Larangan Banyak Bertanya & Prinsip dalam Menjalankan Syaria’t Agama


Oleh : Asy-Syaikh 'Abdurrahman bin Naashir As-Sa'diy rahimahullah


Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda

دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.

”Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan (banyaknya) penyelisihan mereka kepada para nabi mereka. Maka apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, tinggalkanlah. Dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian” [Muttafaqun ’alaihi].[1]

Pertanyaan yang dilarang oleh Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam darinya adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَسْأَلُواْ عَنْ أَشْيَاء إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” [QS. Al-Maaidah : 101].

Ia merupakan pertanyaan terhadap sesuatu yang ghaib, dimaafkan oleh Allah, atau tidak diharamkan dan tidak pula diwajibkan oleh Allah. Orang yang bertanya tentang hal itu pada waktu turunnya wahyu dan syari’at, boleh jadi akan menjadi wajib karena pertanyaan tersebut. Maka, masuklah orang yang bertanya sebagai orang yang dicela dalam sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْنَ جُرْماً مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ.

”Sesungguhnya orang Islam yang paling besar kejahatannya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang semula tidak diharamkan, kemudian diharamkan dari sebab pertanyaannya itu”.[2]

Seseorang dilarang bertanya untuk menentang dan mencari-cari kesalahan, serta menanyakan suatu perkara yang tidak penting yang di sisi lain meninggalkan pertanyaan tentang perkara yang lebih penting.Maka, pertanyaan-pertanyaan seperti ini dan sejenisnya yang dilarang oleh syari’at.

Adapun pertanyaan untuk mencari bimbingan tentang agama, baik ushul maupun furu’-nya atau perkara-perkara ibadah maupun muamalah, maka ini merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wa sallam. Bahkan hal itu sangat dianjurkan karena merupakan sarana untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan memahami hakekat syari’at ini. Allah ta’ala telah berfirman :

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

”Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” [QS. Al-Anbiyaa’ : 7].

وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رُّسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِن دُونِ الرَّحْمَنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ

”Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: "Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?" [QS. Az-Zukhruf : 45].

Dan ayat-ayat yang lainnya.

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam telah bersabda :

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراًَ يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.

”Barangsiapa yang Allah kehendaki dengannya kebaikan, niscaya Allah akan pahamkan ia dalam ilmu agama”.[3]

Semua itu diperoleh melalui jalan at-tafaqquh fid-diin (memahami ilmu agama), baik melalui penelitian, belajar, maupun bertanya. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda :

أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا ؟ فَإِنَّمَا شَفَاءُ الْعِيِّ السَّؤَالُ.

”Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengerti ? Sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya”.[4]

Allah ta’ala telah memerintahkan kita untuk bersikap lemah-lembut kepada orang yang bertanya dan memberikan apa yang dimintanya dengan tidak menghardiknya; sebagaimana firman-Nya ta’ala :

وَأَمَّا السَّائِلَ فَلا تَنْهَرْ

”Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya” [QS. Adl-Dluha : 10].

Yang dimaksud ”orang yang meminta-minta” dalam ayat ini meliputi orang yang meminta[5] ilmu yang bermanfaat dan kebutuhkan duniawi, harta atau yang lainnya.

Termasuk dalam cakupan (larangan) dalam hadits di awal adalah : Bertanya tentang kaifiyah shifat Al-Baariy (yaitu Allah). Karena masalah shifat ini seluruhnya adalah sebagaimana dikatakan Al-Imam Malik kepada orang yang bertanya kepadanya tentang kaifiyah istiwaa’-nya Allah ta’ala di atas ’Arsy :

"الاستواء معلوم. والكيف مجهول. والإيمان به واجب. والسؤال عنه بدعة"

Istiwaa’-nya Allah itu telah diketahui (maknanya), kaifiyah (bagaimana/hakekat)-nya tidak diketahui, mengimaninya (istiwaa’) adalah wajib, dan mempertanyakannya adalah bid’ah”.[6]

Barangsiapa yang bertanya tentang kaifiyah shifat Allah atau bagaimana penciptaan dan pengaturan-Nya, maka katakanlah kepadanya : “Sebagaimana Dzat Allah ta’ala tidak serupa dengan dzat makhluk-makhluk-Nya, maka shifat-Nya juga tidak serupa dengan shifat makhluk-makhluk-Nya”.

