Di sini akan saya coba tuliskan beberapa keterangan tentang ayat rajam yang telah mansukh, namun hukumnya masih tetap berlaku, sekaligus sebagai komentar singkat terhadap sebuah tulisan yang menganggap bahwa Ahlus-Sunnah telah melakukan tahrif terhadap Al-Qur’an melalui ayat rajam.
عن عبد الله بن عباس يقول: قال عمر بن الخطاب، وهو جالس على منبر رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الله قد بعث محمدا صلى الله عليه وسلم بالحق. وأنزل عليه الكتاب. فكان مما أنزل عليه آية الرجم. قرأناها ووعيناها وعقلناها. فرجم رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجمنا بعده. فأخشى، إن طال بالناس زمان، أن يقول قائل: ما نجد الرجم في كتاب الله. فيضلوا بترك فريضة أنزلها الله. وإن الرجم في كتاب الله حق على من زنى إذا أحصن، من الرجال والنساء، إذا قامت البينة، أو كان الحبل أو الاعتراف.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas ia berkata : Umar bin Al-Khaththaab pernah duduk di mimbar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seraya bersabda : “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan kebenaran dan menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadanya. Dan di antara ayat yang diturunkan kepadanya adalah ayat rajam. Kami membacanya[1] dan kami memahaminya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menegakkan hukum rajam, dan kami pun menegakkan setelahnya. Aku khawatir dengan berlalunya waktu akan ada seseorang yang berkata : ‘Kami tidak mendapatkan hukum rajam dalam Kitabullah’. Oleh karena itu, mereka tersesat dan meninggalkan kewajiban yang telah diturunkan Allah. Sesungguhnya hukum rajam dalam Kitabullah (Al-Qur’an) itu adalah benar bagi siapa saja yang berzina sedangkan ia dalam keadaan muhshan (telah menikah). Berlaku baik untuk laki-laki maupun wanita, jika telah tegak bukti (bayyinah), adanya kehamilan, atau pengakuan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6830 dan Muslim no. 1691].
عن أبي هريرة رضي الله عنه وزيد بن خالد الجهني رضي الله عنهما أنهما قالا: إن رجلا من الأعراب أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، أنشدك الله إلا قضيت لي بكتاب الله، فقال الخصم الآخر، وهو أفقه منه: نعم، فاقض بيننا بكتاب الله، وائذن لي، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (قل). قال: إن ابني كان عسيفا على هذا، فزنى بامرأته، وإني أخبرت أن على ابني الرجم، فافتديت منه بمائة شاة ووليدة، فسألت أهل العلم، فأخبروني: أنما على ابني جلد مائة وتغريب عام، وأن على امرأة هذا الرجم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (والذي نفسي بيده لأقضين بينكما بكتاب الله، الوليدة والغنم رد، وعلى ابنك جلد مائة وتغريب عام، اغد يا أنيس إلى امرأة هذا، فإن اعترفت فارجمها). قال: فغدا عليها فاعترفت، فأمر بها رسول الله صلى الله عليه وسلم فرجمت.
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu dan Zaid bin Khaalid Al-Juhhaniy radliyallaahu ‘anhuma, mereka berdua berkata : Ada seorang laki-laki dari kalangan ‘Arab baduwi yang mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata : “Wahai Rasulullah, aku meminta kepadamu agar engkau menghukumku dengan Kitabullah”. Berkata lawannya yang lebih pandai : “Ya, berikan keputusan kepada kami dengan Kitabullah, dan ijinkan aku berbicara”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berkatalah !”. Laki-laki itu pun berkata : “Anakku bekerja di rumah orang ini dan kemudian berzina dengan istrinya. Aku diberitahu bahwa anakku harus dihukum rajam, lalu aku ingin menebus hukuman dengan membayar 100 ekor kambing dan seorang budak wanita. Kemudian aku bertanya kepada orang yang berilmu dan ia berkata bahwa hukuman bagi anakku adalah 100 kali cambukan dan diasingkan selama setahun. Adapun wanita tersebut harus dirajam”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku akan memberikan keputusan kepada kalian berdua menurut Kitabullah. Budak wanita dan kambing itu dikembalikan. Bagi anakmu adalah hukuman 100 kali cambukan dan diasingkan selama setahun. Wahai Unais, pergilan ke istri orang ini. Jika ia mengakui perbuatannya, maka rajamlah ia”. Maka Unais pun pergi ke wanita tersebut dan ia mengaku. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar wanita tersebut dirajam [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 2724-2725, Muslim no. 1697-1698, Ahmad 4/115-116, Abu Dawud no. 4445, Ibnu Majah no. 2545, dan yang lainnya].
Dua hadits di atas menegaskan bahwa hukum rajam diterapkan di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hukum ini tegak berdasarkan Kitabullah. Hal itu secara jelas ditunjukkan oleh sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
والذي نفسي بيده لأقضين بينكما بكتاب الله
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku akan memberikan keputusan kepada kalian berdua menurut Kitabullah”.
