu juga masuk Islamnya Bilaal Al-Habsyiy di awal waktu[23]. Ia dulu seorang budak yang dijual dan dibeli oleh Abu Bakr, kemudian dimerdekakannya.[24]
Telah shahih riwayat bahwasannya ‘Ammaar bin Yaasir masuk Islam di awal waktu. Ia telah berkata perihal dirinya sendiri :
رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وما معه إلا خمسة أعبد وأمرتان وأبو بكر.
“Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang bersamanya kecuali lima orang budak, dua orang wanita, dan Abu Bakr”.[25]
Ibnu Mas’ud berkata :
أول من أظهر إسلامه سبعة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وأبو بكر، وعمار، وأمه سُميَّة، وصُهيب، وبلال، والمقداد.
“Orang-orang pertama yang menampakkan ke-Islamannya sebanyak tujuh orang, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Ammaar, ibu ‘Ammar yang bernama Sumayyah, Shuhaib, Bilaal, dan Al-Miqdaad”.[26]
Adapun ‘Amr bin ‘Absah As-Sulamiy mengaku dirinya sebagai orang keempat yang masuk Islam pertama kali. Ia berkata :
فلقد رأيتني إذ ذاك ربع الإسلام.
“Sungguh aku melihat diriku saat itu adalah seperempat bagian dari Islam“.[27]
Ia menjelaskan sebab ke-Islamannya dengan berkata :
كنت أنا في الجاهلية أظن أن الناس على ضلالة، وأنهم ليسوا على شيء وهم يعبدون الأوثان، فسمعت برجل بمكة يخبر أخباراً، فقعدت على راحلتي فقعدت عليه، فإذا رسول الله صلى الله عليه وسلم مستخفياً جراء عليه قومه، ، ستلطفت حتى دخلت عليه بمكة، فقلت له : ما أنت ؟ قال : أنا نبي. فقلت : وما نبي ؟. قال : أرسلني الله. فقلت : وبأي شيء أرسلك ؟ قال : أرسلني بصلة الأرحام وكسر الأوثان، وأن يوحد الله لا يشرك به شيء، قلت له : فمن معك على هذا ؟ قال : حر وعبد. قال : ومعه يومئذ أبو بكر وبلال ممن آمن به. فقلت : إني متبعك. قال : إنك لا تستطيع ذلك يومك هذا، ألا ترى حالي وحال الناس !! ولكن ارجع إلى أهلك، فإذا سمعت بي قد ظهرتُ فأتني، قال فذهبت إلى أهلي، وقدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة، وكنت في أهلي، فجعلت أتخبر الأخبار وأسأل الناس حين قدم المدينة حتى قدم عليّ نفر من أهل يثرب، من أهل المدينة، فقلت : ما فعل الرجل الذي قدم المدينة ؟ فقالوا : الناس إليه سراع، وقد أراد قومه قتله، فلم يستطيعوا ذلك، فقدمت المدينة، فدخل عليه....
“Pada jaman Jahiliyah aku yakin semua orang yang berada di atas kesesatan, dan mereka tidak berada di atas satu kebenaran pun karena menyembah berhala. Aku mendengar seorang laki-laki di Makkah yang menyampaikan satu khabar. Lalu aku pun bergegas naik menunggangi kendaraanku untuk menemuinya. Pada waktu itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang bersembunyi karena permusuhan yang dilancarkan oleh kaumnya. Aku bersikap ramah hingga aku bisa menemui beliau di Makkah. Aku bertanya kepada beliau : ‘Siapakah engkau ?’. Beliau menjawab : ‘Aku adalah seorang nabi’. Aku bertanya : ‘Apa itu nabi ?’. Beliau menjawab : ‘Allah telah mengutusku’. Aku bertanya : ‘Dengan apa Allah telah mengutusmu ?’. Beliau menjawab : ‘Allah mengutusku untuk menyambung silaturahim, menghancurkan berhala, dan mentauhidkan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun’. Aku bertanya : ‘Siapakah yang bersama atas hal ini ?’. Beliau menjawab : ‘Seorang yang merdeka dan seorang budak’. Dan bersama beliau waktu itu adalah Abu Bakr dan Bilaal yang telah lebih dahulu beriman. Aku berkata : ‘Sesungguhnya aku ingin mengikutimu’. Beliau bersabda : ‘Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup untuk waktu ini. Tidakkah engkau melihat keadaanku dan keadaan orang-orang (yang memusuhiku) !!. Namun (untuk sekarang), pulanglah kepada keluargamu. Apabila engkau mendengar tentang kejayaanku, maka datanglah kepadaku’. Akupun kembali menuju keluargaku. Saat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, aku tengah berada di sisi keluargaku. Aku pun mencari-cari berita dan bertanya kepada orang-orang hingga sekelompok orang Madinah datang menemuiku. Aku bertanya : ‘Apa yang dilakukan laki-laki itu saat tiba di Madinah ?’. Mereka berkata : ‘Orang-orang bergegas menemuinya. Kaummnya ingin membunuhnya, namun tidak mampu’. Maka aku pun datang ke Madinah dan menemui beliau….”.[28]
Jelaslah bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak memberitahukannya nama-nama seluruh orang yang telah masuk Islam. Beliau hanya menyebutkan nama Abu Bakr dan Bilaal saja sebagai langkah hati-hati untuk menjaga keselamatan orang-orang yang telah masuk Islam dari ancaman.
