Ini adalah dialog ketiga saya dengan tema yang sama. Sebenarnya artikel saya yang berjudul : Kelemahan Riwayat Maalik Ad-Daar - Dialog Bagian II telah ditanggapi oleh @secondprince di : http://secondprince.wordpress.com/2009/04/12/shahih-hadis-tawasul-malik-ad-dar-jawaban-atas-inqitha-abu-shalih-dari-malik-ad-daar/#comment-6374. Saya pun telah membahas apa yang disanggah (dalam kolom komentar). Untuk mengambil menyebarkan faedah yang ada dalam pembicaraan riwayat Maalik Ad-Daar ini, maka ada baiknya saya tuliskan kembali di sini.
Tapi,… sampai kalimat terakhir yang saya baca (dalam http://secondprince.wordpress.com/2009/04/12/shahih-hadis-tawasul-malik-ad-dar-jawaban-atas-inqitha-abu-shalih-dari-malik-ad-daar/#comment-6374), tetap saja saya tidak merasa puas akan jawabannya. Pernyataannya hanya berkisar pada “keyakinan” terhadap satu kemungkinan yang tidak didapatkan qarinah dalam perajihan.
Penulis mengatakan :
Kembali ke kasus hadis Abu Shalih dari Malik Ad Daar. Telah disebutkan bahwa Abu Shalih lahir pada masa khalifah Umar dan Malik Ad Daar seperti yang disebutkan dalam Al Ishabah 6/274 no 8362 telah dipercaya oleh kedua khalifah yaitu khalifah Umar RA dan khalifah Utsman RA sehingga ia dinamakan Malik Ad Daar (nama sebenarnya adalah Malik bin Iyadh dan gelar tersebut didapat setelah ia dipercaya oleh kedua khalifah tersebut, berdasarkan kutipan Abu Ubaidah). Artinya Malik Ad Daar masih hidup pada zaman khalifah Utsman RA sehingga dengan dasar ini kita dapat mengatakan kalau Abu Shalih bisa bertemu dengan Malik Ad Daar ditambah lagi Abu Shalih telah meriwayatkan dari Sahabat Nabi yang lain. Jadi kemungkinan ia bertemu dengan sahabat Nabi termasuk Malik Ad Daar bisa diterima.
…….
Terdapat keterangan kalau Malik masih hidup pada zaman khalifah Utsman RA dan Abu Shalih lahir pada masa khalifah Umar jadi masih memungkinkan untuk terjadi pertemuan. Justru pertanyaannya adalah bagaimana anda bisa memastikan terjadinya inqitha’ jika anda sendiri maaf tidak tahu tahun wafatnya Malik.
……..
Pernyataan umum bisa diterima jika tidak ada bukti kuat yang mengkhususkan. Bicara soal kemungkinan, bagaimana caranya anda menetapkan inqitha’?. Apakah anda bisa memastikan inqitha’?. Seandainya juga anda mengetahui tahun lahir dan tahun wafat perawi, apakah anda bisa memastikan tidak ada inqitha’?. Bukankah bisa saja perawi itu tidak bertemu langsung? Kalau memang begitu maka kriteria Imam Muslim itu sendiri tidak lepas dari kemungkinan inqitha’. Jadi kemungkinan selalu bisa dicari-cari. Yang benar adalah jika kedua perawi dimungkinkan bertemu maka petunjuk inqitha’ diterima dengan adanya keterangan ulama yang menjelaskan tentang inqitha’nya sanad kedua perawi tersebut. Inipun juga masih perlu dianalisis dengan keterangan lainnya apakah benar, tidak ada ulama lain yang menyangkal inqitha’ tersebut atau ada bukti jelas sima’ langsung yang menggugurkan keterangan ulama yang menyatakan inqitha’.
Jika dikatakan bahwa Maalik Ad-Daar dan Abu Shaalih adalah “semasa” ; maka “semasa” yang macam apa yang dimaksudkan di sini ? Disebutkan bahwa Abu Shaalih lahir pada masa kekhalifahan ‘Umar bin Al-Khaththab radliyalaahu ‘anhu, sedangkan Maalik hidup pada kekhilafahan ‘Umar dan ‘Utsman radliyallaahu ‘anhaa – yang dengan itu, katanya, ini merupakan kemungkinan pertemuan yang layak dirajihkan akan sima’-nya.
Allaahul-Musta’aan !! Telah disepakati bahwa tidak ada data tentang tahun wafat Maalik Ad-Daar. Oleh karena itu, bukankah di sini ada kemungkinan bahwa :
“Maalik wafat di awal masa kekhilafahan ‘Utsman dan Abu Shaalih lahir di akhir pemerintahan ‘Umar”.