Para ulama telah menjelaskan bahwa hukum rajam pada awalnya memang tertera dalam Kitabullah (Al-Qur’an) yang kemudian mansukh (terhapus) lafadhnya, namun hukumnya tetap ada [lihat Manaahilul-‘Irfaan fii ‘Uluumil-Qur’an, 2/215].
Adapun lafadh ayat rajam yang mansukh tersebut adalah :
الشَّيخُ والشَّيْخَةُ إذَا زَنَيَا فَارْجُموهُما البَتَّة
“Orang tua laki-laki dan orang tua wanita apabila berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh”.
Riwayat-riwayat mengenai ayat ini dalam beberapa kitab hadits ada yang dla’if, ada pula yang shahih/hasan.[2] Di antara riwayat-riwayat tersebut antara lain adalah :
عن ابن عباس قال: سمعت عمر يقول: (قد خشيت أن يطول بالناس زمان حتى يقول قائل: ما نجد الرجم في كتاب الله فيضلوا بترك فريضة أنزلها الله، ألا وإن الرجم حق على من زنى إذا أحصن وكانت البينة، أو كان الحبل، أو الاعتراف؛ وقد قرأناها:(الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة)، وقد رجم رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجمنا بعده
Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata : Aku mendengar ‘Umar berkata : “Sungguh aku khawatir dengan berlalunya waktu akan ada seseorang yang berkata : ‘Kami tidak mendapatkan hukum rajam dalam Kitabullah’. Oleh karena itu, mereka tersesat dan meninggalkan kewajiban yang telah diturunkan Allah. Sesungguhnya hukum rajam itu adalah benar bagi siapa saja yang berzina dalam keadaan muhshan (telah menikah) dengan adanya bukti (bayyinah), adanya kehamilan, atau pengakuan. Dan sungguh kami telah membacanya : ‘Orang tua laki-laki dan orang tua wanita apabila berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menegakkan hukum rajam, dan kami pun menegakkan setelahnya”.
Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa (4/273) ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Manshuur Al-Makkiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Aku telah mendengar ‘Umar berkata : …. (hadits)….
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (no. 8725), dan dari jalannya Ibnu Majah meriwayatkan dalam Sunan-nya (no. 2553).
Dhahir sanad hadits ini shahih, namun ada ‘illat tersembunyi padanya. Lafadh : ‘Orang tua laki-laki dan orang tua wanita apabila berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh’ termasuk kebersendirian periwayatan Sufyaan bin ‘Uyainah dari Az-Zuhriy. Ia (Sufyaan) telah menyelisihi shahabat-shahabat (ashhaab) Az-Zuhriy[3] dalam riwayat Az-Zuhriy dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, dari Ibnu ‘Abbas, dari ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhum. Mereka semuanya (para shahabat Az-Zuhriy) meriwayatkan tanpa adanya tambahan lafadh tersebut. An-Nasa’iy berkata :
لا أعلم أن أحدا ذكر في هذا الحديث الشيخ والشيخة فارجموهما البتة غير سفيان وينبغي أنه وهم والله أعلم
“Aku tidak mengetahui seorang pun yang menyebutkan hadits ini : ‘Orang tua laki-laki dan orang tua wanita apabila berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh’ selain dari Sufyaan. Kemungkinan dalam hal ini ia telah keliru. Wallaahu a’lam” [As-Sunan Al-Kubraa, 4/273].
Dalam Musnad Al-Humaidiy (no. 25), disebutkan bahwa Sufyan berkata :
فقد سمعته من الزهري بطوله فحفظت منه أشياء وهذا مما لم أحفظ منها يومئذ
“Aku telah mendengar dari Az-Zuhriy dan aku menghapal darinya beberapa riwayat hadits. Dan hadits/riwayat ini termasuk yang tidak aku hapal sekarang”.
Dari keterangan di atas, maka tambahan lafadh : ‘Orang tua laki-laki dan orang tua wanita apabila berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh’ dalam riwayat Sufyan bin ‘Uyainah adalah lemah/syadz, tidak mahfudh.
عن أبي بن كعب قال كانت سورة الأحزاب توازي سورة البقرة فكان فيها الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة
Dari Ubay bin Ka’b ia berkata : “Dahulu surat Al-Ahzaab menyamai surat Al-Baqarah, dan di dalamnya terdapat ayat : ‘Orang tua laki-laki dan orang tua wanita apabila berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh’”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan (no. 4428), ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad Al-Azdiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami An-Nadlr bin Syumail, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari ‘Aashim bin Abin-Nujuud, dari Zirr bin Hubaisy, dari Ubay bin Ka’b, ia berkata : “…..(hadits)…..
Sanad hadits ini hasan. Namun ia menjadi shahih dengan banyak jalannya.