Boleh jadi ia (‘Amr bin ‘Absah) masuk Islam setelah pertanyaan dijawab oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan pengakuan ‘Amr bin ‘Abasah : “Sungguh aku melihat diriku saat itu adalah seperempat bagian dari Islam“ hanyalah berdasar apa yang dilihatnya saja. Padahal, jumlah kaum muslimin waktu itu lebih banyak. Hal itu sengaja ditutup-tutupi oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena kaum kafir Quraisy sedang bersemangat untuk memusuhi Islam dan menyakiti kaum muslimin, sebagaimana ditunjukkan oleh sabda beliau : “Tidakkah engkau melihat keadaanku dan keadaan orang-orang (yang memusuhiku) !!”.
Hal yang menunjukkan bahwa kaum muslimin sengaja menutup-nutupi ke-Islaman mereka adalah pengakuan Abu Dzarr yang mengatakan ia termasuk orang keempat yang masuk Islam juga.[29] Sebagian rawi telah memberikan alasan atas pertentangan antara perkataan Abu Dzarr dan ‘Amr bin ‘Absah dengan mengatakan :
كلاهما لا يدري متى أسلم الآخر
“Kedua-duanya tidak mengetahui kapan yang lain masuk Islam”.[30]
Hal itu mengisyaratkan bahwa permulaan dakwah secara sembunyi-sembunyi harus memperhatikan beberapa keadaan – bahkan juga pada tingkatan dakwah secara terang-terangan – demi kemaslahatan dakwah yang baru tumbuh.
[Abu Al-Jauzaa’ – ditulis malam Ahad, Sya’ban 1430 dengan mengambil referensi dari As-Siirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah : Muhaawalatun li-Tahthbiiqi Qawaa’idil-Muhadditsiin fii Naqdi Riwaayaati As-Siirah An-Nabawiyyah oleh Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-‘Umariy, hal. 133-140; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 6/1415, Madinah].
[1] Sirah Ibni Hisyaam 1/224 tanpa sanad, Mushannaf Ibni Abi Syaibah 14/74 dari mursal Az-Zuhriy, dan Mustadrak Al-Haakim 3/184 dengan sanad dla’iif dari hadits Hudzaifah bin Al-Yamaan.
[2] Musnad Ahmad 1/330-331, 373 dengan sanad hasan dari hadits Ibnu ‘Abbas, Thabaqaat Ibni Sa’d 3/21, Mustadrak Al-Haakim 3/132, dan Siirah Ibni Hisyaam /228-229 tanpa sanad. Dan riwayat yang menceritakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menanggung/memelihara ‘Aliy dengan sanad sampai Mujaahid bin Jabr, maka statusnya mursal karena adanya ‘an’anah ‘Abdullah bin Abi Najiih sedangkan ia seorang mudallis [Ta’riif Ahlit-Taqdiis, hal. 39].
[3] At-Tirmidzi : Al-Jaami’ 5/642 dengan sanad shahih. Al-Haakim telah menshahihkannya dan kemudian disepakati oleh Adz-Dzahabiy [Al-Mustadrak 3/136]. Dalam sanadnya terdapat Abu Hamzah, seseorang dari kalangan Anshar. Ia bernama Thalhah bin Yaziid Al-Ailiy [Taqriibut-Tahdziib 283].
