Tanya : Saya mempunyai anak laki-laki yang masih kecil dan belum dikhitan. Saya sangat mencintainya. Saya tidak tega jika dia sakit. Apalagi sampai menangis. Saya tahu bahwa dalam Islam itu mensyari’atkan khitan. Yang ingin saya tanyakan adalah : Apa hukumnya khitan bagi anak laki-laki ? Bolehkah saya tidak mengkhitankan anak saya dan mengakhirkannya hingga menjelang dewasa ? Terima kasih atas jawabannya.
Jawab : Khitan merupakan syari’at dan syi’ar agama Islam yang telah pasti. Banyak sekali dalil yang menjelaskan tentang syari’at khitan ini, diantaranya adalah :
عَنْ أَبِي هُرَيْرةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ سَمِعْتُ النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ يَقُولُ اْلفِطْرَةُ خَمْسٌ اْلخِتَانُ وَاْلاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِب وَتَقْلِيْمُ اْلأَظْفَار وَنَتْفُ الْآبَاط
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Fithrah itu ada lima macam : Khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, menggunting kuku, dan mencabut bulu ketiak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (6297 – Fathul-Baari), Muslim (3/257 – An-Nawawi), Malik dalam Al-Muwaththa’ (1927), Abu Dawud (4198), At-Tirmidzi (2756), An-Nasa’i (1/14-15), Ibnu Majah (292), Ahmad dalam Al-Musnad (2/229), dan Baihaqi (8/23)].
عَنْ عُثَيْم بْنِ كُلَيْب عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِهِ أَنَهُ جَاءَ إِلَى النَبِي صلى اللهُ عليْهِ وسلم فَقَال قَدْ أَسلَمْتُ فَقَالَ لَهُ النَبيُ صَلَى اللهُ عَلَيه وَسَلَمَ أَلْقِ عَنْكَ شِعْرَ الكُفْرِ وَاخْتَتِن
Dari ’Utsaim bin Kulaib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata : Bahwasannya kakeknya datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan berkata,”Aku telah masuk Islam”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya : ”Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah” [Hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud (356), Ahmad (3/415), dan Baihaqi (1/172). Berkata Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwaa’ : “Hadits ini hasan karena memiliki dua syahid, salah satunya dari Qatadah Abu Hisyam dan yang lainnya dari Watsilah bin Al-Asqa’. Aku telah berbicara tentang kedua hadits ini dan aku terangkan pendalilan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dengannya dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 1383].
Mengenai hukum khitan, maka yang paling raajih (kuat) adalah wajib. Ini yang ditunjukkan oleh dalil-dalil dan mayoritas pendapat ulama’. Perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah tsabit (tetap) terhadap seorang laki-laki yang telah ber-Islam untuk berkhitan. Beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda kepadanya : ”Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah”. Ini merupakan dalil yang paling kuat atas wajibnya khitan.
Berkata Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamaamul-Minnah hal. 69 :
وأما حكم الختان فالراجح عندنا وجوبه وهو مذهب الجمهور كمالك والشافعي وأحمد واختاره ابن القيم وساق في التدليل على ذلك خمسة عشر وجها وهي وإن كانت مفرداتها لا تنهض على ذلك فلا شك أن مجموعها ينهض به ولا يتسع المجال لسوقها جميعا ههنا فأكتفي منها بوجهين:
الأول: قوله تعالى: {ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً} والختان من ملته كما في حديث أبي هريرة المذكور في الكتاب وهذا الوجه أحسن الحجج كما قال البيهقى ونقله الحافظ 10 / 281.
الثاني: أن الختان من أظهر الشعائر التي يفرق بها بين المسلم والنصراني حتى إن المسلمين لا يكادون يعدون الأقلف منهم.
“Adapun hukum khitan, maka yang raajih menurut kami adalah wajib, dan ini merupakan pendapat jumhur seperti Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan pendapat yang dipilih oleh Ibnul-Qayyim. Beliau membawakan 15 (limabelas) sisi pendalilan yang menunjukkan wajibnya khitan. Walaupun satu persatu dari sisi-sisi tersebut tidak dapat mengangkat perkara khitan kepada hukum wajib, namun tidak diragukan bahwa pengumpulan sisi-sisi tersebut dapat mengangkatnya (kepada hukum wajib). Dua dari limabelas sisi yang dapat disebutkan antara lain :
1. Firman Allah ta’ala :
ثُمّ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ أَنِ اتّبِعْ مِلّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu : “Ikutilah millahnya Ibrahim yang hanif” (QS. An-Nahl : 123).
