Pada satu kesempatan, pernah diajukan satu pertanyaan kepada Dr. Yusuf Al-Qaradlawiy sebagai berikut :
ما هو الموقف الإسلامي الديني من اليهود ومن غير المسلمين إن لكم رؤيا فقهية متميزة في مثل هذه القضايا هل تميلون إلى إعلان الجهاد عامة ضد الجميع أم أن الموقف الفقهي له رؤيا خاصة؟.
“Bagaimana cara pandang Islam kepada Yahudi atau selain mereka dari kalangan non-muslim ? Sesungguhnya kami melihat pada diri Anda ada satu cara pandang yang cerdas yang berkaitan dengan permasalahan ini. Apakah Anda sependapat untuk mengumandangkan jihad secara umum kepada mereka semua, ataukah ada sisi pandang khusus mengenai hal tersebut ?”
Maka beliau menjawab :
أقول : جهادنا مع اليهود ليس لأنَّهم يهود، بعض الإخوة الذين يكتبون في هذه القضية ويتحدثون عنها يعتبرون أننا يقاتل اليهود لأنَّهم يهود ولا نرى هذا، فنحن لا نقاتل اليهود من أجل العقيدة إنما نقاتلوهم من أجل الأرض لا نقاتل الكفار لأنَّهم كفار وإنما نقاتلوهم لأنَّهم اغتصبوا أرضنا وديارنا وأخذوها بغير حق.
“Aku katakan : Jihad yang kita tegakkan melawan Yahudi bukanlah disebabkan karena mereka Yahudi. Sebagian ikhwah yang menulis dan membahas permasalahan ini menganggap bahwa kita memerangi Yahudi itu karena status mereka Yahudi. Namun kami tidak sependapat dengan itu. (Saya berpendapat) bahwa kita tidak memerangi Yahudi karena alasan ‘aqidah. Kami hanya memerangi mereka karena perkara tanah. Kami tidak memerangi orang-orang kafir karena status mereka adalah orang kafir. Hal ini disebabkan karena mereka telah mencuri tanah kami dan kampung kami. Mereka mengambilnya (dari kami) dengan tanpa haq” [Koran Ar-Rayyah, no. 4696, tanggal 24 Sya’baan 1415 H – 25 Januari 1995 M]. Mari kita perhatikan baik-baik ucapan beliau di atas. Dhahir jawaban beliau ini dengan jelas menegaskan bahwa jihad yang kita tegakkan semata-mata hanya karena kedhaliman dan kejahatan yang dilakukan Yahudi dan kuffar kepada kaum muslimin (khususnya masalah teritori – contoh : Palestina). Jihad yang beliau isyaratkan di sini adalah jenis jihad difa’iy (mempertahankan diri). Mafhum yang diperoleh dari jawabaan beliau, jihad tidak akan ditegakkan jika mereka tidak (lagi) memerangi dan mendhalimi kaum muslimin. Konsekuensinya, jawaban beliau ini mengisyaratkan dengan jelas penafikkan jihad ofensif (jihad thalabiy atau jihad hujuumiy), karena jihad jenis ini ditegakkan dalam rangka memerangi kekafiran. Apalagi, di lain kesempatan beliau juga mengatakan : مسألة الجهاد في سبيل الله للدفاع عن الأرض والعرض والحرمات هذا أمر لا كلام فيه إنما الدفاع للهجوم على العالم كما يصوره بعض الناس هذا أمر ليس واردًا، ونحن هنا نتبنى تبناه علماء المسلمين المعاصرين الشيخ أبو زهرة والشيخ رشيد رضا والشيخ شلتوت والشيخ عبد الله دراز والشيخ الغزالي وهؤلاء كلهم يتبنون أن الجهاد في الإسلام للدفاع عن الدين والدولة والحرمات والأرض والعرض....وليس لغزو العالم كما يصوره بعض الناس. “Permasalahan jihad fii sabiilillah adalah untuk mempertahankan tanah air, harga diri, dan kehormatan. Perkara ini sudah tidak perlu dikomentari lagi tentang kebenarannya. Bahwasannya mempertahankan diri dengan cara menyerang pihak (negara) lain sebagaimana digambarkan oleh sebagian orang, maka perintah semacam ini tidaklah ditemui (dalam syari’at). Dan kami di sini, mendasarkan pendapat kami ini pada pendapat para ulama kaum muslimin masa kini seperti Asy-Syaikh Abu Zahrah, Asy-Syaikh Raasyid Ridlaa, Asy-Syaikh Syaltuut, Asy-Syaikh ‘Abdullah Darraaz, dan Asy-Syaikh (Muhammad) Al-Ghazzaaliy. Mereka semua berpendapat bahwasannya jihad dalam Islam adalah untuk mempertahankan agama, negara, kehormatan, tanah air, dan harga diri…. tidak untuk memerangi negara lain sebagaimana digambarkan oleh sebagian orang” [Al-Islaam wal-Gharb – ma’a Yusuf Al-Qaradlawiy, hal. 19]. Tidaklah “aneh” hal ini terdengar oleh kita, karena perkataan-perkataan semisal telah didahului oleh guru beliau, yaitu Al-Ustadz Hasan Al-Banna rahimahullah, yang mengatakan : فأقرر أن خصومتنا لليهود ليست دينية؛ لأن القرآن حضّ على مصافاتهم ومصادقتهم، والإسلام شريعة إنسانية قبل أن يكون شريعة قومية، وقد أثنى عليهم وجعل بيننا وبينهم اتفاقا {ولا تُجادِلُوا أَهْلَ الكِتَابِ إلاَّ بِالَّتي هِي أَحْسَنُ} وحينما أراد القرآن الكريم أن يتناول مسألة اليهود تناولها من الوجهة الاقتصادية والقانونية .. ”Saya tegaskan sekali lagi bahwa persengketaan/permusuhan kita dengan Yahudi bukanlah persengketaan/permusuhan karena agama, karena Al-Qur’an menganjurkan kita agar bergandeng tangan dan bersahabat dengan mereka dan menyuruh agar mengadakan kesepakatan antara kita dengan mereka. Allah berfirman : ”Dan janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik” (QS. 29:46). Setiap kali Al-Qur’an berbicara tentang masalah Yahudi, maka disinggung dari sisi perekonomian dan hukum....” [Al-Ikhwaanul-Muslimuun Ahdats Shana’at-Taariikh, 1/409-410]. إن الإسلام الحنيف لا يخاصم ديناً ولا يهضم عقيدة “Sesungguhnya Islam yang hanif (lurus) itu tidaklah memusuhi satu agamapun, juga tidak menyerang/menganiaya satu ‘aqidahpun” [Mawaaqifun fid-Da’wati wat-Tarbiyyah, hal. 163]. Perkataan dan pendapat seperti di atas sangat jelas kebathilannya lagi jauh dari kebenaran. Kita tidak menafikkan ditegakkannya jihad difa’iy ketika kuffar menyerang dan menduduki negeri kaum muslimin sebagaimana yang beliau (Dr. Al-Qaradlawiy) katakan. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan : فأما إذا أراد العدو الهجوم على المسلمين، فإنه يصير دفعه واجبًا على المقصودين كلهم، وعلى غير المقصودين؛ لإعانتهم، كما قال الله تعالى: {وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ} [الأنفال: 72] “Adapun jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka mempertahankan diri darinya adalah wajib bagi setiap orang yang diserang, dan bagi orang yang tidak diserang untuk membantunya. Sebagaimana firman Allah ta’ala : “(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka” (QS. Al-Anfaal : 72)” [Al-Majmu’ Al-Fataawaa, 28/358-359]. وأما قتال الدفع فهو أشد أنواع دفع الصائل عن الحرمة والدين فواجب إجماعاً فالعدو الصائل الذي يفسد الدين والدنيا لا شيء أوجب بعد الإيمان من دفعه فلا يشترط له شرط بل يدفع بحسب الإمكان وقد نص على ذلك العلماء أصحابنا وغيرهم فيجب التفريق بين دفع الصائل الظالم الكافر وبين طلبه في بلاده والجهاد منه ما هو باليد ومنه ما هو بالقلب والدعوة والحجة واللسان “Adapun perang (jihad) difa’, maka hal itu merupakan kewajiban yang paling ditekankan untuk mempertahankan kehormatan dan agama dari penyerang (musuh). Hal itu wajib secara ijma’. Tidak ada sesuatupun yang lebih wajib daripada menolak serangan musuh yang akan merusak agama dan dunia. Maka, tidak disyaratkan padanya satu syaratpun untuk itu, bahkan harus mempertahankan diri sesuai dengan kemampuan” [Al-Ikhtiyaaraat Al-Fiqhiyyah, hal. 608, tahqiq : ‘Ali bin Muhammad ‘Abbas Ba-‘Alawiy Ad-Dimasyqiy; Daarul-Ma’rifah, Cet. Thn. 1397 H]. Selain jihad difa’iy, Islam juga mensyari’atkan jihad thalabiy/hujuumiy (jihad ofensif) yang ditegakkan kepada orang kuffar dalam rangka dakwah. Jihad jenis ini dilakukan kepada orang kuffar karena kekafiran mereka, walau mereka tidak melakukan penyerangan terlebih dahulu kepada kaum muslimin. Banyak dalil yang melandasi hal ini, diantaranya : 1. QS. Al-Anfaal : 39 وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”. Makna “fitnah” dalam ayat di atas adalah kekafiran. 2. QS. At-Taubah : 5 فَإِذَا انْسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Ibnu Katsir berkata : وقوله: { فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ } أي: من الأرض. وهذا عام، والمشهور تخصيصه بتحريم القتال في الحرم بقوله: { وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ } [البقرة: 191] “Firman Allah “maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka” ; yaitu : di muka bumi. Ini adalah umum. Dan yang masyhur adalah dikhususkan dengan pengharaman peperangan di tanah Haram dengan firman-Nya : “Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil-Haram kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka” (QS. Al-Baqarah : 191)” [Tafsir Ibnu Katsir 4/111, tahqiq : Saamiy bin Muhammad Salaamah; Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1420 H]. 3. QS. At-Taubah : 29 قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. Ibnu Katsir mengatakan : وهذه الاَية الكريمة أول الأمر بقتال أهل الكتاب بعدما تمهدت أمور المشركين ودخل الناس في دين الله أفواجاً واستقامت جزيرة العرب أمر الله ورسوله بقتال أهل الكتابين اليهود والنصارى وكان ذلك في سنة تسع ولهذا تجهز رسول الله صلى الله عليه وسلم لقتال الروم ودعا الناس إلى ذلك وأظهره لهم وبعث إلى أحياء العرب حول المدينة فندبهم فأوعبوا معه واجتمع من المقاتلة نحو من ثلاثين ألفاً وتخلف بعض الناس من أهل المدينة ومن حولها من المنافقين وغيرهم وكان ذلك في عام جدب ووقت قيظ وحر وخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم يريد الشام لقتال الروم فبلغ تبوك فنزل بها وأقام بها قريباً من عشرين يوماً ثم استخار الله في الرجوع فرجع عامه ذلك لضيق الحال وضعف الناس كما سيأتي بيانه بعد إن شاء الله تعالى وهذه الآية الكريمة [نزلت] أول الأمر بقتال أهل الكتاب، بعد ما تمهدت أمور المشركين ودخل الناس في دين الله أفواجا، فلما استقامت جزيرة العرب أمر الله ورسوله بقتال أهل الكتابين اليهود والنصارى، وكان ذلك في سنة تسع؛ ولهذا تجهز رسول الله صلى الله عليه وسلم لقتال الروم ودعا الناس إلى ذلك، وأظهره لهم، وبعث إلى أحياء العرب حول المدينة فندبهم، فَأَوْعَبوا معه، واجتمع من المقاتلة نحو [من] ثلاثين ألفا، وتخلف بعضُ الناس من أهل المدينة ومن حولها من المنافقين وغيرهم، وكان ذلك في عام جَدْب، ووقت قَيْظ وحر، وخرج، عليه السلام، يريد الشام لقتال الروم، فبلغ تبوك، فنزل بها وأقام على مائها قريبًا من عشرين يومًا، ثم استخار الله في الرجوع، فرجع عامه ذلك لضيق الحال وضعف الناس، كما سيأتي بيانه بعد إن شاء الله. “Ayat yang mulia ini turun pertama kali adalah perintah bagi kaum muslimin untuk memerangi Ahli Kitab. Setelah urusan dengan kaum musyrikin mulai mencair dan berbagai kelompok masuk ke dalam agama Islam, dan ketika jazirah Arab mulai stabil, maka Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk memerangi orang-orang Ahli Kitab, Yahudi, dan Nashrani. Ini terjadi pada tahun 9 hijriah. Untuk itu, Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mempersiapkan diri untuk memerangi bangsa Romawi. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam menyeru para shahabatnya untuk bersiap-siap, dan mengirim utusan ke daerah-daerah pinggiran kota untuk mengajak mereka agar bersiap-siap dan seruan itu mendapat sambutan yang sangat memuaskan, sehinga terkumpullah pasukan sejumlah kurang lebih 30.000 personil. Sebagian orang penduduk Madinah dan kaum munafiqin yang ada di sekitarnya serta manusia lainnya tidak ikut berperang. Peristiwa ini terjadi pada saat sulitnya pangan dan kemarau panjang serta panas yang sangat terik. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam dengan pasukanya berangkat menuju ke negeri Syam untuk memerangi pasukan Romawi, ketika sampai di Tabuk, pasukan Islam singgah di salah satu mata airnya selama 20 hari. Setelah itu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam ber-istikharah untuk kembali ke Madinah. Karena kondisi pasukan yang mulai lemah, maka pada tahun itu juga Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam kembali ke Madinah – sebagaimana yang akan datang penjelasannya nanti, insyaAllah” [selesai – Tafsir Ibnu Katsir 4/132]. Al-Qurthubi mengatakan bahwa (dengan ayat tersebut) Allah subhaanahu wa ta’ala memerintahkan manusia untuk memerangi seluruh orang kuffar yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir serta risalah ketauhidan yang dibawa oleh Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam [Tafsir Al-Qurthubi 10/162 – tahqiq : Dr. At-Turkiy – dibawakan dengan makna dan peringkasan]. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam mengirimkan beberapa pasukannya dalam rangka dakwah. Menawarkan Islam dan memerangi kekafiran. Barangsiapa yang masuk Islam, maka haram darah, harta, dan kehormatannya – kecuali dengan hak Islam. Jika mereka menolak, maka mereka diberikan dua pilihan : Diperangi atau tunduk kepada hukum Islam dengan membayar jizyah. Jika mereka memilih peperangan, maka di sini kaum muslimin memerangi mereka karena kekufuran mereka. Pembangkangan terhadap hukum Allah. Pilihan perang merupakan pilihan/alternatif terakhir yang diambil kaum muslimin. Perang ini dilakukan dalam rangka memerangi kekafiran dan meninggkan kalimat Allah. Pada perang Mu’tah dan Tabuk, Rasululah shallallaahu ’alaihi wa sallam memerangi orang-orang Romawi dan Arab Nashrani. Ini beliau lakukan setelah tawaran masuk Islam ditolak oleh Hiraklius – sebagaimana masyhur cerita ini dalam kitab-kitab hadits. 4. QS. At-Taubah : 123 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ ”Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. Ibnu Katsir membawakan penjelasan yang tidak jauh berbeda dengan ayat 29. Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat tersebut memerintahkan Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam untuk memerangi orang-orang kafir dari mulai yang paling dekat dengan wilayah Islam dan begitu seterusnya sampai yang jauh, dari yang lemah begitu seterusnya sampai yang kuat” [Tafsir Al-Qurthubi 10/435 – Al-Qurthubi menguatkan pendapat Qatadah]. Abu Ja’far Ath-Thabari berkata ketika menafsirkan ayat ini : ابدأوا بقتال الأقرب فالأقرب إليكم دارًا، دون الأبعد فالأبعد. وكان الذين يلون المخاطبين بهذه الآية يومئذ، الروم، لأنهم كانوا سكان الشأم يومئذ، والشأم كانت أقرب إلى المدينة من العراق. فأما بعد أن فتح الله على المؤمنين البلاد، فإن الفرض على أهل كل ناحية، قتالُ من وليهم من الأعداء دون الأبعد منهم، ما لم يضطرّ إليهم أهل ناحية أخرى من نواحي بلاد الإسلام، فإن اضطروا إليهم، لزمهم عونهم ونصرهم، لأن المسلمين يدٌ على من سواهم ”Hendaklah mereka memulai memerangi orang-orang kafir itu dari mulai yang terdekat wilayahnya, kemudian yang lebih jauh, dan begitu seterusnya. Dan orang-orang yang dituju (untuk diserang) oleh ayat ini pada saat itu adalah orang-orang Romawi, karena pada saat itu mereka menjadi penduduk negeri Syaam – dan negeri Syaam adalah wilayah yang terdekat dengan Madinah dibanding ’Iraq. Adapun setelah Allah memberikan kemenangan kepada kaum mukminin untuk menaklukkan negeri Makkah (Fathu Makkah), maka wajib bagi setiap penduduk negeri untuk memerangi musuh-musuh yang ada di sekitar mereka terlebih dahulu, bukan yang lebih jauh dari mereka – selama tidak ada faktor yang mengharuskan mereka untuk menolong kaum muslimin yang berada di negeri Islam yang lainnya. Namun jika ada faktor yang menuntut untuk itu, maka wajib untuk menolong mereka, karena kaum muslimin adalah tangan yang satu terhadap kaum muslimin yang lain” [Tafsir Ath-Thabari, 14/574-575, tahqiq : Ahmad Syaakir; Muassasah Ar-Risalaah, Cet. 1/1420 H]. Hal yang senada dikatakan oleh Ibnul-Jauziy : قد أمر بقتال الكفار على العموم وإنما يبتدأ بالأقرب فالأقرب ”Allah telah memerintahkan mereka untuk memerangi orang-orang kafir secara umum, yang dimulai dari yang terdekat, dan kemudian yang lebih jauh, dan seterusnya” [Zaadul-Masiir, 3/518; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 3/1404 H]. 5. Hadits ’Abdullah bin ’Umar radliyallahu ’anhuma : بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً إِلٰى نَجْدٍ فَخَرَجْتُ فِيْهَا فَأَصَبنَا إِبِلًا وَغَنَمًا فَبَلَغَتْ سُهمَانُنَا اثْنَي عَشَرَ بَعِيْرًا، وَنَفَّلَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعِيْرًا بَعِيْرًا ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah mengutus pasukan ke negeri Najd. Maka akupun keluar untuk bergabung dengannya. (Pasukan itu mendapatkan kemenangan) sehingga kami mendapatkan ghanimah berupa onta dan kambing. Sehingga, ghanimah yang kami dapat saat itu (masing-masing) dua belas ekor onta. Lalu, Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam masih menambah lagi masing-masing satu ekor onta” [HR. Al-Bukhari no. 3134,4338 dan Muslim no. 1749]. 6. Hadits Ibnu ’Aun rahimahullah : عَنْ ابْنِ عَوْنٍ قَالَ كَتَبْتُ إِلَى نَافِعٍ أَسْأَلُهُ عَنْ الدُّعَاءِ قَبْلَ الْقِتَالِ قَالَ فَكَتَبَ إِلَيَّ إِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ قَدْ أَغَارَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ وَهُمْ غَارُّونَ وَأَنْعَامُهُمْ تُسْقَى عَلَى الْمَاءِ فَقَتَلَ مُقَاتِلَتَهُمْ وَسَبَى سَبْيَهُمْ وَأَصَابَ يَوْمَئِذٍ Dari Ibnu ’Aun ia berkata : Aku menulis surat kepada Naafi’ untuk menanyakan tentang seruan (pemberitahuan perang) sebelum perang dimulai. Maka ia membalas surat dan menyatakan bahwa hal itu terjadi di awal Islam. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam menyerang Bani Musthaliq ketika mereka sedang lengah, yaitu ketika mereka sedang memberi minum ternak mereka. Maka dibunuhlah orang-orang yang berhak dibunuh di antara mereka, dan ditawan orang-orang yang berhak ditawan di antara mereka. Pada hari itu, kaum muslimin menang” [HR. Muslim no. 1730]. An-Nawawi membuat satu bab berjudul : باب جواز الإغارة على الكفار الذين بلغتهم دعوة الإسلام، من غير تقدم الإعلام بالإغارة ”Bab : Diperbolehkannya menyerang orang-orang kafir yang telah sampai kepada mereka dakwah Islam tanpa didahului peringatan penyerangan”. Kemudian beliau berkata : وفي هذا الحديث جواز الإغارة على الكفار الذين بلغتهم الدعوة من غير إنذار بإِلاغارة. وفي هذه المسألة ثلاثة مذاهب حكاها المازري والقاضي أحدها: يجب الإنذار مطلقاً قال مالك وغيرها وهذا ضعيف. والثاني: لا يجب مطلقاً وهذا أضعف منه أو باطل. والثالث: يجب إن لم تبلغهم الدعوة ولا يجب إن بلغتهم لكن يستحب وهذا هو الصحيح، وبه قال نافع مولى ابن عمر والحسن البصري والثوري والليث والشافعي وأبو ثور وابن المنذر والجمهور. قال ابن المنذر وهو قول أكثر أهل العلم: وقد تظاهرت الأحاديث الصحيحة على معناه ”Dalam hadits ini terdapat dalil diperbolehkannya untuk menyerang orang-orang kafir yang telah sampai kepada mereka dakwah Islam tanpa diberikan peringatan terlebih dahulu. Pada pembahasan ini terdapat tiga madzhab yang dihikayatkan oleh Al-Maaziriy dan Al-Qaadliy. Madzhab pertama : Diharuskan memberikan peringatan secara mutlak. Malik dan yang lainnya berkata : ”Pendapat ini lemah”. Madzhab kedua : Tidak wajib secara mutlak. Pendapat ini bahkan lebih lemah dan keliru dibanding yang pertama. Madzhab ketiga : Wajib apabila belum sampai padanya dakwah Islam dan tidak wajib apabila telah sampai padanya dakwah Islam – namun tetap disukai untuk memberikan peringatan terlebih dahulu. Ini adalah pendapat yang benar. Pendapat ini merupakan pendapat Naafi’ maula Ibnu ’Umar, Al-Hasan Al-Bashri, Ats-Tsauriy, Al-Laits, Asy-Syafi’iy, Abu Tsaur, Ibnu Mundzir, dan jumhur ulama. Ibnu Mundzir berkata : ”Hal itu merupakan perkataan sebagian besar ahlul-’ilmi (ulama) yang disokong/diperkuat oleh hadits-hadits shahih” [Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi 12/279]. 7. Sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam ketika menugaskan seorang panglima yang membawa pasukan menuju pertempuran : اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ فَأَرَادُوكَ أَنْ تَجْعَلَ لَهُمْ ذِمَّةَ اللَّهِ وَذِمَّةَ نَبِيِّهِ فَلَا تَجْعَلْ لَهُمْ ذِمَّةَ اللَّهِ وَلَا ذِمَّةَ نَبِيِّهِ وَلَكِنْ اجْعَلْ لَهُمْ ذِمَّتَكَ وَذِمَّةَ أَصْحَابِكَ فَإِنَّكُمْ أَنْ تُخْفِرُوا ذِمَمَكُمْ وَذِمَمَ أَصْحَابِكُمْ أَهْوَنُ مِنْ أَنْ تُخْفِرُوا ذِمَّةَ اللَّهِ وَذِمَّةَ رَسُولِهِ وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ فَأَرَادُوكَ أَنْ تُنْزِلَهُمْ عَلَى حُكْمِ اللَّهِ فَلَا تُنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِ اللَّهِ وَلَكِنْ أَنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِكَ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَتُصِيبُ حُكْمَ اللَّهِ فِيهِمْ أَمْ لَا ”Berperanglah atas nama Allah ! di jalan Allah ! Perangilah orang yang kufur kepada Allah ! Berperanglah dan jangan curang, jangan berkhianat, jangan berlaku kejam (dengan memotong hidung dan telinga), dan jangan membunuh anak-anak !. Apabila kamu bertemu dengan kaum musyrikin yang menjadi musuhmu, maka tawarkanlah kepada mereka tiga pilihan, yang mana salah satu diantara tiga tersebut yang mereka pilih, maka terimalah dan janganlah mereka diserang, lalu ajaklah mereka masuk Islam. Apabila mereka menerima ajakanmu, maka terimalah dan janganlah mereka diserang. Kemudian ajaklah mereka untuk berpindah dari perkampungan mereka menuju perkampungan orang Muhajirin. Jika mereka mau pindah, beritahukan kepada mereka bahwa mereka mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti orang-orang Muhajirin. Jika mereka tidak mau pindah dari rumah mereka, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka diperlakukan seperti kaum muslimin yang ada di pedalaman dengan diberlakukan hukum Allah atas mereka seperti yang berlaku atas orang-orang mukmin lain tanpa mendapat bagian dari ghanimah dan fa’i, kecuali jika mereka turut berjihad bersama kaum muslimin. Jika mereka tidak mau masuk Islam, maka suruhlah mereka membayar jizyah. Jika mereka bersedia, maka terimalah dan janganlah mereka diperangi. Apabila mereka menolak, maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka ! Apabila kamu mengepung benteng musuh lalu mereka menginginkan agar engkau berikan kepada mereka perlindungan dan jaminan Allah serta Nabi-Nya, maka janganlah engkau berikan kepadanya perlindungan Allah serta Nabi-Nya. Tetapi, berilah mereka perlindungan dan jaminan dari kamu sendiri dan pasukanmu. Karena jika kamu berikan perlindungan dan jaminanmu beserta pasukanmu, maka itu lebih ringan resikonya daripada engkau berikan perlindungan danjaminan Allah serta Nabi-Nya. Apabila kamu mengepung benteng musuh lalu mereka ingin agar engkau memberlakukan kepada mereka hukum Allah, maka janganlah engkau berlakukan hukum Allah kepada mereka. Tetapi, berlakukanlah kepada mereka hukum dari kamu sendiri; karena kamu tidak tahu apakah kamu benar-benar telah memberlakukan hukum Allah kepada mereka atau belum” [HR. Muslim no. 1731]. 8. Sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : أُمِرتُ أنْ أقاتِلَ الناس حتَّى يقولوا : لا إله إلا الله ، فمن قال : لا إله إلا الله عَصَمَ منِّي مالَه ونَفسَهُ إلا بحقِّه ، وحِسَابُه على الله ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan : ’Tidak ada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah’. Barangsiapa yang mengatakan : Laa ilaaha illallaah, terlindungi dariku harta dan jiwanya kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah Subhanahu wata'ala” [HR. Al-Bukhari no. 25,1399,2946,6924,7284; Muslim no. 20-22; At-Tirmidzi no. 2733-2734; Ibnu Majah no. 3297-3299; Al-Baihaqi no. 12894,12897-12899; Ibnu Hibban no. 174,175,216,218,219; dan yang lainnya]. 9. Dan lain-lain masih banyak................ Semua dalil dan perkataan para ulama yang menyertainya di atas menunjukkan bahwa jihad atau perang thalabiy itu memang masyru’ (disyari’atkan) untuk memerangi orang-orang kafir walaupun mereka tidak memulai serangan terhadap kaum muslimin. Jihad thalabiy/hujuumiy ini ditujukan kepada orang-orang yang berstatus kafir. Otomatis perang ini ada karena adanya faktor kekafiran yang ada pada diri mereka. Bukankah Allah telah berfirman : وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah (= yaitu kekafiran) dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan” [QS. Al-Anfaal : 39]. Setelah nyata nash-nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagian pihak yang membela pendapat bathil Dr. Yusuf Al-Qaradlawi membuat satu ulasan bahwa apa yang dikemukakan oleh beliau (Dr. Al-Qaradlawi) merupakan pendapat jumhuur ulama dengan menisbatkan asal perkataan itu pada Ibnu Taimiyyah (dan dikatakan bahwa Ibnu Taimiyyah termasuk yang menguatkan pendapat ini).