Dalam sebuah riwayat mauquf, ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu berkata :
والذي نفسي بيده لولا أن يقول الناس: زاد عمر بن الخطاب في كتاب الله تعالى لكتبتها: (الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة) فإنا قد قرأناها
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikata orang-orang tidak akan berkata : ‘Umar telah menambahkan sesuatu dalam Kitabullah’, niscaya kami akan menuliskannya : ‘Orang tua laki-laki dan orang tua wanita apabila berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh’. Sesungguhnya kami telah membacanya (di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam)”.
Diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ (4/130-131) dari jalan Yahya bin Sa’id (Al-Anshariy), dari Sa’id bin Al-Musayyib, dari ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu; dengan sanad shahih. Sebagian ulama ada yang mempermasalahkan penyimakan Sa’id bin Al-Musayyib terhadap ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu – sebagaimana perkataan Ibnu Ma’in. Namun ‘Ali bin Al-Madiniy telah menshahihkan penyimakan Ibnul-Musayyib, dan inilah yang lebih sesuai dengan kebenaran – insya Allah.
Ibnu ‘Abdil Barr berkata : “Hadits ini sanadnya shahih. Sa’id bin Al-Musayyib telah mendengarnya dari ‘Umar menurut pendapat sekelompok ulama. Ia hadir dalam ibadah haji tersebut bersama ‘Umar serta mendengarnya dengan penglihatannya perkataan ‘Umar di Ka’bah dan pada saat thawafnya, yang kemudian ia hapal darinya…” [Al-Istidzkaar, 24/68-69].
Seorang fanatikus Syi’ah berkata ketika mengomentari perkataan ‘Umar ini :
Dari riwayat-riwayat di atas jelaslah bagi kita bahwa Al Qur’an kaum Muslimin yang beredar sekarang ini dalam pandangan Khalifah Umar ibn al Khaththab adalah kurang sebab ayat jaram yang pernah turun kepada Nabi Muhammad tidak lagi tertera di dalamnya. Dan sebenarnya ia sangat bersemangat untuk tetap menyantumkannya dalam Al Qur’an, sebab ai adalah ayat Al Qur’an, dan andai bukan karena takut dari cercaan dan tuduhan manusia bahwa ia menambah dalam Al Qur’an sesuatu yang bukan dari Al Qur’an pastilah beliau telah menyantumkannya dan umat Islam-pun dapat menemukan dan membacanya dalam Mush-haf-mush-haf mereka! Tetapi sayang, Khalifah Umar harus merelakan –walau dengan berat hati- kepergian ayat itu untuk selamanya demi memelihara kemapaman anggapan Umat Islam dewasa itu yang belum menyadari bahwa ia adalah bagian dari firman kudus Tuhan dalam Al Qur’an!
………………..
Sebab ucapan Umar itu artinya, ayat tersebut pada dasarnya boleh dan sah untuk dituliskan dalam Mush-haf dan itu artinya ia boleh dibaca dalam shalat
[perhatikan beberapa kalimat yang saya garis bawah]
Lihatlah…. Bagaimana ia bisa beranggapan ‘Umar mempunyai pandangan bahwa Al-Qur’an yang ada di tangan kaum muslimin saat ini adalah kurang ? Dari mana ia bisa menyimpulkan ayat rajam boleh disisipkan dalam Al-Qur’an ? Sesungguhnya kesimpulannya terlalu prematur dan manipulatif. Berikut kelengkapan khutbah ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu dalam Al-Muwaththa’ :
إياكم أن تهلكوا عن آية الرجم؛ أن يقول قائل: لا نجد حدَّين في كتاب الله، فقد رجم رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجمنا. والذي نفسي بيده لولا أن يقول الناس: زاد عمر بن الخطاب في كتاب الله تعالى لكتبتها: (الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة) فإنا قد قرأناها
“Hati-hatilah kalian, agar jangan sampai binasa karena ayat rajam, yaitu seseorang berkata : ‘Kami tidak mendapatkan hukum rajam ini dalam Kitabullah’. Sungguh, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan hukum rajam, dan kami pun akan melakukannya pula. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikata orang-orang tidak berkata : ‘Umar telah menambahkan sesuatu dalam Kitabullah’, niscaya kami akan menuliskannya : ‘Orang tua laki-laki dan orang tua wanita apabila berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh’. Sungguh, kami telah membacanya (di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam)”.