Semua makhluk mengenal Allah melalui pengenalan terhadap shifat-shifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Adapun kaifiyah tentang itu semua, maka tidak ada yang mengetahui melainkan Allah ta’ala.

Kemudian, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam hadits dua kaidah yang sangat besar :

Pertama, perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : { فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ } “Maka apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, tinggalkanlah”. Segala sesuatu yang dilarang oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan dan perbuatan yang lahir maupun batin, maka wajib untuk ditinggalkan dan menahan diri darinya; sebagai wujud pelaksanaan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dan tidaklah dikatakan dalam hal larangan : ”semampu kalian”. Hal itu dikarenakan suatu larangan mengandung tuntutan untuk menahan diri yang mana setiap orang mampu untuk melakukannya. Setiap orang pada hakekatnya mampu untuk meninggalkan seluruh apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Manusia sama sekali tidak terdesak untuk membutuhkan hal-hal yang diharamkan secara mutlak, karena hal-hal yang dihalalkan itu sangat luas meliputi seluruh makhluk; baik dalam hal ibadah, mu’amalah, maupun pengaturan mereka.

Adapun kebolehan memakan bangkai, darah, dan daging babi hanyalah bagi mereka yang terpaksa untuk melakukannya; karena dalam kondisi terpaksa, maka hal itu menjadi halal bagi mereka. Hal-hal yang sifatnya dlarurat membolehkan sesuatu yang pada asalnya dilarang (الضرورات تبيح المحظورات).[7] Maka, hal-hal yang dilarang menjadi diperbolehkan karena keadaan dlarurat. Allah ta’ala hanyalah melarang sesuatu yang haram sebagai satu penjagaan dan pemeliharaan bagi hamba-Nya dari kejelakan dan kerusakan, sekaligus menetapkan kemaslahatan bagi mereka. Apabila hal-hal yang diharamkan itu berhadapan dengan kemaslahatan yang lebih besar – yaitu untuk mempertahankan hidup manusia – maka didahulukanlah kemaslahatan tersebut (sehingga membolehkan melakukan hal-hal yang diharamkan) sebagai satu rahmat dan kebaikan dari Allah ta’ala.

Adapun pengobatan, maka tidak termasuk cakupan dalam bab ini. Sebab, obat bukan termasuk bagian dari dlarurat. Allah ta’ala menyembuhkan orang sakit dengan sebab yang bermacam-macam, bukan hanya disebabkan satu obat tertentu saja – meskipun obat itu diduga kuat dapat menyembuhkan sakit tersebut. Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk berobat dengan sesuatu yang diharamkan, seperti khamr (minuman keras), susu keledai jinak, dan yang semisalnya dari hal-hal yang diharamkan. Berbeda halnya dengan kasus diperbolehkannya memakan bangkai (dalam keadaan terpaksa); karena orang yang melakukan mempunyai keyakinan jika ia tidak memakannya, maka ia akan mati.

Kedua, perkataan beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam : { وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ } ”Dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian”. Ini adalah satu kaidah yang sangat besar, yang ditunjukkan pula oleh firman Allah ta’ala :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

”Maka bertaqwalah kamu kepada Alah menurut kesanggupanmu” [QS. At-Taghaabun : 16].

Semua perkara syari’at ditentukan menurut kesanggupan dan kemampuan seorang hamba. Apabila ia tidak mampu melaksanakan satu kewajiban secara keseluruhan dari kewajiban-kewajiban (yang dibebankan kepadanya), maka gugurlah kewajiban itu darinya. Jika ia mampu melaksanakan sebagian dari kewajiban tersebut – dari sebagian perkara ibadah – maka ia wajib melaksanakan dari apa yang ia mampu, dan gugur apa-apa yang ia tidak mampu melaksanakannya.