[1] Sebagian mereka menuliskan rujukannya pada sebuah kitab yang berjudul Risalah Al-Qitaal (silakan lihat di Blognya pak Farid Nu’man : http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/85)[2]. Risalah ini ghariib (asing) di antara karya-karya Ibnu Taimiyyah. Para ulama muhaqqiqiin telah menyatakan ketidakbenaran isi risalah tersebut untuk dinisbatkan kepada Ibnu Taimiyyah rahimahullah, sebab isinya sangat bertentangan dengan perkataan-perkataan beliau yang lain dalam kitab-kitabnya yang masyhur.[3] Bagi yang sering membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah tentang jihad, tentu akan sangat mengingkari perkataan mereka ini. Selain apa yang telah dituliskan sebelumnya, berikut akan ditambahkan : Perlu kita cermati ucapan beliau dalam Syarhul-‘Umdah hal 63 (tahqiq : Khaalid bin ‘Ali bin Muhammad Al-Musyaiqih; Daarul-‘Ashimah, Cet. 1/1418 H) ketika menjelaskan hadits : (أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا اله إلا الله) “Aku diperintahkan agar memerangi manusia hingga mereka mengatakan Laa ilaaha illallaah” . Beliau berkata : أن الكافر المحارب إذا قالها وجب الكف عنه وصار دمه وماله معصوما “Bahwasannya kafir harbi jika ia mengatakan hal itu (yaitu kalimat tauhid), maka wajib bagi kaum muslimin untuk menahan untuk memerangi mereka sehingga darah dan harta mereka menjadi ma’shum (tidak boleh diambil)” [selesai]. Tentu saja dapat dipahami bahwa jika orang kafir harbi tersebut tidak mengikrarkan kalimat tauhid (yang dengan itu ia masuk Islam), maka kaum muslimin tetap memeranginya yang dengan itu halal darahnya (untuk dibunuh) dan hartanya (untuk dijadikan ghanimah/fa’i). Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak mensyaratkan peperangan dengan mereka karena mereka mendhalimi atau memerangi kaum muslimin. Dan dari sini dapat kita pahami dengan jelas bahwa pendapat Syaikhul-Islam menyatakan status kafirnya seseorang salah satu sebab memerangi mereka (kuffar). Dalam kitab Mausu’ah Fiqhi Ibni Taimiyyah oleh Dr. Muhammad Rawwaas Qal’ajiy (hal. 542 – kitab ini merupakan kumpulan pendapat/penjelasan Ibnu Taimiyyah dalam permasalahan fiqh, ada 2 juz – Daarun-Nafaais, Cet. 2/1422 H) dijelaskan tentang pihak-pihak yang boleh ditegakkan jihad padanya, yaitu salah satunya adalah orang-orang kuffar, karena mereka telah dikenal sebagai orang-orang muhaaribiin – jikalau orang kuffar tersebut bukan dari kalangan ahludz-dzimmah – . Dan al-muhaarabah (orang yang berbuat kerusakan di muka bumi) ini terwujud/ada dalam diri setiap orang kafir. Orang-orang kafir di sini adalah orang yang telah sampai kepadanya dakwah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam kepada agama Islam akan tetapi tidak menyambutnya. [lihat beberapa rujukan pernyataan ini dalam Majmu’ Fataawaa 28/358, 31/380, 28/349]. Ibnu Taimiyyah secara jelas menyatakan bahwa jihad itu ditegakkan kepada setiap orang kafir (non ahludz-dzimmah) secara mutlak, tanpa membedakan apakah mereka menyerang/memerangi kaum muslimin terlebih dahulu atau tidak. Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fataawaa ketika beliau menegaskan masyru’-nya jihad melawan Tartar; yaitu ketika beliau menyebutkan jenis-jenis orang yang diperangi (ditegakkan jihad padanya), berkata : كافرة باقية على كفرها: من الكرج، والأرمن، والمغل. وطائفة كانت مسلمة فارتدت عن الإسلام، وانقلبت على عقبيها: مـن العرب، والفرس، والروم، وغيرهم. وهؤلاء أعظم جرمًا عند الله وعند رسوله والمؤمنين من الكافر الأصلى من وجوه كثيرة. فإن هؤلاء يجب قتلهم حتمًا ما لم يرجعوا إلى ما خرجوا عنه، لا يجوز أن يعقد لهم ذمة، ولا هدنة، ولا أمان، ولا يطلق أسيرهم، ولا يفادي بمال ولا رجال، ولا تؤكل ذبائحهم ولا تنكح نساؤهم، ولا يسترقون، مع بقائهم على الردة بالاتفاق. ويقتل من قاتل منهم، ومن لم يقاتل؛ كالشيخ الهرم، والأعمي، والزمن، باتفاق العلماء. وكذا نساؤهم عند الجمهور. والكافر الأصلى يجوز أن يعقد له أمان وهدنة، ويجوز المن عليه والمفاداة به إذا كان أسيرًا عند الجمهور، ويجوز إذا كان كتابياً أن يعقد له ذمة، ويؤكل طعامهم، وتنكح نساؤهم، ولا تقتل نساؤهم إلا أن يقاتلن بقول أو عمل، باتفاق العلماء. وكذلك لا يقتل منهم إلا من كان من أهل القتال عند جمهور العلماء، كما دلت عليه السنة. فالكافر المرتد أسوأ حالاً في الدين والدنيا من الكافر المستمر على كفره. وهؤلاء القوم فيهم من المرتدة ما لا يحصي عددهم إلا الله. فهذان صنفان. وفيهم ـ أيضًا ـ من كان كافرًا فانتسب إلى الإسلام ولم يلتزم شرائعه: من إقامة الصلاة، وإيتاء الزكاة، وحج البيت، والكف عن دماء / المسلمين وأموالهم، والتزام الجهاد في سبيل الله، وضرب الجزية على اليهود والنصاري، وغير ذلك. ”Pertama, golongan kafir yang tetap dalam kekafirannya, yaitu : Georgi, Armenia, dan Mongol. Kedua, golongan yang semua muslim lalu murtad dari Islam, yaitu Arab, Persia, Romawi, dan yang lainnya. Mereka ini lebih jahat di sisi Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman dibandingkan kafir asli dari berbagai tinjauan. Golongan ini wajib diperangi dengan pasti, selagi mereka tidak kembali kepada agama mereka yang semua (Islam). Tidak boleh membuat aqad penjaminan buat mereka, tidak pula perdamaian dan keamanan. Tawanan dari mereka tidak boleh dibebaskan dan tidak boleh pula ditebus dengan harta dan orang. Sembelihan mereka tidak boleh dimakan, wanita-wanita mereka tidak boleh dinikahi, dan tidak boleh meminta ruqyah, selama mereka masih murtad berdasarkan kesepakatan. Harus dibunuh siapa saja dari mereka baik yang berperang maupun tidak berperang, seperti orang tua, orang yang buta, dan orang yang sakit menahun menurut kesepakatan ulama. Demikian pula para wanita mereka, menurut jumhur ulama. Sedangkan kafir asli boleh membuat perjanjian damai dan gencatan senjata dengannya, boleh membebaskan tawanannya dan beoleh menerima tebusan darinya, jika ia seorang tawanan, menurut jumhur ulama. Jika dia Kitabiy (Yahudi dan Nashrani), boleh membuat jaminan untuknya, makanannya boleh dimakan, wanita-wanitanya boleh dinikahi dan tidak boleh dibunuh kecuali apabila mereka memerangi dengan ucapan dan perbuatan menurut kesepakatan ulama. Demikian pula mereka tidak dibunuh kecuali pihak yang iktu berperang, menurut jumhur, sebagaimana yang ditunjukkan oleh As-Sunnah. Jadi, kafir murtad itu lebih buruk keadaanya di akhirat dan di dunia daripada kafir yang tetap berada dalam kekafirannya (kafir asli – golongan yang pertama). Dan di tengah-tengah kaum tersebut terdapat orang-orang murtad yang tidak terhitung banyaknya. Ini baru dua golongan. Ketiga, di tengah-tengah mereka juga terdapat kafir tetapi kemudian bernisbat kepada Islam tetapi tidak komitmen dengan berbagai syari’atnya seperti : mendirikan shalat, membayar zakat, haji ke Baitullah, menjaga darah dan harta umat Islam, berkomitmen pada jihad fii sabiilillah, mengambil jizyah dari Yahudi dan Nashrani, dan yang lainnya. وفيهم صنف رابع شر من هؤلاء.