Beberapa Fatwa Asy-Syaikh Mushthafa bin Al-'Adawiy

1 komentar

فتوى حكم قراءة القرآن على الميت للشيخ مصطفى العدوي



فتوى حكم تلحين الحديث للشيخ مصطفى العدوي

Larangan Banyak Bertanya & Prinsip dalam Menjalankan Syaria’t Agama

0 komentar

Oleh : Asy-Syaikh 'Abdurrahman bin Naashir As-Sa'diy rahimahullah


Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda

دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.

”Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan (banyaknya) penyelisihan mereka kepada para nabi mereka. Maka apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, tinggalkanlah. Dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian” [Muttafaqun ’alaihi].[1]

Pertanyaan yang dilarang oleh Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam darinya adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَسْأَلُواْ عَنْ أَشْيَاء إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” [QS. Al-Maaidah : 101].

Ia merupakan pertanyaan terhadap sesuatu yang ghaib, dimaafkan oleh Allah, atau tidak diharamkan dan tidak pula diwajibkan oleh Allah. Orang yang bertanya tentang hal itu pada waktu turunnya wahyu dan syari’at, boleh jadi akan menjadi wajib karena pertanyaan tersebut. Maka, masuklah orang yang bertanya sebagai orang yang dicela dalam sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْنَ جُرْماً مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ.

”Sesungguhnya orang Islam yang paling besar kejahatannya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang semula tidak diharamkan, kemudian diharamkan dari sebab pertanyaannya itu”.[2]

Seseorang dilarang bertanya untuk menentang dan mencari-cari kesalahan, serta menanyakan suatu perkara yang tidak penting yang di sisi lain meninggalkan pertanyaan tentang perkara yang lebih penting.Maka, pertanyaan-pertanyaan seperti ini dan sejenisnya yang dilarang oleh syari’at.

Adapun pertanyaan untuk mencari bimbingan tentang agama, baik ushul maupun furu’-nya atau perkara-perkara ibadah maupun muamalah, maka ini merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wa sallam. Bahkan hal itu sangat dianjurkan karena merupakan sarana untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan memahami hakekat syari’at ini. Allah ta’ala telah berfirman :

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

”Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” [QS. Al-Anbiyaa’ : 7].

وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رُّسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِن دُونِ الرَّحْمَنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ

”Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: "Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?" [QS. Az-Zukhruf : 45].

Dan ayat-ayat yang lainnya.

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam telah bersabda :

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراًَ يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.

”Barangsiapa yang Allah kehendaki dengannya kebaikan, niscaya Allah akan pahamkan ia dalam ilmu agama”.[3]

Semua itu diperoleh melalui jalan at-tafaqquh fid-diin (memahami ilmu agama), baik melalui penelitian, belajar, maupun bertanya. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda :

أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا ؟ فَإِنَّمَا شَفَاءُ الْعِيِّ السَّؤَالُ.

”Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengerti ? Sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya”.[4]

Allah ta’ala telah memerintahkan kita untuk bersikap lemah-lembut kepada orang yang bertanya dan memberikan apa yang dimintanya dengan tidak menghardiknya; sebagaimana firman-Nya ta’ala :

وَأَمَّا السَّائِلَ فَلا تَنْهَرْ

”Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya” [QS. Adl-Dluha : 10].

Yang dimaksud ”orang yang meminta-minta” dalam ayat ini meliputi orang yang meminta[5] ilmu yang bermanfaat dan kebutuhkan duniawi, harta atau yang lainnya.

Termasuk dalam cakupan (larangan) dalam hadits di awal adalah : Bertanya tentang kaifiyah shifat Al-Baariy (yaitu Allah). Karena masalah shifat ini seluruhnya adalah sebagaimana dikatakan Al-Imam Malik kepada orang yang bertanya kepadanya tentang kaifiyah istiwaa’-nya Allah ta’ala di atas ’Arsy :

"الاستواء معلوم. والكيف مجهول. والإيمان به واجب. والسؤال عنه بدعة"

Istiwaa’-nya Allah itu telah diketahui (maknanya), kaifiyah (bagaimana/hakekat)-nya tidak diketahui, mengimaninya (istiwaa’) adalah wajib, dan mempertanyakannya adalah bid’ah”.[6]

Barangsiapa yang bertanya tentang kaifiyah shifat Allah atau bagaimana penciptaan dan pengaturan-Nya, maka katakanlah kepadanya : “Sebagaimana Dzat Allah ta’ala tidak serupa dengan dzat makhluk-makhluk-Nya, maka shifat-Nya juga tidak serupa dengan shifat makhluk-makhluk-Nya”.

Semua makhluk mengenal Allah melalui pengenalan terhadap shifat-shifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Adapun kaifiyah tentang itu semua, maka tidak ada yang mengetahui melainkan Allah ta’ala.

Kemudian, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam hadits dua kaidah yang sangat besar :

Pertama, perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : { فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ } “Maka apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, tinggalkanlah”. Segala sesuatu yang dilarang oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan dan perbuatan yang lahir maupun batin, maka wajib untuk ditinggalkan dan menahan diri darinya; sebagai wujud pelaksanaan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dan tidaklah dikatakan dalam hal larangan : ”semampu kalian”. Hal itu dikarenakan suatu larangan mengandung tuntutan untuk menahan diri yang mana setiap orang mampu untuk melakukannya. Setiap orang pada hakekatnya mampu untuk meninggalkan seluruh apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Manusia sama sekali tidak terdesak untuk membutuhkan hal-hal yang diharamkan secara mutlak, karena hal-hal yang dihalalkan itu sangat luas meliputi seluruh makhluk; baik dalam hal ibadah, mu’amalah, maupun pengaturan mereka.