Masuk dalam hal ini berbagai perkara fiqh dan hukum yang tidak terhitung. Seorang yang sakit wajib shalat dengan berdiri (jika sanggup). Apabila tidak sanggup, maka boleh dengan duduk. Apabila tidak sanggup duduk, maka boleh dengan berbaring. Dan apabila hal itu tidak sanggup dilakukan juga, maka boleh dengan isyarat kepala atau dengan gerakan mata.

Seseorang wajib untuk berpuasa selama ia mampu. Apabila ia tidak mampu karena sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya, maka ia dapat menggantinya dengan memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya. Namun bila sakitnya masih bisa diharapkan untuk sembuh, maka ia dapat berbuka dan mengganti puasanya (sejumlah hari yang ditinggalkan) pada waktu yang lain.

Termasuk juga, orang yang tidak mendapatkan pakaian penutup untuk shalat wajib, tidak mengetahui arah kiblat, atau sulit melepaskan najis; maka gugurlah apa yang tidak ia sanggupi itu. Begitu pula dengan hal-hal yang terkait dengan syarat-syarat dan rukun-rukun shalat atau syarat-syarat thaharah (bersuci). Barangsiapa yang mempunyai ’udzur bersuci dengan air karena tidak mendapatkannya atau karena bahaya yang ditimbulkan dalam bersuci baik sebagian atau seluruhnya, maka diperbolehkan baginya untuk bertayamum.

Orang lumpuh yang tidak mampu berhaji, maka boleh mencari orang yang menggantikannya untuk melaksanakan ibadah haji, jika dari segi harta mampu untuk melakukannya.

Memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, wajib dilakukan dengan tangan bagi orang yang mempunyai kemampuan, kemudian (jika tidak mampu) dengan lisan, dan kemudian (jika tidak mampu) dengan hati.

Tidak mengapa bagi orang buta, pincang, dan sakit untuk meninggalkan ibadah-ibadah yang mereka tidak mampu atau berat melaksanakannya karena beban/kesulitan yang tidak mampu mereka pikul.

Siapa saja yang dibebankan padanya untuk memberi nafkah wajib, namun tidak mampu memberikannya secara keseluruhan; hendaklah ia mulai (memberi nafkah) kepada istrinya, kemudian anaknya, kemudian kedua orang tuanya, kemudian orang-orang yang terdekat dengannya setelahnya. Begitu juga dalam masalah zakat fithrah.

Demikianlah, semua perintah yang diterima oleh seorang hamba - baik yang wajib ataupun yang sunnah - jika ia mampu pada sebagiannya namun tidak mampu pada sebagian yang lain, maka wajib baginya untuk mengerjakan apa yang ia disanggupi dan gugur baginya apa yang tidak ia sanggupi. Semua itu masuk dalam hadits ini.

Adapun masalah undian, maka masuk dalam kaidah ini juga. Karena pemasalahannya rancu untuk menentukan siapa yang lebih berhak atasnya; maka kita kembalikan pada faktor-faktor yang menguatkannya. Jika hal itu belum juga memungkinkan (sama sekali tidak ada faktor penguat), maka kewajiban ini gugur karena ketidakmampuan, dan kemudian beralih pada cara undian dimana itu merupakan hal yang paling memungkinkan untuk dilakukan. Permasalahan seperti ini banyak dibahas dalam kitab-kitab fiqh.

Kekuasaan semuanya – baik yang besar maupun yang kecil – masuk dalam kaidah ini juga. Karena semua kekuasaan mewajibkan adanya penugasan kepada orang yang mempunyai sifat tertentu yang dengan itu akan tercapai tujuan kekuasaan atau jabatan tersebut. Apabila tidak ada orang yang mempunyai sifat tersebut secara keseluruhan, maka wajib dipilih yang menyerupainya atau yang mendekatinya.

Sebagaimana kaidah ini ditetapkan berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadits, maka dalam masalah ini diambil pula dalil dari ayat-ayat dan hadits-hadits dimana Allah dan Rasul-Nya (pada asalnya) meniadakan kesulitan kepada umat manusia. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala :

لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” [QS. Al-Baqarah : 286].