[4] Fathul-Baariy, 7/174.
[5] Musnad Ahmad 1/99 dan Kasyful-Astaar 3/182; dalam sanadnya terdapat Yahya bin Salamah bin Kuhail, seorang Syi’iy matruk [Taqriibut-Tahdzib 591].
Diriwayatkan pula dalam Sunan At-Tirmidzi 5/640 - dalam sanadnya terdapat Muslim bin Kaisaan yang disepakati ke-dla’if-annya, serta Musnad Abi Ya’laa 1/348 – dalam sanadnya terdapat Muslim bin Kaisan, Habbah bin Juwain, dan Sulaiman bin Qarm yang kesemuanya adalah dla’if.
Al-Imam Ahmad membawakan riwayat bahwa ‘Afiis Al-Kindiy menyaksikan shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Khadijah, dan ‘Aliy di satu tempat. Mereka berdua (Khadijah dan ‘Aliy) adalah orang yang masuk Islam pertama kali [Musnad Ahmad 1/209-210 dan Mustadrak Al-Haakim 3/183 dan ia menshahihkannya dengan disepakati oleh Adz-Dzahabiy]. Akan tetapi dalam sanadnya terdapat Isma’il bin Iyaas, seorang perawi yang dilemahkan oleh Al-Bukhaariy [At-Taariikh Al-Kabiir, 1/345, 441].
[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy (Fathul-Baariy 7/18). Lihat As-Siirah An-Nabawiyyah oleh Ibnu Katsir 1/434.
[7] Shahih Al-Bukhaariy (Fathul-Baariy, 4/475).
[8] ‘Abdurrazzaq : Al-Mushannaf 5/325 dari mursal Az-Zuhriy. Riwayat mursal Abu Fazaarah Raasyid bin Kaisaan Al-‘Absiy, seorang tsiqah, mengisyaratkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membeli Zaid bin Haritsah dengan menggunakan harta Khadijah. Kemudian beliau membebaskannya setelah Khadijah menghibahkannya kepada beliau. Namun riwayat tersebut menyelisihi riwayat Ibnu Ishaq yang menyatakan bahwa Hakiim bin Hizaam lah yang membeli Zaid bin Haritsah, kemudian memberikan Zaid kepada Khadijah yang kemudian menghibahkannya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam [Mushannaf Ibni Abi Syaibah, 14/321].
Sebuah riwayat dla’if mengisyaratkan bahwa saudara laki-laki Zaid, yaitu Jabalah bin Haaritsah berusaha untuk memintanya kembali, tetapi Zaid menolaknya [Sunan At-Tirmidzi 5/676 – di dalamnya terdapat Muhammad bin ‘Umar Ar-Ruumiy, seorang yang layyin/lemah]. Riwayat ini diikuti (ada mutaba’ah-nya) oleh ‘Abdul-Ghaffar bin ‘Abdillah bin Az-Zubair Al-Muushiliy dalam Mustadrak Al-Haakim (3/214). Ibnu Hibban telah menyendiri dalam pen-tautsiqan ‘Abdul-Ghaffaar [Ats-Tsiqaat 8/421], sehingga dua jalan tersebut menjadi kuat dan naik pada derajat hasan lighairihi.
[9] Ath-Thabaraiy : Taariikhul-Umam wal-Muluk 2/316.
[10] Shahih Al-Bukhaariy (Fathul-Baariy 7/83, 170). Lihat Fadlaailush-Shahaabah oleh Ahmad (bin Hanbal) 2/749.
[11] Shahih Muslim bi-Syarhin-Nawawiy 15/185-187. Al-Waahidiy membawakan riwayat dengan maknanya dalam Asbaabun-Nuzuul 395 dengan sanad dla’if, di dalamnya terdapat rawi yang bernama Ahmad bin Ayyub bin Raasyid : maqbuul. Ibnu Hibban menyendiri dalam pen-tautsiq-annya [At-Tahdziib, 1/17 dan At-Taqriib 77].
Al-Waahidiy juga membawakan dengan maknanya sebagaimana terdapat dalam Thabaqaat Ibni Sa’d (4/123-124).