وهم قوم ارتدوا عن شرائع الإسلام وبقوا مستمسكين بالانتساب إليه. فهؤلاء الكفار المرتدون، والداخلون فيه من غير التزام لشرائعه، والمرتدون عن شرائعه لا عن سمته، كلهم يجب قتالهم بإجماع المسلمين، حتى يلتزموا شرائع الإسلام،وحتى لا تكون فتنة ويكون الدين كله لله،وحتى تكون كلمة الله ـ التي هي كتابه وما فيه من أمره ونهيه وخبره ـ هي العليا. هذا إذا كانوا قاطنين في أرضهم، فكيف إذا استولوا على أراضي الإسلام: من العراق، وخراسان، والجزيرة، والروم، فكيف إذا قصدوكم وصالوا عليكم بغيا وعدوانًا؟! Diantara mereka terdapat golongan keempat yang lebih buruk daripada yang terdahulu, yaitu kaum yang murtad dari berbagai syari’at Islam tetapi (masih mengklaim) tetap bernisbat kepada Islam. Mereka itu adalah orang-orang yang kafir dan murtad. Dan orang-orang yangmasuk ke dalam agama Islam tanpa mau berkomitmen dengan syari’at-syari’atnya, serta orang-orang yang murtad dari syari’atnya namun tetap bernisbat ke Islam, semuanya wajib diperangi menurut kesepakatan umat Islam sampai mereka berkomitmen dengan syari’atnya. Sehingga tidak ada lagi fitnah (kekafiran) dan ketaatan hanya milik Allah, dan sehingga kalimat Allah – yaitu kitab-Nya dan segala yang terdapat di dalamnya berupa perintah dan larangan-Nya – yang tertinggi. Ini semua apabila mereka berada di negeri mereka. Lalu bagaimana halnya jika mereka keluar dan menyerbu kalian dengan kedhaliman dan permusuhan ? [selesai – Majmu’ Al-Fataawaa 28/413-416]. Perhatikan ! Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa jihad itu tetap ditegakkan atas orang kuffar yang berada di luar wilayah Islam, meskipun mereka tidak menyerang kaum muslimin dengan kedhaliman dan permusuhan. (perhatikan uslub bahasa Ibnu Taimiyyah). Atau yang lebih jelas dari uraian di atas, mari kita simak perkataan Ibnu Taimiyyah : العقوبات التي جاءت بها الشريعة لمن عصي اللّه ورسوله نوعان: أحدهما: عقوبة المقدور عليه، من الواحد والعدد، كما تقدم. والثاني: عقاب الطائفة الممتنعة، كالتي لا يقدر عليها إلا بقتال. فأصل هذا هو جهاد الكفار، أعداء اللّه ورسوله، فكل من بلغته دعوة رسول اللّه صلى الله عليه وسلم، إلى دين اللّه الذي بعثه به فلم يستجب له؛ فإنه يجب قتاله حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ ”Sanksi-sanksi yang dibawa oleh syari’at untuk orang yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya ada dua macam : Pertama, hukuman bagi pihak yang telah dikuasai, baik seorang atau sejumlah – sebagaimana telah disinggung - . Kedua, hukuman bagi orang yang membangkang, seperti golongan yang tidak mungkin dikuasai melainkan dengan pedang. Dasar mengenai hal ini adalah berjihad (memerangi) orang-orang kafir yang mereka itu musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya. Siapa saja yang telah sampai kepadanya seruan (dakwah) Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam kepada agama Allah yang karenanya beliau diutus, tapi tidak mau memenuhi ajakannya, maka wajib diperangi, (sebagaimana firman Allah ta’ala) : ”Supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah” (QS. Al-Anfaal : 39)” [Majmu’ Al-Fataawaa 28/346]. Dan yang lainnya – masih banyak - Bagaimana bisa dibenarkan klaim mereka bahwa Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa perang atau jihad itu hanya ditegakkan dengan sebab kejahatan kaum muslimin saja dengan meniadakan jihad thalabiy/hujuumiy yang memerangi orang-orang kafir dengan sebab kekafiran mereka ? Apalagi kemudian pendapat mereka itu dinisbatkan kepada pendapat jumhur ulama (!!!). Telah lewat penjelasan An-Nawawi tentang kebolehan menyerang kaum kuffar jika dakwah telah sampai kepada mereka tanpa adanya peringatan terlebih dahulu. Pun dengan segala perbedaan pendapat yang dinukil oleh An-Nawawi, semuanya bertolak belakang dengan pendapat mereka. Para ulama tetap menyerukan masyru’-nya jihad ofensif yang dilakukan kepada kaum kuffar, baik dengan atau tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Bagaimana bisa hal itu dinisbatkan kepada jumhur ? Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (13/10 – tahqiq : Dr. At-Turkiy) mengatakan bahwa jihad itu harus ditegakkan minimal setahun sekali kecuali bila ada udzur syar’i (misalnya : kaum muslimin dalam keadaan lemah, tidak cukup perbekalan, musuh/kuffar mempunyai pandangan yang baik terhadap Islam, dan yang lainnya) sehingga ada pertimbangan maslahat untuk meninggalkan (baca : menunda) perang/jihad [selesai – dengan peringkasan seperlunya – baca : Fashl : Wa Aqallu Maa Yuf’alu Marratan fii Kulli ’Aamin – Kitaabul-Jihaad]. Pertanyaannya : ”Apakah mungkin jihad ditegakkan jika alasannya adalah sebagaimana yang dikatakan Dr. Al-Qaradlawi ? (yaitu memerangi kuffar hanya mereka yang memerangi kita saja). Tentu saja tidak......... Mari kita simak dialog ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu dengan Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam saat beliau menugaskannya menaklukkan Khaibar : يا راسول الله، على ماذا أقاتل الناس ؟ قال : قاتلهم حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وإن محمداًَ رسول الله، فإذا فعلوا ذلك منعوا منك دماءهم وأموالهم إلا بحقها وحسابهم على الله ”Wahai Rasulullah, atas dasar alasan apa kita memerangi manusia (yaitu ahlul-Khaibar) ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Perangilah mereka hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah melainkan Allah dan bahwasannya Muhammad utusan Alah. Jika mereka melakukan hal tersebut, maka mereka menjaga darah dan harta mereka darimu kecuali dengan haknya; dan hisab mereka ada pada Allah” [Syarh Shahih Muslim 2/59, Fathul-Baari 1/104, Jaami’ul-Ulum wal-Hikaam no. 8, dan As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah 1/323]. Al-Haafidh Ibnu ’Abdil-Barr – seorang ulama madzhab Malikiyyah – dalam kitab Al-Kaafiy fii Fiqhi Ahli Madiinah dalam bagian Kitaabul-Jihaad bab : من يقاتل من أهل الكفر حتى يدخل في الإسلام أو يؤدي الجزية والحكم في قتالهم menjelaskan bahwa orang kafir itu diperangi hingga ia masuk Islam atau (bersedia) membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. Ini sama dengan keterangan sebelumnya. Ikhwah,…. jihad atau perang thalabiy ini senantiasa ditegakkan oleh para pemimpin kaum muslimin dari waktu ke waktu. Sejarah telah mencatat bahwa penegakan jihad thalabiy ini sampai ke negeri Hindustan. Ibnu Katsir menjelaskan : وقد غزا المسلمون الهند في أيام معاوية سنة أربع وأربعين، وقد غرا الملك الكبير الجليل محمود بن سبكتكين، صاحب غزنة، في حدود أربعمائة، بلاد الهند فدخل فيها وقتل وأسر وسبى وغنم ودخل السومنات وكسر الند الاعظم الذي يعبدونه، واستلب سيونه وقلائده، ثم رجع سالما مؤيدا منصورا. ”Pada masa kekhalifahan Mu’awiyyah radliyallaahu ’anhu, kaum muslimin telah menyerang negeri Hind pada tahun 44 H. Demikian pula raja Ghaznah yang mulia dan terhormat bernama Mahmud bin Subuktatin telah menyerang negeri Hind ini sekutar tahun 104 H. Ia dapat menerobos masuk wilayah Hind, berhasil melumpuhkan tentara Hind, menawan tawanan, dan merebut ghanimah. Ia berhasil merebut Suminat (yaitu daerah suatu kaum yang meyakini reinkarnasi), ia berhasil menghancurkan berhala besar yang disembah-sembah. Ia merampas pedang-pedang dan perhiasan-perhiasan Hind yang terkenal itu. Kemudian ia kembali dengan selamat, tertolong, dan membawa kemenangan” [lihat Al-Bidaayah wan-Nihaayah 6/249, tahqiq : ’Aliy Syiiriy; Daar Ihyaa’ At-Turats Al-’Arabiy, Cet. 1/1408 H]. Nah,.... bukankah ini merupakan perwujudan jihad thalab memerangi kaum kuffar dan merobohkan simbol-simbol kekafiran mereka ? Dan ingat, peperangan dengan negeri Hind (Hindustan) bukan disebabkan mereka menyerang kaum muslimin terlebih dahulu. Ini adalah jihad ofensif menyerang wilayah kaum kuffar. Menyebarkan dakwah Islam. Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umari – salah seorang guru pakar sirah dan sejarah Islam berkata : إن وصف حركة الفتح بأنها دفاعية هو محاولة تبريريرية لا تصمد لأية مناقشة جادة، فهل اعتدى سكان الأندلس أو ما وراء النهر على حدود المسلمين ليفتحوها ؟ وهل تأمين الحدود يقتضي التوغل القارات الثلاث، اسيا وأوروبا وأفريقيا حيث وقعت الأحداث الخطيرة المواقع الحاسمة بعيداً عن جزيرة العرب، فكانت ((توربواتية)) جنوب فرنسا وكان فتح كريت وجنوب إيطاليا وكانت موقعة طراز على نهر طلس في ما وراء النهر وأخيراً حصار فيينا.. ”Menilai gerakan penaklukan sebagai upaya defensif merupakan penilaian yang sangat keliru. Bukankah penduduk Andalusia atau yang tinggal di belakang sungai telah menyerang (negara-negara kuffar) yang berbatasan dengan kaum muslimin untuk dibuka/ditaklukkan ? Apakah untuk mengamankan wilayah perbatasan menuntut harus masuk ke tiga benua : Asia, Eropa, dan Afrika sehingga terjadi peristiwa-peristiwa membahayakan dan peperangan-peperangan sengit yang jauh dari jazirah ’Arab ? Seperti itulah yang terjadi di Turbuwataih, selatan Prancis; pembukaan/penaklukan Kurait, selatan Italia; di tepi sungai Thals; dan terakhir adalah pengepungan Vena. Oleh karena itu, penafsiran yang benar terhadap gerakan pembukaan/penaklukan adalah sebagai pelaksanaan kewajiban agama, yaitu jihad, yang disebut oleh hadits syarif sebagai puncak amalan dalam Islam” [As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah 2/342-343]. Akhirnya tulisan ini saya tutup dengan penjelasan Asy-Syaikh Ibnu Baaz : أما قول من قال بأن القتال للدفاع فقد فهذا القول ما علمته لأحد من العلماء القدامى أن الجهاد شرع في الإسلام بعد آية السيف للدفاع فقد وأن الكفار لا يُبدءون بالقتال فإنما يشرع للدفاع فقد ”Adapun perkataan dari sebagian orang yang menyatakan bahwa bahwasannya perang itu hanya untuk mempertahankan diri saja (difa’), maka aku tidak tahu seorang pun dari ulama terdahulu yang pernah mengatakannya bahwa jihad yang disyari’atkan dalam Islam setelah aayaatus-saif itu hanya untuk mempertahankan diri saja. Dan bahwasannya orang-orang kafir itu tidak boleh diserang lebih dahulu, karena perang itu hanya disyari’atkan untuk membela diri saja” [Majalah Al-Buhuuts Al-Islaamiyyah nomor 41 hal. 7]. Wallaahu a’lam bish-shawwaab. Semoga ada manfaatnya. Abul-Jauzaa’ – Ciomas City, Ciomas, Bogor. Bahan bacaan : 1. Al-Majmu’ Al-Fataawaa - Ibnu Taimiyyah 2. Al-Ikhtiyaarat Al-Fiqiyyah – Ibnu Taimiyyah 3. Syarhul-‘Umdah – Ibnu Taimiyyah 4. Aqwaalul-‘Ulamaa fir-Risalah Al-Mansuubah ilaa Syaikhil-Islaam Ibni Taimiyyah fil-Jihaad – Sulaiman Al-Khurasyi 5. Al-Mughni – Ibnu Qudamah 6. Raf’ul-Litsaam ‘an Mukhaalafatil-Qaradlawi li-Syarii’atil-Islaam – Ahmad bin Muhammad Al-‘Udainiy 7. Al-Bidaayah wan-Nihaayah – Ibnu Katsir 8. Tafsir Ath-Thabari 9. Tafsir Al-Qurthubi 10. Tafsir Ibni Katsir 11. Zaadul-Masiir – Ibnul-Jauziy 12. As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah – Akram Dliyaa’ Al-’Umari 13. Syarh Shahih Muslim – An-Nawawi 14. Jaami’ul-Ulum wal-Hikaam – Ibnu Rajab 15. Al-Kaafi fii Fiqhi Ahlil-Madiinah – Ibnu ‘Abdil-Barr 16. Buku-buku hadits 17. dll. [1] Nisbat perkataan kepada Ibnu Taimiyyah ini sempat dinukil oleh Asy-Syaukani dan Ash-Shan’aniy dalam bukunya. [2] Dalam tulisan pak Farid Nu’man ini terdapat banyak nukilan dan pembahasan yang tidak fokus dengan apa yang sedang dibicarakan. [3] Silakan baca : Aqwaalul-‘Ulamaa fir-Risalah Al-Mansuubah ilaa Syaikhil-Islaam Ibni Taimiyyah fil-Jihaad oleh Sulaiman bin Shaalih Al-Khurasyi.
