Hukum Sandiwara Islamiy ::


Oleh : Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzan dengan ta’liq Jamaal bin Furaihaan Al-Haaritsi hafidhahumallah

Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah pernah ditanya sebagai berikut :

ما حكم التمثيل المسمى ( الديني )، والأناشيد المسمـاة  بـ ( الإسلامية )، التي يقوم بها بعض الشباب في المراكز الصيفية ؟

“Apa hukum sandiwara keagamaan (= sandiwara Islamy – Abu Al-Jauzaa’) dan nasyid-nasyid Islamiy sebagaimana yang dilakukan dan disemarakkan sebagian pemuda di pusat hiburan musim panas ?

Jawab Syaikh adalah sebagai berikut :

التمثيل لا أراه جائزًا؛ لأنه :

أولاً : فيه إلهاء للحاضرين؛ لأنهم ينظرون إلى حركات الممثل ويضحكون  .

فالغالب من التمثيل مقصود به التسليـة فقط وإلهاء الحاضرين . هذا من ناحية .

والناحية الثانية : أن الأشخاص الذين يُمَثَّلون قد يكونون من عظماء الإسلام، وقد يكونون من الصحابة، وهذا يُعتبر من التَّنَقُّص لهم، شعرت أو لم تشعر؛ فمثلاً : طفل، أو صبي، أو إنسان على غير المظهر اللائق، يمثل عالمًا من علماء المسلمين أو صحابيًا .. هذا لا يجوز؛ لما فيه من تَنَقُّص الشخصية الإسلامية بمظهر الممثل الفاسق، أو المستهجن .

فلو جاء أحد يُمَثُّلك بأن يمشي مشيك أو يتكلم مقلدًا لك، هل ترضى بهذا ؟ أو تعد هذا من التنقص لك؟، وإن كان الممثِّل يقصد – بزعمه – الخير، لكن الأشخاص لا يرضون أن أحدًا يتنقصهم .

Sandiwara (at-tamtsiil)[1] menurutku tidak diperbolehkan, karena :

Pertama; melalaikan orang yang hadir[2] karena mereka melihat gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para pemain sandiwara dan mentertawakannya.[3] Ini dari satu sisi.

Kedua, orang-orang yang memainkan sandiwara tersebut kadang memerankan tokoh-tokoh besar Islam, atau bahkan memerankan shahabat radliyallaahu ‘anhum. Ini dipandang sebagai satu sikap peremehan kepada mereka,[4] baik orang tersebut merasa atau tidak. Contohnya : Bocah, anak-anak, atau orang pada umumnya yang tidak pantas, mereka memerankan/menirukan seorang ulama kaum muslimin atau memerankan seorang shahabat……… ini tidak diperbolehkan. Karena di dalamnya terdapat unsur merendahkan tokoh-tokoh Islam yang telah dikenal yang dimisalkan (diperankan) oleh seorang fasiq atau buruk.

Apabila ada seseorang yang datang kepadamu lalu ia menirukan cara berjalan seperti cara berjalanmu atau menirukan cara berbicaramu, apakah engkau ridla dengan hal ini ? Atau hal ini justru terhitung sebagai satu perbuatan yang merendahkanmu ? Walau orang yang meniru tersebut bermaksud – dengan angapannya – menggapai suatu kebaikan, namun setiap orang tetap tidak akan ridla dengan seseorang yang merendahkan dirinya.

ثالثًا – وهو أخطر - : أن بعضهم يتقمّص شخصية كافرة، كأبي جهل، وفرعون – وغيرهم -، ويتكلم بكلام الكفر، بزعمه أنه يريد الرَّد عليه، أو يريد بيان كيف كانت الجاهلية؛ فهذا تشبُّه بهم، والرسول صلى الله عليه وسلم نهى عن التشبُّه بالمشركين والكفار ، تشبُّه في تقَمُّص الشخصية، وتشبُّه بكلامهم .

وأيضًا من المحاذير: أن هذه الطريقـة في الدعوة ليست من هدي الرسول صلى الله عليه وسلم ، ولا هو هدي سلفنا الصالح، ولا من هدي المسلمين .

هذه التمثيليات ما عُرفت إلا من الخارج – من الكفار-، وتَسَرَّبَت إلينا باسم الدعوة إلى الإسلام، واعتبارها من وسائل الدعوة، غير صحيح وسائل الدعوة – ولله الحمد – توقيفيةُ، غنيةٌ عن هذه الطريقة .

