Batalkah Wudlu dengan Menyentuh Kemaluan ?


Terdapat empat pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini, yaitu :
1.      Tidak membatalkan wudlu secara mutlak.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, salah satu pendapat dari Maalik, dan diriwayatkan dari sebagian shahabat [lihat Al-Badaa’i 1/30, Syarh Fathil-Qadiir 1/37, Al-Mudawwanah, 1/8-9, dan Al-Istidzkaar]. Dalil utama yang mereka pakai adalah hadits :
عن قيس بن طلق، عن أبيه، قال: قدمنا على نبي اللّه صلى الله عليه وسلم، فجاء رجل كأنه بَدَوِيٌّ فقال: يا نبي اللّه؛ ما ترى في مسِّ الرجل ذكره بعدما يتوضأ؟ فقال صلى الله عليه وسلم: "هل هو إلاّ مضغةٌ منه" أو قال: "بضعةٌ منه".
Dari Qais bin Thalq, dari bapaknya (Thalq bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu) ia berkata : “Kami pernah datang menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu tibalah seorang laki-laki yang nampaknya ia dari kalangan ‘Arab gunung (baduwi). Ia bertanya : “Wahai Nabiyulllah, apa pendapatmu tentang seseorang yang menyentuh dzakarnya setelah ia berwudlu (apakah membatalkan atau tidak) ?”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Bukankah ia hanyalah bagian dari tubuhnya ?”; atau beliau menjawab : “Bagian dari tubuhnya” [HR. Abu Dawud no. 182; At-Tirmidzi no. 85; Ibnu Hibban no. 1119, 1121; Ibnu Abi Syaibah 1/165; dan yang lainnya].
Para ulama berbeda pendapat dalam keshahihan hadits ini. Permasalahan utamanya adalah perawi yang bernama Qais bin Thalq. Ia telah dilemahkan oleh Asy-Syafi’iy, Ad-Daaruquthni, Abu Haatim, Abu Zur’ah, Yahya bin Ma’in (dalam salah satu riwayatnya), dan Ahmad (dalam salah satu riwayatnya). Namun yang lain telah menguatkannya, diantaranya Ibnu Hibban, Al-‘Ijilliy, Yahya bin Ma’in (dalam salah satu riwayat), dan Ahmad (dalam salah satu riwayat).
Dengan melihat perkataan beberapa ulama tersebut, Ibnu Hajar membuat satu kesimpulan bagi Qais bin Thalq bahwa ia seorang perawi shaduq (At-Taqriib 1/457). Ini adalah perkataan yang benar lagi ‘adil.  Oleh karena itu, haditsnya tidaklah turun dari derajat hasan sebagaimana perkataan Ibnul-Qaththaan yang dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Mizaanul-I’tidaal (3/397).
Hadits tersebut dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/58) dan Asy-Syaikh Al-Arna’uth dalam Takhrij Shahih Ibni Hibban (3/402,404).
2.      Membatalkan wudlu secara mutlak.
Ini merupakan pendapat Malik – dalam nukilan yang masyhur darinya - , Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ibnu Hibban, dan diriwayatkan dari banyak shahabat [lihat Al-Istidzkaar 1/308, Al-Mudawwanah 1/8-9, Al-Umm 1/19, Al-Majmu’ 1/24, Al-Mughniy 1/178, Al-Inshaaf 1/202, dan Al-Muhallaa 1/235]. Dalil utama yang mereka pakai adalah hadits :
عن بسرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا مس أحدكم فرجه فليتوضأ والمرأة مثل ذلك
Dari Busrah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudlu. Dan bagi wanita, sama seperti itu” [HR. At-Tirmidzi no. 82, Abu Dawud no. 181, Ibnu Majah no. 479, Ibnu Hibban no. 1116-1117, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 1/132, dan yang lainnya].
Hadits tersebut shahih, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/63 dan Asy-Syaikh Al-Arna’uth dalam Takhrij Shahih Ibni Hibban 3/400.
عن أم حبيبة؛ قالت: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((من مس فرجه فليتوضأ)).
