Kelemahan Riwayat Maalik Ad-Daar - Dialog Bagian IV (Penjelasan Atas Inkonsistensi, Tanaqudl, dan Rapuhnya Dasar Berpijak dalam Tashhih)


Telah tiba pada saya satu artikel di :
yang merupakan sanggahan terhadap tulisan saya di :
Semakin saya baca, semakin tidak mengena dan mengada-ada dalam pembelaan terhadap tashhiih riwayat Maalik Ad-Daar ini.
Dikatakan :
Saya telah memberikan penjelasan yang cukup panjang mengenai kekeliruan cacat Inqitha’ Abu Shalih dari Malik. Di sana telah saya sebutkan bahwa menurut persyaratan Imam Muslim hadis mu’anan dapat dianggap bersambung jika kedua perawi memiliki kemungkinan untuk bertemu. Argumen saya bersandar pada dua fakta penting, Abu Shalih lahir pada masa khalifah Umar dan Malik Ad Daar ternyata masih hidup pada masa khalifah Usman. Fakta ini tidak memuaskan beliau dan beliau menanggapinya dengan perkataan.
Memang Anda telah memberikan penjelasan yang cukup ‘panjang’ terhadap riwayat Maalik Ad-Daar, tapi penjelasan Anda adalah salah alamat. Kesalahan fatal yang Anda lakukan adalah tentang penerapan syarat mu’asharah (sejaman) dari Al-Imam Muslim. Memang benar beliau (Al-Imam Muslim) menetapkan syarat tersebut – yang merupakan syarat lebih ringan daripada syarat yang ditetapkan oleh Al-Imam Al-Bukhari - , namun ternyata di sini Anda berbeda di sisi dalam penerapannya. Anda telah menerapkan secara membabi buta dalam kaitannya terhadap kalimat “kemungkinan bertemu”. Dalam tulisan saya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/04/kelemahan-riwayat-maalik-ad-daar-dialog_20.html. sebenarnya telah saya paparkan perbedaan yang nyata antara yang Anda kemukakan sebelumnya dengan apa yang disebutkan para ulama terhadap syarat ‘sejaman’.  Syarat sejaman (mu’asharah) harus ditetapkan berdasarkan kepastian kemungkinan pertemuan dengan meniadakan kemungkinan sebaliknya. Dan di sini, syarat sejaman antara Abu Shaalih dan Maalik Ad-Daar yang Anda bela mati-matian itu tidak cukup menetapkan pertemuan antara keduanya karena masih bersifat kemungkinan. Oleh karena itu perkataan Anda : Abu Shalih lahir pada masa khalifah Umar dan Malik Ad Daar ternyata masih hidup pada masa khalifah Usman yang Anda kira sebagai satu hujjah ‘mematikan’ pun tidak bernilai apapun ketika masih ada kemungkinan lain yang cukup kuat bahwa Abu Shaalih lahir di akhir masa kekhalifahan ‘Umar dan Maalik Ad-Daar meninggal pada awal masa kekhalifahan ‘Utsman, sehingga dari segi usia (Abu Shaalih) tidak memungkinkan menerima periwayatan dari Maalik Ad-Daar. Penjelasan selanjutnya akan saya tuliskan bersamaan dengan komentar saya terhadap tulisan Anda yang terakhir.
O iya, sebelumnya saya katakan di sini bahwa saya hanya akan mengomentari bagian pokok-pokoknya saja. Tidak semua kalimat atau pernyataan yang disampaikan oleh @secondprince.
Dikatakan :
Makanya kalau memang tidak bisa mencari kepastian maka kita bisa mencari kemungkinan yang paling dekat secara metodis. Jika tidak ada tahun wafat kita dapat menggunakan data lain. Beliau menyajikan dua kemungkinan yaitu
  • Abu Shalih lahir di akhir pemerintahan Umar RA
  • Malik wafat di awal kekhalifahan Usman RA.
Dua kemungkinan ini tidak memiliki dasar atau qarinah yang menguatkannya, sebaliknya terdapat petunjuk yang dapat memberatkan kedua kemungkinan ini.
Dalam kitab Siyar A’lam An Nubala biografi Abu Shalih kita dapati keterangan bahwa selain Abu Shalih lahir pada masa khalifah Umar, Ad Dzahabi mengatakan bahwa Abu Shalih menyaksikan peristiwa pengepungan terhadap Usman. Kata-kata“menyaksikan” yang digunakan Dzahabi memiliki faedah bahwa pada saat itu Abu Shalih telah dewasa atau minimal memenuhi persyaratan untuk diterima kesaksiannya (sudah mencapai usia baligh).
·            Sebagaimana diketahui bahwa peristiwa pengepungan Usman RA terjadi pada tahun 35 H, dengan memanfaatkan data ini kita dapat memperkirakan kapan Abu Shalih lahir.
·            Usia baligh kita misalkan adalah 17 tahun ke atas sehingga dengan ini diketahui bahwa Abu Shalih lahir pada tahun 18 H atau sebelum itu.
·            Kekhalifah Umar berlangsung selama lebih kurang sepuluh tahun dan berakhir pada tahun 23 H. Data-data ini menyimpulkan bahwa kemungkinan Abu Shalih lahir pada masa awal atau pertengahan zaman khalifah Umar.
Kemungkinan ini lebih masuk akal dan sesuai dengan apa yang dikabarkan tentang Abu Shalih bahwa ia berumur panjang dan wafat tahun 101 H. kekhalifahan Umar dimulai tahun 13 H maka jika Abu Shalih lahir pada awal pemerintahan khalifah Umar, dia akan berumur 88 tahun, sedangkan jika ia lahir pada pertengahan kekhalifahan Umar  tahun 18 H maka, dia wafat saat berumur 73 tahun. Sehingga dengan memanfaatkan data-data ini kemungkinan yang lebih rajih adalah Abu Shalih lahir pada masa awal khalifah Umar dan paling jauh pada pertengahan masa kekhalifahan Umar.
Malik bin Iyadh adalah orang yang dipercaya oleh kedua khalifah yaitu Umar dan Usman. Kedudukannya sebagai orang yang dipercaya oleh dua khalifah ini membuat ia mendapat julukan sebagai Malik Ad Daar (hal ini sudah saya kutip dari Al Ishabah 6/274 no 8362). Tentu saja pemberian julukan adalah sesuatu yang berlangsung dalam waktu lama alias tidak terjadi dengan sekejap. Hal ini menyiratkan bahwa Malik Ad Daar melalui fase yang lama dalam kekhalifahan Usman dan menafikan kemungkinan kalau ia wafat pada awal kekhalifahan Usman. Lebih mungkin julukan Malik Ad Daar tersebar di kalangan tabiin setelah Malik melewati kekhalifahan Usman. Sebelumnya saya sudah mengutip dalam kitab Tarikh Dimasyq Ibnu Asakir 56/491 terdapat penukilan dari Muawiyah bin Salih yang berkata telah mendengar Yahya bin Ma’in mengatakan Malik Ad Daar maula Umar bin Khattab termasuk tabiin dan muhaddis Madinah. Pernyataan bahwa Malik Ad Daar adalah Muhaddis Madinah memiliki faedah bahwa beliau cukup dikenal di kalangan tabiin sebagai orang yang mengajarkan hadis dan tentu lebih bisa dimaklumi bahwa pengajaran hadis akan lebih mudah dilakukan setelah Malik tidak lagi menjabat kedudukan tertentu dalam pemerintahan (baik khalifah Umar maupun Usman). Data-data ini menunjukkan bahwa lebih mungkin Malik Ad Daar masih hidup sampai peristiwa pengepungan Usman dimana pada saat itu Abu Shalih juga sudah dewasa.
Kira-kira itulah inti sanggahan yang dituliskan oleh yang bersangkutan. Akan saya komentari mulai bagian bawah tulisan Anda.
Tarikh Maalik Ad-Daar
Dengan mengutip Taariikh Ad-Dimasyq (56/491), Anda katakan bahwa Maalik termasuk muhaddits Madinah yang dengan itu – dengan memakai logika Anda – dapat dimaklumi dengannya hanya dapat lebih mudah melakukan pengajaran hadits ketika tidak menjabat sebagai khaazin. Saya komentari :
1.      Pernyataan Anda bahwa Maalik merupakan muhaddits Madinah yang menisbatkan itu kepada Yahya bin Ma’in rahimahulah memang benar adanya. Berikut riwayat selengkapnya dalam kitab Taariikh Ad-Dimasyq yang saya miliki (56/491 – Daarul-Fikr, Cet. 1/1418) :
أَخْبَرَنَا أَبُو الْبَرَكَات بن المبارك، أنا أَبو طاهر الباقلاني، أنا يوسف بن رباح، أَنا أَبو بكر المهندس، أنا أبو بشر الدولابي، نَا معاوية بن صالح قال : سمعت يَحْيٰى بن معين يقول في تسمية تابعي أهل المدينة ومحدِّثيهم : مَالِك الدَّار مَوْلَى عُمَر بن الخطّاب.
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Barakaat bn Al-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir Al-Baaqilaaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Yusuf bin Rabbaah : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Al-Muhandis : Telah mengkahabrkan kepada kami Abu Bisyr Ad-Daulabiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Mu’awiyyah bin Shaalih, ia berkata : Aku mendengar Yahya bin Ma’iin berkata tentang penamaan tabi’iy Ahlul-Madinah dan ‘muhaddits’ mereka : Maalik Ad-Daar maula ‘Umar bin Al-Khaththab [selesai].
