Bincang Bersama Bapak Ustadz M. Zubaidi, Lc. - Wanita dan Masjid


Prolog : Sejatinya ini merupakan kelanjutan dari tulisan saya : Wanita dan Masjid yang merupakan respon saya terhadap tulisan pak Ustadz M. Zubaedi dalam buku beliau yang berjudul : "Renungan Sholat Berjama'ah" (RSB). Saya tidak tahu apakah tulisan saya tersebut sampai di tangan beliau atau tidak. Yang pasti, salah seorang teman pernah memberitahukan kepada saya bahwa akan menyampaikan tulisan saya tersebut kepada beliau.
Selang beberapa saat kemudian, pak Ustadz Zubaedi menulis buku yang berjudul "Wanita & Masjid" yang isinya merupakan sanggahan dari beberapa kritikan yang sampai di hadapan beliau. Saya tidak tahu content apa kritikan-kritikan tersebut (selain apa yang telah saya tulis tentunya) yang mengharuskan pak Ustadz Zubaedi dengan penuh emosi dan tendensius mengatakan bahwa sebagian orang yang memberikan kritikan kepada beliau ini adalah termasuk orang yang gampang menuduh sesat orang yang berseberangan pendapat dengannya.
Oleh karena itu, tulisan ini juga merupakan sanggahan ringkas kepada beliau dalam bukunya "Wanita & Masjid". Saya pun bara' (berlepas diri) dari tuduhan-tuduhan penyesat sebagaimana beliau isyaratkan di bukunya tersebut. Bagi ikhwah yang ingin membaca buku beliau ini, sebagian besar isinya telah termuat di Blog beliau : 
http://taawun.wordpress.com/2008/05/04/wanita-dan-masjid/.
Ada hal yang perlu diberikan kritikan terkait dengan pembahasan pak Ustadz Zubaedi dalam buku “Wanita & Masjid”.
Dalam buku tersebut telah mencampurkan pembahasan antara hukum wanita shalat di masjid dengan pembahasan mana yang lebih utama shalat bagi wanita (masjid atau rumah) dalam satu bahasan bersama. Hal itu tercermin dari perkataan beliau di halaman 4 :
“Jika benar bahwa shalat berjama’ah di masjid bisa memberi pahala sangat besar, namun sebagian umat mencegah keikutsertaan wanita, maka kaum wanita tentu sangat dirugikan.
Sebaliknya jika benar shalat di rumah bagi wanita pahalanya lebih besar, tetapi para Shohabiyah banyak yang aktif berjama’ah di masjid maka sangat bodohlah murid-murid perempuan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam itu.”
Pemahaman yang terambil dari perkataan beliau di atas, jika ada orang yang mengatakan bahwa shalatnya wanita di rumahnya itu lebih utama daripada shalatnya di masjid, maka itu identik dengan usaha untuk menghalangi kaum wanita shalat di masjid. Bahkan, mungkin termasuk orang ini termasuk orang yang “ngrecoki”.[1] Menurut saya, ini keliru. Sebab, tidaklah selalu berkorelasi antara perkataan keutamaan shalatnya wanita di rumahnya dengan perkataan pelarangan.
Hukum Wanita Menghadiri Shalat Berjama’ah di Masjid
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Setidaknya, ada 3 pendapat masyhur yaitu [2] :
1.     Abu Hanifah dan para shahabatnya : Makruh hukumnya wanita yang masih muda secara mutlak karena hal itu dikhawatirkan timbul fitnah. Adapun wanita yang telah tua, maka diperbolehkan untuk menghadiri shalat Maghrib, ‘Isya’, dan Shubuh.
2.     Malikiyyah : Diperbolehkan - dimana pendapat ini berbeda dengan pendapat yang pertama – bagi seorang wanita yang terhormat/mulia yang tidak berkeinginan terhadap laki-laki untuk keluar menuju ke masjid, berjama’ah shalat ’Ied, jenazah, istisqaa’, dan kusuf. Seperti halnya (diperbolehkan) keluarnya seorang wanita muda tanpa (dikhawatirkan) ada fitnah ke masjid dan menghadiri jenazah yang letaknya dekat (tidak jauh) dari keluarganya. Namun apabila dikhawatirkan timbul fitnah, maka tidak diperbolehkan secara mutlak. [3]
3.     Syafi’iyyah dan Hanabillah : Makruh bagi wanita yang cantik, wanita muda yang mempunyai kedudukan (terhormat), atau yang selainnya untuk menghadiri shalat berjama’ahnya kaum laki-laki, karena hal itu merupakan tempat yang diduga menimbulkan fitnah, dan (bersamaan dengan itu) hendaknya ia shalat di rumahnya. Diperbolehkan bagi wanita yang tidak cantik menghadiri, yang ketika ia keluar (tanpa memakai wangi-wangian) seijin suaminya.[4]
Masih ada pengklasifikasian pendapat yang berbeda dari yang dituliskan di atas (walau intinya masih punya keserupaan), dimana masing-masingnya masih terdapat perincian. Sepertinya antara saya dengan pak Ustadz Zubaedi tidak ada perbedaan pendapat bahwa hadirnya wanita ke masjid adalah diperbolehkan selama tidak menimbulkan fitnah dan memenuhi persyaratan keluar rumah. Jika hal ini terwujud, maka tidak diperbolehkan bagi suami atau walinya untuk melarang wanita tersebut untuk pergi ke masjid. Namun jika menimbulkan fitnah atau dikhawatirkan menimbulkan fitnah, maka tidak diperbolehkan. Bahkan bisa menjadi haram hukumnya. Oleh karena itu, bahasan wanita menghadiri shalat berjama’ah di masjid jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah bukan lagi pada tataran bahasan afdlaliyyah (mana yang lebih utama).[5]
Adapun dalil yang menjadi landasan tentang kebolehannya telah dituliskan oleh pak Ustadz Zubaedi pada bukunya di halaman 4 – 9. Di sini saya tidak akan mengulang dan menambah (sebenarnya masih banyak yang belum beliau sebutkan).
Mana Yang Lebih Afdlal Bagi Wanita : Shalat di Rumah atau di Masjid
Jumhur ulama [6] berpendapat bahwa shalatnya wanita di rumahnya adalah lebih baik daripada di masjid. Pendapat jumhur ini didasarkan oleh beberapa hadits di antaranya :
1.     Hadits Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
عن بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا تمنعوا نساءكم المساجد وبيوتهن خير لهن
Dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda :“Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk pergi ke masjid-masjid, akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka” [HR. Ahmad 2/76 no. 5468, Abu Dawud no. 567, Ath-Thabarani 12/328 no. 13255, Ibnu Khuzaimah 3/92 no. 1684, Al-Hakim 1/327 no. 755, Al-Baihaqi 3/131, dan Al-Baghawi no. 864].
Hadits ini adalah shahih dengan syawaahid-nya, dishahihkan oleh jama’ah ahli hadits dulu dan sekarang.[7] Beberapa syawaahid yang menguatkan hadits ini diantaranya :
2.     Hadits Ummu Humaid radliyallaahu ’anhaa [8] :
عن عبد الله بن سويد الأنصاري عن عمته أم حميد امرأة أبى حميد الساعدي انها جاءت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت يا رسول الله اني أحب الصلاة معك قال قد علمت انك تحبين الصلاة معي وصلاتك في بيتك خير لك من صلاتك في حجرتك وصلاتك في جرتك خير من صلاتك في دارك وصلاتك في دارك خيرا من صلاتك في مسجد قومك وصلاتك في مسجد قومك خير لك من صلاتك قي مسجدي قال فأمرت فبنى لها مسجدا في أقصى شيء من بيتها وأظلمه فكانت تصلي فيه حتى لقيت الله عز وجل
Dari Abdullah bin Suwaid Al-Anshari, dari tantenya (Um Humaid istri Abu Humaid Al-Sa’idi) bahwa dia datang kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam lalu berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menyukai shalat bersamamu. Beliau bersabda : Aku sudah tahu bahwa kamu suka shalat bersamaku, sedangkan shalatmu di rumahmu itu lebih baik dari shalatmu di serambimu, dan shalatmu di serambimu lebih baik dari shalat shalatmu di bale rumahmu, shalatmu di bale rumahmu lebih baik dari shalatmu di masjid kampungmu, dan shalatmu di masjid kampungmu lebih baik dari shalatmu di masjidku. Maka kemudian dia minta dibikinkan tempat shalat di ujung rumahnya, di bagian tergelap, ia selalu shalat di sana sampai wafat” [HR. Ahmad 6/371 no. 27135].[9]
Hadits berderajat hasan.[10] Selain diriwayatkan oleh Ahmad, hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 2217), Ibnu ’Abdil-Barr dalam Al-Isti’ab (4/446), Ibnu Khuzaimah (no. 1689), Ibnu Abi Syaibah (2/384-385), dan yang lainnya.
3.     Hadits ’Ibnu Mas’ud radliyallaahu ’anhu :
عن عبد الله عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : صلاة المرأة في بيتها أفضل من صلاتها في حجرتها وصلاتها في مخدعها أفضل من صلاتها في بيتها
Dari ’Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu ’anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda : “Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada shalatnya di kamarnya/serambinya dan shalatnya di makhda’-nya lebih baik daripada shalatnya di rumahnya” [HR. Abu Dawud no. 570, Al-Baghawi no. 865, Al-Hakim 1/209, dan Ibnu Khuzaimah no. 1685 dengan lafadh yang berbeda].
Hadits ini adalah shahih.[11]
4.     Hadits Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa :
عن أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه وسلم عن النبي صلى الله عليه وسلم قال خير مساجد النساء قعر بيوت
Dari Ummu Salamah istri Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabda : ”Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di dalam rumah-rumah mereka” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 1683, Ahmad 6/301 no. 26612, Abu Ya’la no. 7025, dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 23/709].
Hadits ini hasan dengan syawahidnya.[12]
Dari sini nampak bahwa hadits-hadits di atas saling menguatkan satu sama lainnya sehingga hadits-hadits yang menjelaskan bahwa shalatnya wanita di rumahnya lebih baik daripada shalatnya di masjid adalah berderajat shahih tanpa keraguan (dengan keseluruhan jalan-jalannya).[13]
Ada baiknya kita perhatikan beberapa perkataan ulama (tidak semua dinukilkan) yang berbicara tentang keafdlalan shalatnya wanita di rumahnya dibandingkan di masjid.