Ketiga, dan yang ini lebih berbahaya : bahwasannya sebagian mereka menirukan pribadi seorang kafir, seperti Abu Jahl, Fir’aun, dan yang selainnya. Mereka berkata dengan perkataan kufur dengan dugaannya (dia melakukan hal tersebut) untuk membantah mereka, atau ingin menerangkan tentang keadaan Jahiliyyah. Maka ini sebenarnya merupakan bentuk tasyabbuh kepada mereka (orang-orang kafir). Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk meniru orang-orang musyrik dan orang-orang kafir,[5] baik dalam pribadi ataupun perkataan mereka.

Dan termasuk juga dalam pelarangan ini adalah : Bahwasannya cara/metode sandiwara dalam dakwah bukan termasuk petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, petunjuk para salafunash-shaalih, ataupun petunjuk kaum muslimin.

Bentuk-bentuk sandiwara ini tidaklah diketahui melainkan dari luar Islam dari kalangan kafir; yang kemudian masuk kepada kita atas nama dakwah kepada Islam dan menjadikannya sebagai salah satu wasilah (sarana) dakwah. Ini tidak benar, karena wasilah dakwah itu – segala puji bagi Allah – adalah tauqifiyyah. Islam tidak butuh jalan dakwah seperti ini.[6]

وكانت الدعوة ناجحة في مختلف العصور بدون هذه التمثيليات، ولما جاءت هذه الطريقة ما زادت الناس شيئًا ولا أَثَّرت شيئًا؛ مما يدل على أنها سلبية، وأن ليس فيها فائدة، , وإنما فيها مضرّة .

وإن قال قائل : إن الملائكة تتمثّل بصور الآدميين .

نقول : إن الملك يأتي في صورة آدمي لأن الإنسان لا يطيق النظر إلى الملك بصورته، وهذا من مصلحة البشر لأن الملائكة لو جاءوا بصورتهم الحقيقية ما استطاع البشر أن يخاطبوهم ولا أن يكلموهم ولا أن ينظروا إليهم .

والملائكة حينما تتمثل بصورة شخص لا تقصد التمثيل الذي يعنيه هؤلاء .

الملائكة تتمثل بالبشر من أجل المصلحة؛ لأن الملائكة لهم صور غير صور البشر . أما عند البشر فكيف تغير الصورة من إنسان إلى إنسان ؟ . ما هو الداعي إلى هذا ؟!! .

Dakwah ini akan menang dalam kurun waktu yang berbeda-beda tanpa mempergunakan cara sandiwara-sandiwara. Dan ketika jalan (sandiwara) ini datang, maka tidaklah menambah sedikitpun bagi manusia dari kebaikan. Hal ini menunjukkan bahwa perkara ini adalah satu perkara yang negatif, tanpa satu manfaat di dalamnya. Yang ada hanyalah hal-hal yang membahayakan (mudlarat).

Jika ada yang mengatakan : “Sesungguhnya malaikat pernah menyerupai wujud manusia (anak-anak Adam)”.

Kami katakan : “Ketika malaikat datang menyerupai manusia hal itu dikarenakan manusia tidak mampu melihat wujud malaikat yang sebenarnya. Ini termasuk maslahat bagi manusia karena jika malaikat itu datang dengan wujudnya yang asli, maka manusia tidak akan dapat berbicara dan melihat kepada mereka.[7]

Para malaikat ketika datang dan menyerupai seseorang tidaklah bermaksud melakukan sandiwara sebagaimana yang mereka lakukan.

Malaikat menyerupai manusia dalam rangka ke-maslahat-an, karena malaikat mempunyai wujud yang tidak sama dengan wujud manusia. Adapun manusia, maka bagaimana ia ‘berubah wujud’ dari satu sosok manusia ke sosok manusia lainnya ? Faktor yang mendorong ia melakukannya ?

 

[selesai – dari kitab Al-Ajwibatul-Mufiidah ‘an As-ilatil-Manaahijil-Jadiidah; Cet. 2/1423; pertanyan no. 37]



[1]     Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata dalam kitabnya At-Tamtsiil :

وعن حدوثه في التعبد لدى غير  المسلمين : فقد رجَّح بعض الباحثين أن نواة التمثيل من شعائر العبادات الوثنية لدى اليونان

“Pada awalnya, (sandiwara) merupakan tata cara peribadahan orang-orang selain muslim. Sebagian ulama menguatkan bahwa inti dari sandiwara merupakan syi’ar-syi’ar peribadahan kaum penyembah berhala dari orang-orang Yunani” [selesai – hal. 18].