Anda memberikan logika bahwa sebutan muhaddits bagi Maalik yang disebutkan oleh Yahya bin Ma’in berkonsekuensi bahwa ia memberikan pengajaran hadits – dimana aktifitas ini lebih leluasa dilakukan, menurut Anda, jika tidak menjabat sebagai khaazin. Tentu saja, maksud perkataan ‘pengajaran hadits’ ini ingin diarahkan pada aktifitas mengadakah halaqah-halaqah pengajaran di masjid.
Saya katakan : Ini adalah satu kekeliruan. Makna muhaddits yang disebutkan para ulama hadits terdahulu tidaklah selalu bermakna orang yang memberikan pengajaran dalam halaqah-halaqah. Tapi ia lebih ke makna umum, yaitu orang yang mempunyai riwayat-riwayat hadits. Kalau Anda ingin mengarahkan pada makna bahwa Maalik ini setelah meletakkan jabatannya melakukan pengajaran hadits dalam bentuk halaqah-halaqah[1], tentu sudah lazim hal ini akan berkonsekuensi akan ternukil banyak darinya riwayat-riwayat hadits yang disampaikan oleh murid-muridnya. Contoh ulama yang membuka halaqah di sini adalah ‘Atha’ bin Abi Rabbah, Sufyan Ats-Tsauri, Maalik bin Anas, dan yang semisalnya; dimana dari mereka ternukil banyak riwayat. Namun hal itu tidak terjadi pada diri Maalik. Maalik Ad-Daar ini – sebagaimana Anda ketahui, semoga - termasuk perawi yang tidak banyak meriwayatkan dan diriwayatkan darinya hadits. Lalu, kemana murid-murid yang menghadiri halaqahnya pada waktu itu ? Atau memang hanya Abu Shaalih, Ibnu Yarbu’, dan dua orang anaknya saja yang meriwayatkan hadits darinya ? Kalau kenyataan hanya sejumlah orang ini[2], maka logika yang cepat diterima bahwa Maalik ini tidak mempunyai halaqah penyampaian hadits seperti ‘Atha’ atau Sufyan Ats-Tsauri sebagaimana yang Anda klaim. Atau Anda nanti ingin menyebutkan riwayat-riwayat yang dibawakan oleh Maalik ? silakan, dengan senang hati saya akan memperhatikannya……
Sebagai catatan selingan : Anda tentu kenal Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah. Banyak sanjungan ulama tentangnya. Tidak diragukan lagi bahwa ia seorang yang tsiqah, dan juga seorang muhaddits, baik sebelum ia menduduki tampuk kekhalifahan ataupun sesudahnya. Ia telah meriwayatkan sejumlah hadits kalangan shahabat, dan darinya diriwayatkan oleh banyak tabi’in. Saya harap Anda tidak berkilah bahwa muhaddits yang disematkan kepada ‘Umar adalah sebelum menjabat tampuk kekhalifahan. Bahkan saya katakan : berbagai sanjungan dan pujian itu justru diberikan ketika ia menjabat tampuk kekhalifahan karena kelurusan ‘aqidah, kezuhudan, dan perhatiannya terhadap ilmu (hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam). [baca selengkapnya : Siiratu wa Manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz oleh Al-Haafidh Ibnul-Jauziy, ta’liq : Na’iim Zarzuur; Daarul-Kutub, Cet. 1/1404, Beirut – 358 halaman].
Contoh lain banyak, yaitu para ulama atau perawi (yang disebut muhadits) yang tidak diketahui mempunyai halaqah-halaqah pengajaran hadits.
Oleh karena itu, muhaddits di sini maknanya adalah umum sebagaimana yang telah saya tegaskan. Tidak perlu ia seorang yang membuka halaqah-halaqah khusus, sehingga harus ‘lengser’ dulu dari jabatan khaazin. Kalaupun toh hal itu tetap ‘dipaksa’ untuk dipahami bahwa Maalik seorang ahli hadits yang mempunyai halaqah tersendiri di masjid, itupun tidak mesti ia harus tidak menjabat sebagai khaazin.
Logika-logika yang Anda bangun atas taariikh Maalik Ad-Daar ini hanyalah berdasarkan ilmu kirologi (alias kira-kira saja) karena hasrat besar untuk men-tashhih-kan riwayat, namun tanpa landasan yang kokoh.
2.      Klaim Anda bahwasannya Maalik Ad-Daar ‘lebih mungkin’ hidup dan menyaksikan pengepungan ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhu, ini jelas lebih tidak mempunyai dasar.
Boleh-boleh saja Anda mengatakan mungkin. Namun dalam saat yang sama jika ada yang mengatakan bahwa Maalik Ad-Daar tidak sampai hidup dalam peristiwa pengepungan ‘Utsman, maka ini mempunyai kekuatan yang sama atas ‘kemungkinan’ yang Anda tawarkan. Sama-sama tidak punya data – atau dengan kata lain : Tidak bisa di-tarjih.
3.      Klaim Anda bahwa ia dijuluki sebagai Maalik ‘Ad-Daar’ ketika ‘Utsman bin ‘Affan menjabat yang dengan itu berarti ia menjabat lama di masa ‘Utsman; ini juga tidak bisa sekonyong-konyong dibenarkan. Apa yang terdapat dalam Al-Ishaabah pun juga ternukil dalam Taariikh Ad-Dimasyq (56/491).
Logika ini pun juga sangat-sangat dipaksakan. Julukan tersebut diberikan saat ‘Utsman berkuasa karena memang Maalik ini telah lama memegang jabatan serupa sebagai semenjak jaman ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhuma. Bahkan Anda sendiri yang mengatakan di tulisan Anda sebelumnya : Telah disebutkan bahwa Abu Shalih lahir pada masa khalifah Umar dan Malik Ad Daar seperti yang disebutkan dalam Al Ishabah 6/274 no 8362 telah dipercaya oleh kedua khalifah yaitu khalifah Umar RA dan khalifah Utsman RA sehingga ia dinamakan Malik Ad Daar (nama sebenarnya adalah Malik bin Iyadh dan gelar tersebut didapat setelah ia dipercaya oleh kedua khalifah tersebut, berdasarkan kutipan Abu Ubaidah).. Perhatikan tulisan Anda sendiri (khususnya yang saya garis bawah) !
Apakah maksud kalimat Anda : sesuatu yang berlangsung dalam waktu lama alias tidak terjadi dengan sekejap hanya Anda khususkan untuk masa ‘Utsman saja, tidak meliputi masa ‘Umar ? Sungguh tanaqudl hujjah Anda ! Sekali lagi saya katakan : Penamaan Maalik ‘Ad-Daar’ ketika ‘Utsman naik tahta itu karena ia telah menjabat hal yang sama semenjak jaman ‘Umar. Selain dari referensi yang dapat saya tengok (Al-Ishaabah dan Taarikh Ad-Dimasyq), ini disimpulkan secara mudah berdasarkan perkataan Anda sendiri.
Mudah sebenarnya logika ini, tapi entah mengapa menjadi sulit ketika Anda yang menuliskannya……
Taariikh Abu Shaalih As-Sammaan
1.      Anda mengutip dalam kitab Siyaru A’laamin-Nubalaa’ bahwasannya Abu Shalih menyaksikan peristiwa pengepungan terhadap Utsman radliyallaahu ‘anhu. Persisnya, inilah kalimat yang dikatakan oleh Adz-Dzahabi rahimahullah (5/36:
ولد في خلافة عمر، وشهد فيما بلغنا - يوم الدار، وحصر عثمان،
“Lahir pada masa kekhilafahan ‘Umar, ia menyaksikan – dari apa (khabar) yang sampai kepada kamiyaumud-daar dan pengepungan ‘Utsman” [selesai].
Di sini ternyata Anda tidak konsisten dalam berhujjah. Ketika Anda mengkritik saya ketika menggunakan perkataan Al-Khaliliy – dalam bahasan bahwa ada dua pendapat tentang riwayat Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar - dengan menggunakan shighah : yuqaalau (dikatakan), dimana Anda mengatakan : Al Khalili tidak menyebutkan dengan jelas siapa yang mengatakan. Namun anehnya di sini Anda menggunakan pernyataan Adz-Dzahabi yang menggunakan shighah yang serupa : “dari apa yang sampai kepada kami”. Apakah Anda pikir perkataan Adz-Dzahabi ini jelas siapa yang mengatakan, sedangkan perkataan Al-Khaliliy itu tidak jelas siapa yang mengatakannya ? Sebuah inkonsistensi yang sangat nyata.
2.      Taruhlah kita terima pendalilan Anda terhadap perkataan Adz-Dzahabi  di atas….. kemudian Anda mencoba membuat logika-logika bahwa dengan berpijak pada tahun pengepungan ‘Utsman adalah 35 H, maka diperkirakan usia Abu Shaalih waktu itu 17 tahun ke atas sesuai dengan definisi baligh menurut Anda. Dikarenakan ‘Umar terbunuh tahun 23 H, maka diperkirakan Abu Shaalih lahir minimal di pertengahan masa kekhilafahan ‘Umar.
Saya coba ajak Pembaca sekalian untuk lebih jeli memahami sekaligus mengkritisi logika-logika yang hendak disodorkan oleh @secondprince.
a.    Definisi baligh.
Tanda-tanda baligh untuk laki-laki antara lain adalah :
ü  Ihtilam, yaitu keluarnya mani baik karena mimpi atau karena lainnya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala :
وَإِذَا بَلَغَ الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