Adapun kebolehan memakan bangkai, darah, dan daging babi hanyalah bagi mereka yang terpaksa untuk melakukannya; karena dalam kondisi terpaksa, maka hal itu menjadi halal bagi mereka. Hal-hal yang sifatnya dlarurat membolehkan sesuatu yang pada asalnya dilarang (الضرورات تبيح المحظورات).[7] Maka, hal-hal yang dilarang menjadi diperbolehkan karena keadaan dlarurat. Allah ta’ala hanyalah melarang sesuatu yang haram sebagai satu penjagaan dan pemeliharaan bagi hamba-Nya dari kejelakan dan kerusakan, sekaligus menetapkan kemaslahatan bagi mereka. Apabila hal-hal yang diharamkan itu berhadapan dengan kemaslahatan yang lebih besar – yaitu untuk mempertahankan hidup manusia – maka didahulukanlah kemaslahatan tersebut (sehingga membolehkan melakukan hal-hal yang diharamkan) sebagai satu rahmat dan kebaikan dari Allah ta’ala.

Adapun pengobatan, maka tidak termasuk cakupan dalam bab ini. Sebab, obat bukan termasuk bagian dari dlarurat. Allah ta’ala menyembuhkan orang sakit dengan sebab yang bermacam-macam, bukan hanya disebabkan satu obat tertentu saja – meskipun obat itu diduga kuat dapat menyembuhkan sakit tersebut. Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk berobat dengan sesuatu yang diharamkan, seperti khamr (minuman keras), susu keledai jinak, dan yang semisalnya dari hal-hal yang diharamkan. Berbeda halnya dengan kasus diperbolehkannya memakan bangkai (dalam keadaan terpaksa); karena orang yang melakukan mempunyai keyakinan jika ia tidak memakannya, maka ia akan mati.

Kedua, perkataan beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam : { وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ } ”Dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian”. Ini adalah satu kaidah yang sangat besar, yang ditunjukkan pula oleh firman Allah ta’ala :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

”Maka bertaqwalah kamu kepada Alah menurut kesanggupanmu” [QS. At-Taghaabun : 16].

Semua perkara syari’at ditentukan menurut kesanggupan dan kemampuan seorang hamba. Apabila ia tidak mampu melaksanakan satu kewajiban secara keseluruhan dari kewajiban-kewajiban (yang dibebankan kepadanya), maka gugurlah kewajiban itu darinya. Jika ia mampu melaksanakan sebagian dari kewajiban tersebut – dari sebagian perkara ibadah – maka ia wajib melaksanakan dari apa yang ia mampu, dan gugur apa-apa yang ia tidak mampu melaksanakannya.

Masuk dalam hal ini berbagai perkara fiqh dan hukum yang tidak terhitung. Seorang yang sakit wajib shalat dengan berdiri (jika sanggup). Apabila tidak sanggup, maka boleh dengan duduk. Apabila tidak sanggup duduk, maka boleh dengan berbaring. Dan apabila hal itu tidak sanggup dilakukan juga, maka boleh dengan isyarat kepala atau dengan gerakan mata.

Seseorang wajib untuk berpuasa selama ia mampu. Apabila ia tidak mampu karena sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya, maka ia dapat menggantinya dengan memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya. Namun bila sakitnya masih bisa diharapkan untuk sembuh, maka ia dapat berbuka dan mengganti puasanya (sejumlah hari yang ditinggalkan) pada waktu yang lain.

Termasuk juga, orang yang tidak mendapatkan pakaian penutup untuk shalat wajib, tidak mengetahui arah kiblat, atau sulit melepaskan najis; maka gugurlah apa yang tidak ia sanggupi itu. Begitu pula dengan hal-hal yang terkait dengan syarat-syarat dan rukun-rukun shalat atau syarat-syarat thaharah (bersuci). Barangsiapa yang mempunyai ’udzur bersuci dengan air karena tidak mendapatkannya atau karena bahaya yang ditimbulkan dalam bersuci baik sebagian atau seluruhnya, maka diperbolehkan baginya untuk bertayamum.

Orang lumpuh yang tidak mampu berhaji, maka boleh mencari orang yang menggantikannya untuk melaksanakan ibadah haji, jika dari segi harta mampu untuk melakukannya.

Memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, wajib dilakukan dengan tangan bagi orang yang mempunyai kemampuan, kemudian (jika tidak mampu) dengan lisan, dan kemudian (jika tidak mampu) dengan hati.

Tidak mengapa bagi orang buta, pincang, dan sakit untuk meninggalkan ibadah-ibadah yang mereka tidak mampu atau berat melaksanakannya karena beban/kesulitan yang tidak mampu mereka pikul.

Siapa saja yang dibebankan padanya untuk memberi nafkah wajib, namun tidak mampu memberikannya secara keseluruhan; hendaklah ia mulai (memberi nafkah) kepada istrinya, kemudian anaknya, kemudian kedua orang tuanya, kemudian orang-orang yang terdekat dengannya setelahnya. Begitu juga dalam masalah zakat fithrah.

Demikianlah, semua perintah yang diterima oleh seorang hamba - baik yang wajib ataupun yang sunnah - jika ia mampu pada sebagiannya namun tidak mampu pada sebagian yang lain, maka wajib baginya untuk mengerjakan apa yang ia disanggupi dan gugur baginya apa yang tidak ia sanggupi. Semua itu masuk dalam hadits ini.