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitabnya Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim (hal. 191; Daarul-Hadiits) ketika mengomentari perbuatan kaum Nashara pada perayaan hari raya mereka yang mereka namakan ‘Ied Sya’aaniin :

يخرجون فيه بورق الزيتون ونحوه، ويزعمون أن ذلك مشابهة لما جرى للمسيح

“Mereka keluar pada hari tersebut dengan daun zaitun atau yang sejenisnya, yang kemudian menyangka bahwa apa yang mereka perbuat tersebut menyerupai diri Al-Masiih ‘alaihis-salaam” [selesai].

Perkataan tersebut juga dinukil oleh Asy-Syaikh Bakr dalam At-Tamtsiil. Beliau mengisyaratkan hal itu dengan perkataannya :

إذا علمت أن التمثيل منقطع الصلة بتاريخ المسلمين في خير القرون، وأن وفادته كانت طارئة في فترات، وأنه في القرن الرابع عشر الهجري استقبلته دور اللهو وردهات المسارح، ثم تسلل من معابد النصارى إلى فريق " التمثيل الديني " في المدارس وبعض الجماعات الإسلامية [ قلت : مثل فِرقة الإخوان المسلمين ]، إذا علمتَ ذلك فاعلم أن قواعد الشريعة وأصولها، وترقيها بأهلها إلى مدارج الشرف والكمال تقضي برفضه ..

ومعلوم أن الأعمال إما عبادات وإما عادات؛ فالأصل في العبادات لا يشرع منها إلا ما شرعه الله، والأصل في العادات لا يحظر منها إلا ما حظره الله …

وعليه : فلا يجوز أن يكون على سبيل التعبد " التمثيل الديني "، أو من باب الاعتياد على سبيل اللهو والترفيه. والتمثيل الديني لا عهد للشريعة به؛ فهو سبيل محدث، ومن مجامع ملة الإسلام قول النبي صلى الله عليه وسلم : (( من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رَدّ )) .

ولهذا فما تراه في بعض المدارس والجامعات من فِرَق للتمثيل الديني، فإن حقيقته "التمثيل البدعي "، لِِمَا علمت من أصله، وحدوثه لدى المسلمين خارجًا عن دائرة المنصوص عليه بدليل شرعي، وأنه من سبيل التعبد لدى أهل الأوثان من اليونان ومبتدعة النصارى؛ فلا أصل له في الإسلام بإطلاق، فهو إذًا محدث، وكل أمرٍ محدثٍ في الدين فهو بدعة تضاهي الشريعة؛ فصدق عليه – حسب أصول الشرع المطهر – اسم " التمثيل البدعي " .

وأما إن كان التمثيل في العادات : فهذا تَشَبُّه بأعداء الله الكافرين، وقد نُهينا عن التشبه بهم، إذ لم يُعرف إلا عن طريقهم

“Apabila engkau telah mengetahui bahwasannya sandiwara itu tidak ada tidak ada hubungannya dengan tariikh kaum muslimin pada kurun generasi terbaik. Kedatangannya tidak disangka-sangka pada masa sedikitnya ilmu, yaitu pada abad 14 H, yang kemudian disambut di rumah-rumah hiburan dan gedung theater. Setelah itu, berpindahlah secara halus dari tempat peribadahan kaum Nashara ke sekelompok pelaku “sandiwara keagamaan” di sekolah-sekolah dan sebagian universitas-universitas Islam. [Aku – yaitu Jamaal bin Furaihan Al-Haaritsi/pen-ta’liq katakan : “seperti yang dilakukan oleh kelompok Al-Ikhwaanul-Muslimuun]. Apabila engkau menyadari, maka ketahuilah bahwa kaidah-kaidah dan ushul-ushul syar’iyyah yang telah mengangkat ahlinya kepada derajat yang mulia dan sempurna akan menolaknya…..