”Dan apabila anak-anakmu telah sampai ”hulm” (ihtilaam/umur baligh), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin” [QS. An-Nuur : 59].
Dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
حفظت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يتم بعد احتلام ولا صمات يوم إلى الليل
”Aku hafal (perkataan) dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : Tidak (dinamakan) yatim bila telah ihtilam dan tidak boleh diam seharian hinga malam” [HR. Abu Dawud 2873; shahih].
Dari Ali juga dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل
”Diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang : orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal” [HR. Abu Dawud no. 4403 dan At-Tirmidzi no. 1423; shahih].
ü  Tumbuhnya Rambut Kemaluan. Dalilnya adalah :
عن عطية القرظي قال : عرضنا على النبي صلى الله عليه وسلم يوم قريظة فكان من أنبت قتل ومن لم ينبت خلي سبيله فكنت ممن لم ينبت فخلي سبيلي
Dari ‘Athiyyah ia berkata : “Kami dihadapkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pada hari Quraidhah (peristiwa pengkhianatan Bani Quraidhah), di situ orang yang sudah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh maka aku dibiarkan” [HR. At-Tirmidzi no. 1584, An-Nasa’i no. 3429, dan yang lainnya; shahih].
Dari Samurah bin Jundub bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اقتلوا شيوخ المشركين واستبقوا شرخهم
”Bunuhlah orang-orang tua dari kalangan kaum musyrikiin dan biarkanlah syark”. [Abu Dawud no. 2670  dan At-Tirmidzi no. 1583; dla’if]. Syarkh adalah anak-anak yang belum tumbuh bulu kemaluannya.
Dua dalil di atas menunjukkan bahwa tumbuhnya rambut kemaluan adalah tanda balighnya seseorang, sebagai tanda juga bagi anak-anak kaum muslimin dan orang-orang kafir; dan menunjukkan juga bolehnya melihat aurat orang lain bila diperlukan untuk mengetahui baligh dan tidaknya seseorang serta untuk lainnya [lihat Tuhfatul-Maulud bi Ahkaamil-Maulud oleh Ibnul-Qayyim hal. 210].
ü  Ketika Ia Mencapai Usia Lima Belas Tahun. Dalilnya adalah riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma bahwasannya ketika umur 14 tahun ia ingin ikut serta dalam perang Uhud namun tidak diijinkan, dan baru setahun kemudian (usia 15 tahun) ia diijinkan untuk ikut perang Khandaq.
Mengenai batas usia ini, banyak pendapat yang ternukil dari kalangan ulama.[3] Namun mereka sepakat bahwa laki-laki telah dinamakan baligh apabila ia telah ihtilam walaupun ia belum sampai pada batas umur yang mereka tetapkan.
Taruhlah kita gunakan usia 15 tahun. Bukankah dengan batasan ini berarti bisa jadi Abu Shaalih lahir pada tahun 20 H ? Jika Maalik wafat di awal-awal pemerintahan ‘Utsman, maka bisa jadi Abu Shaalih ketika itu baru berusia 4 atau 5 tahun. Ini satu kemungkinan.
Atau kita gunakan batas masa ihtilaam atau tumbuhnya rambut kemaluan dimana ini sangat bervariasi antara seseorang dengan orang yang lainnya. Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata,”Untuk waktu ihtilaam tidak ada batas umurnya, bahkan anak-anak yang berusia dua belas tahun bisa ihtilaam.  Ada juga yang sampai lima belas tahun, enam belas tahun, dan seterusnya namun belum ihtilaam”.
Maka, jika kita permisalkan usia ihtilaam Abu Shaalih adalah 13 tahun, maka ia lahir pada tahun 22 H, satu tahun sebelum ‘Umar bin Al-Khaththab terbunuh/syahid. Konsekuensinya, jika Maalik Ad-Daar wafat pada awal pemerintahan ‘Utsman, maka usia Abu Shaalih pada waktu itu bisa jadi baru 2-4 tahun.
Jika memang terbuka kemungkinan tersebut, apakah bisa disebut bahwa riwayat Abu Shaalih yang ia ambil dari Maalik Ad-Daar itu muttashil ? Apakah anak 3 tahun bisa dianggap dalam penerimaan hadits ?. Think clearly pall……
3.      Perkataan Anda : Kata-kata“menyaksikan” yang digunakan Dzahabi memiliki faedah bahwa pada saat itu Abu Shalih telah dewasa atau minimal memenuhi persyaratan untuk diterima kesaksiannya (sudah mencapai usia baligh) ; ini juga masih wajib untuk mendapatkan kritikan. Dalam ilmu hadits (mushthalah), telah sangat dikenal pembahasan kapan seorang anak kecil diperkenankan menerima hadits. Dr. Mahmud Ath-Thahhaan memberikan penjelasan sebagai berikut :
هل لصحة سماع الصغير سن معينة ؟
أ) حدد بعض العلماء ذلك بخمس سنين، وعليه استقر العمل بين أهل الحديث.
ب) وقل بعضهم: الصواب اعتبار التمييز، فان فَهِمَ الخطاب، ورَدَّ الجواب، كان مُمَيَّزا ً صحيح السمع وإلا فلا.
“Apakah ada ketentuan umur tertentu bagi keshahihan penyimakan hadits seorang anak kecil ?
a)    Sebagian ulama menentukan usia adalah mulai 5 tahun. Inilah yang ditetapkan oleh oleh para ahli hadits.
b)    Sebagian di antara mereka berkata : Yang benar adalah usia mumayyiz. Jika seorang anak telah mengerti pembicaraan dan bisa menjawabnya, maka ia sudah mumayyiz dan penyimakan haditsnya shahih. Jika hal itu tidak dijumpai pada seorang anak, maka tidak shahih” [Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Dr. Mahmud Ath-Thahhan, hal. 122].
Perlu Anda ketahui bahwa tidak dipersyaratkan usia baligh ketika mendengarkan hadits. Namun yang dipersyaratkan usia baligh adalah ketika menyampaikan, sebagaimana terdapat dalam banyak hadits [lihat Mabaahits fii ‘Uluumil-Hadiits oleh Prof. Dr. Manna Al-Qaththan rahimahullah]. Contohnya :
Dari ’Abdullah bin ’Abbas radliyallaahu ’anhuma ia berkata :
بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا فِي لَيْلَتِهَا فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ إلى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ ثُمَّ قَالَ نَامَ الْغُلَيِّمُ أَوْ كَلِمَةٌُ تُشْبِهُهَا ثُمَّ قَامَ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِيْنِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيْطَهُ أَوْ خَطِيْطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلى الصَّلاةِ
”Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah bin Al-Harits, istri Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam; dan ketika itu beliau berada di rumah bibi saya itu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat ‘Isya’ (di masjid), kemudian beliau pulang, lalu beliau mengerjakan shalat sunnah empat raka’at. Setelah itu beliau tidur, lalu beliau bangun dan bertanya : “Apakah anak laki-laki itu (Ibnu ‘Abbas) sudah tidur ?”  atau beliau mengucapkan kalimat yang semakna dengan itu. Kemudian beliau berdiri untuk melakukan shalat, lalu aku berdiri di sebelah kiri beliau untuk bermakmum. Akan tetapi kemudian beliau menjadikanku berposisi di sebelah kanan beliau. Beliau shalat lima raka’at, kemudian shalat lagi dua raka’at, kemudian beliau tidur. Aku mendengar suara dengkurannya yang samar-samar. Tidak berapa lama kemudian beliau bangun, lalu pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat shubuh” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Peristiwa di atas dialami dan disaksikan ketika Ibnu ‘Abas radliyallaahu ‘anhuma masih kecil. Terlihat dari pertanyaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut :  “Apakah anak laki-laki itu (Ibnu ‘Abbas) sudah tidur ?” (نَامَ الْغُلَيِّمُ). Kemudian Ibnu ‘Abbas menyampaikannya apa yang ia alami/saksikan tersebut ketika ia telah dewasa.
Contoh lain :
عن عبد الله بن جعفر قال كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا قدم من سفر تلقى بنا قال فتلقى بي وبالحسن أو بالحسين قال فحمل أحدنا بين يديه والآخر خلفه حتى دخلنا المدينة
Dari ‘Abdullah bin Ja’far ia berkata : “Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dari bepergian, beliau biasanya menemui kami. Beliau menemuiku, Al-Hasan, dan Al-Husain, lalu beliau menggendong salah seorang di antara kami dengan kedua tangan beliau, dan kami yang lain di punggung beliau, hingga kami memasuki Madinah” [HR. Muslim].
Lazimnya, anak yang bisa digendong itu maksimal berusia 7 tahun-an.