Adapun masalah undian, maka masuk dalam kaidah ini juga. Karena pemasalahannya rancu untuk menentukan siapa yang lebih berhak atasnya; maka kita kembalikan pada faktor-faktor yang menguatkannya. Jika hal itu belum juga memungkinkan (sama sekali tidak ada faktor penguat), maka kewajiban ini gugur karena ketidakmampuan, dan kemudian beralih pada cara undian dimana itu merupakan hal yang paling memungkinkan untuk dilakukan. Permasalahan seperti ini banyak dibahas dalam kitab-kitab fiqh.

Kekuasaan semuanya – baik yang besar maupun yang kecil – masuk dalam kaidah ini juga. Karena semua kekuasaan mewajibkan adanya penugasan kepada orang yang mempunyai sifat tertentu yang dengan itu akan tercapai tujuan kekuasaan atau jabatan tersebut. Apabila tidak ada orang yang mempunyai sifat tersebut secara keseluruhan, maka wajib dipilih yang menyerupainya atau yang mendekatinya.

Sebagaimana kaidah ini ditetapkan berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadits, maka dalam masalah ini diambil pula dalil dari ayat-ayat dan hadits-hadits dimana Allah dan Rasul-Nya (pada asalnya) meniadakan kesulitan kepada umat manusia. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala :

لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” [QS. Al-Baqarah : 286].

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا

”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” [QS. Ath-Thalaq : 7].

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

”Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” [QS. Al-Hajj : 78].

مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ

”Allah tidak hendak menyulitkan kamu” [QS. Al-Maaidah : 6].

يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

”Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [QS. Al-Baqarah : 185].

يُرِيدُ اللّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ

”Allah hendak memberikan keringanan kepadamu” [QS. An-Nisaa’ : 28].

Sesungguhnya berbagai keringanan syari’at dalam ibadah dan yang lainnya dengan semua jenisnya masuk ke dalam kaidah pokok ini. Dan apa-apa yang dijadikan dalil atas hal ini adalah berupa nama-nama dan shifat-shifat Allah ta’ala yang mengharuskan demikian; seperti Al-Hamdu (Yang Terpuji), Al-Hikmah, Rahmat yang Luas, Lembut, Pemurah, dan (Pemberi) Anugerah. Maka pancaran dari nama-nama yang mulia lagi indah ini melimpah dan merata secara luas kepada seluruh makhluk dan aturan-Nya. Hal itu sebagaimana terjadi dalam perkara-perkara syari’at. Bahkan lebih besar lagi. Karena hal itu merupakan tujuan penciptaan dan sarana yang agung untuk mencapai kebahagiaan abadi.

Maka Allah ta’ala menciptakan mukallifin untuk melakukan ibadah kepada-Nya, dan menjadikan ibadah dan pelaksanaan syari’at-Nya sebagai satu jalan untuk menggapai keridlaan dan kemuliaan-Nya. Sebagaimana hal itu difirmankan Allah ta’ala – setelah Ia mensyari’atkan thaharah dengan segala macamnya - :

مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

”Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur” [QS. Al-Maaidah : 6].

Tampaklah pancaran rahmat dan nikmat-Nya dalam segala syari’at dan apa-apa yang diperbolehkan oleh-Nya (dari perkara-perkara mubah), sebagaimana hal ini sangat terasa pada semua yang ada di alam ini. Hingga, hanya Allah lah Yang Maha Tinggi yang berhak untuk menerima pujian, rasa syukur, sanjungan, rasa cinta, dan pengagungan yang sebesar-besarnya dan setinggi-tingginya. Wabillahit-Taufiq.

 

[ditulis oleh Abul-Jauzaa’ dari Bahjatul-Quluubil-Abraar wa Qurratu ’Uyunil-Akhyaar fii Syarhi Jawaami’il-Akhbaar karya Asy-Syaikh ’Abdurrahman bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah, hal. 183-187, tahqiq : ’Abdul-Kariim bin Rasmiy Aalu Ad-Daariiniy; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 2, Thn. 1422/2002].



[1]     Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 7288 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 1327.

[2]     Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 7289 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 2358.

[3]     Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 71 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 1037.

[4]     Hasan; dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 336, Ad-Daaruquthni no. 69 – cet. Hindiyyah, dan Al-Baihaqi 1/228 dari Jabir radliyallaahu ’anhu. Ia mempunyai syaahid dari hadits Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma yang dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 333, Ibnu Majah no. 572, Ibnu Hibban no. 201 – Al-Mawaarid, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/317-318, dan Al-Haakim 1/188 atau no. 649 – cet. Al-Ma’rifah. Lihat Irwaaul-Ghaliil no. 105.

[5]     Yaitu dengan bertanya – Pent.

[6]     Dikeluarkan oleh Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah no. 104, Ash-Shaabuuniy dalam Aqiidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits no. 24-26, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/325-326, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 866-867 – cet. Al-Haasyidiy, Al-Laalikaaiy dalam As-Sunnah no. 664, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 7/151 dari beberapa jalan. Sanad riwayat ini adalah jayyid sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath 3/406-407. Lihat Al-I’tishaam 1/226 oleh Asy-Syaathibiy dengan ta’liq Asy-Syaikh Masyhur hafidhahullah.

[7]     Kaidah ini diimbangi dengan kaidah : “Kedlaruratan itu ditentukan sesuai dengan kadarnya” (الضرورة تقدّر بقدرها). Sehingga wajib bagi mereka yang terdesak untuk mengambil yang haram sekedarnya saja untuk mempertahankan hidupnya tanpa berlebihan. Dan ketika pembatasan ini tidak baku, maka Allah ta’ala sebutkan pembolehan bangkai dan darah hanya untuk orang yang terpaksa saja. Allah ta’ala telah berfirman :

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Maaidah : 3].

Yaitu dimaafkan baginya apa-apa yang lebih dari kebutuhan (karena terpaksa). Wallaahul-Muwaffiq.