An-Nawawi berkata :
واما النساء فجماعتهن في البيوت أفضل لما روى ابن عمر رضي الله عنهما قال " قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تمنعوا نساءكم المساجد وبيوتهن خير لهن
”Adapun bagi para wanita, maka shalat berjama’ah mereka di rumah-rumah mereka adalah lebih utama dengan dasar hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma : Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah bersabda : “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk pergi ke masjid-masjid, akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka” [Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 4/197].
قال اصحابنا وصلاتها فيما كان من بيتها أستر أفضل لها لحديث عبد الله ابن مسعود أن النبي صلي الله عليه وسلم قال " صلاة المرأة في بيتها أفضل من صلاتها في حجرتها وصلاتها في مخدعها أفضل من صلاتها في بيتها " رواه أبو داود باسناد صحيح على شرط مسلم
”Telah berkata para shahabat kami bahwa shalatnya wanita di dalam rumahnya itu lebih tertutup sehingga lebih utama (dibandingkan shalat di masjid). Hal itu berdasarkan hadits ’Abdullah bin Mas’ud bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda : ”Shalatnya wanita di rumahnya itu lebih utama daripada shalatnya di serambinya. Dan shalatnya di makhda’-nya lebih utama daripada shalatnya di rumahnya” [idem 4/198].
Ibnu Hajar berkata :
وقد ورد في بعض طرق هذا الحديث وغيره ما يدل على أن صلاة المرأة في بيتها أفضل من صلاتها في المسجد. وذلك في رواية حبيب بن أبي ثابت عن عمر بلفظ : ((لا تمنعوا نسائكم المساجد، وبيوتهن خير لهن)). أخرجه أبو داود وصححه ابن خزيمة........ ووجه كون صلاتها في الاخفاء أفضل تحقق الأمن فيه من الفتنة، ويأتكد ذلك بعد وجود ما أحدث النساء من التبرج والزينة
”Telah ada dalam sebagian jalan riwayat hadits ini dan selainnya yang menunjukkan bahwa shalatnya seorang wanita di rumahnya itu lebih utama dibandingkan shalatnya di masjid. Hal itu adalah sebagaimana riwayat Hubaib bin Abi Tsaabit dari ’Umar dengan lafadh : “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk pergi ke masjid-masjid, akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”. Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. ...... Dan alasan shalatnya seorang wanita di tempat yang tersembunyi (yaitu : rumahnya) itu lebih utama adalah karena terjamin aman dari fitnah. Dan yang menguatkan hal ini adalah setelah munculnya perbuatan tabarruj dan berhias yang dilakukan oleh para wanita” [Fathul-Bari 2/350].
Badruddin Al-’Ainiy berkata :
وإنما كانت صلاتها في مخدعها أفضل من صلاتها في بيتها ومن صلاتها في حجرتها، لأنها أستر لها، وأمنع لها من نضر الناس.....
”Dan bahwasannya shalatnya seorang wanita di makhda’-nya lebih utama daripada shalatnya di rumahnya dan di serambi rumahnya adalah karena hal itu lebih tertutup baginya dan lebih dapat mencegah pandangan manusia kepadanya...” [Syarh Sunan Abi Dawud 1/194].
Min baabil-aula, tentu saja sangat mudah dipahami dari perkataan di atas bahwa Al-’Aini berpendapat shalatnya seorang wanita di tempat tersebut lebih utama/baik dibandingkan shalatnya di masjid.[14]
Asy-Syaukani berkata :
أي : صلاتهن في بيوتهن خير لهن من صلاتهن في المساجد لو علمن ذلك لكنهن لم يعلمن فيسألن الخروج إلى الجماعة يعتقدن أن أخرجهن في المساجد أكثر، ووجه كون صلاتهن في البيوت أفضل الأمن من الفتنة، ، ويتأكد ذلك بعد وجود ما أحدث النساء من التبرج والزينة، ومن ثم قالت عائشة ما قالت
“Shalat mereka (wanita) di rumahnya adalah lebih baik dan utama daripada shalat di masjid jika mereka mengetahui yang demikian. Akan tetapi, karena mereka tidak mengetahuinya, mereka meminta ijin untuk keluar berjama’ah. Mereka berkeyakinan bahwa pahala shalat di masjid lebih banyak. Keutamaan yang lainnya adalah bahwa shalat-shalat mereka di rumahnya lebih aman dari fitnah. Yang menekankan demikian ini karena adanya perbuatan yang diadakan oleh wanita seperti tabarruj (berdandan) atau bersolek, sebagaimana yang telah dikatakan ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa” [Nailul-Authaar 3/151].
Al-Mubarakfury berkata :
اعلم أن صلاة المرأة في بيتها أفضل من صلاتها في المسجد، ومع هذا لو استأذنت للصلاة إلى المسجد لا تمنع بل تؤذن لكن لا مطلقاً بل بشروط قد وردت في الأحاديث
”Ketahuilah, bahwasannya shalatnya seorang wanita di rumahnya itu lebih baik daripada shalatnya di masjid. Jika ia meminta ijin untuk shalat di masjid, maka tidaklah terlarang baginya dan bahkan diijinkan. Akan tetapi hal itu tidaklah mutlak, namun harus dengan syarat-syarat yang telah disebutkan dalam hadits-hadits” [Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi 3/161].
Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah :
لا يجب على النساء أداء أي صلاة من الفرائض الخمس في جماعة، وصلاتهن في بيوتهن خير لهن من صلاتهن في المساجد، سواء كانت فريضة أم نافلة، لكنها لو أرادت الصلاة في المسجد لا تمنع من ذلك على أن تتأدب بآداب الإسلام، في خروجها وفي صلاتها؛
”Tidaklah diwajibkan bagi para wanita untuk mengerjakan shalat wajib lima waktu berjama’ah. Shalat mereka di rumah-rumah mereka lebih baik daripada shalat mereka di masjid. Sama saja apakah itu shalat wajib atau shalat sunnah. Akan tetapi jika ia ingin mengerjakan shalat di masjid, maka tidaklah terlarang dengan syarat ia beradab dengan adab-adab Islam, baik waktu saat ia keluarnya atau saat shalatnya...” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah 8/213 no. 2437].
Masih banyak beberapa perkataan ulama lain baik ulama klasik atau kontemporer. Termasuk dalam hal ini dri kalangan kontemporer adalah fatwa dari Prof. Dr. ’Ali Jum’ah (salah seorang guru besar Universitas Al-Azhar Mesir),[15] Syaikh Al-Albani,[16] Dr. ’Abdurrahman bin ’Abdillah As-Suhaim,[17] Syaikh Shalih Al-Munajjid,[18] dan yang lainnya.
Hadits Ummu Humaid Adalah Dla’if ?
Ketika menyebutkan hadits Ummu Humaid di atas, Pak Ustadz Zubaedi berkata :
Syeikh Nashiruddin Albani di dalam bukunya Shahih At-Targhib wat-Tarhib memberi hadits itu nomer urut 340 dan mengkatagorikannya sebagai Hasan Lighairihi.
Setelah itu beliau menerangkan tentang klasifikasi hadits dan menerangkan apa makna hasan lighairihi. Sampai di sini sebenarnya tidak ada problem berarti dengan penjelasan beliau ini. Namun alangkah ’mengecewakannya’ ketika beliau berkata :
Jadi Hadits Ummu Humaid yang oleh Syeikh Nashiruddin Albani disebut Hasan Lighoirihi itu aslinya adalah Hadis Dloif (lemah).
Kalau mau jalan pintas : Hadis yang lemah mestinya dibuang, jangan dipakai. Kita cukup menggunakan hadis yang benar-benar kuat saja.
Begitulah kata beliau yang saya nukil di halaman 13. Sangat ’mengecewakan’. Kalimat beliau ini rancu. Beliau sepertinya tidak memahami status ’dla’if ’ yang dimaksudkan oleh para ahli hadits yang mereka menolaknya sebagai hujjah dalam perkara agama.
Sebagian ahli hadits menganggap kebersendirian Dawud bin Qais yang meriwayatkan hadits dari ’Abdullah bin Suwaid Al-Anshary adalah sebab yang melemahkan hadits. Ini adalah jenis kedla’ifan yang ringan. Sebagian lagi tidak menganggapnya sebagai satu sebab. Oleh sebab itu, sebagian ahli hadits tetap menilainya sebagai hadits yang berstatus hasan lidzatihi. Jika kita menganggap itu sebagai satu sebab kedla’ifan, maka kedla’ifan ini menjadi tidak berarti karena ia dikuatkan oleh riwayat-riwayat yang lain sehingga statusnya naik menjadi hasan lighairihi.[19] Hadits hasan lighairihi itu statusnya adalah diterima (maqbul) dan dapat dijadikan sebagai hujjah.[20] Bukan ditolak sebagaimana dikatakan ’dengan mudahnya’ oleh Pak Zubaedi.
Adapun maksud penolakan ahli hadits yang digunakan sebagai hujjah adalah hadits dla’if yang ada pada penilaian akhirnya dimana ia tidak mempunyai penguat, baik syawahid atau mutaba’at. Sebaliknya, jika penilaian akhir satu hadits itu hasan atau hasan lighairihi, maka hadits itu adalah diterima dan dapat digunakan sebagai hujjah.
Dan di sini perlu saya ulang dan tekankan bahwa hadits yang mendasari tentang pembahasan ini bukan hanya hadits Ummu Humaid, namun ada hadits-hadits lain yang berderajat hasan dan juga shahih.
Sehingga, perkataan pak Zubaedi (halaman 16) :
Seandainya saja hadits Ummu Humaid itu shohih diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim tentu bisa menjadi perkecualian [21] bagi ketentuan di Al-Bukhari 1190 dan Muslim 3443 itu, sehingga bisa disimpulkan : bahwa keutamaan 1000 kali lipat itu berlaku untuk pria saja, bukan untuk wanita.
adalah perkataan tanpa faedah. Bagaimana tidak ? Hadits Ummu Humaid sendiri adalah hasan dan bisa digunakan sebagai hujjah untuk men-takhshish (mengkhususkan) keumuman dalil. Inilah thariqah yang ditempuh oleh para ulama.