Perhatikan pula riwayat lain dari khutbah ‘Umar bin Al-Khaththaab :
خطب عمر بن الخطاب رضي الله عنه .... فذكر الرجم فقال لا تخدعن عنه فإنه حد من حدود الله تعالى ألا إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد رجم ورجمنا بعده ولولا أن يقول قائلون زاد عمر في كتاب الله عز وجل ما ليس منه لكتبته في ناحية من المصحف شهد عمر بن الخطاب رضي الله عنه وعبد الرحمن بن عوف وفلان وفلان أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد رجم ورجمنا من بعده ألا وإنه سيكون من بعدكم قوم يكذبون بالرجم وبالدجال وبالشفاعة وبعذاب القبر وبقوم يخرجون من النار بعد ما امتحشوا
“’Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu berkhutbah. Dalam khutbahnya ia menyebutkan tentang rajam. Ia berkata : ‘Kami tidak menemukan alasan untuk menghindari hukum rajam. Hukum rajam termasuk salah satu hukum Allah. Ketahuilah bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menegakkan hukum rajam dan kami akan melaksanakannya juga setelah beliau (wafat). Andaikata orang-orang tidak akan berkata : ‘Umar telah menambah-nambahi Kitabullah ‘azza wa jalla apa-apa yang tidak terdapat di dalamnya’, niscaya aku akan menuliskannya di salah satu halaman mushhaf. ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Fulan, dan Fulan : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menegakkan hukum rajam, dan kami pun akan melakukannya pula setelah wafat beliau. Ketahuilah bahwa akan muncul sejumlah orang setelah kalian yang mengingkari hukum rajam, adanya syafa’at, ‘adzab kubur, dan mengingkari keluarnya orang-orang dari neraka setelah mereka dimasukkan di dalamnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/23, Ath-Thayalisiy no. 25, ‘Abdurrazzaq no. 13364, dan Abu Ya’la no. 146. Sanad hadits ini dla’if karena ‘Aliy bin Zaid. Namun status riwayat ini menjadi naik karena ada penguat hadits sebelumnya, wallaahu a’lam].[4]
Khutbah ‘Umar di atas sangat jelas.
Perkataan : Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikata orang-orang tidak akan berkata : ‘Umar telah menambahkan sesuatu dalam Kitabullah, niscaya kami akan menuliskannya’ ; dilatarbelakangi kekhawatiran ‘Umar akan adanya sekelompok orang yang mengingkari hukum rajam dengan alasan tidak menemuinya di Kitabullah.[5] Perhatikan konteks kalimat secara keseluruhan. Walaupun mungkin ada maslahat, namun ‘Umar meninggalkan penulisannya dalam Kitabullah karena ayat tersebut telah mansukh[6] dan khawatir akan menimbulkan fitnah bagi kaum muslimin. Tentu saja ‘Umar tidak mau dianggap sebagai perusak Al-Qur’an – karena kenyataannya ia memang jauh dari hal itu.
Andaikata ‘Umar benar-benar merealisasikan untuk menulis ayat rajam dalam Kitabullah, pun dalam hal ini tidak ada penunjukkan bahwa ia ingin/bermaksud menambah-nambahi apa yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an. Semata-mata hal itu dilakukan untuk membantah sekaligus meyakinkan para pengingkar hukum rajam, sebagaimana dikatakan sebelumnya. Ia membela dan menegakkan hukum rajam, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya. Konteks khutbah ‘Umar ini sama dengan khutbah ‘Umar bin Al-Khaththab dalam Shahihain yang disebutkan di awal.
Jadi, tidak ditulisnya/disisipkannya ayat rajam dalam Al-Qur’an bukan disebabkan takut cercaan orang sebagaimana perkataan rekan Syi’ah kita ini. Apalagi ditambah kalimat nglantur bahwa ayat rajam boleh dibaca dalam shalat. Bagaimana tidak ? ‘Umar bin Al-Khaththab sendiri sampai akhir hayatnya tidak pernah menuliskannya/menyisipkannya dalam Al-Qur’an. Tidak pernah pula ternukil riwayat shahih ia membacanya atau memerintahkan untuk membaca dalam shalat. Tentu saja semua ini dibangun di atas ‘aqidah bahwa ayat rajam secara lafadh bukan merupakan bagian dari Al-Qur’an. [7]
Benarkah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Membenci Syari’at Rajam ?
Rekan Syi’ah Rafidlah kita berkata :
Ada sebuah riwayat dalam Musnad Imam Ahmad dengan sanad shahih yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad-lah yang kariha, tidak suka untuk menuliskan ayat Rajam tersebut, sebab sepertinya syari’at tentang hukum rajam tidak tepat.
Dengan sanad bersambung kepada Katsîr ibn Shalt, ia berkata, “… Maka Umar berkata, ‘Ketika ayat tersebut (Rajam) turun, aklu datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, ‘Apakah Anda sudi menuliskannya untukku?’ Syu’bah berkata, ‘Sepertinya beliau tidak suka-. Umar berkata, ‘Tidakah Anda memperhatikan bahwa seorang syeikh, tua jika ia belum menikah hanya dikenai hukuman dera saja dan seorang pemuda-pun jika sudah menikah akan dirajam?!’”
Perhatikan kalimat yang saya garis bawah. Betapa lancang teman Syi’ah Rafidlah kita ini. Ia beranggapan dengan akalnya yang sempit bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak suka (membenci) menuliskan ayat rajam karena syari’at hukum rajam itu tidak tepat.