----------------------------------------

Teks asli :

   الحديث الحادي والثمانون: النهي عن كثرة السؤال.

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلّى الله عليه وسلم قال: "دعوني ما تركتكم؛ فإنما أهلك من كان قبلكم كثرةُ سؤالهم، واختلافهم على أنبيائهم. فإذا نهيتكم عن شيء فاجتنبوه، وإذا أمرتكم بأمر فائتوا منه ما استطعتم" متفق عليه(1).

هذه الأسئلة التي نهى النبي صلّى الله عليه وسلم عنها: هي التي نهى الله عنها في قوله: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَسْأَلُواْ عَنْ أَشْيَاء إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ} [المائدة:101]. وهي الأسئلة عن أشياء من أمور الغيب، أو من الأمور التي عفا الله عنها، فلم يحرمها ولم يوجبها. فيسأل السائل عنها وقت نزول الوحي والتشريع. فربما وجبت بسبب السؤال. وربما حرمت كذلك. فيدخل السائل في قوله صلّى الله عليه وسلم: "أعظم المسلمين جرماً: من سأل عن شيء لم يحرم، فحرم من أجل مسألته"(2).

وكذلك ينهى العبد عن سؤال التعنت والأغلوطات، وينهى أيضاً عن أن يسأل عن الأمور الطفيفة غير المهمة. ويدع السؤال عن الأمور المهمة. فهذه الأسئلة وما أشبهها هي التي نهى الشارع عنها.

وأما السؤال على وجه الاسترشاد عن المسائل الدينية من أصول وفروع، عبادات أو معاملات، فهي مما أمر الله بها ورسوله، ومما حث عليها, وهي الوسيلة لتعلم العلوم، وإدراك الحقائق، قال تعالى: {فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ} [الأنبياء:7]. وقال: {وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رُّسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِن دُونِ الرَّحْمَنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ} [الزخرف:45] إلى غيرها من الآيات. وقال صلّى الله عليه وسلم: "مَن يُرد الله به خيراً يفقهه في الدين"(3). وذلك بسلوك طريق التفقه في الدين دراسة وتعلما وسؤالا، وقال: "ألا سألوا إذ لم يعلموا؟ فإنما شفاء العِيِّ السؤال"(4).

وقد أمر الله بالرفق بالسائل، وإعطائه مطلوبه، وعدم التضجر منه. وقال في سورة الضحى: {وَأَمَّا السَّائِلَ فَلا تَنْهَرْ} فهذا يشمل السائل عن العلوم النافعة والسائل لما يحتاجه من أمور الدنيا، من مال وغيره.

ومما يدخل في هذا الحديث: السؤال عن كيفية صفات الباري؛ فإن الأمر في الصفات كلها كما قال الإمام مالك لمن سأله عن كيفية الاستواء على العرش؟ فقال: "الاستواء معلوم. والكيف مجهول. والإيمان به واجب. والسؤال عنه بدعة"(5).

فمن سأل عن كيفية علم الله، أو كيفية خلقه وتدبيره، قيل له: فكما أن ذات الله تعالى لا تشبهها الذوات، فصفاته لا تشبهها الصفات، فالخلق يعرفون الله، ويعرفون ما تعرف لهم به، من صفاته وأفعاله. وأما كيفية ذلك فلا يعلم تأويله إلا الله.

ثم ذكر صلّى الله عليه وسلم في هذا الحديث أصلين عظيمين:

أحدهما: قوله صلّى الله عليه وسلم: "فإذا نهيتكم عنه فاجتنبوه" فكل ما نهى عنه النبي صلّى الله عليه وسلم من الأقوال والأفعال الظاهرة والباطنة: وجب تركه، والكف عنه؛ امتثالاً وطاعة لله ورسوله.

ولم يقل في النهي: ما استطعتم لأن النهي طلب كف النفس، وهو مقدور لكل أحد، فكل أحد يقدر على ترك جميع ما نهى الله عنه ورسوله. ولم يضطر العباد إلى شيء من المحرمات المطلقة؛ فإن الحلال واسع، يسع جميع الخلق في عباداتهم ومعاملاتهم، وجميع تصرفاتهم.
وأما إباحة الميتة والدم ولحم الخنزير للمضطر، فإنه في هذه الحالة الملجئة إليه قد صار من جنس الحلال؛ فإن الضرورات تبيح المحظورات(6)، فتصيرها الضرورة مباحة؛ لأنه تعالى إنما حرم المحرمات حفظاً لعباده، وصيانة لهم عن الشرور والمفاسد، ومصلحة لهم فإذا قاوم ذلك مصلحة أعظم -وهو بقاء النفس- قدمت هذه على تلك رحمة من الله وإحساناً.

وليست الأدوية من هذا الباب، فإن الدواء لا يدخل في باب الضرورات، فإن الله تعالى يشفي المبتلى بأسباب متنوعة، لا تتعين في الدواء. وإن كان الدواء يغلب على الظن الشفاء به، فإنه لا يحل التداوي بالمحرمات، كالخمر وألبان الحمر الأهلية، وأصناف المحرمات، بخلاف المضطر إلى أكل الميتة، فإنه يتيقن أنه إذا لم يأكل منها يموت.

الأصل الثاني: قوله صلّى الله عليه وسلم: "وإذا أمرتكم بأمر فائتوا منه ما استطعتم" وهذا أصل كبير، دلّ عليه أيضاً قوله تعالى: {فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ} [التغابن:16]. فأوامر الشريعة كلها معلقة بقدرة العبد واستطاعته، فإذا لم يقدر على واجب من الواجبات بالكلية: سقط عنه وجوبه. وإذا قدر على بعضه -وذلك البعض عبادة- وجب ما يقدر عليه منه، وسقط عنه ما يعجز عنه.