Dari Ummu Habiibah, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudlu” [HR. Ibnu Majah no. 481, Abu Ya’laa no. 7144, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/130].
Hadits tersebut shahih dengan syawaahid-nya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghaliil 1/150-152 no. 117.
Pihak yang menguatkan pendapat ini menyikapi hadits Thalq bin ‘Ali yang dibawakan oleh pendapat pertama dengan :
a.    Pendla’ifan. Namun pendla’ifan ini tidak benar, karena kenyataannya hadits tersebut adalah shahih, minimal hasan – sebagaimana telah dijelaskan.
b.    Anggapan mansukh (terhapus) dengan hadits Busrah radliyallaahu ‘anhaa.
c.    Mendahulukan penetapan daripada penafikan jika terjadi pertentangan (المثبت أولى بالقبول من النافي عند التعارض) sebagaimana dikenal dalam Ushul-Fiqh (lihat At-Taqriir wat-Tahbiir 1/158 oleh Muhammad bin Muhammad Al-Hanbaliy).
3.      Membatalkan wudlu jika disertai syahwat, dan tidak membatalkan wudlu jika tanpa disertai syahwat.
Ini merupakan cara penggabungan (thariqatul-jam’i) yang pertama sebagaimana ditempuh oleh Maalik dalam salah satu pendapat yang ternukil darinya dan Al-Albani. Berkata Asy-Syaikh Al-Albani :
وهذا أمر بين كما ترى ، وعليه فالحديث ليس دليلا للحنفية الذين يقولون بأن المس مطلقا لا ينقض الوضوء ، بل هو دليل لمن يقول بأن المس بغير شهوة لا ينقض ، وأما المس الشهوة فينقض ، بدليل حديث بسرة ، وبهذا يجمع بين الحديثين ، وهو اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية في بعض كتبه على ما أذكر . والله أعلم
“Ini masalah yang telah jelas – sebagaimana Anda ketahui -, maka hadits di atas bukan dasar dalil bagi madzhab Hanafiyyah yang menyatakan tidak batalnya wudlu karena menyentuh ini secara mutlak. Tetapi dalil bagi pendapat yang menyatakan bahwa menyentuh tanpa disertai syahwat tidak membatalkan. Adapun menyentuh dengan syahwat adalah membatalkan berdasarkan hadits Busrah. Dengan ini berarti kedua hadits ini dapat dikompromikan sebagai jalur yang dipilih oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dalam sebagian karyanya yang saya ingat. Wallaahu a’lam” [Tamaamul-Minnah hal. 103].
4.      Wudlu bagi orang yang menyentuh dzakar/kemaluan hanyalah disunnahkan saja, bukan wajib.
Ini merupakan cara penggabungan (thariqatul-jam’i) yang kedua sebagaimana ditempuh oleh Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, dan juga Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah [lihat Majmu’ Al-Fataawaa 21/241 dan Asy-Syarhul-Mumti’ 1/233].
Tarjih :
Pendapat yang terkuat menurut kami adalah pendapat yang keempat yang mengatakan bahwa wudlu bagi orang yang menyentuh dzakarnya hanya disunnahkan saja, bukan satu kewajiban. Adapun klaim mansukh dan penerapan kaidah mendahulukan penetapan daripada penafikan; maka ini tidak benar. Kedua cara itu dapat ditempuh apabila jika memang cara pengkompromian dalil (al-jam’u) sudah tidak memungkinkan lagi. Sedangkan di sini, pengkompromian sangat mudah untuk dilakukan. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin, tulisan ini selesai ditulis selepas makan malam hari Kamis, pukul 23.13 WIB, 16-04-2009 – Abul-Jauzaa’.
NB : Tulisan ini sekaligus sebagai ralat pada imel saya di milis salafyitb dimana sebelumnya saya mengikuti tarjih metode pengkompromian yang pertama (pendapat ketiga). Namun setelah dipikir-pikir dan ditimbang-timbang dengan memperhatikan penjelasan para ulama yang sempat terbaca, maka nampak bagi saya bahwa pendapat terakhir lah yang lebih tepat dengan kebenaran.