[12] Mushannaf Ibni Abi Syaibah 12/53 dari jalan Ibnu Lahi’ah. Hapalannya tercampur setelah kitab-kitabnya terbakar. Riwayat ini bukan termasuk riwayat Al-‘Abaadilah darinya dimana ia (riwayat ‘Abaadilah) termasuk riwayat-riwayat yang paling ‘adil dari Ibnu Lahi’ah.
[13] Thabaqaat Ibni Sa’d 3/214-215 dari jalan Al-Waaqidiy, dan ia seorang yang matruk.
[14] Ath-Thabaraaniy : Al-Mu’jamul-Kabiir 1/81-82 dan Majma’uz-Zawaaid oleh Al-Haitsamiy 9/152 - ia adalah riwayat mursal. Rijalnya adalah rijal Ash-Shahiih.
[15] Thabaqaat Ibni Sa’d 3/102, dan ia adalah riwayat mursal. Rijalnya adalah rijal Ash-Shahiih.
[16] Majma’uz-Zawaaid oleh Al-Haitsamiy 9/151.
[17] Thabaqaat Ibni Sa’d 3/139, namun Al-Waaqidiy seorang yang matruuk. Akan tetapi khabar yang seperti ini termasuk hal yang ia anggap mudah (untuk menerimanya).
[18] Thabaqaat Ibni Sa’d 4/94-95. Lihat Mustadrak Al-Haakim 3/249, dalam sanadnya terdapat inqitha’ (keterputusan) karena Sa’iid bin ‘Amr bin Sa’iid tidak pernah mendengar riwayat dari pamannya yang bernama Khaalid bin Sa’iid.
[19] Ahmad dalam Al-Musnad 1/379, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 11/510, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 3/150-151, dan Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah wat-Taariikh 2/537 dengan sanad hasan. Adz-Dzahabiy telah menshahihkan sanadnya dalam Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 1/465. Begitu pula Al-Haitsamiy dalam Majma’uz-Zawaaid 6/17, namun dalam sanadnya terdapat ‘Aashim bin Abin-Nujuud. Ibnu Hajar berkata tentangnya : “Shaduuq lahu auhaam (jujur, namun terjadang salah) Haditsnya terdapat dalam Ash-Shahiihain” [At-Taqriib 285]. Adz-Dzahabiy berkata tentangnya : “Ia seorang yang haditsnya hasan (huwa hasanul-hadiits)” [Miizaanul-I’tidaal 2/357].
[20] Thabaqaat Ibni Sa’d 1/151.
[21] Mushannaf Ibni Abi Syaibah 12/114-115, Kasyful-Astaar oleh Al-Haitsamiy 3/248, Al-Mu’jamul-Kabiir oleh Ath-Thabaraniy 9/58, Mustadrak Al-Haakim 3/313 dan ia menshahihkan sanadnya serta disepakati oleh Adz-Dzahabiy. Di dalamnya terdapat ‘ilal, diantaranya tadliis dari Al-A’masy dan ia membawakannya dengan ‘an’anah. Juga, adanya perawi yang bernama ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah dimana ia tidak pernah mendengar dari ayahnya kecuali sedikit, dan ia seorang mudallis yang tidak menjelaskan penyimakan riwayatnya dengan tahdiits.
[22] Mushannaf Ibni Abi Syaibah 12/149 dengan sanad shahih sampai pada Mujaahid secara mursal, dan 13/49 yang juga mursal. Dan perawi yang bernama Karduus adalah maqbuul jika ada mutaba’ah-nya [Taqriibut-tahdziib 461]. Ibnu Hiban telah menyendiri dalam pen-tautsiq-annya [Ats-Tsiqaat 5/342. Dan riwayat mursal ini menyendiri dalam penyebutan masuk Islamnya Khabbaab pada usia enam tahun.
[23] Fadlailush-Shahaabah oleh Al-Imam Ahmad 1/182, 231 dengan sanad shahih, Thabaqaat Ibni Sa’d 3/233, dan Mustadrak Al-Haakim 3/284 dan ia menshahihkannya serta disepakati oleh Adz-Dzahabiy.
[24] Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 7/99).