ويدخل في هذا من مسائل الفقه والأحكام ما لا يعد ولا يحصى, فيصلي المريض قائماً، فإن لم يستطع صلى قاعداً، فإن لم يستطع صلى على جنبه. فإن لم يستطع الإيماء برأسه أومأ بطرفه. ويصوم العبد ما دام قادراً عليه. فإن أعجزه مرض لا يُرْجى زواله، أطعم عنه كل يوم مسكين. وإن كان مرضاً يرجى زواله: أفطر، وقضى عدته من أيام أخر.

ومن ذلك، من عجز عن سترة الصلاة الواجبة، أو عن الاستقبال، أو توقِّي النجاسة: سقط عنه ما عجز عنه. وكذلك بقية شروط الصلاة وأركانها، وشروط الطهارة.

ومن تعذرت عليه الطهارة بالماء للعدم، أو للضرر في جميع الطهارة، أو بعضها: عدل إلى طهارة التيمم.

والمعضوب في الحج، عليه أن يستنيب من يحج عنه، إذا كان قادراً على ذلك بماله.

والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، يجب على من قدر عليه باليد، ثم باللسان، ثم بالقلب.
وليس على الأعمى والأعرج والمريض حرج في ترك العبادات التي يعجزون عنها، أو تشق عليهم مشقة غير محتملة.

ومن عليه نفقة واجبة، وعجز عن جميعها: بدأ بزوجته، فرفيقه، فالولد، فالوالدين، فالأقرب ثم الأقرب. وكذلك الفطرة.

وهكذا جميع ما أمر به العبد أمر إيجاب أو استحباب، إذا قدر على بعضه، وعجز عن باقيه، وجب عليه ما يقدر عليه، وسقط عنه ما عجز عنه. وكلها داخلة في هذا الحديث.

ومسائل القرعة لها دخول في هذا الأصل؛ لأن الأمور إذا اشتبهت: لمن هي، ومن أحق بها؟ رجعنا إلى المرجحات. فإن تعذر الترجيح من كل وجه، سقط هذا الواجب للعجز عنه، وعدل إلى القرعة التي هي غاية ما يمكن. وهي مسائل كثيرة معروفة في كتب الفقه.

والولايات كلها -صغارها وكبارها- تدخل تحت هذا الأصل؛ فإن كل ولاية يجب فيها تولية المتصف بالأوصاف التي يحصل بها مقصود الولاية. فإن تعذرت كلها، وجب فيها تولية الأمثل فالأمثل.
وكما يستدل على هذا الأصل بتلك الآية وذلك الحديث، فإنه يستدل عليها بالآيات والأحاديث التي نفى الله ورسوله فيها الحرج عن الأمة، كقوله تعالى: {لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا} [البقرة:286]، {لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا} [الطلاق7]، {وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ} [الحج:78]، {مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ} [المائدة:6]، {يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ} [البقرة:185]،
 {يُرِيدُ اللّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ} [النساء:28].

فالتخفيفات الشرعية في العبادات وغيرها بجميع أنواعها داخلة في هذا الأصل، مع ما يستدل على هذا بما لله تعالى من الأسماء والصفات المقتضية لذلك، كالحمد والحكمة، والرحمة الواسعة، واللطف والكرم والامتنان. فإن آثار هذه الأسماء الجليلة الجميلة كما هي سابغة وافرة واسعة في المخلوقات والتدبيرات، فهي كذلك في الشرائع، بل أعظم؛ لأنها هي الغاية في الخلق. وهي الوسيلة العظمى للسعادة الأبدية.

فالله تعالى خلق المكلفين ليقوموا بعبوديته. وجعل عبوديته والقيام بشرعه طريقاً إلى نيل رضاه وكرامته. كما قال تعالى -بعد ما شرع الطهارة بأنواعها- {مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ} [المائدة:6]. فظهرت آثار رحمته ونعمته في الشرعيات والمباحات، كما ظهرت في الموجودات. فله تعالى أتمّ الحمد وأعلاه، وأوفر الشكر والثناء وأغلاه، وغاية الحب والتعظيم ومنتهاه. وبالله التوفيق.

----------------------

1 أخرجه: البخاري في "صحيحه" رقم: 7288, ومسلم في "صحيحه" رقم: 1327.

2 أخرجه: البخاري في "صحيحه" رقم: 7289, ومسلم في "صحيحه" رقم: 2358.

3 هو الحديث الحادي عشر المتقدم ص32.

4 حسن, أخرجه أبو داود 336, والدارقطني 69-ط الهندية, والبيهقي 1/228, من حديث جابر. وله شاهد من حديث ابن عباس أخرجه أبو داود 333, وابن ماجه 572, وابن حبان 201-موارد, وأبو نعيم في "الحلية" 3/317-318, والحاكم 1/188, أو رقم: 649-ط المعرفة, وانظر "إرواء الغليل" رقم: 105.

5 أخرجه: الدارمي في "الرد على الجهمية" رقم: 104, والصابوني في "عقيدة السلف" رقم: 24-26, وأبو نعيم في "الحلية" 6/325-326, والبيهقي في "الأسماء والصفات" رقم: 866, 867 ط الحاشدي, واللالكائي في "السنة" رقم: 664, وابن عبد البر في "التمهيد" 7/151, من طرق عنه, وجوّد إسناده ابن حجر في "الفتح" 3/406-407, وانظر: "الاعتصام" 1/226 للشاطبي, وتعليق شيخنا مشهور –حفظه الله- عليه.