Comments

Anonim mengatakan...

Assalamu`alaikum
Maaf saya tak tahu apakah anda mengetahui profesi konsultan pajak atau tidak. Itu saya tidak tahu cuma saya hargai pendapat ustadz. Cuma saya teringat bbrp tahun lalu saat seorang ustadz salaf di Jakarta cukup disegani saat ditanyakan bagaimana hukum bekerja atau menabung di bank syariah? Maka beliau jawab tidak tahu,saat dipaksa untuk dijawab oleh sang penanya tetap dijawab tidak tahu dg sedikit marah dan mengatakan alasan jawaban tidak tahu krn beliau tak mengetahui tentang dunia ini. Terima kasih maaf bila ada yang tak berkenan.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Anda komentar terkait bahasan apa, kok tahu-tahu berkata : 'apakah anda mengetahui profesi konsultan pajak atau tidak'. Apakah kita pernah berbicara sebelumnya ?.

Anonim mengatakan...

Mohon Nasehatnya Ust...

Durhakah Kah Terhadap Ibu Karena Menolak Larangannya? (Karena bukan Sesama Arab, Pria muslim Ditolak Oleh Ibu saya)
———————————————
Assalamualaikum..
Ust. Mohon nasehatnya dengan sangat karena kegelisahaan hati tentang Perkara ini..
ini bermasalah dengan orangtua terutama IBU….
Ada seorang pria Muslim dia sudah mempunyai niat untuk menikahi saya, dan Pria ini ingin meminta saya (melamar) pada orang tua saya (ibu) kalau ayah saya sudah Alm,
tetapi sang ibu menolak keras, karena bukan dri golongan Yg sma, (Golongan disini dalam arti bukan sesama keturunan arabnya)
padahal Allah telah berfirman “Allah tidak membeda2kan setiap umat’nya kecuali ketakwaan mereka” (Qs 65:13)
ada pula ayat yang menjelaskan tentang perlakuan adil pada setiap golongan
“…. Dan Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku tidak adil. karena (adil ) itu lebih mendekatkan kepada takwa…” (QS: 5;9)
Tetapi saya tetap bdoa agar ibu saya luluh dan bisa nerima saya dengan pria Muslim yang meminta saya..
*yang menjadi pertanyaan saya :
Apakah itu Dosa Ust.?
Jikalau saya berdoa, doaku sampai pada Allah, karna ridho Allah ridho dari Orang tua pula?
Apakah aku termasuk Durhaka pada orang tua, karena aku tidak menuruti apa yang orang tua larang?
Mohon dengan Sangat nasehat’nya Ust.
Sekarang hatiku sedang bimbang karena permasalahan ini..
disatu sisi aku ingin berlaku adil pada setiap umat muslim tanpa membeda-bedakan pula.
Mohon Nasehatnya Ust.
Jazakumullahu khaira
Wassalamualaikum.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Arab dan non-Arab tidaklah ada bedanya/keistimewaannya di sisi Allah, kecuali sebab ketaqwaannya. Allah ta'ala berfirman :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu" [QS. Al-Hujuraat : 13].

Itu pertama. Adapun selanjutnya, jika laki-laki yang hendak melamar Saudari adalah laki-laki shalih, maka memang tidak selayaknya ditolak hanya karena beda suku. Oleh karena itu, Saudari bisa menjelaskannya kepada ibu Saudari melalui beberapa pendekatan secara pribadi keagamaan. Saudari bisa menjelaskan perihal laki-laki tersebut dan keutamaan laki-laki shalih. Saudari bisa meminta bantuan orang lain yang dapat dipercaya agar penjelasan Saudari tidak terkesan subjektif.

Namun,.... bolehkah seorang ibu tidak setuju rencana pernikahan anak dengan seorang laki-laki tertentu ?. Tentu saja boleh, baik dengan atau tanpa alasan yang diketahui oleh si anak. Ini kalau kita kembalikan pada hukum asalnya.

Lantas bagaimana sikap kita setelah usaha maksimal tidak berhasil meluluhkan ibu ?.

Saudari,....berbakti kepada orang tua adalah wajib, sementara menikahi laki-laki yang Saudari sebutkan itu tidak wajib. Ibu Saudari tidaklah melarang Saudari untuk menikah, akan tetapi beliau hanya tidak setuju Saudari menikah dengan laki-laki yang tidak sesuai dengan 'kriteria' yang beliau tetapkan. Selama Saudari bisa mengakomodasi keinginan beliau dan juga keinginan Saudari, maka itu lebih utama. Maksudnya, Saudari dapat mencari laki-laki yang sesuai dengan keinginan ibu (yaitu dari suku 'Arab), namun baik agama dan akhlaknya. Saya kira, itu tidak terlalu sulit.

Harap Saudari pahami bahwa apa yang saya tulis di paragraf di atas merupakan kondisi jika ibu Saudari tetap kukuh tidak menyetujui laki-laki tersebut setelah Saudari berusaha maksimal memberikan penjelasan kepadanya.

Semoga Allah memberikan kemudahan bagi kita semua. Jangan lupa untuk berdoa.

Wallaahu a'lam.

Muhammad ibn Abdullaah mengatakan...

Assalamu 'alaikum wa rahmatullaah ustadz..

Sepertinya ada yang salah ketik pada pendapat ke-3...

Ustadz menuliskan..

3. Membatalkan wudlu jika disertai syahwat, dan tidak membatalkan wudlu jika disertai syahwat.

Seharusnya...

3. Membatalkan wudlu jika disertai syahwat, dan tidak membatalkan wudlu jika 'tidak/tanpa' disertai syahwat.

Itu saja ustadz.. semoga segera diperbaiki..

Barokallaahu fiyk ustadz Abul Jauza

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam warahmatullahi wa barakatuh.

Terima kasih,... telah saya perbaiki