Bahasan ini perlu saya angkat untuk menghilangkan kecondongan atau kesan yang coba Anda berikan – tanpa dasar – bahwa kata-kata menyaksikan menunjukkan bahwa Abu Shaalih ketika menyaksikan hari-hari terakhir ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhu telah berusia dewasa (baligh) – 17 tahun lebih. Padahal para ulama telah menjelaskan – berdasarkan hujjah riwayat yang shahih – bahwa menerima hadits atau menyaksikan/menceritakan satu peristiwa tidaklah selalu menunjukkan si pelaku telah dewasa. Bisa jadi ia masih kecil sebagaimana dapat Anda saksikan dalam dua hadits yang saya contohkan.
Maka, sangat terbuka kemungkinan dalam hal ini bahwa Abu Shaalih saat menyaksikan peristiwa pengepungan di rumah ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhu masih berusia 13-14 tahun. Tidak harus selalu dibawa kepada kecondongan 17 tahun ke atas (agar sesuai dengan otak-atik Anda).
Tidak bijak kiranya Anda membuat talbis bagi para Pembaca artikel Anda yang rata-rata tidak memahami ilmu riwayat (mohon maaf) untuk mengesankan ‘usia dewasa’ terhadap Abu Shaalih.
Apakah kemudian apabila Abu Shaalih As-Sammaan lahir tahun 21 atau 22 H (setahun atau dua tahun sebelum wafatnya ‘Umar) yang berarti pada tahun 101 H ia berusia 79 atau 80 tahun bukan umur yang panjang pula ? Seseorang dikatakan berumur panjang itu jika ia telah melewati umur wafat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (63 tahun).
Ingat, ini satu hal yang sangat mungkin muncul dalam pembahasan tarikh Maalik Ad-Daar dan Abu Shaalih rahimahumallah.
Anda katakan :
Keduanya baik mudltharib dan mukhtalith ditetapkan dengan data-data yang ada bukan dengan kemungkinan, misalnya soal mudltharib pada sanad, kita temukan dalam satu hadis yang sama sanad-sanad yang berlainan seperti berikut
……….
……….
Mengenai ulasan Anda tentang mudltharib dan mukhthalith, ternyata memang benar dugaan saya bahwa Anda memang tidak bisa menangkap hal esensial dari kedua hal tersebut sehubungan dengan bahasan ini. Saya tidak ingin berpanjang lebar mengomentari kalimat demi kalimat beserta contoh yang Anda tulis. Saya hanya akan sedikit mengulangi kalimat saya yang nukil dari perkataan Ibnu Shalah terdahulu :
والحكم فيهم أنه يقبل حديث من أخذ عنهم قبل الاختلاط ولا يقبل حديث من أخذ عنهم بعد الاختلاط أو أشكل أمره فلم يدر هل أخذ عنه قبل الاختلاط أو بعده
“Hukum tentang mereka (orang-orang yang tercampur hafalannya) adalah bahwa hadits yang diriwayatkan dari mereka sebelum tercampur hafalannya, maka dapat diterima. Tetapi tidak dapat diterima hadits yang diriwayatkan dari mereka setelah tercampur hafalannya. Atau persoalannya menjadi musykil (sulit), lalu tidak diketahui apakah diriwayatkan sebelum ataukah setelah tercampurnya hafalan mereka itu” [‘Uluumul-Hadiits, hal. 352, tahqiq : Nuuruddin ‘Ithr, Al-Maktabah Al-‘Ilmiyyah].
Terkait dengan hal tersebut, maka di sini persoalannya menjadi musykil, karena tidak diketahui secara pasti apakah Abu Shaalih benar-benar semasa sekaligus memungkinkan bertemu dengan Maalik Ad-Daar. Adapun teori-teori dan logika-logika Anda di atas sama sekali tidak berdasar apapun kecuali hanya kecondongan yang telah ada pada diri Anda sebelumnya. Padahal kemungkinan antara bertemu dan tidak bertemu di sini sama kuatnya, tidak bisa ditarjih. Ini satu ‘illat dalam hadits, sama halnya ‘illat yang diisyaratkan oleh Ibnu Shalaah mengenai para perawi mukhtalithiin.
Anda katakan :
Cara berpikir anda yang terlalu ketat dimana saya mempersepsi hal tersebut sebagai cara untuk mencari-cari kelemahan merupakan langkah yang tidak bijaksana dalam menilai hadis.
Ini bukan persoalan sok ketat atau sok longgar. Tapi bagaimana memahami kaidah-kaidah ilmu hadits yang pada kenyataannya Anda telah banyak melakukan kekeliruan di dalamnya. Menerapkan secara membabi-buta persyaratan ‘sejaman’ dari Al-Imam Muslim.
Perhatikan poinnya
1.      Hadis Abu Shalih dengan lafal ‘an dari Malik dimana Abu Shalih bukan mudallis
2.      Ada kemungkinan Abu Shalih mendengar dari Malik
3.      Ada kemungkinan Abu Shalih mengirsalkan dari Malik
Dengan ketiga poin di atas sudah jelas kemungkinan yang lebih rajih adalah penyimakan Abu Shalih dari Malik yang ditetapkan oleh poin 1 dan 2. Tidak pada tempatnya anda mengatakan kalau hadis lafal an bisa saja mursal, karena mursal ditetapkan atas perkataan ulama yang mu’tabar sedangkan dalam kasus hadis Malik tidak ada penegasan ulama mu’tabar yang dimaksud.
……
Jika penyimakan tidak bisa dipastikan maka hadis lafal an oleh perawi tsiqat bukan mudallis adalah muttasil kecuali anda bisa membuktikan kemursalannya dengan menunjukkan melalui
1.    Tidak mungkin adanya pertemuan dengan analisis tahun lahir dan wafat
2.    Pengutipan Ulama mu’tabar bahwa terjadi inqitha’
Perajihan yang tanpa dasar. Ingat,… satu sanad riwayat hadits itu pada asalnya dihukumi munqathi’. Ia baru dihukumi muttashil jika memenuhi syarat yang telah ditetapkan, termasuk persyaratan sejaman. Kaidah ini jangan dibolak-balik, bahwa saya yang harus membuktikan bahwa itu adalah munqathi’/mursal. Logika argumen Anda ini cukup aneh. Oleh karena itu, ketika para ulama menetapkan beberapa persyaratan satu hadits dikatakan shahih, maka kewajiban bagi para peneliti untuk membuktikan persyaratan tersebut pada hadits dimaksud. Jika tidak memenuhi syarat, maka kembali ke hukum asal : tidak shahih (dla’if). Jika berhubungan dengan kebersambungan sanad, hukum asalnya : tidak bersambung/munqathi’ (jika tidak bisa dibuktikan bersambungnya sanad). Anda harus banyak memperhatikan para perkataan para muhaqqiq tentang ini.
Al-Khaliliy telah mengatakan bahwa para ulama di masanya mengatakan bahwa Abu Shaalih telah mengirsalkan hadits dari Maalik dan yang lain mengatakan sima’-nya. Tugas Anda adalah membuktikan bahwa Abu Shaalih benar-benar mendapatkan sima’-nya dari Maalik Ad-Daar. (Padahal di sisi lain, kemunkinan inqitha’ itu ada – dan sangat besar). Atau kalau tidak, jika Anda mengklaim semasa, maka buktikanlah secara pasti bahwa ia benar-benar semasa dan mungkin bertemu dengan Maalik yang bersamaan itu meniadakan kemungkinan yang berlawanan (yang menyebabkan sanad itu mursal/munqathi’). Jika pembuktian Anda tidak valid (dan memang begitulah keadaannya), maka riwayat Abu Shaalih dari Maalik ini dihukumi mursal/munqathi’. Pahamkah Anda ?
Pada keterangan di atas, juga pada keterangan sebelumnya, alasan-alasan Anda itu gak ada yang ‘kena’. Perkiraan di atas perkiraan. Pengandai-andaian di atas pengandai-andaian.
Perkataan Anda : Tidak pada tempatnya anda mengatakan kalau hadis lafal an bisa saja mursal, karena mursal ditetapkan atas perkataan ulama yang mu’tabar sedangkan dalam kasus hadis Malik tidak ada penegasan ulama mu’tabar yang dimaksud ; sudah saya katakan berulang kali – sampai bosan – bahwa irsal itu tidak hanya berasal dari perkataan ulama mu’tabar, melainkan juga pada penelitian taariikh. Tidak ada orang yang ngotot dengan pernyataan ini kecuali mereka yang memang malas untuk menelaah kitab para ulama. Dulu saya pernah menganjurkan untuk membaca kitab : Jaami’ut-Tahshiil fii Ahkaamil-Maraasiil tulisan Al-Haafidh Shalaahuddin Abu Sa’iid bin Khaliil Al-‘Alaaiy (- yang saya punya : tahqiq : Hamdiy bin ‘Abdil-Majiid As-Salafiy, Penerbit  ‘Aalamul-Kutub, Cet. 2/1407). Jika Anda telah membacanya, insya Allah Anda akan mengetahui kesalahan perkataan Anda di atas.
Anda katakan :