6 وتقابلها القاعدة: "الضرورة تقدّر بقدرها" وعليه فيجب على المضطر أن يتناول قدر ما يبقيه على قيد الحياة دون زيادة, ولما كان هذا القيد غير مضبوط فقد قال تعالى بعد إباحة الميتة والدم للمضطرّ: }فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ{ أي يغفر له ما زاد عن الحاجة, والله الموفق.

Shalat Sunnah Setelah 'Ashar

24 komentar

Sebagian ikhwah mungkin telah mendengar ataupun membaca pembahasan tentang hukum shalat sunnah ba’diyyah ‘Ashar. Bisa dikatakan, kebanyakan di antara kita menghukumi shalat sunnah tersebut adalah terlarang. Oleh karena itu, di sini saya tertarik untuk menuliskan pembahasan ringkas yang telah dihimpun oleh sebagian ulama mengenai permasalahan di maksud. Sebagai informasi awal, di akhir tulisan ini saya membawakan kesimpulan yang sedikit berbeda dengan mayoritas ikhwah. Tidak lupa, mohon koreksi atau tegur sapanya jikalau apa yang ditulis disini terdapat hal-hal yang perlu didiskusikan. Wal-ilmu ‘indallah……………

Hadits Pertama

عن أبي هريرة قال نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلاتَيْنِ بَعْدَ اْلفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ اْلعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang dua macam shalat : Shalat ba’da Shubuh hingga terbit matahari dan shalat ba’da ‘Ashar hingga terbenamnya matahari” [HR. Al-Bukhari nomor 563 dan Muslim nomor 825].

عن عمرو بن عبسة السلمي : ..... فَإِذَا أَقْبَلَ اْلفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاةَ مَشْهُوْدَة مَحْضُوْرَة حَتَّى تُصَلِّيَ اْلعَصْرَ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَإِنَّهَا تَغرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانِ وَحِيْنَئِذ يَسْجُدُ لَهَا اْلكُفَّارُ

Dari ‘Amr bin ‘Abasah radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda : “…..Jika bayangan telah condong (waktu zawal), maka kerjakanlah shalat, karena shalat pada waktu itu disaksikan dan dihadiri (oleh para malaikat). Hingga engkau mengerjakan shalat ‘Ashar. Setelah itu, janganlah engkau shalat hingga matahari terbenam. Karena matahari terbenam di antara dua tanduk syaithan. Pada saat itu, orang-orang kafir sujud padanya” [HR. Muslim nomor 832].

Hadits Kedua

عن أم سلمة صلى النبي صلى الله عليه وسلم بعد العصر ركعتين وقال شغلني ناس من عبد القيس عن الركعتين بعد الظهر

Dari Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah shalat dua raka’at setelah ‘Ashar, lalu beliau bersabda : Orang-orang dari suku ‘Abdul-Qais telah menyibukkanku dari shalat dua raka’at setelah Dhuhur” [HR. Al-Bukhari secara mu’allaq juz 1 halaman 150 tartib Maktabah Sahab – disambung sanadnya dalam Al-Mushannaf dan Al-Musnad, akan tetapi dla’if sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Shahih Al-Bukhari juz 1 halaman 197].

عن أم سلمة قالت شُغِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلعَصْرِ فَصَلاهُمَا بَعْدَ اْلعَصْرِ

Dari Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallham dibuat sibuk atas satu urusan sehingga tidak sempat mengerjakan shalat dua raka’at sebelum ‘Asar. Maka beliau mengerjakannya setelah ‘Ashar” [HR. An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa’ nomor 580; hasan shahih].

Hadits Ketiga

عن عائشة قالت وَالَّذِيْ ذَهَبَ بِهِ مَا تَرَكَهُمَا حَتَّى لَقِيَ اللهَ وَمَا لَقِيَ اللهَ تَعَالَى حَتَّى ثَقُلَ عَنِ الصَّلاةِ وَكَانَ يُصَلِّيَ كَثِيْرًا مِنْ صَلاتِهِ قَاعِدًا تَعْنِيْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ اْلعَصْرِ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْهِمَا وَلا يُصَلِّيْهِمَا فِيْ اْلمَسْجِدِ مُخَافَةَ أَنْ يُثَقِّلَ عَلَى أُمَّتِهِ وَكَانَ يُحِّبُ مَا يُخَفِّفُ عَنْهُمْ

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : “Demi Allah, beliau tidak pernah meninggalkan shalat dua raka’at sehingga beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bertemu dengan Allah, dan beliau tidak bertemu dengan Allah ta’ala hingga beliau merasa berat melakukan shalat. Dan beliau sering melakukan shalatnya dengan duduk, yaitu shalat (sunnah) dua raka’at setelah ‘Ashar dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa mengerjakan shalat (sunnah) dua raka’at setelah ‘Ashar itu tidak di dalam masjid karena takut akan memberatkan umatnya dan beliau senang terhadap sesuatu yang membuat ringan bagi umatnya” [HR. Al-Bukhari nomor 565].

Hadits Keempat

عن أبي سلمة أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ عَنِ السَّجدَتَيْنِ اللَّتَيْنِ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْهِمَا بَعْدَ اْلعَصْرِ فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّيْهِمَا قَبْلَ اْلعَصْرِ ثُمَّ إِنَّهُ شَغَلَ عَنْهُمَا أَوْ نَسِيَهُمَا فَصَلاهُمَا بَعْدَ اْلعَصْرِ ثُمَّ أَثْبَتَهُمَا وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلاةً أَثبَتَهَا قال يحيى بن أَيوب قال إسماعيل تعني داوم عليها

Dari Abu Salamah bahwasannya ia bertanya kepada ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa tentang dua sujud (maksudnya : dua raka’at) yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ba’da Ashar. Maka ‘Aisyah menjawab : “Beliau biasa shalat dua raka’at sebelum ‘Ashar, namun kemudian beliau dibuat sibuk atau beliau lupa mengerjakannya. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengerjakannya (yaitu menggantinya) ba’da ‘Asar dan menetapkannya. Dan adalah beliau apabila biasa mengerjakan suatu shalat maka beliau menetapkannya”. Telah berkata Yahya bin Ayyub (perawi hadits) : Telah berkata Isma’il : “Yaitu mendawamkannya (= selalu mengerjakannya)”.