Telah diketahui bahwasannya amal itu bisa jadi ia termasuk ibadah, atau bisa jadi termasuk kebiasaan/adat. Adapun asal dari perkara ibadah adalah tidak disyari’atkan kecuali apa-apa yang telah disyari’atkan oleh Allah ta’ala. Sebaliknya, asal dari perkara kebiasaan/adat adalah tidak dilarang kecuali apa-apa yang dilarang oleh Allah ta’ala.

Oleh karena itu, maka tidak diperbolehkan menjadikan “sandiwara keagamaan” sebagai salah satu bagian peribadahan kepada Allah ta’ala, ataupun bagian dari kebiasaan/adat yang mengandung unsur permainan dan hiburan. Sandiwara keagamaan tidak ditetapkan oleh syari’at, dan bahkan ia termasuk perkara muhdats (baru). Dan termasuk bagian dari keseluruhan agama Islam adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan agama kami yang bukan merupakan bagian darinya, maka tertolak”.

Oleh karena itu, apa-apa yang engkau lihat di beberapa sekolah dan universitas tentang adanya “sandiwara keagamaan”, maka pada hakekatnya itu (pantas dinamakan) “sandiwara bid’ah” (at-tamtsiil al-bid’iy) karena telah diketahui asal-usulnya. Perkara tersebut bagi kaum muslimin merupakan perkara yang telah keluar dari daerah yang ditentukan berdasarkan nash-nash syar’iy. Perkara tersebut merupakan bagian dari peribadahan kaum penyembah berhala Yunani dan mubtadi’ kaum Nashara. Tidak ada asalnya sama sekali dari Islam secara mutlak. Ia merupakan perkara muhdats (baru); dan setiap perkara muhdats dalam agama, maka ia termasuk bid’ah yang menyerupai syari’at. Maka nama yang lebih cocok untuk sandiwara tersebut – sesuai ushul syar’iy yang suci – adalah “sandiwara bid’ah” (at-tamtsiil al-bid’iy).

Adapun jika sandiwara tersebut dimasukkan dalam perkara adat, maka ini termasuk tasyabbuh (penyerupaan) kepada musuh-musuh Allah dari kalangan orang-orang kafir. Padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka. Dan perkara ini tidaklah dikenal melainkan dari mereka” [selesai perkataan Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid].

Aku (Jamaal bin Furaihaan Al-Haaritsi) berkata : “Sesungguhnya ‘sandiwara keagamaan’ - sebagaimana yang mereka namakan – pada pusat hiburan musim panas dan sebagian sekolah, dianggap sebagai salah satu metode dakwah dari metode-metode yang ada dan jalan untuk mempengaruhi para pemuda menurut mereka. Inilah pandangan/pemikiran mereka. Namun ini tertolak menurut cara pandang secara syari’at, karena metode dakwah kepada jalan Allah bersifat tauqifiyyah (ditentukan oleh nash). Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk membuat hal yang baru bagi dirinya sedikitpun. Aku tidak akan memperpanjang pembicaraan ini, lihat kembali pertanyaan nomor 34 (dalam kitab asli – Abul-Jauza’), engkau akan melihat bantahan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah terhadap pertanyaan yang berkenaan dengan seseorang yang membuat metode baru (muhdats/bid’ah) agar manusia bertaubat dari kemaksiatan yang dilakukannya.

Apabila ada orang yang berkata : “Sesungguhnya metode dakwah itu termasuk maslahat mursalah”.

Maka kita katakan : “Apakah syari’at meremehkan maslahat (kebaikan) bagi hamba-hamba-Nya ?”.

Dan jawabannya datang dari Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dimana beliau berkata :

والقول الجامع : أن الشريعة لا تُهمل مصلحة قط، بل الله  تعالى  قد أكمل لنا الدين، وتركنا على البيضاء ليلها كنهارها لا يزيع عنها بعده إلا هالك

“Secara singkat dikatakan : Bahwasannya syari’at tidak meremehkan maslahat (kebaikan) sama sekali. Bahkan Allah ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita. Meninggalkan kepada kita syari’at yang putih bersih dimana malamnya bagaikan siangnya, tidak seorang pun menyimpang darinya kecuali akan binasa” [selesai – dinukil dari kitab Al-Hujajul-Qawiyyah ‘alaa Anna Wasaailad-Da’wah Tauqifiyyah oleh Asy-Syaikh ‘Abdus-Salaam bun Barjas, hal. 40].