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا

”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” [QS. Ath-Thalaq : 7].

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

”Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” [QS. Al-Hajj : 78].

مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ

”Allah tidak hendak menyulitkan kamu” [QS. Al-Maaidah : 6].

يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

”Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [QS. Al-Baqarah : 185].

يُرِيدُ اللّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ

”Allah hendak memberikan keringanan kepadamu” [QS. An-Nisaa’ : 28].

Sesungguhnya berbagai keringanan syari’at dalam ibadah dan yang lainnya dengan semua jenisnya masuk ke dalam kaidah pokok ini. Dan apa-apa yang dijadikan dalil atas hal ini adalah berupa nama-nama dan shifat-shifat Allah ta’ala yang mengharuskan demikian; seperti Al-Hamdu (Yang Terpuji), Al-Hikmah, Rahmat yang Luas, Lembut, Pemurah, dan (Pemberi) Anugerah. Maka pancaran dari nama-nama yang mulia lagi indah ini melimpah dan merata secara luas kepada seluruh makhluk dan aturan-Nya. Hal itu sebagaimana terjadi dalam perkara-perkara syari’at. Bahkan lebih besar lagi. Karena hal itu merupakan tujuan penciptaan dan sarana yang agung untuk mencapai kebahagiaan abadi.

Maka Allah ta’ala menciptakan mukallifin untuk melakukan ibadah kepada-Nya, dan menjadikan ibadah dan pelaksanaan syari’at-Nya sebagai satu jalan untuk menggapai keridlaan dan kemuliaan-Nya. Sebagaimana hal itu difirmankan Allah ta’ala – setelah Ia mensyari’atkan thaharah dengan segala macamnya - :

مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

”Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur” [QS. Al-Maaidah : 6].

Tampaklah pancaran rahmat dan nikmat-Nya dalam segala syari’at dan apa-apa yang diperbolehkan oleh-Nya (dari perkara-perkara mubah), sebagaimana hal ini sangat terasa pada semua yang ada di alam ini. Hingga, hanya Allah lah Yang Maha Tinggi yang berhak untuk menerima pujian, rasa syukur, sanjungan, rasa cinta, dan pengagungan yang sebesar-besarnya dan setinggi-tingginya. Wabillahit-Taufiq.

 

[ditulis oleh Abul-Jauzaa’ dari Bahjatul-Quluubil-Abraar wa Qurratu ’Uyunil-Akhyaar fii Syarhi Jawaami’il-Akhbaar karya Asy-Syaikh ’Abdurrahman bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah, hal. 183-187, tahqiq : ’Abdul-Kariim bin Rasmiy Aalu Ad-Daariiniy; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 2, Thn. 1422/2002].



[1]     Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 7288 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 1327.

[2]     Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 7289 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 2358.

[3]     Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 71 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 1037.

[4]     Hasan; dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 336, Ad-Daaruquthni no. 69 – cet. Hindiyyah, dan Al-Baihaqi 1/228 dari Jabir radliyallaahu ’anhu. Ia mempunyai syaahid dari hadits Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma yang dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 333, Ibnu Majah no. 572, Ibnu Hibban no. 201 – Al-Mawaarid, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/317-318, dan Al-Haakim 1/188 atau no. 649 – cet. Al-Ma’rifah. Lihat Irwaaul-Ghaliil no. 105.

[5]     Yaitu dengan bertanya – Pent.

[6]     Dikeluarkan oleh Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah no. 104, Ash-Shaabuuniy dalam Aqiidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits no. 24-26, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/325-326, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 866-867 – cet. Al-Haasyidiy, Al-Laalikaaiy dalam As-Sunnah no. 664, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 7/151 dari beberapa jalan. Sanad riwayat ini adalah jayyid sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath 3/406-407. Lihat Al-I’tishaam 1/226 oleh Asy-Syaathibiy dengan ta’liq Asy-Syaikh Masyhur hafidhahullah.