Dalam riwayat lain :

عن عائشة قالت مَا تَرَكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ اْلعَصْرِ عِنْدِيْ قَطّ

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan dua raka’at ba’da ‘Ashar di sisiku”.

Dalam riwayat lain :

عن عائشة قالت صَلاتَانِ مَا تَرَكَهمَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ بَيْتِيْ قَطّ سِرًا وَلا عَلانِيَةً رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلفَجْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ اْلعَصْرِ

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : “Dua shalat yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam di rumahku dalam keadaan apapun yaitu : Dua raka’at sebelum Fajar/Shubuh dan dua raka’at setelah ‘Ashar” [HR. Al-Bukhari nomor 566-567 dan Muslim nomor 835].

Hadits Kelima

عن عائشة قالت مَا كَانَ النّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِيْنِيْ فِيْ يَوْم بَعْدَ اْلعَصْرِ إِلا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : “Tidaklah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasalam mendatangiku di suatu hari setelah ‘Ashar melainkan beliau mengerjakan shalat dua raka’at” [HR. Al-Bukhari nomor 568].

Hadits Keenam

عن علي قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يُصَلِّى بَعْدَ اْلعَصْرِ إِلا أَنْ تَكُوْنَ الشَمْسُ بَيْضَاءَ مُرْتَفِعَة

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Janganlah seseorang shalat setelah ‘Ashar kecuali  bila matahari masih putih dan tinggi’ [HR. Ibnu Khuzaimah nomor 1284 – lihat pula yang semakna di nomor 1285;  Abu Dawud nomor 1274; An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa nomor 573, dan lain-lain; shahih].

Dari beberapa hadits di atas memberikan pemahaman sebagai berikut :

a.    Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melarang melaksanakan shalat sunnah ba’da ‘Ashar (shalat sunnah rawatib) dengan larangan yang bersifat muthlaq.

b.    Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakan shalat sunnah ba’da ‘Asar sebagai ganti shalat sunnah dua raka’at ba’da Dhuhur atau dua raka’at qabla (sebelum) ‘Ashar karena kesibukan beliau dalam melayani sebagian shahabatnya.

c.     Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian membiasakan shalat sunnah setelah ‘Ashar di rumah sebagaimana persaksian ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa. Hal ini beliau lakukan sampai akhir hidupnya (Lihat makna yang terambil dalam penyebutan hadits ketiga – HR. Al-Bukhari nomor 565. Cermati pula kejelasan hadits keempat dan kelima).

d.    Pembolehan shalat sunnah setelah ‘Ashar ini diberikan dengan taqyid jika matahari masih tinggi/panas dan bercahaya putih (belum meredup) sebagaimana dikhabarkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu. Adapun jika matahari telah redup cahayanya, maka kita tidak boleh mengerjakan shalat sunnah ba’da Asar sebagaimana keumuman larangan dalam hadits nomor 1 (pertama).

Jika dikatakan bahwa shalat ba’da ‘Ashar yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam di rumah ‘Aisyah harus dibawa pada makna hadits Ummu Salamah, yaitu sebagai ganti karena kesibukan beliau sehingga tidak sempat mengerjakan shalat sunnah dua raka’at ba’da (setelah) Dhuhur/qabla (sebelum) ‘Ashar; maka ini tidaklah tepat. Dhahir hadits di atas (hadits ketiga, keempat, dan kelima) bertentangan dengan itu dimana ia menetapkan bahwa shalat sunnah ba’da ‘Ashar yang dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah shalat yang di-dawam-kan (dilakukan secara terus-menerus). Bukan sesekali saja. Jika alasan tersebut diterima, tentu bukanlah hal yang terjadi secara terus-menerus. Sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menunjukkan Sunnah-nya perbuatan tersebut.

Sebagian ulama mengatakan bahwa perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam men-dawamkan shalat sunnah ba’da ‘Ashar adalah kekhususan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam saja.[1] Pendapat ini tidak bisa diterima. Pada asalnya, seluruh perkataan dan perbuatan beliau merupakan syari’at yang berlaku bagi seluruh umatnya, kecuali ada qarinah (keterangan) yang menyebutkan bahwa hal itu merupakan kekhususan beliau saja. Dan dalam hal ini tidak ada. Selain telah tetap/shahih adanya perbuatan beberapa shahabat yang melakukan hal tersebut, maka hadits menggabungkan nash-nash yang (kelihatan) bertentangan di sini adalah sangat memungkinkan. Yaitu, kebolehan tersebut dibatasi waktu jika matahari masih panas/berwarna putih (sebagaimana nomor 6).

Adapun atsar yang ternukil dari ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu dimana beliau memukul orang yang mengerjakan shalat sunnah ba’da ‘Ashar[2] tidak otomatis membatalkan sunnah ini. Sangat mungkin dalam hal ini beliau (‘Umar) lakukan karena beliau belum mengetahui perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Telah dimaklumi bahwa orang yang mengetahui merupakan hujjah bagi orang yang tidak mengetahui. Pengetahuan ‘Aisyah - juga ’Ali bin Abi Thalib dan Abu Sa’id Al-Khudriy dalam atsar yang lain - radliyallaahu ‘anhum tentang masyru’-nya shalat sunnah ba’da ‘Ashar merupakan hujjah bagi ‘Umar dan orang yang semisal dengan beliau.

