MAKNA HADITS : ”KELUARKANLAH KAUM MUSYRIKIN DARI JAZIRAH ’ARAB” !!


Oleh : Asy-Syaikh Jamal bin Furaihan Al-Haritsi hafidhahullah [1]

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :

أَخْرِجُوا اْلمُشْرِكِيْنَ مِنْ جَزِيْرَةِ اْلعَرَب

”Keluarkanlah kaum musyrikin dari Jazirah ’Arab !” [2].

Dalam menjelaskan hadits ini, Asy-Syaikh Jamal bin Furaihan Al-Haritsi berkata :

”Sesungguhnya makna hadits tersebut dibawa pada pemahaman larangan untuk tinggal, memiliki hak kepemilikan tanah, dan menjadikannya sebuah negara bagi mereka (kaum musyrik). Tidaklah hadits tersebut bermakna larangan bagi kaum musyrikin tinggal sementara waktu sesuai dengan ijin waliyul-amri kaum muslimin untuk sebuah kemaslahatan bagi kaum kaum muslimin.

Pemahaman hadits ini dapat Anda lihat pada perbuatan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dimana beliau adalah orang yang mengucapkan hadits ini dan yang memerintahkan untuk mengeluarkan kaum musyrikin serta Yahudi dari Jazirah ’Arab.

Diantaranya, kita akan mendapati bahwa setelah penaklukan Khaibar, Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam masih mengijinkan kaum Yahudi untuk tinggal di daerah mereka untuk mengerjakan pertanian dan (memberikan persyaratan untuk) membagi hasilnya [3] sebagaimana diterangkan dalam hadits Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma dalam Shahih Al-Bukhari no. 2165, 2203, 2204, 2206; dan yang lainnya sebagaimana akan disebutkan tidak lama lagi.

Dan hal seperi itu terus berlangsung hingga masa kekhalifahan Abu Bakr Ash-Shiddiq dan awal kekhalifahan ’Umar radliyallaahu ’anhuma. Kemudian ’Umar bin Khaththab mengeluarkan mereka setelah beliau memandang bahwa keberadaan mereka sudah tidak dibutuhkan lagi. Dan hal itu dapat berlangsung sesuai dengan pertimbangan dan syarat yang diberikan imam (pemimpin kaum muslimin).

Apabila kami perlihatkan sebagian perkataan para imam tentang kebolehannya (yaitu tinggalnya kaum musyrikin di Jazirah Arab), niscaya semakin jelaslah kedudukan perkara ini :

Adapun jumhur ulama melarang kaum musyrikin tinggal di Jazirah ’Arab, yaitu di Makkah, Madinah, dan sekitarnya.

Dan kami mendapatkan bahwa kalangan ulama Hanafiyyah membolehkan tinggal di Jazirah ’Arab secara mutlak kecuali di Masjidil-Haram.

Diriwayatkan dari Malik (bin Anas) bahwa beliau membolehkan kaum musyrikin memasuki sekitar Masjidil-Haram untuk tujuan berdagang.

Asy-Syafi’i berkata : ”Pada asalnya, tidak boleh bagi kaum musyrikin memasuki Masjidl-Haram, kecuali dengan ijin Imam untuk tujuan kemaslahatan kaum muslimin secara khusus.

Beberapa perkataan di atas dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (6/171).[4]

Kesimpulannya : Pemberian ijin kepada kaum kafir untuk tinggal di Jazirah ’Arab dikembalikan kepada pertimbangan Waliyyul-Amri Muslim untuk satu kemaslahatan [5], dengan persyaratan, dalam kurun waktu tertentu, tanpa memberikan kesempatan untuk tinggal di Jazirah ’Arab secara mutlak. Hal itu didasarkan oleh riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 2983, 2213) dari hadits Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَا ظَهَرَ عَلَى خَيْبَرَ أَرَادَ إِخْرَاجَ اْليَهُوْدِ مِنْهَا وَكَانَتِ اْلأَرْضُ حِيْنَ ظَهَرَ عَلَيْهَا للهِ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِلْمسْلِمِيْنَ وَأَرَادَ إِخْرَاجَ اْليَهُوْدِ مِنْهَا فَسَأَلَتِ اْليَهُوْدُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُقِرَّهُمْ بِهَا أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا وَلَهُمْ نِصْفُ الثَّمَرِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُقِرُّكُمْ بهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا فَقَرُّوْا بِهَا حَتَّى أَجْلاهُمْ عُمَرُ إِلَى تَيْمَاءَ وَأرِيْحَاءَ

Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menaklukkan Khaibar, beliau menginginkan orang-orang Yahudi keluar. Hal itu disebabkan wilayah orang kafir yang ditaklukkan, maka ia menjadi milik Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslimin. Akan tetapi orang-orang Yahudi itu memohon kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk tetap tinggal di Khaibar, sementara mereka ingin mengelola tanah pertanian di situ dengan memperoleh separuh dari hasil panennya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka : “Kami mengijinkan kalian tetap tinggal di sini selama kami mau”. Maka orang-orang Yahudi tersebut tetap tinggal disitu sampai akhirnya mereka dipindahkan ke Taimaa’ dan Arihaa’ oleh ‘Umar radliyallaahu ‘anhu”.

Ibnu Hajar berkata dalam Al-Fath (7/498) : ”Kisah penaklukan Khaibar ini mencakup banyak kandungan hukum. Diantaranya adalah pembolehan mengusir ahli dzimmah bila keberadaan mereka sudah tidak dibutuhkan lagi” (selesai).

Maksudnya, boleh bagi seorang hakim untuk membolehkan mereka tinggal jika dipandang bahwa hal itu sebagai satu maslahat bagi kaum muslimin. Wallaahu a’lam.


[selesai perkataan Asy-Syaikh Jamal bin Furaihan Al-Haritsi dalam kitab Syarru Qatlaa Tahta Adiimis-Samaa’ : Kilaabu Ahlin-Naar, hal. 14-16. Kitab ini telah dibaca dan direkomendasi oleh Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah. Matan kitab saya peroleh dari http://www.sahab.net/ dan pernah saya kirim ke teman-teman anggota milis salafyitb, baik versi pdf atau word].


Semoga dapat bermanfaat - Abul-Jauzaa’ Al-Bogory

========================================

Teks asli atas terjemahan di atas adalah sebagai berikut :

وأما ما يُدَندَن حوله من أحاديث: « أخرجوا المشركين من جزيرة العرب ».
فإن ذلك محمول على سكناهم وتملكهم فيها واتخاذها وطناً لهم وليس العيش المؤقت لمدة يراها ولي أمر المسلمين لمصلحة المسلمين.
وهذا تراه في فعل النبي صلى الله عليه وسلم حيث أنه هو القائل والآمر بإخراج المشركين واليهود من جزيرة العرب.
إلا أنّا نجد أن النبي صلى الله عليه وسلم بعد فتح خيبر أبقى اليهود في أرضهم يعملون في الزرع وشاطرهم على ما يخرج منها كما في حديث ابن عمر -رضي الله عنهما- عند البخاري : ( 2206،2204،2203،2165) وغيرها وسيأتي نصه قريباً .
واستمر الحال كذلك في عهد أبي بكر الصديق وصدراً من خلافة عمر ثُمَّ أجلاهم عمر بن الخطاب عندما رأى ذلك واستغنى عنهم وهذا يكون بتقدير وشرط الإمام.
ولو استعرضنا بعض أقوال الأئمة في ذلك بإيجاز لا تَّضح الأمر وبان:
فالجمهـور يمنعون المشركـين من سكنى الجزيرة وهي " مكـة والمدينـة وما والاها".
ونجد أن الحنفية يجيزون السكنى فيها لهم مطلقاً إلا المسجد.
وعن مالك يجوز دخولهم الحرم للتجارة.
وقال الشافعي: لا يدخلون الحرم أصلاً إلا بإذن الإمام لمصلحة المسلمين خاصة.
نقل هذه الأقوال ابن حجر في الفتح: ( 6/ 171).
فالحاصل: أن السماح للكافـر في العيش في جزيرة العـرب إنما ذلك راجع لتقدير ولي الأمر المسلم للمصلحة ، وبشرط ، ولفترة من الزمن دون تمكينهم من السكنى فيها مطلقـاً ، وذلك لما أخرجـه البخـاري: ( 2983 ، 2213) من حديث ابن عمر -رضي الله عنهما-: « أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما ظهر على خيبر أراد إخراج اليهود منها، وكانت الأرض حين ظهر عليها لله ولرسوله صلى الله عليه وسلم وللمسلمين، أراد إخراج اليهود منها فسألت اليهود رسول الله صلى الله عليه وسلم ليقرهم بِها أن يكفوا عملها ولهم نصف الثمر، فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم: « نقركم بها على ذلك ما شئنا » فقروا بها حتَّى أجلاهم عمر إلى تيماء وأريحاء.
قال ابن حجر في الفتح ( 7/ 498): وقد اشتملت قصة خيبر على أحكام كثيرة،ومنها جواز إجلاء أهل الذمة إذا استغنى عنهم. ا هـ .
بمعنى أنه يجوز للحاكم إبقاؤهم فيها ما رأى ذلك مصلحة للمسلمين. والله أعلم
.