Allaahu akbar !! Sebelumnya telah disebutkan hadits yang menyebutkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan perajaman terhadap wanita muhshan yang berzina. Dan beliau sendiri pernah merajam orang yang berzina dengan tangannya, sebagaimana riwayat berikut :
عن بريدة قال: ......ثم جاءته امرأة من غامد من الأزد. فقالت: يا رسول الله! طهرني. فقال (ويحك! ارجعي فاستغفري الله وتوبي إليه). فقالت: أراك تريد أن ترددني كما رددت ماعز بن مالك. قال: (وما ذاك؟) قالت: إنها حبلى من الزنى. فقال (آنت؟) قالت: نعم. فقال لها (حتى تضعي ما في بطنك). قال: فكفلها رجل من الأنصار حتى وضعت. قال: فأتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: قد وضعت الغامدية. فقال (إذا لا نرجمها وندع لها ولدها صغيرا ليس له من يرضعه). فقام رجل من الأنصار فقال: إلى رضاعه. يا نبي الله! قال: فرجمها.
Dari Buraidah ia berkata : “……….Kemudian datanglah seorang wanita dari daerah Ghaamid dari kalangan suku Al-Azd, ia berkata : ‘Wahai Rasulullah, sucikanlah aku !’. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Celakalah kamu ! Pulanglah dan beristighfarlah kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya’. Lalu wanita itu berkata : ‘Aku melihat engkau ingin menolakku sebagaimana engkau telah menolak Ma’iz bin Maalik’. Beliau bersabda : ‘Apa maksudnya ?’. Ia berkata : ‘Sesungguhnya ia telah hamil karena zina’. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Apakah (wanita itu) engkau ?’. Ia menjawab : ‘Ya, benar’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : ‘Kembalilah, hingga engkau melahirkan kandunganmu’. Buraidah (perawi) berkata : ‘Lalu wanita itu ditanggung seorang laki-laki Anshar sampai melahirkan’. Kemudian laki-laki itu datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : ‘Sesungguhnya wanita Ghamidiyyah itu telah melhirkan’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kalau begitu, kami belum akan merajamnya, karena ia meninggalkan anaknya yang masih kecil dan tidak ada orang yang menyusuinya’. Lalu seorang laki-laki dari kalangan Anshar berdiri dan berkata : ‘Wahai Nabi Allah, serahkan kepadaku penyusuannya !’. Buraidah berkata : ‘Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam merajamnya’ [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1695 dan Al-Baihaqiy 8/214, Ad-Daaruquthniy 3/92, dan Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 10/293].
Jika kita mengikuti logika teman Syi’ah kita – yang katanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memandang hukum rajam itu tidak tepat[8] – , bukankah itu sama dengan kita mengatakan beliau menjalankan syari’at rajam di atas satu keterpaksaan ? Bukankah ini sama dengan sifat seorang munafiq ? Na’uudzubillah ! Sungguh jauh beliau dari yang ia sifatkan.
Allah ta’ala telah berfirman :
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
Jika orang-orang yang beriman dari kalangan umat Muhammad saja dituntut untuk tunduk dan menerima tanpa berat hati segala keputusan yang diberikan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka beliau jauh lebih pantas untuk itu terhadap segala keputusan/syari’at yang telah diwahyukan oleh Allah ‘azza wa jalla. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bertaqwa di kalangan manusia kepada Allah ta’ala.
Adapun riwayat dari Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad yang dibawakan oleh teman Rafidlah kita ini selengkapnya sebagai berikut :
عن كثير بن الصلت قال كان بن العاص وزيد بن ثابت يكتبان المصاحف فمروا على هذه الآية فقال زيد سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة فقال عمر لما أنزلت هذه أتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت أكتبنيها قال شعبة فكأنه كره ذلك فقال عمر ألا ترى أن الشيخ إذا لم يحصن جلد وإن الشاب إذا زنى وقد أحصن رجم
Dari Katsiir bin Shalt ia berkata : “Ibnu ‘Ash dan Zaid bin Tsaabit pernah menulis lembar-lembar mushhaf, yang kemudian melewati ayat ini. Zaid bin Tsabit berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Orang tua laki-laki dan orang tua wanita apabila berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh’. ‘Umar berkata berkata : “Ketika ayat ini diturunkan, aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kemudian aku berkata : ‘Sudikah engkau tuliskan kepadaku ayat tersebut ?”. Syu’bah : ‘Sepertinya beliau tidak menyukainya’. Maka ‘Umar berkata : “Tidakkah engkau ketahui bahwa seorang laki-laki tua jika belum menikah berbuat maka dikenakan hukuman cambuk/dera, dan seorang pemuda telah menikah berbuat zina maka dikenakan hukuman rajam” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/183, Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamal 24/130 – biografi Katsiir bin Ash-Shalt, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 7145, Al-Baihaqiy 8/211, Ad-Daarimiy no. 2365, dan Al-Haakim 4/360; shahih].