Sepertinya yang anda permasalahkan adalah cetak tebal kedua yaitu atau tidak adanya kemungkinan bertemu dikarenakan usia belia seorang perawi yang tidak memungkinkannya menerima periwayatan. Di sini anda kemudian bertanya  Adakah kemungkinan bahwa Abu Shaalih tidak bertemu dengan Maalik Ad-Daar dikarenakan usianya yang belum mencukupi untuk menerima periwayatan?. Bagi orang yang kritis pertanyaan anda dan hujjah cetak tebal anda itu tidak nyambung, ada perbedaan besar di antara keduanya. Kata yang anda cetak tebal menunjukkan tidak ada pertemuan karena usia perawi yang tidak memungkinkan, artinya kita memiliki data yang pasti bahwa usia perawi tersebut memang tidak memungkinkan. Pertanyaan anda justru adakah kemungkinan usia Abu Shalih belum cukup sehingga mungkin Abu Shalih tidak bertemu?. Yang anda cetak tebal adalah kemungkinan tidak bertemu dengan dasar data yang valid mengenai usia sedangkan pertanyaan anda dalam kasus hadis Malik adalah kemungkinan tidak bertemu karena mungkin usia Abu Shalih tidak mencukupi (karena tidak ada data valid soal usia). Mungkin karena mungkin, bisakah anda melihat kalau anda terburu-buru dalam berhujjah.
Kritik Anda saya terima, karena setelah saya cek ulang, memang ada kalimat yang keliru dalam tulisan saya tersebut. Di situ saya menulis :
Sekarang saya tanya ulang kepada Anda : “Adakah kemungkinan bahwa Abu Shaalih tidak bertemu dengan Maalik Ad-Daar dikarenakan usianya yang belum mencukupi untuk menerima periwayatan ?”.
Seharusnya, kata “tidak” dalam kalimat di atas tidak ada. Sehingga kalimat yang benar adalah :
“Sekarang saya tanya ulang kepada Anda : Adakah kemungkinan bahwa Abu Shaalih bertemu dengan Maalik Ad-Daar dikarenakan usianya yang belum mencukupi untuk menerima periwayatan ?”.
Sudah saya ubah. Perubahan ini tidak terlalu esensial dalam inti sanggahan, karena ini murni karena adanya kekeliruan dalam penambahan sisipan kata “tidak”.
[Sudah saya perbaiki tulisan saya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/04/kelemahan-riwayat-maalik-ad-daar-dialog_20.html., Anda dapat menengoknya. Perubahan itu saya warnai dengan warna biru. Selain itu, saya tambahkan sedikit tambahan setelahnya untuk memperjelas agar tidak menimbulkan salah persepsi lagi akibat sisipan kata “tidak” tadi. Sedikit tambahan kalimat ini juga saya warnai dengan warna biru. Harap Anda perhatikan ini].
Perhatikan kembali perkataan Abu ‘Umar Al-‘Utaibiy :
الثالث: إن كان الراوي عاصر شيخه ؛ فينظر : هل لقيه أم لم يلقه أم لا يعرف ذلك ؟
فإن لم يلقه فالسند منقطع .
وإن لم يعرف فالأصل في الراويين المتعاصرين اللقيا والسماع ما لم توجد قرينة على عدم السماع كنص إمام معتبر ، أو عدم إمكان اللقِيّ لصغر سن راو لا يمكنه التحمل فيه ، أو اختلاف بلد مع التباعد وعدم الرحلة.
“3).  Apabila seorang perawi sejaman dengan syaikhnya maka diperiksa, apakah ia bertemu dengannya ataukah tidak diketahui pernah bertemu? Apabila diketahui ia tidak bertemu syaikhnya maka sanadnya munqathi’.
Dan apabila tidak diketahui bertemunya, maka hukum asal dua perawi yang sejaman adalah bertemu dan mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan sima’ seperti ditegaskan oleh imam mu’tabar, atau tidak adanya kemungkinan bertemu dikarenakan usia belia seorang perawi yang tidak memungkinkannya menerima periwayatan, atau perbedaan negeri yang jauh dan tidak adanya rihlah (bepergian untuk mencari hadits)” [selesai].
Bukankah dengan bahasa sederhana yang lain dapat dikatakan :
“Satu hadits dikatakan munqathi’ apabila masih ada indikasi bertemunya perawi karena faktor terlalu mudanya usia sehingga tidak mungkin menerima periwayatan”.
Atau kita ambil mafhum lain yang dapat diperoleh :
“Selama masih ada kemungkinan bertemu dikarenakan usia belia seorang perawi yang tidak memungkinkannya menerima periwayatan, maka hukumnya adalah tidak bertemu”.
Jadi yang dijadikan titik kritis syarat muttashil sejaman di sini adalah kalimat : “jika tidak ada kemungkinan bertemu karena usia belia”. Namun jika ‘masih ada kemungkinan bertemu karena usia belia (yang tidak mungkin menerima periwayatan)’ ; maka hukumnya adalah tidak bertemu alias munqathi’.
Saya harap Anda tidak terlalu kesulitan memahami kaidah tersebut ? Jika Anda tidak merasa puas dengan terjemahan yang tersaji di atas, silakan Anda perhatikan teks asli bahasa Arabnya.
Jika demikian, apanya yang tidak nyambung ? Bukankah indikasi tidak bertemunya Abu Shaalih dengan Maalik itu ada ? Tepatnya : Ada kemungkinan Abu Shalih tidak mendengar dari Maalik.
Secara global kita katakan bahwa ada dua kemungkinan : Mungkin bertemu, mungkin pula tidak bertemu. Ya karena dua kemungkinan ada, dan Anda tidak bisa memberikan tarjih yang valid akan kemuttashilannya, maka kembali ke hukum asal : munqathi’. Sangat sesuai dengan inti kaidah di atas. Inilah yang namanya ‘illat ketika dua kemungkinan tidak bisa ditarjih. Jangan Anda berlogika terbalik dengan mengatakan : Kembali ke hukum asal, yaitu muttashil. Dengan dasar apa Anda hukumi sanad tersebut adalah muttashil ? Maksimal yang dapat Anda katakan adalah : “Sanad hadits tersebut ‘mungkin’ muttashil”. Tapi apa ada ya penghukuman hadits : ‘mungkin’ mutattashil ? Jika ada, tentu cukup menggelikan.
Atau Anda ingin mengatakan bahwa hukum perawi tsiqah non-mudallis adalah muttashil (sebagaimana yang ingin Anda kesankan berulangkali) ? Sebagaimana perkataan Anda : “Karena dalam hal ini telah ditetapkan bahwa hadis lafal an dari perawi tsiqat bukan mudallis adalah muttasil jika tidak ada keterangan yang membatalkannya”. Dari mana Anda dapatkan kaidah ini ? Asli, saya pingin tahu itu…… Tsiqah dalam hadits shahih adalah satu persyaratan, dan muttashil adalah persyaratan yang lain. Jadi gak ada hubungannya bahwa riwayat perawi tsiqah yang bukan mudallis itu hukum asalnya adalah muttashil. Padahal lazim diketahui bahwa banyak perawi tsiqah yang bukan mudallis itu mengirsalkan hadits. Apalagi dalam pembahasan hadits mu’an’an disebutkan syarat sebagai hadits shahih bila :
1.      Hadits mu’an’an itu bukan termasuk hadits mudallas.
2.      Adanya kemungkinan mereka untuk saling bertemu karena sejaman.
3.      Kepastian bertemunya (secara langsung minimal sekali) dan/atau adanya penetapan simaa’ secara umum. Ini merupakan pendapat Al-Bukhari, Ibnul-Madini, dan para muhaqqiq.
4.      Lamanya pershahabatan. Ini adalah pendapat Abu Mudhaffar As-Sam’aniy.
5.      Mengetahui apa yang diriwayatkan. Ini merupakan pendapat Abu ‘Amru Ad-Daaniy.
[Dua persyaratan pertama adalah ijma’; sedangkan tiga persyaratan terakhir yang merupakan tambahan dari dua syarat pertama, para ulama masih berselisih pendapat. Ada bahasan ringkas, padat, dan cukup bagus mengenai penghukuman hadits mu’an’an beserta syart-syaratnya pada sebuah kitab yang berjudul Al-Hadiits Ash-Shahiih wa Manhaju ‘Ulamaa Al-Muslimiin fit-Tashhiih oleh ‘Abdul-Kariim bin Isma’il Ash-Shabbaah, tepatnya pada halaman 134-140; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1419 H].
Maka, perawi tsiqah tersebut harus dilihat periwayatannya, apakah memenuhi persyaratan tersebut apa tidak. Jika tidak, maka kembali ke hukum asal, yaitu dla’if (munqathi’). Sekali lagi – untuk mengingatkan kerusakan logika berpikir Anda – kaidahnya jangan dibalik-balik ya……
Dari sini saja sudah diketahui bahwa persyaratan kemungkinan bertemu tidak bisa ditetapkan karena kemungkinan ini masih bersifat kemungkinan. Kemungkinan di atas kemungkinan. Mungkin bertemu, mungkin juga tidak. Persyaratan kemungkinan pertemuan wajib dipastikan terlebih dahulu dengan adanya faktor ‘sejaman’, seperti halnya Rasyiid bin Sa’d sudah pasti sejaman Tsauban selama 18 tahun, tanpa ada kemungkinan lain. Nah, kalau Abu Shaalih dengan Maalik ? Sekali lagi : Mungkin bertemu, mungkin juga tidak. Kesimpulannya : Sanadnya ‘mungkin’ muttashil. Inilah yang saya katakan bahwa Anda telah menerapkan syarat sejaman atas kemungkinan bertemu antara dua perawi secara membabi-buta.
Mungkin ini saja yang dapat saya tuliskan, mohon maaf jika banyak terjadi pengulangan yang sudah pasti agak membosankan, karena tulisan Anda seringkali mengharuskan adanya pengulangan tersebut.