Aku katakan : Apabila banyak orang yang melakukan kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan bertaubat (kepada Allah kembali kepada kebenaran) dengan jalan yang sesuai dengan syari’at – dan memang harus demikian – maka mengapa seorang da’i (juru dakwah) harus mencari perantara-perantara yang tidak ada dalam syari’at ? Yang bersamaan dengan hal itu, apa yang terdapat dalam syari’at telah cukup meng-cover tujuan dilakukannya dakwah kepada Allah – yaitu menjadikan orang-orang yang bermaksiat dan tersesat untuk bertaubat dan mendapatkan hidayah. Hendaklah para da’i itu melapangkan dirinya dengan apa-apa yang telah melapangkan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan shahabatnya radliyallaahu ‘anhum. Sesungguhnya mereka (para shahabat) – radliyallaahu ‘anhum – kembali kepada ilmu dalam segala sesuatu (sehingga patut untuk dicontoh – Abul-Jauzaa’).

Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu pernah berkata :

أيها الناس : إنكم ستحدثون ويحدث لكم؛ فإذا رأيتم محدثة فعليكم بالأمر الأول

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian akan mengadakan perkara baru dan akan diadakan perkara baru untuk kalian. Apabila kalian melihat perkara yang baru (muhdatsah), maka wajib bagi kalian untuk menetapi perkara yang pertama (yaitu apa yang dilakukan oleh para Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beserta para shahabat radliyallaahu ‘anhum)”.

Ibnu Mas’ud juga berkata :

إياكم والتبدع، وإياكم والتنطع، وإياكم والتعمق، وعليكم بالعتيق 

“Jauhilah oleh kalian perbuatan bid’ah, berlebih-lebihan, dan berdalam-dalam. Dan wajib atas kalian berpegang pada generasi yang terdahulu” [Thabaqaat Al-Hanaabilah 1/69,71].

Asy-Syaikh ‘Abdus-Salaam bin Barjas berkata :

إن تحديد المصلحة في أمر ما صعب جدًا؛ فقد يظن الناظر أن هذا مصلحة، وليس الأمر كذلك، ولذا فإن الذي يتولى تقدير المصلحة أهل الاجتهاد الذين تتوفر فيهم العدالة، والبصيرة النافذة بأحكام الشريعة، ومصالح الدنيا، إذ الاستصلاح يحتاج إلى مزيد الاحتياط في توخِّي المصلحة، وشدة الحذر من غلبة الأهواء، لأن الأهواء كثيرًا ما تزين المفسدة فتُرى مصلحة، وكثيرًا ما يُغتر بما ضرره أكبر من نفعه، وأنَّى للمقلد أن يدَّعي غلبة الظن أن في هذه مصلحة، وهل هذا إلا اجتراء على الدين، وإقدام على حكم شرعي بغير يقين ؟!

“Sesungguhnya menentukan maslahat dalam satu perkara adalah sulit sekali. Mungkin saja seseorang menyangka satu perkara itu termasuk maslahat, namun kenyataan tidak demikian. Oleh karena itu, yang berhak menentukan kemaslahatan itu adalah para ulama (ahlul-ijtihaad) yang memiliki keadilan dan bashirah (ilmu) untuk melaksanakan hukum-hukum syari’at dan maslahat duniawi. Oleh karena itu, dalam menentukan maslahat butuh sikap kehati-hatian yang besar, dan sikap waspada terhadap pengaruh hawa nafsu. Karena, hawa nafsu seringkali menghiasi sesuatu yang rusak menjadi tampak baik. Dan seringkali, bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Lalu bagaimana keadaannya bagi seorang muqallid itu bisa dikuasai oleh prasangka  bahwa dalam satu perkara terdapat maslahat ? Bukankah ini termasuk sikap lancang terhadap agama dan mendahului hukum syari’at tanpa ada satu keyakinan (yang berdasar) ?! [Al-Hujajul-Qawiyyah hal. 45].

Beliau (Asy-Syaikh ‘Abdus-Salaam) juga menukil perkataan Asy-Syaikh As-Salafy, Hamud bin ‘Abdillah At-Tuwaijiy rahimahullah :

إن إدخال التمثيل في الدعوة إلى الله – تعالى – ليس من سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولا من سنة الخلفاء الراشدين المهديين، وإنما هو من المحدثات في زماننا، وقد حذر النبي صلى الله عليه وسلم من المحدثات وأمر بردها وأخبر أنها شر وضلال

“Bahwasannya memasukkan sandiwara dalam dakwah (seruan) kepada Allah ta’ala bukan termasuk sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula sunnah dari Al-Khulafaaur-Raasyidiin yang mendapatkan petunjuk. Ia hanyalah perkara yang diada-adakan (muhdatsaat) di jaman kita. Sungguh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang perkara-perkara baru dalam agama, memerintahkan untuk menolaknya, serta mengkhabarkan bahwasannya hal itu merupakan kejelekan dan kesesatan” [idem, hal. 55].