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa perkataan ‘Sepertinya beliau tidak menyukainya’ merupakan perkataan/interpretasi dari Syu’bah. Bukan perkataan ‘Umar, bukan pula perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Katsir membawakan riwayat semakna dalam Tafsir-nya sebagai berikut :
وقال الحافظ أبو يعلى الموصلي: حدثنا عُبَيْد الله بن عمر القواريري، حدثنا يزيد بن زُرَيْع، حدثنا ابن عَوْن، عن محمد -هو ابن سِيرِين -قال: نُبِّئتُ عن كَثِير بن الصلت قال: كنا عند مروان وفينا زيد، فقال زيد: كنا نقرأ: "والشيخ والشيخة فارجموهما البتة". قال مروان: ألا كتبتَها في المصحف؟ قال: ذكرنا ذلك وفينا عمر بن الخطاب، فقال: أنا أشفيكم من ذلك.قال: قلنا: فكيف؟ قال: جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم، قال: فذكر كذا وكذا، وذكر الرجم، فقال: يا رسول الله، أكْتِبْني آية الرجم: قال: "لا أستطيع الآن"
“Telah berkata Al-Haafidh Abu Ya’la Al-Mushiliy : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-Qawaaririy : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Zurai’ : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Muhammad bin Sirin, ia berkata : Katsir bin Ash-Shalt memberitakan kepadaku, ia berkata : “Ketika kami bersama Marwaan, turut hadir di situ Zaid bin Tsaabit. Zaid berkata : “Dahulu kami membaca ayat : ‘Orang tua laki-laki dan orang tua wanita apabila berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh’ “. Marwan berkata : “Mengapa engkau tidak tuliskan ayat itu di dalam mushhaf ?”. Kami pun memperbincangkan permasalahan itu, dan di tengah kami hadir ‘Umar bin Al-Khaththaab. Ia (‘Umar) berkata : Aku akan jelaskan permasalahan ini kepada kalian”. Kami bertanya : “Bagaimana itu ?”. ‘Umar berkata : “Seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menyebutkan beberapa permasalahan. Laki-laki itu berkata : ‘Wahai Rasulullah, tuliskan untukku ayat rajam’. Beliau menjawab : ‘Aku tidak bisa menuliskannya sekarang’ [lihat Tafsir Ibnu Katsir, 6/6-7].
Alasan beliau tidak menuliskan ayat rajam kepada ‘Umar atau kepada laki-laki di atas saat mereka berdua meminta bukan karena beliau membenci ayat rajam atau syari’at hukum rajam. Kemungkinan beliau menolak untuk menuliskannya karena beliau telah diberitahukan oleh Allah bahwa ayat tersebut nantinya mansukh lafadhnya (tilawah-nya), sehingga tidak menjadi bagian dari tulisan dalam mushhaf. Adapun ‘Umar meminta beliau untuk menuliskannya karena penjagaannya terhadap syari’at Allah. Justru ini merupakan satu hal yang sangat patut untuk dipuji dari ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.
Ayat Rajam terdapat dalam Referensi Syi’ah
Celaan rekan Rafidlah kita terhadap ayat Rajam nampaknya disebabkan karena kejahilannya atas sumber-sumber referensi Syi’ah yang juga menyebutkan ayat rajam. Saya sebutkan sedikit di antaranya :
وبالإسناد ، عن يونس ، عن عبدالله بن سنان ، عن أبي عبدالله ( عليه السلام ) قال : الرجم في القرآن قول الله عزّ وجلّ : إذا زنى الشيخ والشيخة فارجموهما البتة فانهما قضيا الشهوة .
Dengan sanadnya dari Yunus, dari ‘Abdullah bin Sinaan, dari Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) ia berkata : “Hukum rajam terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Apabila orang tua laki-laki dan orang tua wanita berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh. Karena mereka berdua telah melampiaskan syahwat (yang diharamkan)” [Al-Kaafiy, 7/177 – lihat pula Al-Wasaail, 28/62, dimana Al-Khuu’iy, seorang ulama Syi’ah di ‘Iraq dalam websitenya, mengatakan riwayat ini shahih].
وَ رَوَى هِشَامُ بْنُ سَالِمٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ خَالِدٍ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع فِي الْقُرْآنِ رَجْمٌ. قَالَ نَعَمْ . قُلْتُ كَيْفَ . قَالَ الشَّيْخُ وَ الشَّيْخَةُ فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ فَإِنَّهُمَا قَضَيَا الشَّهْوَةَ
Dan Hisyaam bin Saalim meriwayatkan dari Salmaan bin Khaalid, ia berkata : Aku berkata kepada Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam : “Apakah (dalam) Al-Qur’an terdapat hukum rajam ?”. Ia menjawab : “Ya benar”. Aku berkata : “Bagaimanakah itu ?”. Ia menjawab : “Apabila orang tua laki-laki dan orang tua wanita berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh. Karena mereka berdua telah melampiaskan syahwat (yang diharamkan)” [Man Laa Yahdluruhul-Faqiih, 4/26. Lihat pula Al-Wasaail, 28/67 - Al-Khuu’iy mengatakan riwayat Sulaiman bin Khaalid ini shahih].