Dan tidaklah mesti bahwa satu dalil yang men-takhshish Shahihain itu harus berasal dari Shahihain juga, sebagaimana kata beliau. Banyak sekali contoh takhshish satu nash dari Shahihain (bahkan dari Al-Qur’an) yang berasal dari luar Shahihain. Berikut akan saya berikan empat contoh :
1.     Dikecualikannya kewajiban shalat Jum’at bagi wanita.
Kewajiban shalat Jum’at itu didasarkan pada firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” [QS. Al-Jumu’ah : 9].
Juga sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :
لينتهين أقوام عن ودعهم الجمعات أو ليختمن الله على قلوبهم ثم ليكونن من الغافلين
”Hendaklah satu kaum berhenti dari meninggalkan shalat Jum’at, atau kalau tidak, maka Allah mencap hati-hati mereka, kemudian menjadikannya termasuk orang-orang yang lalai” [HR. Muslim no. 865].
Namun hadits tersebut di-takhshish oleh riwayat berikut :
الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة إلا أربعة عبد مملوك أو امرأة أو صبي أو مريض
”Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim dalam jama’ah, kecuali empat : hamba sahaya, wanita, anak-anak, dan orang sakit” [HR. Abu Dawud no. 1067; shahih. Hadits ini mempunyai banyak syawaahid].
2.     Seorang ayah tidaklah dihukum bunuh karena membunuh anaknya.
Allah ta’ala telah menetapkan hukum qishash dengan sebab pembunuhan berdasarkan firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih” [QS. Al-Baqarah : 178].
Juga berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :
لا يحل دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله إلا بإحدى ثلاث النفس بالنفس والثيب الزاني والمفارق لدينه التارك للجماعة
”Tidaklah halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwasannya tidak ada ilah yang berhak untuk diibadahi dengan benar melainkan Allah dan juga berskasi bahwasannya aku adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari tiga sebab : jiwa dengan jiwa, orang yang sudah berkeluarga yang berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jama’ah” [HR. Al-Bukhari no. 6878 dan Muslim no. 1676].
Keumuman qishash jiwa dengan jiwa tersebut di-takhshish, bahwasannya seorang ayah tidaklah dibunuh karena membunuh anaknya : [22]
لا تقام الحدود في المساجد ولا يقتل الوالد بالولد
”Tidak boleh hudud dilaksanakan di masjid dan seorang ayah tidak dihukum mati karena membunuh anaknya” [HR. At-Tirmidzi no. 1401, Ibnu Majah no. 2599 dan 2661, Abu Nu’aim 4/18, serta yang lainnya; hasan].
لا يقتل والد بولده
“Seorang ayah tidaklah (dijatuhi hukum) bunuh karena membunuh anaknya” [HR. Ahmad 1/49 no. 346, Ibnu Majah no. 2662, ‘Abdun bin Humaid no. 41, dan yang lainnya; hasan – akan tetapi shahih dengan seluruh jalur periwayatannya].
3.     Dikecualikannya semua bangkai laut, bangkai ikan dan belalang serta hati dan limpa dari keumuman haramnya bangkai dan darah.
Allah ta’ala telah berfirman tentang keharaman bangkai dan darah :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah : 173].
Dan kemudian keharaman bangkai dan darah tersebut di-takhshish oleh hadits :
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ فِي اَلْبَحْرِ: هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda tentang laut : ”Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” [HR. Abu Dawud no. 83, At-Tirmidzi no. 69, Ibnu Majah no. 386, dan yang lainnya; shahih].
Juga perkataan ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu :
أحلت لنا ميتتان ودمان : فالجراد والحيتان والكبد والطحال
”Telah dihalalkan bagi kami dua macam bangkai dan dua macam darah, yaitu : belalang dan ikan, serta jantung/limpa dan hati” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 1/254. Al-Baihaqi berkata : Sanadnya shahih. Al-Hafidh menshahihkannya dalam At-Talkhiisul-Habiir 1/38. Hadits ini mauquf, namun dihukumi marfu’].
4.     Ada beberapa golongan orang yang tidak dipotong tangannya walaupun pencuriannya telah mencapai nishab.
Allah ta’ala telah menentukan hukuman yang dijatuhkan pada pencuri laki-laki dan perempuan :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [QS. Al-Maaidah : 38].
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah menentukan jumlah nishab sebagai batas pencurian. Barangsiapa yang mencuri melebihi nishab tersebut, maka dipotonglah tangannya :
عن عائشة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا تقطع يد السارق إلا في ربع دينار فصاعدا
Dari ’Aisyah, dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabda : ”Tidaklah dipotong tangan seorang pencuri kecuali jika telah mencapai seperempat dinar atau lebih” [HR. Al-Bukhari no. 6789 dan Muslim no. 1684].
Akan tetapi ketetentuan di atas dikecualikan pada beberapa jenis orang, misalnya seperti yang dijelaskan dalam hadits berikut :
لَيْسَ عَلَى الْمُنْتَهِبِ وَلا عَلَى الْمُخْتَلِسِ وَلا الْخَائِنِ قَطْعٌ
”Tidak ada hukum potong tangan pada muntahib, mukhtalis, dan khaain” [HR. Abu Dawud no. 4391-4393; shahih].
Contoh yang lain masih sangat banyak. Jadi, takhshish hadits Ummu Humaid terhadap Shahihain adalah sangat mungkin, yaitu hadits keutamaan 1000 kali lipat itu hanya berlaku untuk laki-laki saja. Adapun wanita, tetap lebih baik untuk shalat di rumahnya. Tentu saja, bukan berarti wanita itu ’kalah bersaing’ dalam hal pahala dengan laki-laki. Bahkan, seorang wanita yang tetap shalat di rumahnya karena mengamalkan hadits Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, insya Allah ia tidak akan rugi dan akan dibalas dengan pahala berlipat-ganda oleh Allah. Allah tidaklah berbuat dhalim terhadap hamba-Nya ketika ia telah menetapkan satu syari’at melalui lisan Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam.
Dari sini juga nampak logika ’sakit’ dari pak ustadz Zubaedi bahwa jika kita mengamalkan hadits Ummu Humaid sama dengan ’menganggap’ bahwa para shahabat dan shahabiyyah itu bodoh karena meninggalkan sesuatu yang afdlal (karena para shahabiyyat ada yang shalat di masjid). Betapa tidak ? Beliau mengatakan :
Tidak bisa disalahkan jika karena hadits Ummu Humaid itu orang menganggap para Shohabiyah, termasuk istri Kholifah ’Umar ibn al-Khotthob dan Ibnu Mas’ud sebagai wanita-wanita bodoh.
Bagaimana tidak ! Sebab mereka telah meninggalkan rumah yang pahala sholat di dalamnya jauh lebih besar dari sholat di Masjid Nabawi untuk sholat di Masjid Nabawi yang pahalanya sangat kecil.
Begitulah kata beliau..... Perkataan yang dibangun dari sikap su’udhdhan terhadap nash dan tidak memperhatikan penjelasan ulama. Cukup ’cerdik’ untuk membangun satu logika perbandingan kepada para Pembaca.
Kita ganti bertanya pada beliau :
”Apakah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ketika mengucapkan bahwa shalatnya wanita di rumah mereka itu lebih baik daripada shalat mereka di masjid Nabi dalam keadaan lupa atau tidak tahu bahwa keutamaan shalat di masjid Nabi itu 1000 kali lebih utama dibanding masjid biasa ? – sedangkan di sisi lain Pak Ustadz Zubaedi lebih ingat atau lebih tahu ?”
Tidak bosan rasanya saya ulang di sini bahwa hadits Ummu Humaid ini adalah berderajat hasan. Bukan dla’if. Apa artinya ? Artinya adalah : bahwa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam benar-benar telah mengatakan sebagaimana yang terdapat dalam hadits Ummu Humaid. Jadi perkataan itu bukanlah perkataan kosong, bohong, reka-rekaan, atau bualan dari para perawi. Saya kira pak Ustadz Zubaedi juga tahu tentang kaidah dasar ini.
Satu hal – di antara banyak hal – yang dilupakan oleh pak Ustadz Zubaedi bahwasannya tidak dilakukannya sesuatu hal yang afdlal itu tidak selalu berkorelasi dengan kebodohan. Justru ini menunjukkan keluasan dan keluwesan syari’at Islam.
·           Apakah kita akan mengatakan bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam itu adalah orang yang bodoh karena meninggalkan rutinitas puasa Dawud, padahal jenis puasa itu adalah puasa yang paling baik di sisi Islam ? [23]
·           Apakah kita akan mengangap sebagian shahabat radliyallaahu ’anhum sebagai orang yang bodoh karena mereka hanya mengerjakan hal-hal yang diwajibkan dalam Islam saja tanpa menambah dengan amalan sunnah ? Apakah ia tidak mengetahui pahala yang besar yang disediakan Allah bagi orang yang mengerjakan amalan sunnah ? sementara itu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallammengetahuinya dan menyaksikan apa yang mereka kerjakan ? [24]
·           Apakah kita akan mengatakan bahwasannya para shahabat itu adalah orang-orang yang bodoh karena banyak di antara mereka melakukan shalat Dluha di awal waktu sementara waktu utama mengerjakannya adalah di akhir waktu (menjelang siang) ? [25]
·           Apakah kita akan mengatakan sebagian shahabat dan tabi’in sebagai orang yang bodoh nan pandir ketika mereka memilih berpuasa ’Arafah saat wuquf haji sementara yang amalan yang paling utama adalah berbuka bagi mereka yang wuquf di ’Arafah ? [26]
Oleh karena itu, kita mensikapi tindakan sebagaian shahabiyat dengan sikap proporsional yang dipenuhi dengan husnudhdhan. Kita tidak mengatakan bahwa mereka adalah wanita-wanita bodoh. Pun pada suami-suami mereka yang telah mengijinkan mereka. Tidak lain karena memang hal itu diperbolehkan oleh syari’at. Segala hal yang diperbolehkan oleh syari’at, maka tidak ada hak bagi seseorang untuk mencelanya (dengan kebodohan). Syari’at pun telah melarang bagi para suami mereka untuk menahan mereka jika mereka telah memenuhi hak syari’at ketika keluar rumah (tidak tabarruj, tidak memakai wangi-wangian, dan yang lainnya). Ini yang pertama. Adapun yang kedua, kepergian para shahabiyat untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid itu merupakan amal shalih yang disyari’atkan. Segala amal shalih yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya berhak mendapat pujian bagi siapa saja yang melaksanakannya, walaupun mungkin apa yang ia laksanakan itu bukanlah amal yang paling utama. Contoh seperti ini adalah banyak dalam hadits-hadits Nabishallallaahu ’alaihi wasallam.