Konsekuensinya, sangat mungkin saat wafatnya Maalik Ad-Daar, Abu Shaalih As-Sammaan baru berusia setahun, dua tahun, tiga tahun, dan seterusnya sebelum ia dianggap bisa diterima periwayatannya – sebagaimana hal itu ma’ruf di kalangan muhadditsiin.
Kita tanya pada yang bersangkutan : “Mungkinkah ini ?”. Atau, kemungkinan ini dianggap sebagai kemungkinan yang mengada-ada ? Jika memang ini memungkinkan, mengapa Anda mengatakan bahwa kemungkinan ini bukan merupakan satu ‘illat ?. Telah berlalu contoh penjelasan hadits mudltharib dan periwayatan dari mukhtalithiin yang sebenarnya saya harapkan dengan ini Anda menangkap maksud saya. Namun ternyata, Anda tidak berhasil menangkap sinyal-sinyal saya tersebut.
Pernyataan anda patut diberikan komentar. Perkataan Al Khalilii “ada yang mengatakan bahwa ia telah mengirsalkannya” tidak memiliki faedah seperti yang anda katakan bahwa penyimakan Abu Shalih tidaklah ma’ruf di kalangan muhaddis.Perkataan ini adalah kesimpulan terburu-buru anda. Apalagi anda mengatakanbahwasanya penyimakan Abu Shalih tidak masyhur. Lantas apakah inqitha’ Abu Shalih dari Malik itu sendiri adalah sesuatu yang masyhur di kalangan muhaddis.Kami tidak menemukan satupun ulama hadis yang mengatakan adanya inqitha’ Abu Shalih As Saman dari Malik kecuali dari keterangan Al Khalili, itu pun juga Al Khalili tidak menyebutkan dengan jelas siapa yang mengatakan, ditambah lagi sebelumnya Al Khalili mengutip perkataan bahwa Abu Shalih mendengar dari Malik. Bukankah justru yang benar adalah inqitha’ Abu Shalih dari Malik bukanlah sesuatu yang masyhur di kalangan muhaddisin karena jika masyhur maka pasti ada banyak keterangan ulama yang menyatakan inqitha’ tersebut (minimal jelas siapa yang berkata begitu). Inilah yang saya maksud salafy berhujjah dengan nukilan terakhir Al Khalili saja.
Anda katakan bahwa saya hanya mengandalkan satu perkataan akhir dari Al-Khaliliy dan meninggalkan perkataannya yang lain. Coba mari kita ulang apa yang dikatakan oleh Al-Khaliliy. Setelah menyebutkan atsar Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar, Al-Khaliliy berkata :
يقال أن أبا صالح السمان سمع مالك الدار هذا الحديث والباقون أرسلوه
“Dikatakan bahwasannya Abu Shaalih bin As-Sammaan telah mendengar hadits ini dari Maalik Ad-Daar, dan yang lain mengatakan bahwa ia telah meng-irsal-kannya”.
Makna perkataan Al-Khaliliy ini bahwa asal periwayatan Abu Shaalih dari Malik adalah irsal, dan kemudian ada pernyataan dari sebagian ulama yang menyelisihi hal itu dengan mengatakan penyimakannya. Adanya pernyataan sima’ Abu Shaalih dari Maalik inilah yang coba dicatat oleh Al-Khaliliy dimana pernyataan tersebut telah menyelisihi yang ma’ruf tentang keirsalannya.
Justru di sini ‘illat itu berada. Sangat aneh dan enteng sekali Anda mengatakan bahwa perkataan Al-Khaliliy itu adalah perkataan yang ‘gak jelas’ dikatakan oleh siapa. Tentu saja apa yang dikatakan oleh Al-Khaliliy itu berdasarkan penilaiannya dari para ahli hadits di masanya atau masa sebelumnya. Tidaklah ia mengatakan hal ini kecuali memang perkataan tersebut masyhur di masanya (yaitu sebagian mengatakan sima’, sebagian lain mengatakan irsal).
Bukti akan hal ini kami kutip dari keterangan para Ulama yang menyebutkan biografiMalik Ad Daar. Mereka semua menyebutkan bahwa Abu Shalih meriwayatkan dari Malik Ad Daar dan tidak ada satupun dari mereka menyatakan inqitha’ hadis Abu Shalih dari Malik.
…….
