Hadits shahih adalah hadits yang memenuhi semua persyaratan shahih, yaitu : bersambung sanad (jalur transmisi)-nya melalui periwayatan seorang periwayat yang 'adil, dlaabith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi); tanpa adanya syudzuudz (kejanggalan) dan juga tanpa 'illat (penyakit). Ini adalah istilah paling tinggi dalam pernyataan validitas hadits.
Hadits shahihul-isnad adalah hadits yang memenuhi semua persyaratan dari sisi jalur sanadnya, namun belum ada penelitian lebih lanjut dari segi ketiadaan syudzuudz dan ‘illat. Bisa jadi ia merupakan hadits shahih jika selamat dari syudzuudz dan 'illat, namun bisa jadi pula sebaliknya (jika tidak selamat). Misalnya saja hadits tentang shalat sunnah rawatib dua raka’at sebelum shalat ‘Asar (yaitu hadits ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu).
حدثنا حفص بن عمر ثنا شعبة عن أبي إسحاق عن عاصم بن ضمرة عن علي عليه السلام أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي قبل العصر ركعتين
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ’Umar, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu : ”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam shalat (sunnah) sebelum ’asar sebanyak dua raka’at” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1272].
Hadits tersebut adalah sebenarnya adalah hasan. Akan tetapi terdapat syudzudz yang menurunkan derajatnya menjadi dla’if. Adapun yang mahfudh dari ’Ali adalah bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam shalat sunnah sebelum ’Asar sebanyak empat raka’at.
Poros pembahasan di sini terletak pada Syu’bah. Syu’bah pada hadits di atas adalah seorang perawi yang hasan shahih haditsnya. Namun di sini ia telah menyelisihi jama’ah imam yang meriwayatkan dari jalan Abu Ishaq dengan lafadh bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam shalat empat raka’at sebelum ’asar.
Para imam yang menyelisihi Syu’bah antara lain adalah : Sufyan Ats-Tsauri, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq (cucu dari Abu Ishaq), dan Yunus bin Abi Ishaq (anak dari Abu Ishaq). Mereka semua meriwayatkan dari Abu Ishaq (As-Sabi’y) dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali radliyallaahu ’anhu (dengan menyatakan bahwa shalat sunnah sebelum ’Asar adalah empat raka’at). Yang menarik lagi adalah bahwa Al-Imam At-Tirmidzi (no. 598 dan 599), An-Nasa’i (2/120 no. 874), dan Ahmad (1/160) meriwayatkan dari jalan Syu’bah (sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1272 di atas) dari Abu Ishaq, dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali dengan lafadh empat raka’at. Nah, di sinilah letak kesalahan riwayat yang dibawakan oleh Syu’bah.
Adapun hadits rijaluhuts-tsiqaat [1] adalah hadits yang hanya memenuhi syarat ke-'adil-an dan ke-dlabith-an dari perawinya saja. Bisa jadi perawi satu dengan perawi setelahnya tidak mendengar (haditsnya) sehingga menjadikan hadits yang dibawakan berstatus munqathi’. Ini adalah status terendah dari tiga istilah yang disebutkan di atas. Contohnya adalah hadits :
إن وليتموها أبا بكر فقوي أمين
”Apabila engkau menyerahkannya (kekhilafahan) kepada Abu Bakr, maka ia adalah seorang yang kuat lagi terpercaya”[2]
Hadits tersebut diriwayatkan melalui rantai periwayatan Abdurrazzaq dari Sufyan Ats-Tsauri dari Abu Ishaq dari Zaid bin Yutsai’ dari Hudzaifah secara marfu’. Rijalnya tsiqah, namun di sini Sufyan Ats-Tsauri tidak mendengar hadits dari Abu Ishaq. Jadilah ia hadits munqathi’ yang dla’if (lemah).
Semoga ada manfaatnya.
Ditulis di sela-sela jam kerja kantor oleh Abul-Jauzaa’ pada hari Selasa, 9-12-2008, 11:22 WIB
======
Catatan kaki :
[1] Istilah ini banyak dipakai oleh Nuruddin ‘Ali bin Abi Bakr Al-Haitsamiy dalam Majma’uz-Zawaaid.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Ma’rifati ‘Uluumil-Hadits hal. 36. Diriwayatkan pula oleh Ahmad, Al-Bazzaar, dan Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath secara makna.
Comments
afwan ustadz ada satu hal yang ana masih kurang paham, ketika seorang rawi itu tsiqat, bagaimana dia bisa meriwayatkan dari seorang yang dhoif. sukron atas penjelasannya
Afwan ustadz,
Di blog ini cukup banyak pembahasan mengenai derajat suatu hadits/atsar/riwayat dari ustadz. Apakah semua itu ada ulama yang mendahului ustadz dalam penilaiannya, ataukah ada yang memang ustadz hukumi sendiri hadits/riwayatnya?
Bagaimana dengan perkataan para ulama bahwa jika belum mencapai level ulama hadits tertentu, maka untuk berhati-hati, nilailah dengan shahihul isnad, bukan menilai shahih haditsnya..
Mohon penjelasan ustadz terkait hal ini. Jazakallahu khair..
Posting Komentar