[7]     Kaidah ini diimbangi dengan kaidah : “Kedlaruratan itu ditentukan sesuai dengan kadarnya” (الضرورة تقدّر بقدرها). Sehingga wajib bagi mereka yang terdesak untuk mengambil yang haram sekedarnya saja untuk mempertahankan hidupnya tanpa berlebihan. Dan ketika pembatasan ini tidak baku, maka Allah ta’ala sebutkan pembolehan bangkai dan darah hanya untuk orang yang terpaksa saja. Allah ta’ala telah berfirman :

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Maaidah : 3].

Yaitu dimaafkan baginya apa-apa yang lebih dari kebutuhan (karena terpaksa). Wallaahul-Muwaffiq.

----------------------------------------

Teks asli :

   الحديث الحادي والثمانون: النهي عن كثرة السؤال.

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلّى الله عليه وسلم قال: "دعوني ما تركتكم؛ فإنما أهلك من كان قبلكم كثرةُ سؤالهم، واختلافهم على أنبيائهم. فإذا نهيتكم عن شيء فاجتنبوه، وإذا أمرتكم بأمر فائتوا منه ما استطعتم" متفق عليه(1).

هذه الأسئلة التي نهى النبي صلّى الله عليه وسلم عنها: هي التي نهى الله عنها في قوله: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَسْأَلُواْ عَنْ أَشْيَاء إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ} [المائدة:101]. وهي الأسئلة عن أشياء من أمور الغيب، أو من الأمور التي عفا الله عنها، فلم يحرمها ولم يوجبها. فيسأل السائل عنها وقت نزول الوحي والتشريع. فربما وجبت بسبب السؤال. وربما حرمت كذلك. فيدخل السائل في قوله صلّى الله عليه وسلم: "أعظم المسلمين جرماً: من سأل عن شيء لم يحرم، فحرم من أجل مسألته"(2).

وكذلك ينهى العبد عن سؤال التعنت والأغلوطات، وينهى أيضاً عن أن يسأل عن الأمور الطفيفة غير المهمة. ويدع السؤال عن الأمور المهمة. فهذه الأسئلة وما أشبهها هي التي نهى الشارع عنها.

وأما السؤال على وجه الاسترشاد عن المسائل الدينية من أصول وفروع، عبادات أو معاملات، فهي مما أمر الله بها ورسوله، ومما حث عليها, وهي الوسيلة لتعلم العلوم، وإدراك الحقائق، قال تعالى: {فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ} [الأنبياء:7]. وقال: {وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رُّسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِن دُونِ الرَّحْمَنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ} [الزخرف:45] إلى غيرها من الآيات. وقال صلّى الله عليه وسلم: "مَن يُرد الله به خيراً يفقهه في الدين"(3). وذلك بسلوك طريق التفقه في الدين دراسة وتعلما وسؤالا، وقال: "ألا سألوا إذ لم يعلموا؟ فإنما شفاء العِيِّ السؤال"(4).

وقد أمر الله بالرفق بالسائل، وإعطائه مطلوبه، وعدم التضجر منه. وقال في سورة الضحى: {وَأَمَّا السَّائِلَ فَلا تَنْهَرْ} فهذا يشمل السائل عن العلوم النافعة والسائل لما يحتاجه من أمور الدنيا، من مال وغيره.

ومما يدخل في هذا الحديث: السؤال عن كيفية صفات الباري؛ فإن الأمر في الصفات كلها كما قال الإمام مالك لمن سأله عن كيفية الاستواء على العرش؟ فقال: "الاستواء معلوم. والكيف مجهول. والإيمان به واجب. والسؤال عنه بدعة"(5).

فمن سأل عن كيفية علم الله، أو كيفية خلقه وتدبيره، قيل له: فكما أن ذات الله تعالى لا تشبهها الذوات، فصفاته لا تشبهها الصفات، فالخلق يعرفون الله، ويعرفون ما تعرف لهم به، من صفاته وأفعاله. وأما كيفية ذلك فلا يعلم تأويله إلا الله.

ثم ذكر صلّى الله عليه وسلم في هذا الحديث أصلين عظيمين:

أحدهما: قوله صلّى الله عليه وسلم: "فإذا نهيتكم عنه فاجتنبوه" فكل ما نهى عنه النبي صلّى الله عليه وسلم من الأقوال والأفعال الظاهرة والباطنة: وجب تركه، والكف عنه؛ امتثالاً وطاعة لله ورسوله.