حدثنا محمد بن الحسن عن الحسن بن الحسن بن أبان عن اسماعيل بن خالد قال : قلت لابي عبد الله عليه السلام : في القرآن الرجم ؟ قال : نعم ، قال الشيخ : والشيخ إذا زنيا فارجموهما البتة فانهما قد قضيا الشهوة
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Hasan, dari Al-Hasan bin Al-Hasan bin Abaan, dari Isma’il bin Khaalid, ia berkata : Aku bertanya kepada Abu Ja’far ‘alaihis-salaam : “Apakah dalam Al-Qur’an terdapat hukum rajam ?”. Ia menjawab : “Ya benar”. Ia melanjutkan : “Apabila orang tua laki-laki dan orang tua wanita berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh. Karena mereka berdua telah melampiaskan syahwat (yang diharamkan)” [‘Ilalusy-Syaraai’ oleh Ibnu Baabawaih Al-Quumiy, 2/540].
Dan yang lainnya. Sebagian isi Al-Kaafiy karangan Al-Kulainiy dapat dilihat pada gambar di bawah – diambil dari website Syi’ah.
Ayat Rajam Menurut Ulama Syi’ah Termasuk Ayat yang Mansukh Lafadhnya
Telah kita lihat sebagian kejahilan rekan Syi’ah Rafidlah kita di atas. Ia mencela bahwa mansukh-nya ayat rajam termasuk bagian tahrif yang dilakukan Ahlus-Sunnah. Padahal, jelas beda antara keduanya (mansukh dengan tahrif). Mungkin ia tidak tahu bahwa para ulama Syi’ah Rafidlah dalam banyak buku mereka menjelaskan bahwa ayat rajam – yang terekam dalam beberapa riwayat Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam – termasuk ayat yang mansukh lafadh/tilawah-nya, namun hukumnya tetap. Akan saya sebutkan sedikit di antaranya :
Telah berkata Ath-Thuusiy dalam At-Tibyaan fii Tafsiiril-Qur’aan (1/13) :
والثاني - ما نسخ لفظه دون حكمه، كآية الرجم فإن وجوب الرجم على المحصنة لا خلاف فيه ، والآية التي كانت متضمنة له منسوخة بلا خلاف وهي قوله: (والشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة، فإنهما قضيا الشهوة جزاء بما كسبا نكالاً من الله والله عزيز حكيم)
“Jenis Kedua, apa-apa yang dihapus lafadhnya, tanpa dihapus hukumnya, seperti ayat rajam. Wajib ditegakkan rajam bagi orang yang telah menikah tanpa ada khilaf di dalamnya. Dan di antara ayat yang dihapus (mansuukhah) tanpa ada khilaf adalah firman-Nya : ‘Apabila orang tua laki-laki dan orang tua wanita berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh, karena mereka berdua telah melampiaskan syahwat (yang diharamkan). Sebagai balasan dari apa yang telah mereka usahakan. Dan sebagai satu peringatan (hukuman) dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [selesai].
Telah berkata Quthbuddin Ar-Rawandiy (w. 573) dalam kitabnya Fiqhul-Qur’aan (1/204-205) saat menjelaskan macam-macam naskh :
والثاني: كآية الرجم، فقد روي أنها كانت منزّلة "الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة فإنهما قضيا الشهوة جزاء بما كسبا نكالاً من الله والله عزيز حكيم" فرفع لفظها وبقي حكمها .
“Jenis kedua, seperti ayat rajam. Diriwayatkan bahwa ayat tersebut telah diturunkan: ‘Apabila orang tua laki-laki dan orang tua wanita berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh, karena mereka berdua telah melampiaskan syahwat (yang diharamkan). Sebagai balasan dari apa yang telah mereka usahakan. Dan sebagai satu peringatan (hukuman) dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana’ ; kemudian diangkat lafadhnya, dan tetap (berlaku) hukumnya” [selesai].
Hal senada dengan di atas juga dikatakan oleh Abu ‘Ali Al-Fadhl At-Thabrassiy dalam Majma’ul-Bayaan fii Tafsiiril-Qur’aan (1/406 – penjelasan QS. Al-Baqarah : 106), Kamaaluddin ‘Abdurrahman Al-Hilliy dalam An-Naasikh wal-Masuukh (hal. 35; Muassasah Ahlil-Bait, Beirut), dan yang lainnya.
Saya harap sedikit tulisan di atas dapat memberikan jawaban bagi rekan-rekan Syi’ah yang sangat doyan menebar syubhat. Segala puji hanya bagi Allah ta’ala. Semoga Dia senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua.
NB : Sengaja saya tidak tulisakan semua riwayat tentang rajam, ayat rajam, dan referensi-referensi Syi’ah yang berkaitan dengan rajam. Adapun tentang tulisan rekan Syi’ah kita ini, saya tidak mengomentari semua bagian tulisannya, hanya bagian-bagian tertentu saja yang saya anggap pokok untuk mempersingkat tulisan.
[Abu Al-Jauzaa’ – tengah sasi Ruwah 1430 H].