[2]     Di dalamnya terdapat unsur menyia-nyiakan waktu. Padahal seorang muslim akan ditanya kelak tentang waktu yang ia pergunakan. Seorang muslim dituntut untuk menjaga waktu dan memanfaatkannya dengan hal-hal yang diridlai oleh Allah ‘azza wa jalla sehingga berguna bagi dunia dan akhiratnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Barzah Al-Aslamiy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يُسأل عن : عمره فيمَ أفناه، وعن ماله من أين اكتسبه وفيمَ أنفقه، وعن جسمه فيمَ أبلاه

“Tidak akan bergeming tapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ia akan ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia mendapatkannya serta kemana ia belanjakan, dan tentang badannya untuk apa dia kerahkan” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2417, dan ia menshahihkannya].

[3]     Pada umumnya, sandiwara itu berisi kedustaan, bahkan semua adalah dusta. Bisa jadi itu memberikan pengaruh kepada orang-orang yang hadirs dan menyaksikan, menarik perhatian mereka, serta membuat mereka tertawa; yang kesemuanya itu merupakan cerita khayal. Terdapat peringatan keras dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang berdusta untuk membuat tertawa manusia. Dari Mu’awiyyah bin Haidah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ويل للذي يحدث فيكذب ليضحك به القوم، ويل له، ويل له

“Neraka Wail bagi orang yang berkata, lalu berdusta untuk membuat orang tertawa. Neraka Wail baginya, neraka Wail baginya” [Hadits hasan, dikeluarkan oleh Ahmad 5/3-5, At-Timridzi no. 2315, dan Al-Haakim 1/46].

Telah berkata Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah ketika membicarakan hadits di atas :

وقد قال ابن مسعود : " إن الكذب لا يصلح في جد ولا هزل " . وأما إن كان في ذلك ما فيه عدوان على المسلمين وضرر في الدين فهو أشد تحريمًا من ذلك، وعلى كل حال؛ ففاعل ذلك – مضحك القوم بالكذب – مستحق للعقوبة الشرعية التي تردعه عن ذلك

“Ibnu Mas’ud telah berkata : ‘Sesungguhnya dusta itu tidak benar, baik sungguh-sungguh ataupun bercanda’.  Adapun jika dalam kedustaan tersebut membawa permusuhan di antara kaum muslimin serta membahayakan agama, maka pengharamannya akan lebih keras lagi. Bagaimanapun juga, bagi pelakunya – yang membuat ketawa manusia – berhak mendapatkan hukuman syari’at yang dapat mencegah perbuatan itu” [selesai – Majmu’ Al-Fataawaa, 32/256].

Adapun cerita-cerita (dongeng), telah dikatakan :

فقد كره السلف القصص ومجالس القصص؛ فحذروا منها أيما تحذير، وحاربوا أصحابها بشتى الوسائل

“Sungguh para salaf telah membenci cerita-cerita dan majelis cerita-cerita. Mereka melarang darinya dengan segala macam peringatan, dan memerangi pelakunya dengan berbagai sarana yang memungkinkan” [Diambil dari kitab : Al-Mudzakkir wat-Tadzkiir oleh Ibnu Abi ‘Aashim, dengan tahqiq : Khaalid Ar-Raddaadiy, hal. 26].

Ibnu Abi ‘Aashim telah meriwayatkan dengan sanad shahih :

أن عليًا رضي الله عنه رأى رجلاً يقص؛ فقال : علمت الناسخ والمنسوخ؟ فقال : لا، قال : هلكت وأهلكت

Bahwasannya ‘Ali pernah melihat seorang laki-laki yang bercerita, kemudian ia berkata kepadanya : “Apakah engkau mengetahui an-naasikh dan al-mansuukh ?”. Maka laki-laki tersebut menjawab : “Tidak”. ‘Ali pun berkata : “Binasalah kamu, binasalah kamu” [Al-Mudzkkir wat-Tadzkiir, hal. 82].