Abul-Jauzaa’.


[1]     Apalagi Anda tidak secuilpun membawakan data bahwa Maalik meletakkan jabatannya dan kemudian melakukan pengajaran dalam halaqah-halaqah – melainkan hanya perkiraan semata (ilmu kirologi ?).
[2]     Apalagi diantara keempat orang ini, dua di antaranya adalah anaknya sendiri yang otomatis ‘orang luar’ yang meriwayatkan hadits darinya hanyalah Abu Shaalih As-Sammaan dan Ibnu Yarbu’. Inikah yang disebut membuka halaqah hadits ? Kalaupun ada ulama yang seperti ini, maka sungguh ini di luar kelaziman (kebiasaan)…..
[3]     Para fuqahaa berselisih tentang usia baligh sebagai berikut :
Al-Auza’i, Ahmad, Asy-Syafi’i, Abu Yusuf, dan Muhammad berkata,”Bilamana ia telah berusia lima belas tahun, maka ia sudah dikatakan baligh”.
Para shahabat Imam Malik mempunyai 3 (tiga) pendapat :
a)    Tujuh belas tahun
b)    Delapan belas tahun
c)    Lima belas tahun
Sedangkan Abu Hanifah ada dua riwayat :
a)    Tujuh belas tahun
b)    Delapan belas tahun
dan bagi anak perempuan itu tujuh belas tahun.
Daud dan para shababatnya berpendapat,”Tidak ada batasan usia. Yang bisa dijadikan batasa adalah ihtilaam, inilah pendapat yang kuat, dan tidak ada pembatasan dari Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam sedikitpun”. Al-Imam Ahmad mengatakan,”Anak kecil tidak menjadi mahram bagi wanita hingga ia ihtilam”. Beliau mensyaratkan ihtilam.