ولم يقل في النهي: ما استطعتم لأن النهي طلب كف النفس، وهو مقدور لكل أحد، فكل أحد يقدر على ترك جميع ما نهى الله عنه ورسوله. ولم يضطر العباد إلى شيء من المحرمات المطلقة؛ فإن الحلال واسع، يسع جميع الخلق في عباداتهم ومعاملاتهم، وجميع تصرفاتهم.
وأما إباحة الميتة والدم ولحم الخنزير للمضطر، فإنه في هذه الحالة الملجئة إليه قد صار من جنس الحلال؛ فإن الضرورات تبيح المحظورات(6)، فتصيرها الضرورة مباحة؛ لأنه تعالى إنما حرم المحرمات حفظاً لعباده، وصيانة لهم عن الشرور والمفاسد، ومصلحة لهم فإذا قاوم ذلك مصلحة أعظم -وهو بقاء النفس- قدمت هذه على تلك رحمة من الله وإحساناً.

وليست الأدوية من هذا الباب، فإن الدواء لا يدخل في باب الضرورات، فإن الله تعالى يشفي المبتلى بأسباب متنوعة، لا تتعين في الدواء. وإن كان الدواء يغلب على الظن الشفاء به، فإنه لا يحل التداوي بالمحرمات، كالخمر وألبان الحمر الأهلية، وأصناف المحرمات، بخلاف المضطر إلى أكل الميتة، فإنه يتيقن أنه إذا لم يأكل منها يموت.

الأصل الثاني: قوله صلّى الله عليه وسلم: "وإذا أمرتكم بأمر فائتوا منه ما استطعتم" وهذا أصل كبير، دلّ عليه أيضاً قوله تعالى: {فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ} [التغابن:16]. فأوامر الشريعة كلها معلقة بقدرة العبد واستطاعته، فإذا لم يقدر على واجب من الواجبات بالكلية: سقط عنه وجوبه. وإذا قدر على بعضه -وذلك البعض عبادة- وجب ما يقدر عليه منه، وسقط عنه ما يعجز عنه.

ويدخل في هذا من مسائل الفقه والأحكام ما لا يعد ولا يحصى, فيصلي المريض قائماً، فإن لم يستطع صلى قاعداً، فإن لم يستطع صلى على جنبه. فإن لم يستطع الإيماء برأسه أومأ بطرفه. ويصوم العبد ما دام قادراً عليه. فإن أعجزه مرض لا يُرْجى زواله، أطعم عنه كل يوم مسكين. وإن كان مرضاً يرجى زواله: أفطر، وقضى عدته من أيام أخر.

ومن ذلك، من عجز عن سترة الصلاة الواجبة، أو عن الاستقبال، أو توقِّي النجاسة: سقط عنه ما عجز عنه. وكذلك بقية شروط الصلاة وأركانها، وشروط الطهارة.

ومن تعذرت عليه الطهارة بالماء للعدم، أو للضرر في جميع الطهارة، أو بعضها: عدل إلى طهارة التيمم.

والمعضوب في الحج، عليه أن يستنيب من يحج عنه، إذا كان قادراً على ذلك بماله.

والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، يجب على من قدر عليه باليد، ثم باللسان، ثم بالقلب.
وليس على الأعمى والأعرج والمريض حرج في ترك العبادات التي يعجزون عنها، أو تشق عليهم مشقة غير محتملة.

ومن عليه نفقة واجبة، وعجز عن جميعها: بدأ بزوجته، فرفيقه، فالولد، فالوالدين، فالأقرب ثم الأقرب. وكذلك الفطرة.

وهكذا جميع ما أمر به العبد أمر إيجاب أو استحباب، إذا قدر على بعضه، وعجز عن باقيه، وجب عليه ما يقدر عليه، وسقط عنه ما عجز عنه. وكلها داخلة في هذا الحديث.