Hadits Ibnu ’Umar adalah dla’if ?
Pada halaman 16, setelah membawakan hadits Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma Pak Ustadz Zubaedi menuliskan sebagai berikut :
Hadits yang juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Ad-Darimi, dan Al-Baihaqi ini adalah shohih[27]
Kemudian beliau mengemukakan bahwa dalam riwayat Shahihain tidak terdapat tambahan kalimat : [وبيوتهن خير لهن” akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”. Nah, alangkah terkejut saya ketika Pak Zubaedi lagi-lagi ’dengan mudahnya’ mengatakan :
Mari kita gunakan akal untuk berfikir logis dan obyektif :
·            Bagaimana, apa Imam Al-Bukhori dan Imam Muslim sengaja membuang satu bagian dari sabda Nabi Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam itu itu ?
·            Ataukah Imam-Imam Hadis itu lupa sehingga tidak menyebutkan kalimat tambahan itu ?
Jawabannya : MUSTAHIL mereka membuangnya, karena itu adalah bentuk pengkhianatan dan kedurhakaan kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam. Lupa mencantumkan kalimat itu juga tidak mungkin. Apalagi para Ulama di sepanjang zaman menobatkan Kitab-Kitab Hadis karya mereka sebagai Kitab Hadis terbaik dan terkuat.
Begitulah yang dikatakan oleh beliau ini. Mustahil, katanya. Dari sini saya semakin ragu apakah beliau benar-benar memperhatikan ulama hadits yang melakukan penelitian hadits, atau hanya taqlid, atau malah hanya berusaha mengarang jawaban. Semoga bukan kemungkinan terakhir yang saya dapatkan.[28]
Mungkin di sini saya akan mulai dengan pertanyaan yang sangat mendasar : ”Apakah semua hadits shahih itu hanya terbatas tercantum dalam Shahihain ?” atau dengan kata lain : ”Apakah Imam Bukhari dan Imam Muslim mencantumkan semua hadits shahih yang beliau ketahui dalam kitab beliau (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) ?”. Tentu saja jawabannya tidak. Imam Bukhari sendiri mengatakan :
وما تركت من الصحاح أكثر
”Aku meninggalkan hadits-hadits shahih [29] dalam jumlah yang banyak” [lihat Taisiru Mushthalahil-Hadits hal. 34].
Beliau juga berkata :
ما أدخلت في كتابي الجامع إلا ما صح وتركت من الصحاح لحال الطول
”Tidaklah aku masukkan ke dalam kitabku Al-Jaami’ (yaitu Shahih Al-Bukhari) melainkan yang shahih saja. Dan aku meninggalkan hadits-hadits shahih yang lain karena keadaannya yang panjang”. [idem].
Dr. Mahmud Ath-Thahhan menjelaskan tentang perkataan Imam Bukhari di atas bahwasannya Imam Bukhari banyak meninggalkan hadits-hadits shahih dalam kitabnya karena kekhawatiran akan menjadi panjang/tebal kitab beliau tersebut. Tentu saja ini dapat dimaklumi karena beliau menghafal 100.000 hadits shahih sebagaimana perkataan beliau :
أحفظ مائة ألف حديث صحيح ومائتي ألف حديث غير صحيح
”Aku menghafal 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits yang tidak shahih” [idem. Lihat pula ‘Ulumul-Hadits oleh Ibnu Shalah hal. 16].
Dari dua perkataan Imam Bukhari di atas sangat mungkin kiranya bahwa beliau memilih matan hadits yang lebih pendek dan meninggalkan matan yang lebih panjang untuk dimasukkan ke dalam kitab Shahih Al-Bukhari.
Adapun Imam Muslim, beliau pun berkata senada dengan Imam Bukhari :
ليس كل شيء عندي صحيح وضعته ههنا يعني في كتابه الصحيح إنما وضعت ههنا ما أجمعوا
“Tidaklah setiap hadits yang menurutku shahih aku letakkan di sini – yaitu dalam kitab beliau Ash-Shahih -, aku hanya meletakkan di sini apa yang telah disepakati saja” [‘Ulumul-Hadits, hal. 16].
Pertanyaan lanjutannya : ”Apakah Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetahui semua hadits dan jalan periwayatannya ?”. Jawabannya tentu saja tidak. Beliau memang dua orang manusia yang dikaruniai Allah dengan pengetahuan dan kecerdasan yang sangat luar biasa. Namun sebagai manusia, beliau berdua tidaklah mengetahui semua periwayatan hadits dan jalur-jalurnya. Mengapa ? Para perawi itu tersebar di negara-negara Islam yang tidak setiap mereka ditemui oleh beliau berdua. Juga, tidak setiap perawi yang ditemui oleh beliau menceritakan semua riwayat yang ada padanya. Oleh karena itu, kita dapat dapat menemui – misalnya - kitab Al-Mustadrak dimana di dalamnya banyak berisi riwayat dari para perawi Imam Bukhari dan Imam Muslim, namun beliau berdua tidak meriwayatkannya. Juga dalam kitab-kitab hadits standar yang lain. Ini sangat ma’ruf saya kira.
Maka, di sini saya tekankan bahwa TIDAK MUSTAHIL ada satu riwayat atau bahkan tambahan riwayat yang tidak dibawakan Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, namun dibawakan oleh para imam ahli hadits yang lain. Dan jika ada yang mengatakan MUSTAHIL, maka tidak syakk bahwa ia adalah orang yang tidak mengerti akan hadits dan ilmu hadits.
Sekarang mari kita lihat hadits yang dipermasalahkan oleh pak Ustadz Zubaedi :
حدثنا يوسف بن موسى حدثنا أبو أسامة حدثنا عبيد الله بن عمر عن نافع عن بن عمر قال كانت امرأة لعمر تشهد صلاة الصبح والعشاء في الجماعة في المسجد فقيل لها لم تخرجين وقد تعلمين أن عمر يكره ذلك ويغار قالت وما يمنعه أن ينهاني قال يمنعه قول رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تمنعوا إماء الله مساجد الله
Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa : Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah : Telah menceritakan kepada kami ’Ubaidillah bin ’Umar, dari Nafi’, dari Ibnu ’Umar ia berkata : ”Salah seorang istri ’Umar bin Khaththab radliyallaahu ’anhu biasa menghadiri shalat ’Isya’ dan Shubuh berjama’ah di masjid. Ada yang berkata kepadanya : ’Mengapa engkau keluar, bukankah engkau tahu bahwa ’Umar tidak menyukai hal ini dan pencemburu?”. Ia menjawab : ”Apa yang menghalanginya untuk melarangku ? Yang menghalanginya adalah sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk pergi ke masjid-masjid Allah” [HR. Al-Bukhari no. 900].
حدثنا محمد بن عبد الله بن نمير حدثنا أبي وابن إدريس قالا حدثنا عبيد الله عن نافع عن بن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا تمنعوا إماء الله مساجد الله
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ’Abdillah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami ayahku dan Ibnu Idris, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk pergi ke masjid-masjid Allah” [HR. Muslim no. 442].
Perhatikan benar-benar dua hadits di atas ! Perbedaan lafadh dua hadits tersebut terletak pada perawi setelah ’Ubaidillah bin ’Umar, dimana Abu Usamah (yaitu perawi dari riwayat Al-Bukhari) memberikan tambahan lafadh/cerita yang tidak diberikan oleh Ibnu Idris dan ’Abdullah bin Numair (perawi dari riwayat Muslim). Bila kita tanyakan kepada pak Zubaedi : ”Apakah Imam Muslim sengaja membuang satu bagian dari hadits dari perkataan 'Umar bin Al-Khaththaab ?”. Pertanyaan lanjutannya : ”Ataukah Imam Muslim lupa sehingga tidak menyebutkan kalimat tambahan itu dalam kitab Shahihnya ?”.[30] Atau mari kita coba jawab dengan jawaban yang diberikan pak Zubaedi sebagaimana telah ternukil di atas :
Jawabannya : MUSTAHIL mereka membuangnya, karena itu adalah bentuk pengkhianatan dan kedurhakaan kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam. Lupa mencantumkan kalimat itu juga tidak mungkin. Apalagi para Ulama di sepanjang zaman menobatkan Kitab-Kitab Hadis karya mereka sebagai Kitab Hadis terbaik dan terkuat.
Ya, mustahil bagi orang yang tidak mengerti hadits dan ilmu hadits. Sekaligus, jawaban yang diberikan oleh pak Ustadz Zubaedi di atas adalah jawaban yang kontradiktif dengan pemahaman yang coba beliau ’tawarkan’. Beliau nampaknya lupa (atau tidak tahu ?) bahwa riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim itu juga berbeda, dimana Imam Muslim memuat tambahan lafadh.
Oleh karena itu, para ahli hadits telah menjelaskan bahwa tambahan lafadh dari perawi tsiqah atau secara umum dari riwayat shahih atau hasan (baik lidzaatihi atau lighairihi), maka tambahan itu diterima.[31]Konsekuensinya, tambahan lafadh/cerita yang dibawakan oleh Imam Muslim itu juga DITERIMA. Hal yang sama dengan tambahan lafadh wa buyuutuhunna khairun-lahunna.
Kita kembali ke hadits yang dibicarakan :
عن بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا تمنعوا نساءكم المساجد وبيوتهن خير لهن
Dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ia berkata : “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk pergi ke masjid-masjid, akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka” [HR. Ahmad 2/76 no. 5468, Abu Dawud no. 567, Ath-Thabarani 12/328 no. 13255, Ibnu Khuzaimah 3/92 no. 1684, Al-Hakim 1/327 no. 755, Al-Baihaqi 3/131, dan Al-Baghawi no. 864].