Comments

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

O iya ada yang menarik untuk dikomentari sedikit. Secondprince berkata ketika mengomentari contoh Tsauban dan Raasyid bin Sa'd tentang status sejaman :

"Kemungkinan lain anda itu sudah saya bahas di atas lagipula kasus hadis Malik tidaklah sama dengan contoh hadis yang anda bawa. Karena dalam contoh anda terdapat penetapan yang jelas dari Imam mu’tabar bahwa hadis tersebut inqitha’ sedangkan pada kasus Malik tidak ada".Saya membawakan contoh itu bukan dengan tujuannya untuk mentarjihnya, antara yang mengatakan inqiha' atau ittishal. Jadi Anda tidak perlu membahas bahwa telah ada ulama yang mengatakan inqitha' (yaitu Imam Ahmad). Perlu Anda ketahui, bahwa perkataan Imam Ahmad itu tertolak karena Imam Bukhari telah menegaskan pertemuan antara keduanya dalam Al-Kabiir. Namun sekali lagi, bukan ini tujuan saya menampilkan contoh tersebut.

Saya membawakan contoh tersebut untuk menunjukkan kepada Anda salah satu penerapan syarat sejaman dari Imam Muslim, yaitu dipastikan kemungkinan pertemuannya yaitu selama 18 tahun. Tidak ada celah untuk mengatakan bahwa Raasyid masih terlalu kecil ketika Tsauban hidup dan sejaman dengannya. Nah,....bagaimana keadaannya dengan hal yang kita bicarakan ? Tentu jauh sekali.....

Adni Abu Faris mengatakan...

Assalamu`alaikum wr. wbr.

Sekedar komentar ringan saja. Meskipun saya sepertinya tidak akan masuk dalam ranah diskusi ini, namun ada sebuah literatur yang kiranya relevan dengan pembahasan Pak Ustadz Abul Jauzaa' berikut patner diskusinya.

Literatur tersebut berjudul:
Ijma` al-Muhadditsin `ala `adam isytirath al-`ilm bis sama` fi al-hadits al-mu`an`an bain al-muta`ashirin.

Lihat link download-nya di:
http://majles.alukah.net/showthread.php?t=32033

Semoga ada manfaatnya.

Salam,
Abu Faris

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Teruntuk Ustadz Abu Faris,…… terima kasih atas masukannya beserta link kitabnya. Banyak analisis dari para ahli ilmu berkaitan dengan hadits mu’an’an. Memang ada sebagian di antara mereka yang mengklaim adanya ijma’ peniadaan syarat samaa’. Namun, saya pribadi kurang sependapat jika dikatakan ijma’. Dari beberapa referensi yang saya miliki, telah dinukil perbedaan pendapat mengenai hal ini. Di antara pendapat-pendapat tersebut, masyhur disebutkan pendapat/madzhab Al-Bukhari dan ‘Ali bin Al-Madiniy yang mensyaratkan kepastian pertemuan dan kesaksian pendengaran seorang rawi dengan syaikhnya (tsubuutus-samaa’). Banyak hal sebenarnya yang dapat terdiskusikan mengenai hal ini.

Di antara referensi yang menyebutkannya adalah :

1. Al-Hadiits Ash-Shahiih wa Manhaju ‘Ulamaa Al-Muslimiin fit-Tashhiih oleh ‘Abdul-Kariim bin Isma’il Ash-Shabbaah.

2. Muhaadlaraat fii ‘Uluumil-Hadiits oleh Dr. Maahir bin Yaasin Al-Fahl.

3. Fataawaa Hadiitsiyyah (juz 1) oleh Dr. Sa’d bin ‘Abdillah Al-Humaid.

4. Tahriir ‘Uluumil-Hadiits oleh Dr. ‘Abdullah bin Yusuf Al-Judai’.

5. Isnaadun ‘indal-Muhadditsiin oleh Ridlaa Ahmad Shamidiy (murid Abu Ishaq Al-Huwainiy).

6. Rusuumut-Tahdiits fii ‘Uluumil-Hadiits oleh Burhanuddin Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Umar.

7. dan yang lainnya.