Catatan kaki :

[1] Dengan penambahan catatan kaki dari saya (Abul-Jauzaa’).

[2] Secara lengkap, lafadh hadits tersebut adalah sebagai berikut :

عَنِ بْنِ عَبَاسٍ رَضِىَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ يَوْمُ اْلخَمِيْسِ وَمَا يَوْمُ اْلخَمِيْسِ ثُمَّ بَكَى حَتَّى خَضَبَ دَمْعُهُ اْلحَصْبَاءَ فَقَالَ اشْتَدَّ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعُهُ يَوْمَ اْلخَميْسِ فَقَالَ ائْتُوْنِيْ بِكِتَابٍ أَكْتُبُ لَكُمْ كِتَاباً لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُ أَبَدًا فَتَنَازَعُوْا وَلا يَنْبَغِيْ عِنْدَ نَبِيٍّ تَنَازُعٌ فَقَالُوْا هَجَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُوْنِيْ فَالَّذِيْ أَنَا فِيْهِ خَيْر مِمَّا تَدْعُوْنَنِيْ إِلَيْهِ وَأَوْصَى عِنْدَ مَوْتِهِ بِثَلاثٍ أَخْرِجُوا اْلمُشْرِكِيْنَ مِنْ جَزِيْرَةِ اْلعَرَب وَأَجِيْزُوا اْلوَفْدَ بِنَحْوِ مَا كُنْتُ أُجِيْزُهُمْ وَنَسِيْتُ الثَّالِثَةَ

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ta’ala ‘anhuma, bahwasannya ia berkata : “Hari Kamis. Ada peristiwa penting di hari Kamis.”. Kemudian ia mulai menamgis hingga air matanya membasahi tanah. Setelah itu ia melanjutkan perkataannya : Pada hari Kamis sakit Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sangat parah dan beliau bersabda : “Bawa kemari kertas tulis untuk aku tuliskan wasiat kepada kalian yang dengannya kalian tidak akan tersesat selamanya”. Mendengar sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tersebut para shahabat berselisih, padahal di depan beliau seharusnya tidak terjadi perselisihan. Mereka berkata : “Apakah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam akan wafat ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tinggalkanlah aku, karena demikian itu lebih baik daripada kalian berada di sini dengan perselisihan”. Menjelang wafatnya beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berwasiat tiga hal : 1) Keluarkan orang-orang musyrik dari Jazirah Arab, 2) Berikan hadiah kepada delegasi/utusan dari luar sebagaimana yang biasa aku lakukan”. Ibnu ‘Abbas berkata : “Yang ketiganya aku lupa” [HR. Bukhari no. 2888 dan Muslim no. 1637]. – Abul-Jauzaa’.

[3] Pembagian hasil pertanian tersebut dijelaskan dalam hadits sebagai berikut :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍِ أَوْ زَرْعٍِ فَكَانَ يُعْطِي أَزْوَاجَهُ مِائَةَ وَسْقٍِ ثَمَانُوْنَ وَسْقٍِ تَمْرٍِ وَعِشْرُوْنَ وَسْقٍِ شَعِيْرٍ

Dari Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah memperkerjakan orang-orang (Yahudi) Khaibar untuk menggarap tanah pertanian, dan mereka mendapatkan separuh dari hasil buah-buahan dan pertanian. Dari hasil pembagian itu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memberi jatah kepada para istrinya 100 wasq yang terdiri dari 80 wasq kurma dan 20 wasq gandum [HR. Bukhari no. 2203].

Selama orang-orang Yahudi masih berada di Khaibar, Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menunjuk seorang shahabat (yaitu Abdullah bin Rawahah radliyallaahu ’anhu) yang dipercaya untuk mengurus pembagian hasil pertanian yang menjadi hak kaum muslimin. – Abul-Jauzaa’.