[1] Dan perlu diperhatikan bahwa kalimat qara’naahaa dalam hadits artinya : “Kami (dulu) membacanya”. Kalimat ini merupakan bentuk lampau (past tense/madliy).
[2] Setelah menyebutkan redaksi ini, rekan Syi’ah kita mengatakan :
Redaksi ini telah diyakini kequr’anannya oleh banyak sahabat dan ulama Islam, sebagaimana diriwayatkan dan dishahihkan kebenarannya oleh para ulama itu. Ia telah diabadikan dalam koleksi hadis-hadis riwayat para pembesar ulama Islam seperti Imam Bukhari, Imam Musli, Imam Ahmad Imam Malik daln selain mereka masih banyak lagi.
Perhatikan yang saya garis bawah. Redaksi ayat rajam tidaklah terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Jika dilakukan dengan tidak sengaja, maka ini satu kecerobohan sekaligus kejahilan. Dan jika dilakukan secara sengaja, maka ini satu kedustaan.
[3] Mereka adalah : Shaalih bin Kaisaan, Yuunus bin ‘Abdil-A’laa, Hasyiim, Ma’mar, Maalik, Ad-Daarimiy, ‘Abdullah bin Abi Bakr bin Hazm, ‘Aqiil, dan Sa’d bin Ibraahiim.
[4] Asy-Syaikh Al-Arna’uth telah melemahkan riwayat ini, sedangkan Asy-Syaikh Ahmad Syaakir telah menguatkannya.
[5] Kenyataannya, tidak jauh dari jaman ‘Umar telah muncul para pengingkar hukum rajam sebagaimana dijelaskan Al-Haafidh Ibnu Hajar sebagai berikut :
أي في الآية المذكورة التي نسخت تلاوتها وبقي حكمها , وقد وقع ما خشيه عمر أيضا فأنكر الرجم طائفة من الخوارج أو معظمهم وبعض المعتزلة
“Yaitu dalam ayat yang disebutkan yang telah dihapus bacaannya (tilawah-nya), namun tetap hukumnya. Dan akhirnya terjadi juga apa yang dikhawatirkan ‘Umar dimana kelompok Khawarij atau sebagian besar dari mereka, dan sebagian kelompok Mu’tazillah mengingkari syari’at hukum rajam” [Fathul-Baariy, 12/148].
[6] An-Nawawiy berkata :
وفي ترك الصحابة كتابة هذه الآية دلالة ظاهرة أن المنسوخ لا يكتب في المصحف , وفي إعلان عمر بالرجم وهو على المنبر وسكوت الصحابة وغيرهم من الحاضرين عن مخالفته بالإنكار دليل على ثبوت الرجم
“Tidak dilakukannya penulisan ayat ini oleh para shahabat merupakan petunjuk yang jelas bahwa ayat yang mansukh tidaklah ditulis dalam Mushhaf Al-Qur’an. Dan dalam pemberitahuan ‘Umar di atas mimbar mengenai hukum rajam, serta tidak adanya penyelisihan dan pengingkaran para shahabat dan selain mereka dari yang hadir terhadapnya; merupakan dalil tetapnya hukum rajam” [Syarh Shahih Muslim].
[7] Taruhlah benar tuduhan rekan Syi’ah kita ini bahwa ‘Umar berpandangan ayat rajam masih merupakan bagian dari Al-Qur’an yang berlaku (dan boleh dibaca dalam shalat); maka alasan apa yang membuat ia takut cercaan dan celaan manusia. Bukankah ia seorang khalifah yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan ? Tentu saja, dengan dua hal ini ia sanggup memaksa orang-orang untuk menulis dalam mushhaf-mushhaf dan memerintahkan para imam untuk membacanya dalam shalat berjama’ah ? Bukankah ‘Umar – menurut sisi pandang orang Syi’ah – dipandang sebagai orang yang dhalim, diktator, dan kejam ? Apakah ia masih kalah pamor dalam hal kediktatoran dengan trio Khalifah ‘Abbasiyyah (di jaman Al-Imam Ahmad bin Hanbal) yang sanggup ‘memaksakan’ ‘aqidah Mu’tazillah-nya kepada rakyat yang dipimpinnya ?
[8] Mungkin saja ia mengira bahwa syari’at hukum rajam bagi pezina muhshan itu tidak ada dalam theology Syi’ah (sehingga ia ‘menyerang’ Ahlus-Sunnah dari sisi ini). Jika memang benar dugaan ini, betapa minim pengetahuannya akan agamanya (Syi’ah) sendiri. Saya telah membaca beberapa perkataan ulama Syi’ah – diantaranya Al-Khuu’iy – yang menjelaskan hukum rajam bagi pezina muhshan dalam theology Syi’ah. Penjelasan-penjelasan ini banyak terdapat dalam beberapa referensi Syi’ah seperti Wasaailusy-Syii’ah, Al-Kaafiy, dan yang lainnya.
Comments
Posting Komentar