Ada satu hal yang aneh bin ajaib dari keterangan yang diberikan oleh pak Zubaedi. Pada halaman 16 dari bukunya (“Wanita & Masjid”), beliau mengatakan bahwa hadits tersebut shahih. Namun di halaman 18 paragraf pertama beliau mengatakan :
Masalahnya sederhana saja : seandainya menurut mereka tambahan وبيوتهن خير لهن itu shohih tentu mereka cantumkan.
Ya,... pak Zubaedi menulis seperti itu bertujuan agar Pembaca “meragukan” keshahihan tambahan lafadh tersebut. Padahal di halaman sebelumnya (hal. 16) beliau sendiri yang telah mengatakan shahih. Tanaqudl ? Patut kita pertanyakan kepada pak Zubaedi :
“Bagaimana Pak Zubaedi mengetahui bahwa Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mencantumkannya dalam kitab Shahih mereka karena adanya anggapan dari mereka tentang tambahan lafadh tersebut tidak shahih ? "
Terkecuali jika apa yang dituliskan pak Zubaedi di atas hanya berdasarkan atas kaidah : “kira-kira”. Bukan kaidah standar ilmu hadits.
Dan anehnya lagi, ketika beliau mencontohkan satu kasus tambahan lafadh yang tidak diterima, beliau memberikan contoh kasus secara tidak fair, yaitu ketika beliau (pada halaman 18) mencontohkan tambahan lafadh : وَبِحَمْدِهِ pada bacaan rukuk (سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ) dan sujud (سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى). Mengapa saya katakan tidak fair ? Tidak lain karena tambahan tersebut dikritik oleh sebagian ahli hadits sebagai tambahan yang dla’if. [32] Tentu saja pencontohan ini tidak ‘pas’, sebab apa yang kita bahas – yaitu lafadh wabuyuutuhunna khairun-lahunna – adalah tambahan shahih. Dan itu diakui sendiri oleh pak Zubaedi !!
Akan saya berikan contoh lain tambahan tambahan lafadh yang diterima dan dapat diamalkan menurut para ahli hadits.
1.     Hadits tentang haramnya memikirkan Dzat Allah ta’ala.
عن أنس بن مالك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال قال الله عز وجل إن أمتك لا يزالون يقولون ما كذا ما كذا حتى يقولوا هذا الله خلق الخلق فمن خلق الله
Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ia berkata : Allah ’azza wa jalla telah berfirman : “Sesungguhnya umatmu akan terus-menerus bertanya apa ini dan apa itu, hingga mereka bertanya : ‘Allah menciptakan ini dan itu. Lalu siapakah yang menciptakan Allah ?’ [HR. Muslim no. 136 dan Ahmad 3/102 no. 12014].
Dalam riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (no. 647) terdapat tambahan lafadh :
فعند ذلك يضلون
“Jika demikian halnya, mereka akan tersesat”.
Tambahan tersebut adalah shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dhilalul-Jannah (1/293), dan Dr. Bashim bin Faishal Al-Jawabirah dalam tahqiq dan ­takhrij-nya atas kitab As-Sunnah (1/451).
Tambahan ini adalah diterima, diamalkan, dan mengandung ilmu.
2.     Hadits tentang sifat kubur Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, Abu Bakar, dan ’Umar radliyallaahu ’anhuma.
عن سفيان التمار أنه رأى قبر النبي صلى الله عليه وسلم مسنما
Dari Sufyan bin Tammaar : "Bahwasannya ia pernah melihat kuburan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dibuat gundukan seperti punuk” [HR. Al-Bukhari no. 1390].
Setelah kalimat ”kuburan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam” (قبر النبي صلى الله عليه وسلم), dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah (no. 11845)[33] terdapat tambahan lafadh :
وقبر أبي بكر وعمر
”Dan kuburan Abu Bakr, dan ’Umar”.
Tambahan lafadh ini shahih, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ahkaamul-Janaaiz.
3.     Hadits tentang anjuran berwudlu kepada seorang suami yang ingin mengulang berjima’ dengan istrinya.
عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أتى أحدكم أهله ثم أراد أن يعود فليتوضأ
Dari Abu Sa’id Al-Khudry ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :“Apabila salah seorang di antara kalian mendatangi istrinya kemudian ia berkeinginan untuk mengulanginya, hendaklah ia berwudlu” [HR. Muslim no. 308].
Dalam Al-Mustadrak-nya Al-Hakim (no. 152) terdapat tambahan lafadh :
فإنه أنشط للعود
“Karena wudlu itu akan memberi semangat untuk mengulanginya lagi”.
Tambahan ini shahih, dimana Al-Hakim berkata : “Hadits ini shahih sesuai dengan persyaratan Syaikhain (yaitu Al-Bukhari dan Muslim), namun mereka tidak meriwayatkannya dengan lafadh ini”.
Ibnu Hajar memberi isyarat tashhih atas tambahan ini dalam Bulughul-Maram (no. 126).
4.     Hadits tentang menguap.
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال التثاؤب من الشيطان فإذا تثاءب أحدكم فليكظم ما استطاع
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallambersabda : “Menguap itu termasuk perbuatan syaithan. Apabila salah seorang di antara kalian menguap, hendaklah ia tahan sekuatnya” [HR. Al-Bukhari no. 3289 dan Muslim no. 2994; dan ini lafadh Muslim].
At-Tirmidzi (no. 370) menambahkan lafadh (في الصلاة) (“ketika shalat”) antara kata at-tatsaaubu dengan minasy-syaithaan. At-Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Ibnu Hajar men-taqrir (menyetujui) tambahan tersebut dalam Bulughul-Maram (no. 262). Syaikh Al-Albani dalamShahih Sunan At-Tirmidzi juga menshahihkannya.
5.     Hadits tentang doa setelah wudlu.
Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 234) membawakan lafadh doa sebagai berikut :
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
”Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu baginya. Dan sku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya” .
At-Tirmidzi (no. 55) menambahkan lafadh doa sebagai berikut :
اللهم اجعلني من التوابين واجعلني من المتطهرين
”Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang (yang senang) bersuci”.
Tambahan ini shahih, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi.
6.     Hadits tentang mendengar ayam berkokok dan keledai yang meringkik.
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا سمعتم صياح الديكة من الليل فاسألوا الله من فضله فإنها رأت ملكا وإذا سمعتم نهيق الحمار من الليل فتعوذوا بالله من الشيطان فإنه رأى شيطانا
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :“Apabila kalian mendengar ayam jantan berkokok di waktu malam, maka mintalah anugrah kepada Allah, karena sesungguhnya ia melihat malaikat. Namun apabila engkau mendengar keledai meringkik di waktu malam, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguan syaitha, karena sesungguhnya ia telah melihat syaithan”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 3303) dan Muslim dalam Shahih-nya (no. 2729) tanpa lafadh ”di waktu malam” (من الليل). Tambahan tersebut merupakan tambahan lafadh Al-Bukhari dalam kitabnya yang lain, yaitu Al-Adaabul-Mufrad (no. 1236) dengan kualitas shahih.
7.     Dan lain-lain yang jumlahnya masih sangat banyak.[34]
Intinya, tambahan lafadh dari riwayat yang shahih atau hasan (baik lidzaatihi atau lighairihi) adalah diterima, dipakai, dan dapat dijadikan sebagai hujjah menurut para ulama ahli hadits. Oleh karena itu, tambahan lafadh wabuyuutuhunna khairun-lahunna (”dan rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka”) adalah diterima, dipakai, dan dapat dijadikan sebagai hujjah. Inti dari sub-bab ini adalah bahwa hadits tersebut secara manthuq telah menegaskan shalatnya wanita di rumahnya adalah lebih afdlal dibandingkan shalat mereka di masjid. Itulah pemahaman para jumhur ulama Ahlus-Sunnah mengenai hal ini.[35] Oleh karena itu kesimpulan yang pak Ustadz Zubaedi bangun pada halaman 25 [36] adalah kesimpulan yang menyalahi nash dan kaidah ilmiah.
Tambahan Keanehan dari Tulisan Pak Ustadz Zubaedi
Pada halaman 27-30, lagi-lagi pak Ustadz Zubaedi membuat pernyataan-pernyataan muhdats yang membuat kita patut merasa prihatin membacanya. Ketika ada beberapa pihak yang berusaha mengutarakan sanggahan pada beliau dalam masalah ini bahwasannya para istri Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak pergi shalat berjama’ah di masjid, maka beliau menjawab bahwa itu merupakan kekhususan dari Ummahatul-Mukminin. Termasuk juga - kata beliau - adalah QS. Al-Ahzab ayat 32 - 33. Pertanyaan yang patut kita berikan kepada pak Ustadz yang terhormat ini adalah :
”Dari mana antum memperoleh keterangan ini ? Adakah di antara para ulama terdahulu sebelum antum pernah mengatakannya ?”.
Para ulama telah menjelaskan bahwa segala nash yang ada dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, walaupunkhithab-nya tertuju pada Ummahatul-Mukminin, maka pada asalnya berlaku juga pada seluruh wanita muslimah yang menjadi umat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam; kecuali ada indikasi yang kuat bahwa ayat tersebut tertuju khusus kepada mereka. Mungkin pak Ustadz Zubaedi ketika memberikan keterangan tersebut lupa akan kaedah : Al-’Ibratu bi-’Umuumil-Lafdhi Laa bi-Khushuushis-Sabab (Pelajaran itu diambil dari keumuman lafadh, bukan dari kekhususan sebab). Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan hal ini :
والآية التى لها سبب معين ان كانت أمرا ونهيا فهى متناولة لذلك الشخص ولغيره ممن كان بمنزلته وان كانت خبرا بمدح أو ذم فهى متناولة لذلك الشخص وغيره ممن كان بمنزلته أيضا
”Sebuah ayat yang memiliki sebab (nuzul) tertentu jika berupa perintah atau larangan, maka ayat tersebut berlaku kepada orang (yang disebut dalam sababun-nuzul) tersebut dan berlaku pula kepada selainnya dari pihak-pihak yang memiliki kriteria-kriteria yang sama dengan orang tersebut. Jika ayat tersebut berisi berita, baik berupa pujian ataupun celaan, maka ayat itu berlaku bagi pribadi tersebut (yang disebutkan dalamsababun-nuzul) dan berlaku pula bagi pribadi lainnya dari pihak-pihak yang memiliki kriteria-kriteria yang sama dengan orang tersebut” [Muqaddimah fii Ushulit-Tafsiir hal. 4].
Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin menjelaskan :
إذا نزلت الآية لسبب خاص ، ولفظها عام كان حكمها شاملا لسببها ، ولكل ما يتناوله لفظها ، لأن القران نزل تشريعا عاما لجميع الأمة فكانت العبرة بعموم لفظه لا بخصوص سببه
”Apabila ada suatu ayat yang turun berhubungan dengan sebab tertentu secara khusus, sedangkan bentuk lafadhnya bersifat umum; maka cakupan hukum dalam lafadh itu disamping berlaku untuk sebab khusus tersebut, juga berlaku secara umum sesuai dengan keumuman lafadhnya. Hal itu dikarenakan Al-Qur’an turun sebagai syari’at yang umum berlaku untuk semua umat. Maka pengambilan dasar hukum atas nash itu didasarkan kepada keumuman lafadh, bukan dari kekhususan sebab” [Ushuul fit-Tafsiir – Free Program yang diunduh dari http://www.ibnothaimeen.com/ ].
Termasuk dalam bahasan ini adalah firman Allah ta’ala :
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا * وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
”Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya” [QS. Al-Ahzaab : 32-33].
Walaupun ayat tersebut tertuju kepada istri-istri Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, namun juga berlaku kepada semua istri kaum mukminin yang lainnya. Perhatikan penjelasan Ibnu Katsir berikut :
هذه آداب أمر الله تعالى بها نساء النبي صلى الله عليه وسلم ونساء الأمة تبع لهن في ذلك
”Ini merupakan adab yang diperintahkan Allah ta’ala kepada para istri Nabi shallallaahu ’alaihi wasallamserta istri umatnya yang mengikutinya dalam hal itu” [Tafsir Ibni Katsir 11/150; Muassasah Qurthubah, Cet/ 1/1421].[37]
Al-Qurthubi berkata :
معنى هذه الآية الأمر بلزوم البيت، وإن كان الخطاب لنساء النبي صلى الله عليه وسلم فقد دخل غيرهن فيه بالمعنى
“Makna ayat ini adalah perintah untuk tetap tinggal di rumah. Walaupun khithaab ayat tersebut adalah kepada istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, namun masuk juga (perintah tersebut) kepada wanita-wanita selain mereka secara makna” [Tafsir Al-Qurthubi 17/141; tahqiq : At-Turkiy].
Inilah pemahaman para ulama kita yang sedikit saya nukilkan dimana pak Ustadz Zubaedi “menyendiri” dalam pendapat anehnya. Jika kita ikuti perkataan pak Ustadz Zubaedi bahwa ayat di atas hanyalah berlaku kepada istri-istri Nabi dan belum tentu berlaku kepada selain mereka dari kalangan wanita mukminah; apakah pak Ustadz Zubaedi juga akan mengatakan bahwa :
1.     Wanita-wanita muslimah tidak tercakup hukum untuk tidak tunduk dalam berbicara kepada laki-laki bukan mahram.
2.     Wanita-wanita muslimah tidak tercakup hukum larangan ber-tabarruj sebagaimana tabarruj-nya wanita Jahiliyyah jaman dahulu.
Saya kira, pak Ustadz Zubaedi tidak akan berpendapat seperti itu. Ingat, perintah untuk tetap tinggal di rumah mereka itu menyatu dengan dua hal di atas, plus perintah mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mentaati Allah dan Rasul-Nya !!
Dan jika memang perilaku istri-istri Nabi dimana mereka tetap tinggal di rumah mereka itu tidak patut dicontoh oleh kaum mukminah lainnya; maka siapa lagi yang patut menjadi qudwah (contoh/teladan) bagi para wanita kita ? Bukankah mereka adalah pribadi-pribadi yang patut diteladani dalam hal ilmu dan amal ? Bahkan juga bagi kaum laki-laki ?
Adapun perkataan-perkataan beliau pada hal. 29 – sampai akhir risalah (hal. 32 - bisa dibaca beberapa ulasan beliau di akhir risalah pada : http://taawun.wordpress.com/2008/05/04/wanita-dan-masjid/) adalah perkataan ghulluw yang dipenuhi rasa emosi. Saya pribadi tidak terlalu bersemangat mengomentari point by point. Tidak lain adalah karena apa yang dikatakan oleh beliau ini hanyalah sekedar ra’yu belaka tanpa landasan ilmiah yang kuat.
Khatimah
Setelah membaca dua buku yang beliau terbitkan (”Renungan Sholat Berjama’ah” dan ”Wanita & Masjid”), maka nampak bagi saya pembahasan yang menyalahi ushulul-haditsushulul-fiqh, dan ushulut-tafsir; khususnya dalam pembahasan afdlaliyyah shalatnya wanita di rumahnya (atau di masjid). Juga,....jauh dari pembahasan ilmiah yang mengambil lautan faedah penjelasan para ulama. Sebagai seorang thaalibul-’ilmi, maka janganlah terlalu yakin bahwa hak ijtihad sudah ada pada diri kita.[38] Hanya ulama lah yang berhak berijtihad dengan segala kedalaman ilmu mereka. Kita pun tidak wajib taqlid (membeo) pada seseorang, bahkan pada seorang ulama. Namun hendaknya kita selalu memperhatikan penjelasan para ulama kita dengan dalilnya dan kemudian – bagi yang mampu/berilmu, dan saya harap pak Ustadz Zubaedi masuk di dalamnya – memberikan satu tarjih berdasarkan kaidah-kaidah ilmu yang ma’ruf. Kita pun hendaknya selalu ber-tawadlu’ dan takut akan ancaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bagi orang yang berfatwa atau memutuskan sesuatu tanpa ilmu :
القضاة ثلاثة واحد في الجنة واثنان في النار فأما الذي في الجنة فرجل عرف الحق فقضى به ورجل عرف الحق فجار في الحكم فهو في النار ورجل قضى للناس على جهل فهو في النار
”Hakim itu ada tiga macam, satu masuk surga dan dua masuk neraka. Adapun yang masuk surga, maka ia adalah seseorang yang mengetahui kebenaran dan kemudian memutuskan dengannya satu perkara. (Lain halnya dengan) seseorang yang mengetahui kebenaran, namun justru ia betindak curang dalam berhukum, maka ia masuk neraka. Begitu juga dengan seseorang yang memutuskan perkara bagi manusia di atas kebodohan, maka ia pun masuk neraka” [HR. Abu Dawud no. 3573; shahih].
Sungguh sangat mengecewakan bagi saya untuk seorang da’i sekaliber beliau yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk dakwah ketika membaca risalah beliau tersebut. Saya pribadi tidak merasa lebih besar dan lebih tenar dibandingkan beliau. Lha wong saya ini hanya seorang anggota masyarakat biasa saja. Betapapun, jikalau kita melihat satu kesalahan, maka menjadi kewajiban bagi setiap muslim yang mampu dan berilmu untuk menasihatinya. Jikalau risalah ini sampai terbaca di tangan beliau, maka saya harap ini merupakan masukan dan kritik membangun untuk beliau. Tidak perlu dibaca dengan emosi sehingga menutup pintu pembahasan dan nasihat-menasihati.[39] Sudah menjadi konsekuensi, jika satu perkataan/pendapat dilontarkan ke publik, maka siap-siaplah untuk mendapatkan reaksi, baik yang menerima atau menolaknya. Kecuali jika kita hanya menyimpan pendapat tersebut bagi diri kita sendiri, tidak kita sampaikan ke orang lain.
Akhirnya, saya mohon maaf jikalau ada kesalahan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Saya sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saya siap menerima kritikan-kritikan yang bersifat membangun sebagai upaya saya untuk selalu rujuk kepada Al-Haq, insyaAllah.
Abul-Jauzaa’; Ciomas, 14-12-2008 - direvisi tanggal 28-01-2012

Catatan kaki :
[1]   Kalimat yang terkesan emosional ini beliau katakan di halaman 29.
[2]   Diambil secara ringkas dari Al-Fiqhul-Islamiy wa Adillatuhu karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhailiy, 2/321-323, Cet. 4, Darul-Fikr.
[3]   Ibnu Rusyd memberikan perincian lagi mengenai pendapat Malikiyyah ini dalam 4 keadaan, silakan merujuk pada sumber yang saya sebutkan.
[4]   Sebagai tambahan mengenai perbandingan pendapat yang ada dalam permasalahan ini, bisa juga dilihat dalam Syarh Ibni Baththal ‘alash-Shahih Bukhari 4/80-83 dan Syarh Sunan Abi Dawud lil-‘Aini 1/193.
[5]   Sebab, pembahasan masalah afdlaliyyah adalah pembahasan mengenai dua amalan yang diperbolehkan/disunnahkan oleh syari’at. Bukan pembahasan antara amal yang diperbolehkan dengan amal yang tidak diperbolehkan.
Contoh dalam masalah ini adalah : Mana yang lebih utama (afdlal) antara shadaqah secara jahr (terang-terangan) atau sirriyyah (sembunyi-sembunyi) ? Mana yang lebih utama antara shalat lail di awal malam atau di akhir malam ? Mana yang lebih utama antara shalat dluha di awal waktu atau di akhir waktu ? Dan yang lainnya.
[6]   Sebagaimana diterangkan oleh Dr. Muhammad Dliyaaur-Rahman Al-A’dhamiy (salah seorang guru besar di Universitas Islam Madinah) ketika menjelaskan materi Fiqhus-Sunnah Bab Ash-Shalah. Bahkan Dr. Shalih Al-Fauzan (anggota Haiah Kibaaril-‘Ulamaa Saudi Arabia) menetapkan ijma’ atas hal ini (lihat Al-Mulakhash Al-Fiqhiy juz 1, bab : Fii Hukmi Hudluurin-Nisaa’ ilal-Masjid). Namun perkataan beliau ini keliru, dan yang benar adalah merupakan pendapat jumhur saja, karena ada penyelisihan pendapat dari Ibnu Hazm Al-Andalusiy.