[25] Shahih Al-Bukhariy (Fathul-Baariy 7/18, 170). Ibnu Hajar berkata :
أما الأعبد فهم بلال وزيد بن حارثة وعامر بن فهيرة وأبو فكيهة ويحتمل أن الخامس هو شقران، وأما المرأتان فخديجة وأم أيمن - أو سمية - .
“Adapun lima orang budak tersebut adalah Bilaal, Zaid bin Haaritsah, ‘Aamir bin Fahiirah, Abu Fakiihah, dan kemungkinan yang kelima adalah Syaqraan. Sedangkan dua orang wanita adalah Khadiijah dan Ummu Aiman – atau Sumayyah – “.
[26] Musnad Ahmad 1/404 dengan sanad hasan.
[27] Musnad Ahmad 4/112 dan Thabaqaat Ibni Sa’d 4/215.
Taariikh Ath-Thabariy 2/315 dengan sanad hasan, dan Mustadrak Al-Haakim 3/65,66 dan ia menshahihkan sanadnya.
[28] Shahih Muslim 1/596. Dan bandingkan dengan riwayat Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ah hal. 445-446 dengan sanad hasan yang di dalamnya terdapat perawi yang bernama Isma’il bin ‘Iyaasy. Ia berstatus shaduuq dari riwayat yang berasal dari orang-orang Syaam sebagaimana ada dalam sanad ini. Di dalamnya juga terdapat ‘Abdullah As-Saibaaniy, maqbuul. Di sini ia telah diikuti (punya mutaba’ah) dari jalur/arah Abu Salaam Ad-Dimasyqiy.
Riwayat ini menunjukkaan bahwa seseorang dari kalangan Ahli Kitaab – di jaman Jahiliyyah – telah memberinya petunjuk/membimbing untuk mengikuti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang akan muncul di Makkah.
[29] Ath-Thabaraniy dalam Al-Mu’jamul-Kabiir 2/155 dan Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 3/342, dan ia diam terhadap status riwayat tersebut. Barangkali perkataan Al-Haakim terhapus dalam proses pencetakan, karena Adz-Dzahabaiy menyebutkan penshahihannya atas persyaratan Muslim. Namun itu tidak benar, sebab Al-Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits ini untuk Maalik bin Martsad dan juga ayahnya. Martsad adalah majhuul sebagaimana perkataan Adz-Dzahabiy [Miizaanul-I’tidaal 4/87]. Ibnu Hajar berkata mengenainya : “Maqbuul” – yaitu jika ada mutaba’ah-nya. Dan memang riwayat ini ada mutaba’ah-nya dari Jubair bin Nufair, dari Abu Dzarr [Ath-Thabaraiy dalam Taarikhul-Umam wal-Muluuk 2/315] dengan sanad yang di dalamnya ada Shadaqah bin ‘Abdillah As-Samiin, seorang yang dla’iif [At-Taqriib 275]. Al-Haakim telah bermudah-mudah (tasaahul) dalam penshahihan sanadnya, yang kemudian disepakati oleh Adz-Dzahabiy [Al-Mustadrak 3/341]. Status riwayat tersebut hanyalah hasan lighairihi (bukan shahih).
Jadi jelaslah bahwa Adz-Dzahabiy saat meringkas Mustadrak Al-Haakim cenderung hanya mengambil kemudahannya saja tanpa menempatkan metodologi kritik hadits yang sesuai.
[30] Ath-Thabariy dalam At-Taariikh 2/315 dengan sanad dla’if sampai pada Jubair bin Nufair. Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar menyatakan bahwa dakwah yang masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi merupakan sebab bertentangannya pengakuan masing-masing siapa yang lebih dahulu masuk Islam [As-Siiratun-Nabawiyyah oleh Ibnu Katsir 1/443 dan Fathul-Baariy oleh Ibnu Hajar 7/84].
Comments
Benarkah Khadijah dan Muhammad dinikahkan oleh Ayah Khadijah-sebagai walinya, saat kondisinya tengah mabuk, jadi tidak dalam keadaan sadar, sehingga Ayahnya sempat menolak pernikahan yg sdh berlangsung tersebut (ketika siuman dari mabuknya) sebab sudah banyak pembesar yang hendak mempersunting anaknya tersebut?
Saya menemukan riwayat tersebut dalam buku The History of al-Tabari (1988), Ehsan Yar-Shater, ed.
Terima kasih
Posting Komentar