Perhatikan dari ketujuh Ulama di atas tidak ada satupun yang mengatakan adanya inqitha’ riwayat Abu Shalih dari Malik. Hal ini menunjukkan bahwa inqitha’ tersebut tidaklah dikenal di kalangan muhaddis. Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1295 juga membawakan riwayat Abu Shalih dari Malik Ad Daar dalam biografi Malik bin Iyadh dan beliau sedikitpun tidak memberikan penjelasan akan cacat inqitha’ Abu Shalih dari Malik Ad Daar. Abu Hatim yang terkenal keluasan ilmu ilal hadis juga tidak sedikitpun menjelaskan inqitha’, beliau menetapkan periwayatan Abu Shalih dari Malik tanpa komentar inqitha’. Bahkan dalam kitab Ilal Ahmad bin Hanbal, beliau malah menegaskan Abu Shalih meriwayatkan dari Malik tanpa menyebutkan adanya ilat inqitha. Sepertinya cacat inqitha’ tersebut tidak dikenal di kalangan muhaddis.
……..
Lalu apa petunjuk Inqitha’ anda, tidak diketahui tahun wafat yang berarti anda sendiri tidak bisa memastikan apa benar inqitha’ atau tidak (jadi hanya dugaan inqitha’) dan penukilan Al Khalily yang tidak jelas siapa yang mengatakan, ini pun juga ditentang oleh nukilan sebelumnya bahwa Abu Shalih mendengar dari Malik. Atau mungkin petunjuk anda itu adalah pernyataan yang anda buat sendiri “bahwa penyimakan Abu Shalih tidaklah masyhur di kalangan muhaddis”. walaupun jika benar penyimakan itu tidaklah masyhur(periwayatannya yang masyhur) maka itu tidak membuat riwayat Abu Shalih menjadi inqitha’. Jadi pernyataan yang anda buat sendiri tidak menguatkan hujjah anda.
Sangat aneh Anda berhujjah bahwa para ulama tidak ada yang mengatakan dalam kitab-kitabnya Abu Shaalih ini me-irsal-kan hadits dari Maalik Ad-Daar. Jika memang ada riwayat irsal Abu Shaalih dari Maalik, tentu mereka mencatatnya – begitu yang saya tangkap dari tulisan Anda. Selanjutnya, dengan semangatnya Anda kemudian mengatakan kebersambungan sanad (dengan isyarat sima’) dari perkataan para imam bahwa “Abu Shaalih meriwayatkan hadits dari Maalik Ad-Daar (rawaa ‘an Maalik Ad-Daar atau yang semakna dengannya).
Telah saya katakan – dan juga contohkan – bahwa perkataan “riwayat” itu tidak bisa dijadikan hujjah sebagai penyimakan tanpa qarinah. Tidak perlu saya ulang di sini.
Akan saya coba jawab pernyataan Anda bahwa para imam tidak ada yang menyatakan secara shaarih lagi manthuq kemursalan riwayat Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar.
Saya katakan : Pernyataan Al-Khaliliy di atas telah membantah Anda, walau mungkin itu belum memuaskan Anda. Perlu Anda ketahui bahwa dalam banyak kitab ‘Uluumul-Hadiits telah banyak dijelaskan bahwa jalan mengetahui kemursalan hadits/riwayat itu ada bermacam-macam. Diantaranya adalah :
1. Mengetahuinya dengan cara mencermati perkataan para imam ahli hadits bahwa si Fulan telah melakukan irsal. Cara ini adalah maklum. Misalnya saja – sebagaimana contoh yang telah saya berikan – bahwa ‘Atha’ bin Abi Rabbah telah memursalkan riwayat dari beberapa orang shahabat. Pernyatan ini ditegaskan secara manthuq oleh para ulama dalam kitab mereka.
Dan inilah hujjah Anda – yang Anda kira sebagai satu-satunya jalan untuk mengetahui kemursalan riwayat.
2. Mengetahuinya dengan melakukan penelitian tentang sejarah, tahun lahir, tahun wafat, dan yang lainnya. Cara ditempuh jika sebagai alternatif jika tidak ada pernyataan ulama yang menegaskan penyimakan atau kemursalan riwayat. Dan inilah yang sedang kita bicarakan kali ini. Dengan cara ini pula, riwayat mudallas dapat ditentukan – tapi bukan di sini kita bicarakan riwayat mudallas.
Dua jalan di atas (dan juga jalan-jalan yang lain yang tidak saya sebutkan) riwayat bisa diteliti apakah ia muttashil atau munqathi’.