Sepertinya pak Zubaedi banyak mengikuti (taqlid ?) Ibnu Hazm dalam membela pendapat ini. Satu indikasi kuat bagi saya adalah bahwasannya dalam bukunya terdahulu (“Renungan Sholat Berjama’ah”, hal. 28-33) terdapat beberapa nukilan perkataan Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla yang beliau gunakan untuk menguatkan apa ingin beliau kuatkan (padahal di sisi lain banyak penjelasan ulama yang menyelisihi pendapat Ibnu Hazm yang tidak ternukil oleh Pak Zubaedi).
[7]   Penilaian shahih ini diberikan oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Ibnu Baththal, An-Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnul-Qayyim, ‘Syamsul-Haq Al-‘Adhim ‘Abadiy, Ahmad Syakir, Al-Albani, Syu’aib Al-Arna’uth, Musthafa Al-‘Adawiy, dan banyak lagi yang lainnya.
[8]   Terjemahan sengaja saya kutip sesuai dengan terjemahan pak Zubaedi.
[9]   Pak Zubaedi dalam bukunya “Wanita & Masjid” memberi nomor hadits tersebut : 27849. Saya rasa ini satu kekeliruan dari beliau. Yang benar adalah sebagaimana yang tertulis di atas.
[Penomoran standar dalam Musnad Ahmad maksimal bernomor 27688. Dalam tahqiq Ahmad Syakir maksimal bernomor 27819. Dalam tahqiq Al-Arnauth maksimal 27647].
[10] Ibnu Hajar (dalam Al-Fath 2/350) berkesimpulan : isnadu Ahmad hasan (sanad hadits riwayat Ahmad – yaitu hadits di atas – adalah hasan). Al-Haitsami (dalam Al-Majma’ 2/33-34) berkata : ”Para perawinya adalah para perawi Ash-Shahih, kecuali ’Abdullah bin Suwaid Al-Anshariy. Ia telah di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibban”. Al-Albani (dalam Shahih At-Targhibno. 340) berkesimpulan : hasan lighairihi. Al-Arna’uth (dalam takhrij & ta’liq Musnad Al-Imam Ahmad) berkesimpulan : hasan (lidzatihi). Hamzah Az-Zain (dalam tahqiq Musnad Al-Imam Ahmad) berkesimpulan : isnaduhu shahih (sanadnya shahih).
Sengaja saya sampaikan beberapa penelitian ahli hadits sebagai bahan perbandingan dimana semuanya menyimpulkan bahwa hadits tersebut adalah hadits maqbul yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Minimal penilaian yang diberikan para ahli hadits tersebut adalah hasan lighairihi (yaitu dari Al-Albani).
[11] Berdasarkan penilaian Al-Albani (dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/70). Adapun Arna’uth (dalam catatan kaki takhrijta’liq-nya atas Musnad Imam Ahmad 2/76) mengatakan : isnaduhu jayyid (sanadnya baik).
[12] Berdasarkan penilaian Dr. Musthafa Al-A’dhami (dalam tahqiq & ta’liq –nya atas Shahih Ibnu Khuzaimah 3/92) dan Al-Arna’uth (dalam takhrij & ta’liq-nya atas Musnad Imam Ahmad 6/301). Adapun Hamzah Az-Zain (dalam tahqiq Musnad Al-Imam Ahmad 6/301) berkata : isnaduhu hasan (sanadnya hasan).
[13] Lainnya halnya dengan Ibnu Hazm dimana beliau memberikan beberapa penilaian yang berusaha menurunkan derajat hadits. Beliau juga menganggap hadits-hadits di atas telah mansukh. Ini adalah pendapat menyendiri beliau yang menyelisihi jumhur ahli hadits. Banyak komentar yang bisa diberikan dari penilaian Ibnu Hazm ini. Dan secara ringkas, Syaikh Musthafa Al-’Adawiy (seorang ahli hadits dari Mesir) telah memberikan kritik ringkas namun berbobot terhadap beliau dalam kitabnyaAl-Jami’ li-Ahkaamin-Nisaa’ (lihat selengkapnya di : 1/293-297).
[14] Pada perkataanya yang lain (1/193) ketika menjelaskan hadits “dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, ia berkata : ”yaitu : (lebih baik) daripada menghadiri masjid-masjid”.
[15] Fatwa no. 2133 tahun 2003. Selengkapnya bisa dibaca di : http://forum.ast4tech.com/archive/index.php?t-10198.html.
[16] Jilbab Mar’atil-Muslimah hal. 156.
[19] Definisi ringkas dari hasan lighairihi adalah hadits yang dilemahkan karena faktor perawinya selain dari sebab kefasiqan dan berbuat dusta, atau dengan sebab terputusnya sanad; yang kemudian ia dikuatkan karena adanya mutaabi’ atau syaahid[Al-Fushuul fii Mushthalahi Hadiitsir-Rasuul oleh Tsanaullah Az-Zahidi. Bisa juga dilihat dalam Qawaaidut-Tahdits oleh Jamaluddin Al-Qasimi hal. 101].
[20] Prof. Manna’ Al-Qathhan berkata ketika ia menjelaskan status kehujjahan hadits hasan lighairihi : “Hadits ini derajatnya lebih rendah daripada hasan lidzatihi dan dapat dijadikan sebagai hujjah” [Mabaahits fii ‘Uluumil-Hadits – dengan terjemahannya : Pengantar Studi Ilmu Hadits, Pustaka Al-Kautsar, hal. 124].
[21] Cetak tebal dari saya.
Ini adalah perkataan muhdats (baru) ! Darimana beliau membuat kaidah bahwa takhshish terhadap Shahihain itu ’harus’ berasal dari Shahihain juga ?.
[22] Ini adalah madzhab jumhur ulama.
[23] ’Abdullah bin ’Amr bin Al-’Ash radliyallaahu ’anhuma berkata :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال له أحب الصلاة إلى الله صلاة داود عليه السلام وأحب الصيام إلى الله صيام داود وكان ينام نصف الليل ويقوم ثلثه وينام سدسه ويصوم يوما ويفطر يوما
”Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah berkata kepadanya : ’Shalat yang paling disukai Allah adalah shalat Nabi Dawud ’alaihis-salaam dan puasa yang disukai Allah adalah puasa Nabi Dawud ’alaihis-salaam. Ia tidur separuh malam dan tidur lagi seperempat malam. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari” [HR. Al-Bukhari no. 1131 dan Muslim no. 1159].
[24] Hal itu tergambar dari riwayat yang dibawakan shahabat Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :
أن أعرابيا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال دلني على عمل إذا عملته دخلت الجنة قال تعبد الله لا تشرك به شيئا وتقيم الصلاة المكتوبة وتؤدي الزكاة المفروضة وتصوم رمضان قال والذي نفسي بيده لا أزيد على هذا فلما ولى قال النبي صلى الله عليه وسلم من سره أن ينظر إلى رجل من أهل الجنة فلينظر إلى هذا
“Bahwa seorang A’rabiy mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan berkata : ‘Tunjukkan kepadaku satu amalan yang apabila aku beramal dengannya akan memasukkanku ke dalam surga’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : ‘Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, menegakkan shalat, memnunaikan zakat, dan berpuasa di bulan Ramadlan’. Orang itu berkata : ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku tidak akan menambahinya dengan apapun (dari perkara nafilah/sunnah)’. Lalu setelah laki-laki itu pergi, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ’Barangsiapa yang ingin melihat laki-laki ahli surga, maka lihatlah orang ini” [HR. Al-Bukhari no. 1397].
Ada hadits lain yang senada :
عن طلحة بن عبيد الله يقول جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم من أهل نجد ثائر الرأس يسمع دوي صوته ولا يفقه ما يقول حتى دنا فإذا هو يسأل عن الإسلام فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم خمس صلوات في اليوم والليلة فقال هل علي غيرها قال لا إلا أن تطوع قال رسول الله صلى الله عليه وسلم وصيام رمضان قال هل علي غيره قال لا إلا أن تطوع قال وذكر له رسول الله صلى الله عليه وسلم الزكاة قال هل علي غيرها قال لا إلا أن تطوع قال فأدبر الرجل وهو يقول والله لا أزيد على هذا ولا أنقص قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أفلح إن صدق
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah ia berkata : “Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa dipahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : ‘Shalat lima waktu dalam sehari semalam’. Ia bertanya lagi : ‘Adakah saya punya kewajiban shalat lainnya ?’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : ‘Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian menyebutkan puasa di bulan Ramadlan. Ia bertanya lagi : ‘Adakah saya mempunyai kewajiban puasa selainnya ?’. Beliau menjawab : ‘Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja’. Perawi (Thalhah) mengatakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian menyebutkan tentang zakat kepadanya. Maka ia pun kembali bertanya : ‘Adakah saya punya kewajiban lainnya ?’. Beliau menjawab : ‘Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja’. Perawi mengatakan : ‘Selanjutnya orang ini pergi seraya berkata : Demi Allah, saya tidakakan menambahkan dan tidak akan mengurangi ini’. Mendengar hal itu Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam pun berkata : ‘Niscaya ia akan beruntung jika ia benar-benar melakukannya’ [HR. Al-Bukhari no. 46].
Subhaanallaah,…………. tentu saja kita tidak akan mengatakan shahabat itu sebagai orang yang bodoh (walau ia seorang A’rabiy) karena hanya mengamalkan perkara yang diwajibkan saja. Apalagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah men-taqrir-nya dan menyebutnya dengan keberuntungan serta ahli surga. Saya tidak tahu sikap pak Ustadz Zubaedi dalam masalah ini jika beliau konsisten dengan alasan yang beliau pakai dalam menyatakan afdlal-nya shalat wanita di masjid.
[25] Waktu shalat Dluha yang paling utama adalah di akhir waktu, yaitu menjelang siang berdasarkan hadits :
خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم على أهل قباء وهم يصلون فقال صلاة الأوابين إذا رمضت الفصال
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar menuju orang-orang di masjid Quba’ dimana mereka sedang melaksanakan shalat. Maka beliau bersabda : “Shalat Awwabiin (yaitu shalat Dluha) dilakukan saat anak-anak onta telah kepanasan” [HR. Muslim no. 748].