ومسائل القرعة لها دخول في هذا الأصل؛ لأن الأمور إذا اشتبهت: لمن هي، ومن أحق بها؟ رجعنا إلى المرجحات. فإن تعذر الترجيح من كل وجه، سقط هذا الواجب للعجز عنه، وعدل إلى القرعة التي هي غاية ما يمكن. وهي مسائل كثيرة معروفة في كتب الفقه.

والولايات كلها -صغارها وكبارها- تدخل تحت هذا الأصل؛ فإن كل ولاية يجب فيها تولية المتصف بالأوصاف التي يحصل بها مقصود الولاية. فإن تعذرت كلها، وجب فيها تولية الأمثل فالأمثل.
وكما يستدل على هذا الأصل بتلك الآية وذلك الحديث، فإنه يستدل عليها بالآيات والأحاديث التي نفى الله ورسوله فيها الحرج عن الأمة، كقوله تعالى: {لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا} [البقرة:286]، {لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا} [الطلاق7]، {وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ} [الحج:78]، {مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ} [المائدة:6]، {يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ} [البقرة:185]،
 {يُرِيدُ اللّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ} [النساء:28].

فالتخفيفات الشرعية في العبادات وغيرها بجميع أنواعها داخلة في هذا الأصل، مع ما يستدل على هذا بما لله تعالى من الأسماء والصفات المقتضية لذلك، كالحمد والحكمة، والرحمة الواسعة، واللطف والكرم والامتنان. فإن آثار هذه الأسماء الجليلة الجميلة كما هي سابغة وافرة واسعة في المخلوقات والتدبيرات، فهي كذلك في الشرائع، بل أعظم؛ لأنها هي الغاية في الخلق. وهي الوسيلة العظمى للسعادة الأبدية.

فالله تعالى خلق المكلفين ليقوموا بعبوديته. وجعل عبوديته والقيام بشرعه طريقاً إلى نيل رضاه وكرامته. كما قال تعالى -بعد ما شرع الطهارة بأنواعها- {مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ} [المائدة:6]. فظهرت آثار رحمته ونعمته في الشرعيات والمباحات، كما ظهرت في الموجودات. فله تعالى أتمّ الحمد وأعلاه، وأوفر الشكر والثناء وأغلاه، وغاية الحب والتعظيم ومنتهاه. وبالله التوفيق.

----------------------

1 أخرجه: البخاري في "صحيحه" رقم: 7288, ومسلم في "صحيحه" رقم: 1327.

2 أخرجه: البخاري في "صحيحه" رقم: 7289, ومسلم في "صحيحه" رقم: 2358.

3 هو الحديث الحادي عشر المتقدم ص32.

4 حسن, أخرجه أبو داود 336, والدارقطني 69-ط الهندية, والبيهقي 1/228, من حديث جابر. وله شاهد من حديث ابن عباس أخرجه أبو داود 333, وابن ماجه 572, وابن حبان 201-موارد, وأبو نعيم في "الحلية" 3/317-318, والحاكم 1/188, أو رقم: 649-ط المعرفة, وانظر "إرواء الغليل" رقم: 105.

5 أخرجه: الدارمي في "الرد على الجهمية" رقم: 104, والصابوني في "عقيدة السلف" رقم: 24-26, وأبو نعيم في "الحلية" 6/325-326, والبيهقي في "الأسماء والصفات" رقم: 866, 867 ط الحاشدي, واللالكائي في "السنة" رقم: 664, وابن عبد البر في "التمهيد" 7/151, من طرق عنه, وجوّد إسناده ابن حجر في "الفتح" 3/406-407, وانظر: "الاعتصام" 1/226 للشاطبي, وتعليق شيخنا مشهور –حفظه الله- عليه.

6 وتقابلها القاعدة: "الضرورة تقدّر بقدرها" وعليه فيجب على المضطر أن يتناول قدر ما يبقيه على قيد الحياة دون زيادة, ولما كان هذا القيد غير مضبوط فقد قال تعالى بعد إباحة الميتة والدم للمضطرّ: }فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ{ أي يغفر له ما زاد عن الحاجة, والله الموفق.

Comments