Jadi, untuk mengetahui adanya inqitha’ ataupun irsal yang ditempuh oleh muhadditsin tidaklah selalu diperoleh melalui jalan adanya perkataan ulama sebelumnya akan adanya inqitha’ atau irsal. Apakah Anda terlalu awam dengan kitab-kitab takhrij para ulama melalui dua metode di atas ?
Abu ‘Umar Usamah Al-‘Utaibiy dalam kutaib yang berjudul : Al-Qawaaidudz-Dzahabiyyah li-Ma’rifatish-Shahiih wadl-Dla’iif minal-Marwiyyatil-Hadiitsiyyah telah menjelaskan cara mengetahui kebersambungan sanad satu riwayat. Saya nukil di antaranya :
الثاني: إن كان السند بالعنعنة أو نحوها ؛ فينظر : هل الراوي عاصر شيخه أم لا؟
فإن كان لم يعاصره فالسند منقطع .
الثالث: إن كان الراوي عاصر شيخه ؛ فينظر : هل لقيه أم لم يلقه أم لا يعرف ذلك ؟
فإن لم يلقه فالسند منقطع .
وإن لم يعرف فالأصل في الراويين المتعاصرين اللقيا والسماع ما لم توجد قرينة على عدم السماع كنص إمام معتبر ، أو عدم إمكان اللقِيّ لصغر سن راو لا يمكنه التحمل فيه ، أو اختلاف بلد مع التباعد وعدم الرحلة.
“2). Apabila sanadnya dengan ‘an’anah atau semisalnya, maka diperiksa apakah perawi itu sejaman dengan syaikhnya ataukah tidak, apabila tidak sejaman dengan syaikhnya maka sanadnya munqathi’ (terputus).
3). Apabila seorang perawi sejaman dengan syaikhnya maka diperiksa, apakah ia bertemu dengannya ataukah tidak diketahui pernah bertemu? Apabila diketahui ia tidak bertemu syaikhnya maka sanadnya munqathi’.
Dan apabila tidak diketahui bertemunya, maka hukum asal dua perawi yang sejaman adalah bertemu dan mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan sima’ seperti ditegaskan oleh imam mu’tabar, atau tidak adanya kemungkinan bertemu dikarenakan usia belia seorang perawi yang tidak memungkinkannya menerima periwayatan, atau perbedaan negeri yang jauh dan tidak adanya rihlah (bepergian untuk mencari hadits)” [selesai].
Silakan perhatikan apa yang saya cetak tebal (bold) di atas. Sekarang saya tanya ulang kepada Anda : “Adakah kemungkinan bahwa Abu Shaalih bertemu dengan Maalik Ad-Daar dikarenakan usianya yang belum mencukupi untuk menerima periwayatan ?”. Saya harap Anda bisa menjawab dengan jujur – karena prinsip dalam diskusi adalah mencari kebenaran.
Saya harap Anda tidak berbalik bertanya kepada saya : “Mungkinkah Abu Shaalih bertemu dan menyimak riwayat dari Maalik Ad-Daar (karena faktor usia dewasa) ?”. Tentu saja pembicaraan ini bukan konteks kemungkinan ini. Ingat, tashhiih riwayat adalah meniadakan adanya kemungkinan yang bisa melemahkan riwayat. Jadi, yang kita bicarakan di sini adalah itu. Jika masih ada kemungkinan adanya kelemahan riwayat yang dengan itu tidak bisa di-tarjih dengan kemungkinan lain yang menunjukkan keshahihannya; maka riwayat itu termasuk dla’if. Ini termasuk bagian dari ‘illat hadits. Saya kira, tidak perlulah saya mengulang beberapa kali pernyataan ini.
Adapun pernyataan Anda yang menukil syarat Al-Imam Muslim bahwa riwayat tersebut diterima dengan syarat sejaman dan ada kemungkinan untuk bertemu; maka penjelasannya adalah sebagaimana di atas. Maksudnya, “kemungkinan bertemu” di sini adalah kemungkinan yang benar-benar nyata tanpa ada kemungkinan lain yang berlawanan dengan itu.
Akan saya coba contohkan penerapan persyaratan Al-Imam Muslim itu, yaitu : Riwayat Rasyid bin Sa’d dari Tsauban sebagaimana yang terdapat dalam Musnad Al-Imam Ahmad 5/277 (Cet. Al-Halabiy) tentang mengusap kaus kaki. Ibnu Abi Haatim dalam Al-Maraasil (hal. 22) dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari ayahnya ia berkata : “Rasyid bin Tsauban tidak mendengar dari Tsauban”.