An-Nawawi berkata :
قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( صَلَاة الْأَوَّابِينَ حِين تَرْمَض الْفِصَال ) هُوَ بِفَتْحِ التَّاء وَالْمِيم يُقَال : رَمِضَ يَرْمَض كَعَلِمَ يَعْلَم , وَالرَّمْضَاء : الرَّمَل الَّذِي اِشْتَدَّتْ حَرَارَته بِالشَّمْسِ , أَيْ حِين يَحْتَرِق أَخْفَاف الْفِصَال وَهِيَ الصِّغَار مِنْ أَوْلَاد الْإِبِل - جَمْع فَصِيل - مِنْ شِدَّة حَرّ الرَّمَل . وَالْأَوَّاب : الْمُطِيع , وَقِيلَ : الرَّاجِع إِلَى الطَّاعَة . وَفِيهِ : فَضِيلَة الصَّلَاة هَذَا الْوَقْت . قَالَ أَصْحَابنَا : هُوَ أَفْضَل وَقْت صَلَاة الضُّحَى , وَإِنْ كَانَتْ تَجُوز مِنْ طُلُوع الشَّمْس إِلَى الزَّوَال
“Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Shalat Awwabiin dilakukan saat anak onta kepanasan” ; yaitu dengan memfathahkan huruf ta’ dan mim. Dikatakan ramidla – yarmadlu, maka hal ini seperti kata ‘alima – ya’lamu. Makna Ar-Ramdlaa’ yaitu kerikil yang menjadi sangat panas karena terik matahari dimana saat kuku-kuku al-fishaal (yaitu anak-anak onta yang masih kecil – bentuk jamaknya adalah fashiilun) terbakar karena panasnya kerikil. Dan al-awwab adalah orang yang taat (al-muthii’). Dan dikatakan orang yang kembali kepada ketaatan. Di dalam hadits terdapat keutamaan shalat pada waktu tersebut. Para shahabat kami berkata : Ia merupakan waktu shalat dluha yang paling utama, sekalipun bolehnya melakukan sejak terbitnya matahari hingga waktu zawal (tergelincirnya matahari di tengah hari). [lihat Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 614; Maktabah Ash-Shaid].
[26] Yang disunnahkan dan afdlal adalah berbuka bagi orang-orang yang melaksanakan haji di ‘Arafah. Adapun bagi selain orang yang wuquf di ‘Arafah, maka disunnahkan baginya untuk berpuasa (puasa ‘Arafah).
Berbuka bagi mereka yang melaksanakan wuquf adalah merupakan amalan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan jumhur shahabat serta salaf secara umum. Namun sebagian shahabat ada yang tetap melaksanakan puasa seperti ‘Aisyah (Ath-Thabari dalam Tahdzibul-Atsar 1/606), Az-Zubair bin ‘Awwam (Ath-Thabari dalam Tahdzibul-Atsar 1/604), Al-Hasan Al-Bashri, ‘Utsman bin Abil-’Ash (Ath-Thabari dalam Tahdzibul-Atsar 1/602), ‘Atha’ bin Abi Rabbah (‘Abdurrazzaq dalamAl-Mushannaf no. 7822), dan yang lainnya.
Banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Namun pendapat yang wasath (pertengahan) adalah pendapat bahwa afdlal (baca : bukan wajib) bagi orang yang wuquf di ’Arafah untuk berbuka puasa. Sedangkan bagi yang berpuasa, maka boleh hukumnya.
[27] Cetak tebal dari saya.
[28] Taqlid pada seorang ulama itu lebih baik daripada memberikan keterangan yang ia tidak mengilmuinya alias ngarang jawaban.
[29] Yaitu hadits-hadits shahih selain yang terdapat dalam kitab Al-Jami’ush-Shahih (Shahih Al-Bukhari).
[30] Dua pertanyaan ini adalah dua pertanyaan yang senada dengan yang beliau pertanyakan ketika mengkritisi tambahan lafadh : “wabuyuutuhunna khairun-lahunna”.
[31] Dengan syarat : tanpa ada indikasi syudzudz dari tambahan riwayat tersebut - lihat Qawaaidut-Tahdits oleh Jamaluddin Al-Qasimi hal. 106.
[32] Sebagian ulama mengatakan begitu. Namun sebagian ulama lain mengatakan bahwa tambahan lafadh tersebut adalah hasan dan dapat digunakan. Uraian takhrij haditsnya secara lengkap dapat dibaca dalam kitab Ashlu Shifati Shalatin-Nabiy oleh Syaikh Al-Albani halaman 650-659.
[33] Al-Mushannaf oleh Ibnu Abi Syaibah, Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1425.
[34] Di sini saya sengaja mencontohkan hadits-hadits yang pendek dan ringkas saja.
[35] Oleh karena itu sebenarnya pak Ustadz Zubaedi tidak usah bersusah payah melakukan analisis tarjih ataupun thariqatul-jam’i wat-taufiq dalam hal ini. Kenapa ? Ya karena tidak ada ta’arudl yang mengharuskan kita menempuh jalan itu. Terkecuali jika pak Ustadz menganggap hadits tersebut terdapat ta’arudl dengan pemahaman beliau sehingga beliau memaksakan jalantarjih dan jam’u. Kalaupun misal kita hendak menjamak hadits-hadits yang dianggap ‘bertentangan’; maka itu pun sangat mudah terpahami bahwa hadits yang menyatakan bahwa shalatnya wanita di rumahnya itu lebih afdlal dibandingkan shalatnya di masjid merupakan takhshish dari keumuman nash tentang keutamaan berjama’ah di masjid. Bukan menghubungkannya dengan hadits yang gak terlalu nyambung dengan pembahasan (seperti menyambungkannya dengan hadits wal-ma’artu raa’iyatun fii baiti zaujihaa, wa hiya mas-uulatun ‘an ra’iyyatihaa).
Walaupun itu sebagai takhshish, sungguh Allah tidaklah dhalim terhadap hamba-Nya karena Dia lah Dzat yang membuat syari’at. Wanita tetap mendapatkan pahala besar yang tidak kalah dengan laki-laki karena ia taat menjalankan apa yang disyari’atkan.
[36] Yaitu beliau mengatakan :
“Kesimpulan : Jika tugas utama wanita di rumah belum tertangani dengan baik, shalat di rumah adalah lebih baik. Jika tugas utamanya tertangani dengan baik, maka dengan berjama’ah di masjid wanita juga mendapat pahala-pahala besar yang didapat pria ketika berjama’ah di masjid”.
Kesimpulan beliau ini bukan lagi dalam tataran afdlaliyyah (mana yang lebih utama ?). Hal itu dikarenakan yang namanyaafdlaliyyah adalah bahasan mengenai dua hal yang masing-masing mempunyai kebaikan, namun salah satu dari keduanya mempunyai keutamaan lebih dibanding yang lain. Oleh karena itu, jika ada seorang wanita menelantarkan tanggung jawabnya di rumah suaminya, maka ini bukan satu kebaikan. Tapi satu kemunkaran, baik setelah itu ia shalat di rumahnya ataupun di masjid. Tidak ada bedanya. Tidak tepat membahas afdlaliyyah dengan membandingkan sebab kemunkaran dengan sebab sunnah. Ini namanya perbandingan yang keliru.
Maka, afdlaliyyah yang dimaksud di sini adalah membandingkan antara dua hal yang sama-sama ada kebaikannya, yaitu shalatnya wanita di masjid dengan di rumahnya dengan segala kemutlakannya.
[37] Saya persilakan bagi ikhwah semua untuk membuka Tafsir Ibni Katsir, dimana Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu” ; maka beliau mengkaitkan adab bagi wanita muslimah agar tetap di rumahnya dengan membawakan hadits : “(Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk pergi ke masjid-masjid), akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”. Beliau juga membawakan hadits Ummu Humaid sebagaimana telah ditulis sebelumnya.
Di sini sangat jelas bahwa Ibnu Katsir memahami sebab keutamaan shalatnya wanita di rumah mereka dibandingkan di masjid (walaupun tidak terlarang jika wanita tersebut pergi ke masjid), karena asal perintah Allah kepada wanita adalah tetap tinggal di rumahnya. Sekaligus memnunjukkan keutamaan tinggalnya wanita di rumahnya.
[38] Beliau (pak Ustadz Zubaedi) berkata : “Saya punya landasan kuat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kalau di luar itu ada tambahan-tambahan pendapat maka itu merupakan IJTIHAD pribadi saya, yang kalau salah INSYAALLAH dapat 1 pahala dan kalau benar dapat 2 pahala” [“Mana Yang Lebih Utama Bagi Wanita, Sholat di Masjid atau di Rumah ?” oleh Ust. Zubaedi, hal. 8 - lihat di : http://taawun.wordpress.com/2008/05/04/wanita-dan-masjid/].
[39] Beliau (pak Ustadz Zubaedi) berkata : “Selebihnya, saya tidak bersedia untuk berpolemik dengan siapapun, baik via SMS, email atau media lainnya. Silakan saja masing-masing orang membaca tulisan-tulisan yang berbeda-beda dan silakan ikuti mana yang hati Anda lebih meyakininya, sebab masing-masing kita akan bertanggung-jawab sendiri-sendiri di hadapan Allah” [idem].

Comments

zakkiy mengatakan...

afwan ustadz saya pembaca awam, saya kutip dari artikal diatas

"Bila kita tanyakan kepada pak Zubaedi : ”Apakah Imam Bukhari sengaja membuang satu bagian dari sabda Nabi Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam itu itu ?”. Pertanyaan lanjutannya : ”Ataukah Imam Bukhari lupa sehingga tidak menyebutkan kalimat tambahan itu dalam kitab Shahihnya ?"

mungkin maksudnya imam muslim ya ustadz? karena di atas terlihat riwayat imam muslim yang lebih pendek dari riwayat imam bukhari, mohon saya dikoreksi

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Antum benar,... ada kekeliruan penulisan (terbalik). Segera akan saya koreksi. Jazaakallaahu khairan.