Adapun penyebutan 5 syarat shahihnya hadits mu’an’an di atas bukan dengan tujuan agar terpenuhi kelima-limanya. Melainkan hanya sebagai tambahan faedah saja. Yang menjadi ijma’ harus ada adalah dua syarat pertama. Tidak ada perselisihan mengenai itu. Sedangkan syarat tambahan 3 yang terakhir, masih diperselisihkan ulama. Untuk syarat ketiga, ada yang mengatakan termasuk bagian syarat shahih (itishaal), ada yang mengatakan syarat kesempurnaan (keshahihan) saja. Sedangkan syarat keempat dan kelima, itu merupakan syarat yang mutasyaddid yang tidak diamalkan oleh para ulama muhadditsiin.

Oleh karena itu, redaksi 5 syarat hadits mu’an’an dalam tulisan saya di atas sedikit saya revisi dan ditambah beberapa kalimat keterangan di bawahnya untuk memperjelas. Juga sedikit memperbaiki kalimat yang kelihatannya rancu dalam tulisan ini, tanpa mengubah esensi tulisan.

Syukran wa jazaakumullah khair atas tambahan faedahnya. Dan pesan saya, sering-seringlah berkomentar di Blog ini untuk satu koreksian, tambahan, atau yang semisalnya.


Abu Al-Jauzaa'.

Anshari Taslim mengatakan...

Oh, antum kenal dgn Adni ya? atau satu kantor dgn Adni?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya, kenal. Kebetulan beliau sempat sama-sama satu almamater dengan saya waktu sekolah di Bogor sebelum beliaunya pindah ke Al-Irsyad, terus ke LIPIA.

Saya ndak sekantor pak. Beda bidang malah....

Anonim mengatakan...

baarokallohu fiikum, nampaknya j al gar terlalu memaksakan diri... meskipun untuk jadi yang keduax...akan tetapi sekali lagi...semua yang antum paparkan telah jelas alhamdulillah...meskipun mungkin akan ada update-update lagi dari "orang-orang yang memaksakan diri" tapi memang semakin lama akan tampak seperti debat kusir jadinya... subhaanalloh... ternnyata emang tidak mudah untuk menerima kebenaran... Alhamdulillah, segala puji bagi Alloh Ar Rohiim yang telah memberikan kasih sayang-Nya sehingga kita bisa berada di atas kebenaran yang terang itu... syukron wa jazaakumulloohu khoiron katsiiro

just another user mengatakan...

ust, gimana kelanjutan dialog antum ini dgn SP?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sampai di situ saja, karena tidak ada 'perkembangan' berarti.

Anonim mengatakan...

Barokalloohu fiik...

Anonim mengatakan...

Walau postingan lama, setelah dilihat.
Menarik skali...

nampaknya ada beberapa perkataan yg sering buat ana tersenyum nda karuan. hehe

Baarakallahu fiek ya ustadz

Muhammad RenaLdy Borman

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum,

Mohon akhi abul-jauzaa komen pernyataan di bawah ini. Terima kasih:

Dzakwan Abu Shalih As Saman dikatakan oleh Ibnu Jauzi dalam Al Muntazam Fi Tarikh 7/69 bahwa ia telah mendengar langsung dari Ka’ab Al Akhbar

ذكوان أبو صالح السمان‏ سمع من كعب الأحبار

Dzakwan Abu Shalih As Saman mendengar dari Ka’ab Al Akhbar

Ka’ab Al Akhbar adalah orang Yaman yang pindah dan menetap di Syam, beliau datang ke Madinah pada masa Umar dalam perjalanannya dari Yaman ke Syam. Ka’ab wafat di Syam tepatnya di Hims pada masa pemerintahan Usman . Sedangkan Abu Shalih adalah orang Madinah. Jadi jika dikatakan bahwa Abu Shalih mendengar dari Ka’ab maka lebih mungkin kalau Abu Shalih mendengar dari Ka’ab ketika Ka’ab berada di Madinah yaitu pada masa pemerintahan Umar.

Dengan kata lain pada masa pemerintahan Umar, Abu Shalih sudah dapat mendengar hadis dari Ka’ab maka diasumsikan pada masa Umar, Abu Shalih sudah memenuhi syarat untuk menerima atau mendengar hadis. Berdasarkan hal ini maka tidak ada halangan bagi Abu Shalih mendengar hadis dari Malik Ad Daar yang juga merupakan orang Madinah dan hidup pada masa pemerintahan Umar.

http://secondprince.wordpress.com/2009/05/27/shahih-hadis-malik-ad-daar-menyingkap-kerapuhan-hujjah-salafy-inqitha’-abu-shalih-dari-malik-ad-daar/

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tidak ada keterangan bahwa Abu Shaalih mendengar riwayat Ka'b pada masa pemerintahan 'Umar. Yang ada adalah bahwa Abu Shaalih mendengar riwayat dari Ka'b, dan Ka'b tinggal di Madiinah lalu keluar menuju Syaam, lalu menetap di Himsh hingga akhir hayatnya.

Pernyataan itu kembali pada perkataan Al-Khaliiliy :

يقال أن أبا صالح السمان سمع مالك الدار هذا الحديث والباقون أرسلوه

“Dikatakan bahwasannya Abu Shaalih bin As-Sammaan telah mendengar hadits ini dari Maalik Ad-Daar, dan yang lain mengatakan bahwa ia telah meng-irsal-kannya” [selesai].

Al-Khaliiliy adalah ulama naqd. Perkataannya itu mengindikasikan bahwa ia dan ulama lainnya meragukan penyimakan hadits Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar. Inilah yang harus dibuktikan kalau ada yang mengklaim bersambung.

Penyajian data dari perkataan Ibnul-Jauziy di atas tidak berarti apa-apa. Tidak membuat perut kenyang, tidak pula menghilangkan dahaga karena kembalinya pada 'kemungkinan'.

Ingat, jarak wafatnya 'Umar bin Al-Khaththaab dengan wafatnya Abu Shaalih itu sangat panjang, hampir 80 tahun. Jarak yang panjang ini asalnya mengindikasikan keterputusan. Kalau ada yang mengatakan bahwa Abu Shaalih pernah mendengar riwayat di masa 'Umar, ia harus mengajukan bukti. Kalau bukti yang diajukan adalah penyimakan Abu Shaalih dari Ka'b, ya itu bukan bukti, karena ada kemungkinan Abu Shaalih ini mendengar riwayat Ka'b beberapa tahun setelah wafatnya 'Umar.

wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Afwan, Maksutnya kalimat ini apa ya ustad ? Atau ada salah tulis ??

Tidak ada keterangan bahwa Abu Shaalih mendengar riwayat Ka'b pada masa pemerintahan 'Umar. Yang ada adalah bahwa Abu Shaalih mendengar riwayat dari Ka'b

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tidak salah tulis.

Maksudnya, tidak ada keterangan secara khusus bahwa Abu Shaalih mendengar riwayat Ka'b pada masa pemerintahan 'Umar yang dengannya dapat dipahami bahwa ia bertemu dan mendengar riwayat Maalik Ad-Daar pada masa pemerintahan 'Umar.

Keterangan yang ada hanyalah umum bahwa Abu Shaalih mendengar riwayat Ka'b bin Maalik. Itu saja.