Saya akan coba tulis jawaban kritikan tersebut dari sisi persyaratan Al-Imam Muslim : “Sejaman”. Bukan tashhiih secara keseluruhan, ataupun membandingkan perkataan Imam yang lain bahwa Rasyid mendengar dari Tsauban. Tolong diperhatikan yang ini.
Apakah Rasyid bin Sa’d itu sejaman dengan Tsauban hingga memungkinkan mendengarkan/menerima hadits darinya ?
Tsauban diketahui meninggal tahun 54 H. Sedangkan informasi Raasyid bin Sa’d bukan dari sisi tahun kelahirannya. Namun dari sisi peristiwa lain yang ia ikuti. Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan bahwa Raasyid bin Sa’d ini ikut dalam perang Shiffin. Telah diketahui bahwa perang Shiffin terjadi pada tahun 36 H. Dari sini diketahui secara pasti bahwa antara Raasyid dan Tsauban itu sejaman kurang lebih (minimal) selama 18 tahun, sehingga ada kepastian kemungkinan pertemuan antara keduanya.
Dari sinilah syarat sejaman karena kemungkinan bertemu sudah pasti ada…. yaitu minimal 18 tahun.[1]
[Contoh saya bawakan dari kutaib Al-Mashhu ‘alal-Jaurabain karangan Al-Imam Jamaluddin Al-Qaasimiy, taqdim : Asy-Syaikh Ahmad Syaakir, dan ta’liq Asy-Syaikh Al-Albani].
Tentu saja ini berbeda dengan kasus Abu Shaalih As-Sammaan dengan Maalik Ad-Daar, Kemungkinan pertemuan mereka itu belum pasti, sebab masih ada kemungkinan lain yang telah saya sebutkan di atas. Oleh karena itu, keliru jika Anda menerapkan persyaratan Imam Muslim dalam riwayat Abu Shaalih dari Maalik ini. Klaim Anda tidak mencukupi dalam hal ini.
Jika telah diketahui keterputusan riwayat atau adanya kemungkinan keterputusan riwayat, maka riwayat dianggap mursal. Sama saja apakah ia perawi mudallis atau bukan – walau ia termasuk tsiqah. Apalagi dalam riwayat Abu Shaalih di sini hanya dinyatakan dengan kata “riwayat” saja dari Maalik Ad-Daar, dan disampaikan dengan shighah : ‘an.
Hadits mu’an’an ini diterima itu jika memenuhi 5 persyaratan. Dari kelima persyaratan itu, 2 persyaratan harus mutlak ada (sebagaimana dinyatakan oleh Al-Imam Muslim), yaitu :
1. Hadits mu’an’an itu bukan termasuk hadits mudallas.
2. Adanya kemungkinan mereka untuk saling bertemu – lihat sedikit perincian penjelasan beserta contoh yang telah saya tulis di atas.
Dan 3 persyaratan lain masih diperselisihkan, yaitu :
3. Kepastian bertemunya (dengan pengetahuan adanya sima’ yang pasti). Ini merupakan pendapat Al-Bukhari, Ibnul-Madini, dan para muhaqqiq.
4. Lamanya pershahabatan, Ini adalah pendapat Abu Mudhaffar As-Sam’aniy.
5. Mengetahui apa yang diriwayatkan. Ini merupakan pendapat Abu ‘Amru Ad-Daaniy.
Wallaahu a’lam.
NB :
ü Saya tidak menanggapi seluruh perkataan @secondprince, karena sanggahan saya di atas sudah cukup mewakili.
ü Adapun komentar yang bersangkutan tentang kemubhaman perawi dan pertentangan dengan syari’at Islam, saya tidak berselera lagi untuk menanggapinya karena karena tulisan saya terdahulu telah mencukupi.
[1] Dan inilah yang benar, dimana Raasyid bin Sa’d memang telah mendengar (hadits) dari Tsauban dan Ya’la bin Murrah, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Bukhari dalam Al-Kabiir.
Comments
dilanjutkan ke :
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/04/kelemahan-riwayat-maalik-ad-daar-dialog_29.html
alhamdulillah, kebenaran itu seterang matahari...semoga bukanlah hati kita yang buta untuk dapat melihat sinar terang ini, semoga Alloh Ta'ala melimpahkan kebaikan kepada orang-orang mempunyai ilmu dan jujur dalam penyampaiannya serta mau kembali kepada kebenaran setelah jelas baginya(ini adalah sesuatu yang sangat-sangat luar biasa)
Posting Komentar