[4] Perkataan Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari yang dimaksud oleh Ibnu Hajar adalah sebagai berikut :

لكن الذي يمنع المشركون من سكناه منها الحجاز خاصة وهو مكة والمدينة واليمامة وما والاها لا فيما سوى ذلك مما يطلق عليه اسم جزيرة العرب لاتفاق الجميع على أن اليمن لا يمنعون منها مع أنها من شبه جزيرة العرب هذا مذهب الجمهور وعن الحنفية يجوز مطلقا الا المسجد وعن مالك يجوز دخولهم الحرم للتجارة وقال الشافعي لا يدخلون الحرم أصلا الا بإذن الإمام لمصلحة المسلمين خاصة

”Akan tetapi, daerah dimana kaum musyrikin dilarang tinggal adalah daerah Hijaz secara khusus, yaitu Makkah, Madinah, Yamamah, dan sekitarnya. Daerah itulah yang dimutlakkan sebagai Jazirah ’Arab (sebagaimana disebutkan dalam hadits). Dan berdasarkan kesepakatan ulama bahwa daerah Yaman tidaklah terlarang bagi bagi kaum musyrikin untuk tinggal di sana, walaupun Yaman juga merupakan Jazirah ’Arab. Inilah madzhab jumhur ulama. Adapun ulama Hanafiyyah, mereka memperbolehkan tinggal di Jazirah ’Arab secara muthlaq kecuali Masjidil-Haram. Imam Malik, beliau memperbolehkan kaum musyrikin memasuki tanah haram (Makkah) untuk tujuan perdagangan. Sedangkan Imam Asy-Syafi’i, beliau tidak memperbolehkan masuk ke tanah haram (Makkah) secara asal kecuali dengan ijin imam demi kemaslahatan kaum muslimin” – Abul-Jauzaa’.

[5] Dalam kasus Khaibar misalnya, maka banyak kemaslahatan yang diperoleh kaum muslimin ketika membiarkan kaum Yahudi tetap tinggal di Khaibar sementara waktu. Mereka adalah kaum yang sangat cakap di bidang pertanian. Dengan memperkerjakan mereka (sementara pada waktu itu kaum muslimin minim pengalaman dalam menggarap lahan pertanian), stok pangan bagi kaum muslimin menjadi terjamin. Hal itu tergambar pada perkataan ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa sebagai berikut :

لَمَّا فُتِحَتْ خَيْبَرُ قٌلْنَا: اْلآنَ نَشْبَعُ مِنَ اْلتَّمْرِ

”Ketika Khaibar telah ditaklukkan, maka kami berkata : Sekarang kami bisa kenyang makan kurma” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3999].

Juga perkataan Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :

مَا شَبِعْنَا حَتَّى فَتَحْنَا خَيْبَرَ

”Kami tidak pernah kenyang hingga kami berhasil menaklukkan Khaibar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4000].

Dengan terjaminnya stok pangan bagi kaum muslimin, maka kaum muslimin bisa lebih berkonsentrasi dalam berjihad bersama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Walhasil, kekuatan (militer) kaum muslimin semakin bertambah kuat. Selain kemaslahatan di bidang perekonomian, kemaslahatan lain yang ingin dicapai oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam adalah masuk Islam-nya penduduk Khaibar. Dan itu terbukti bahwa sebagian dari masyarakat Yahudi Khaibar masuk Islam ketika mereka tetap diijinkan tinggal. Walhamdulillah. – Abul-Jauzaa’.

Comments

Firdaus Herliansyah mengatakan...

Apakah hukumnya syi'ah yang memasuki masjidil haram & melaksanakan haji..?

Anonim mengatakan...

sekarang wahabi memasukkan yahudi dan kristian di jazirah arab dalam masa perang teluk sampai sekarang 2013

Anonim mengatakan...

@ anonim..14 Januari 2013 10:28..

itulah kalau kebencian membutakan hati, sampai matapun jadi rabun dibuat-nya untuk membaca..

baca lagi baik-baik..

Apa anda mau mengatakan Nabi Shalallahu alaini wasallam yang memperkerjakan orang-orang (Yahudi) Khaibar untuk menggarap tanah pertanian disebut Wahhaby juga...?

Abu Saif