Dalam riwayat yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaly[3] disebutkan alasan ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu memukul shahabat Tamim Ad-Daari yang melakukan shalat dua raka’at ba’da ‘Ashar adalah ijtihad beliau akan sadduz-dzari’ah akan kemunculan satu kaum setelah generasi shahabat yang menganggap sunnah untuk menyambung shalat ba’da ‘Ashar sampai terbenamnya matahari (yang ini merupakan waktu yang dilarang oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasalam). Alasan yang sama juga ternukil dari pelarangan Ibnu ‘Abbas.[4] Dengan adanya hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam nomor 6 di atas, alasan ‘Umar bin Khaththab dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ’anhum tersebut tidak lagi menjadi sebuah alasan yang kuat sebab beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri telah menegaskan kebolehan ini sepanjang matahari masih tinggi dan putih (belum kuning kemerah-merahan).  Dan hal ini dikuatkan oleh hadits :

عن عقبة بن عامر الجهني يقول ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ  يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّي فِيهِنَّ, وَأَنْ  نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ اَلشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ, وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ اَلظَّهِيرَةِ حَتَّى تَزُولَ  اَلشَّمْسُ, وَحِينَ تَتَضَيَّفُ اَلشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani ia berkata : “Ada tiga waktu dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang kami untuk melakukan shalat dan menguburkan jenazah : Ketika matahari terbit persis hingga meninggi, ketika matahari tepat di atas kepala hingga tergelincir, dan ketika matahari hampir tenggelam” [HR. Muslim nomor 831 – lafadh ini diambil dari Bulughul-Maraam hadits nomor 176 – ada sedikit perbedaan lafadh di sini dengan lafadh yang ada dalam Shahih Muslim].

Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir di atas menegaskan penjelasan larangan shalat ba’da ‘Ashar, yaitu ketika matahari hampir tenggelam (sinarnya sudah tampak kemerahan). Tidak keseluruhan waktu secara mutlak setelah penunaian shalat ‘Ashar.

Pernyataan ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa pengetahuannya shalat sunnah ba’da ‘Ashar :

عن المقدام بن شريح عن أبيه قال سألت عائشة عن الصلاة بعد العصر فقالت صل إنما نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الصلاة إذا طلعت الشمس

Dari Al-Miqdaam bin Syuraih dari ayahnya ia berkata : Aku bertanya kepada ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa tentang shalat sunnah ba’da ‘Ashar. Maka ia menjawab : “Shalatlah. Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam hanya melarang shalat ketika matahari terbit” [HR. Ibnu Hibban nomor 1568. Lihat Ta’liqaatul-Hisaan ‘alaa Shahih Ibni Hibban nomor 1566; shahih].

Perkataan ‘Aisyah bahwa larangan shalat sunnah hanya pada waktu matahari terbit bukanlah pembatasan yang bersifat mutlak. Sebab ia sendiri telah membawakan riwayat adanya pelarangan selain waktu tersebut seperti hadits :

عن عائشة أنها قالت لم يدع رسول الله صلى الله عليه وسلم الركعتين بعد العصر قال فقالت عائشة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تتحروا طلوع الشمس ولا غروبها فتصلوا عند ذلك

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua raka’at setelah ‘Ashar”. ‘Aisyah berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Janganlah kalian mencari-cari waktu terbit dan terbenamnya matahari lalu mengerjakan shalat pada waktu tersebut” [HR. Muslim nomor 833].

Walhasil, shalat sunnah dua raka’at setelah ‘Ashar adalah masyru’ apabila matahari masih tinggi dimana hal ini sesuai dengan nash-nash shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan inilah pendapat sebagian shahabat seperti : ‘Ali bin Abi Thalib, Az-Zubair, Tamim Ad-Daari, Abu Ayyub, Abu Musa, Zaid bin Khalid Al-Juhhani, Ibnu Zubair, An-Nu’man bin Basyiir, dan Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhum. Dari kalangan ulama tabi’in : Al-Aswad, Masruq, Syuraih. Amru bin Maimun, Abdurrahman bin Al-Aswab, ‘Ubaidah, Al-Ahnaf bin Qais, dan Thawus. Ibnu ‘Abdil-Barr menghikayatkan diantara tabi’in yang berpendapat demikian adalah ‘Atha’, Ibnu Juraij, dan ‘Amr bin Dinar rahimahumullah.[5] Tidak ada hal yang perlu dipertentangkan dengan hadits-hadits shahih yang lain. Wallaahu a’lam.

 

Abul-Jauzaa’ – Ciamis, Shaffar - 1430.

 

Catatan :

1.      Silakan ikhwah sekalian juga membaca penjelasan berfaedah dari Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah 1/387-391 no. 200, 1/624-625 no. 314, 6/1010-1014 no. 2929, dan 7/527-528 no. 3174.

2.      Pendapat di atas adalah pendapat yang berbeda dengan jumhur ’ulama.



[1]    Fathul-Baariy oleh Ibnu Hajar, 2/77 – Shahih Fiqhis-Sunnah oleh Abu Malik Kamaal Saalim, 2/379,

[2]    Periksa Shahih Muslim nomor 836. Juga Musnad Al-Imam Ahmad 5/115, Al-Mu’jamul-Kabiir 5/228 nomor 5166-5167 dengan sanad hasan.

[3]    Fathul-Bariy, 5/53.

[4]    Idem, 5/54.

[5]    Fathul-Baari oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy, 5/48.