لذلك فإن التفسير الصحيح لحركة الفتح أنها تطبيق لفريضة دينية هي الجهاد الذي وصفه الحديث الشريف بأنه ذروة سنام الإسلام
Comments
akh abu jauzaa..
jihad ofensif kalau orang yg tidak faham, mereka akan menyangka "islam ditegakkan dengan mata pedang"..
bagaimana mahu mengelak daripada pemikiran sebegini??
Terima kasih Abu Husan,....padahal, artikel saya di atas ditulis sebagai jawaban atas artikel beliau. termasuk kekeliruan penisbatan terhadap pendapat Ibnu Taimiyyah dan yang lainnya....
[link yang antum tulis juga telah saya tulis kok di artikel di atas, baarakallaahu fiik].
Bismillah..
Ustadz, ada sebuah tanggapan (komentar dgn nama user = 'briwox' ) atas artikel antum diatas yg terdapat pd artikel : http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/85/Mengapa_Kita_Memerangi_Orang_Kafir_Apakah_karena_kekafiran_mereka_atau_karena_permusuhan_mereka
,bagaimana dgn pendapat org tersebut ustadz? apakah komentar tsb. adalah sebuah syubhat? ,mohon penjelasannya ustadz..
Syukron Jazaakallah khayran..
Tidak ada penambahan dari penjelasan di atas. Adapun perkataan yang bersangkutan, selain tidak ada nilai ilmiahnya, juga tidak menyentuh inti permasalahan.
lalu bagaimana dengan pemerintah Indonesia yang meninggalkan jihad ???
Ibnukatsir dalam kitab tarikhnya 7/105:
Berkata al hafidz Abu Bakar al Baihaqi, telah
menceritak an Abu Nashar bin Qutadah dan
Abu bakar al Farisi, mereka berdua berkata:
telah menceritak an kepada kami Abu Umar
bin Mathor, telah menceritak an kepada kami
Ibrahim bin Ali Addzahli, telah menceritak an
kepada kami Yahya bin Yahya, telah
menceritak an kepada kami Abu Mu’awiyah
dari ‘Amasy dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar
Ia berkata, “Orang-oran g mengalami
kemarau panjang saat pemerintah an Umar.
Kemudian seorang laki-laki datang ke makam
Nabi Shallallah u alaihi wasallam dan berkata
“Ya Rasulullah Shallallah u alaihi wasallam
mintakanla h hujan untuk umatmu karena
mereka telah binasa”.
Kemudian orang tersebut mimpi bertemu
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam dan
dikatakan kepadanya “datanglah kepada
Umar dan ucapkan salam untuknya
beritahuka n kepadanya mereka semua akan
diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya
“bersikapl ah bijaksana, bersikapla h
bijaksana” . Maka laki-laki tersebut menemui
Umar dan menceritak an kepadanya akan hal
itu. Kemudian Umar berkata “Ya Tuhanku aku
tidak melalaikan urusan umat ini kecuali apa
yang aku tidak mampu melakukann ya”
(Sanadnya shahih adalah penetapan dari
Ibnu katsir. Malik adalah Malik Ad Daar dan ia
seorang bendahara gudang makanan pada
pemerintah an Umar,ia adalah tsiqoh)
coba perhatikan Hadits dibawah ini :
11. 128/954. Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abdullah Al Anshari berkata, telah menceritakan kepadaku bapakku 'Abdullah bin Al Mutsanna dari Tsumamah bin 'Abdullah bin Anas dari Anas bin Malik bahwa 'Umar bin Al Khaththab radliallahu 'anhu ketika kaum muslimin tertimpa musibah, ia meminta hujan dengan berwasilah kepada 'Abbas bin 'Abdul Muththalib seraya berdo'a, Ya Allah, kami meminta hujan kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami, kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Maka sekarang kami memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami,, maka turunkanlah hujan untuk kami. Anas berkata, Mereka pun kemudian mendapatkan hujan.(HR. Bukhari)
lantas mari kita ulas bersama :
Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan dikatakan kepadanya “datanglah kepada Umar dan ucapkan salam untuknya<---apakah orang tersebut tertidur dikuburan Nabi? Kok bisa bermimpi? Sementara isi hadits nya tidak mengatakan dia tertidur dikuburan.
“Ya Tuhanku aku tidak melalaikan urusan umat ini kecuali apa yang aku tidak mampu melakukann ya”<---kalau mimpi tersebut menuju ke Umar, lantas kenapa Umar tidak mampu melakukannya? Berarti Nabi salah menunjuk orang. Apakah mungkin Nabi salah menunjukkan orang? Tapi kenapa kenyataan nya dalam Hadits lain kalau Umar minta wasilah kepada paman Nabi sendiri?
lantas kita baca Hadits Bukhari :
bahwa 'Umar bin Al Khaththab radliallahu 'anhu ketika kaum muslimin tertimpa musibah, ia meminta hujan dengan berwasilah kepada 'Abbas bin 'Abdul Muththalib seraya berdo'a,<---yang benar itu Umar meminta wasilah langsung kepada paman Nabi yaitu 'Abbas bin 'Abdul Muththalib tanpa melalui perantaraan mimpi seseorang yang bertemu Nabi yang menyebutkan Umar untuk berwasilah.
Posting Komentar