وقال مالك : (( وإني لأكره القصص في المسجد )). قال – أيضًا - : (( ولا أرى أن يُجلس إليهم، وإن القصص لبدعة )).

وقال سالم : (( وكان ابن عمر خارجًا من المسجد، فيقول : ما أخرجني إلا صوت قاصِّكم هذا )).

قال الإمام أحمد : (( أكذب الناس القُصَّاص والسؤَّال ..، قيل له : أكنت تحضر مجالسهم ؟، قال : لا ))

Malik berkata : “Sungguh aku membenci cerita-cerita/dongeng di masjid”. Beliau juga berkata : “Aku tidak berpendapat tentang bolehnya bermajelis dengan mereka (para pencerita/pendongeng), karena sesungguhnya cerita-cerita itu adalah bid’ah”.

Saalim berkata : “Bahwasannya Ibnu ‘Umar pernah keluar dari masjid dan berkata : ‘Tidak ada hal yang membuat aku keluar dari masjid ini kecuali suara cerita-ceritamu ini”.

Al-Imam Ahmad berkata : “Sedusta-dusta manusia adalah para pencerita/pendongeng dan orang yang banyak bertanya (pada sesuatu hal yang tidak bermanfaat)”.  Kemudian ditanyakan kepada beliau : “Apakah engkau menghadiri majelis mereka?”. Beliau menjawab : “Tidak” [selesai – dinukil dari kitab Al-Bida’ wal-Hawaadits oleh Ath-Thurthuusyiy, hal. 109-112].

[4]     Termasuk bagian dari nama-nama sandiwara adalah al-muhaakah. Ia adalah meniru seseorang dalam gerak-geriknya. Terdapat hadits shahih yang mencela dan melarang al-muhaakah ini. Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

ما أحب أني حكيت إنسانًا، وأن لي كذا وكذا

“Aku tidak menyukai untuk meniru seseorang. Dan sungguh bagiku adalah seperti ini dan ini” [Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad 6/136,206 dan At-Tirmidzi no. 2503].

[5]     Beberapa hadits yang melarang penyerupaan terhadap orang-orang musyrik dan orang-orang kafir diantaranya :

a.     Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : (خالفوا اليهود والنصارى ...) “Selisihilah orang-orang Yahudi dan Nashrani…” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 2186].

b.    Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : (خالفوا المشركين ...) “Selisihilah orang-orang musyrik…” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 259].

c.     Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : (خالفوا المجوس ...) “Selisihilah orang-orang Majusi…” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 260].

[6]     Telah terbit sebuah kitab yang berjudul : Al-Hujajul-Qawiyyah ‘alaa Anna Wasaailad-Da’wah At-Tauqifiyyah oleh Asy-Syaikh ‘Abdus-Salaam bin Barjas Aali ‘Abdil-Kariim. Sebuah kitab yang sangat bagus yang berkaitan dengan bahasan ini, dan kami menasihatkan untuk membaca kitab tersebut.

[7]     Sesungguhnya para malaikat tidak menirukan perkataan seseorang yang ia serupai. Tidak pula dapat berjalan seperti jalan orang yang ia serupai, atau selain dari itu dari perkara-perkara yang dikerjakan oleh para pelaku sandiwara saat ini. Lihat kitab : Iiqaafun-Nabiil ‘alaa Hukmit-Tamtsiil oleh Asy-Syaikh ‘Abdus-Salaam bin Barjas rahimahullah.

Comments

Anonim mengatakan...

bagaimana dengan orang yang berdalil dengan kisah nabi ibrahim berpura-pura menganggap benda-benda langit sebagai tuhan dalam rangka berdakwah?

Ali mengatakan...

Bagaimanakah pendapat antum (Abul-Jauzaa) tentang sandiwara Al-Hassan & Al-Husain saat memberi contoh orangtua renta yang belum bisa wudlu?

Beliau berdua melakukannya karena segan jika harus menegur atau mengevaluasi si kakek secara langsung.

Bagaimana jika seseorang dimasa kini melakukannya dengan sebab yang sama?

Misalkan karena segan atau hendak mengevaluasi suatu urusan syariat yang salah di masyarakat, akhirnya tak ada pilihan lain kecuali melalui sandiwara untuk menghindari fitnah atau fitan?