Khitan termasuk ajaran millah Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang telah lalu. Sisi ini merupakan hujjah yang terbaik sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baihaqi yang dinukil oleh Al-Hafidh (10/281).
2. Khitan termasuk syi’ar Islam yang jelas, yang dibedakan dengannya seorang Muslim dengan seorang Nashrani. Hampir-hampir tidak dijumpai dari kaum muslimin yang tidak berkhitan.
[selesai ucapan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah].
Selain dua sisi yang disebutkan di atas, Al-Hafidh Ibnu Hajar menambahkan sisi lain sebagaimana yang disebutkan dalam Fathul-Baari (10/339) dari Al-Imam Abu Bakar Ibnul-‘Arabi ketika berbicara tentang hadits : ”Fithrah itu ada lima macam : khitan, mencukur rambut kemaluan,…dst”; ia berkata :
عندي أن الخصال الخمس المذكورة في هذا الحديث كلها واجبة فإن المرء لو تركها لم تبق صورته على صورة الآدميين فكيف من جملة المسلمين
“Menurutku kelima perkara yang disebutkan dalam hadits ini semuanya wajib. Karena seseorang jika ia meninggalkan lima perkara tersebut tidak nampak gambaran bentuk anak Adam (manusia), lalu bagaimana ia digolongkan dari kaum muslimin?” [selesai ucapan Ibnul-‘Araby].
Adapun tentang waktu pelaksanaan khitan, maka para ulama telah berbeda pendapat dalam aneka macam perkataan. Ada yang berkata dimulai usia 7 tahun, 6 tahun, 10 tahun, 7 hari setelah kelahiran, maksimal usia baligh, sebelum baligh, pada waktu baligh, dan yang lainnya.
Yang raajih adalah bahwasannya tidak ada waktu tertentu dilakukannya khitan, namun ia menjadi wajib ketika usia telah mencapai usia baaligh, sebab saat itulah waktu takliif. Memang ada di kalangan shahabat yang mengakhirkan khitan ketika telah memasuki usia baligh, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma.
عن سعيد بن جبير قال: سئل ابن عباس: مثل من أنت حين قبض النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: أنا يومئذ مختون، قال: وكانوا لا يختنون الرجل حتى يدرك
Dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata : Ibnu ‘Abbas pernah ditanya : “Seperti apa dirimu ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat ?”. Ia menjawab : “Aku pada waktu itu telah dikhitan. Dan mereka (para shahabat) tidaklah mengkhitan seseorang kecuali setelah ia baligh” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6229].
Namun sebagaimana amalan ibadah yang lain lebih utama jika dilakukan dengan segera, maka khitan pun disukai untuk disegerakan pelaksanaannya. Allah ta’ala berfirman :
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu” [QS. Aali ‘Imraan : 133].
Abul-Faraj Al-Sarkhasiy berkata : “Faedah berkhitan pada usia kanak-kanak adalah karena kulit akan bertambah alot dan semakin keras setelah usia tamyiz. Oleh karena itu, para imam membolehkan berkhitan sebelum usia tersebut”.
Dan alhamdulillah, Allah telah memberikan pengetahuan kepada kaum muslimin ilmu kedokteran sehingga khitan di jaman sekarang tidaklah terasa sakit kecuali sedikit sekali. Ibu tidak seharusnya membiarkan anak ibu tidak berkhitan sampai batas usia baligh (dewasa). Orang yang tidak berkhitan, maka najis akan terkumpul pada kemaluannya sehingga mengurangi kesempurnaan istinja’/wudlu sekaligus ibadah shalatnya.
Al-Mawardiy berkata :
له وقتان وقت وجوب ووقت استحباب، فوقت الوجوب البلوغ ووقت الاستحباب قبله، ...... ويستحب أن لا يؤخر عن وقت الاستحباب إلا لعذر،
“Khitan itu mempunyai dua waktu : Waktu wajib dan waktu mustahab (sunnah). Waktu wajib adalah ketika usia baligh, sedangkan waktu mustahab adalah sebelum baligh. Dan disukai untuk tidak mengakhirkannya dari waktu mustahab kecuali jika ada udzur” [Fathul-Baariy, 10/342].
Wallaahu a’lam.
[Abul-Jauzaa’ – Ramadlan 1430 – merupakan koreksi atas pembahasan serupa yang dituliskan beberapa tahun yang lalu].
Comments
Posting Komentar