Hukum Pengamalan Hadits Dla'if



Pada tulisan kali ini, saya bawakan penjelasan Dr. Muhammad Ajaj Al-Khathib dalam kitabnya Ushuulul-Hadiits dalam pengamalan hadits dla’if. Sedikit akan saya berikan catatan kaki sebagai tambahan faedah.
Beliau (Dr. Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib) mengatakan ada tiga pendapat di kalangan ulama’ mengenai penggunaan hadits dla’if, yaitu :
1.     Hadits dla’if tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik dalam fadlail maupun persoalan yang menyangkut tentang ahkam (hukum syari’ah). Hal tersebut dikhabarkan oleh Ibnu Sayyidin-Naas[1] dari Yahya bin Ma’in[2], dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Al-Arabi. Pendapat ini tampaknya merupakan pendapat Imam Bukhari dan Imam Muslim (berdasarkan kriteria-kriteria yang kita pahami dari keduanya), dan Ibnu Hazm Al-Andalusi.[3] 
2.     Hadits dla’if bisa diamalkan secara mutlak. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Dawud dan Imam Ahmad.[4] Keduanya berpendapat bahwa hadits dla’if lebih kuat daripada ra’yu (rasio) perseorangan. Ibnul-Qayyim berkata :[5]
ليس المراد بالضعيف عنده الباطل ولا المنكر ولا ما في روايته متهم بحيث لا يسوغ الذهاب إليه فالعمل به بل الحديث الضعيف عنده قسيم الصحيح وقسم من أقسام الحسن ولم يكن يقسم الحديث إلى صحيح وحسن وضعيف بل إلى صحيح وضعيف وللضعيف عنده مراتب فإذا لم يجد في الباب أثرا يدفعه ولا قول صاحب ولا إجماعا على خلافه كان العمل به عنده أولى من القياس
”Tidaklah yang beliau (Imam Ahmad) maksudkan hadits dla’if yang bathil, yang munkar, serta bukan riwayat yang mengandung perawi yang muttaham (tertuduh), sekiranya dilarang mengambil dan mengamalkannya; tetapi hadits dla’if menurut beliau adalah lawan dari hadits shahih yang merupakan bagian dari hadits hasan. Beliau tidak membagi hadits menjadi shahih, hasan, dan dla’if; tetapi menjadi shahih dan dla’if. Yang dla’if menurut beliau terdiri dari beberapa tingkatan. Dan apabila dalam bab yang bersangkutan tidak ada atsar yang menolaknya atau pendapat seorang shahabat atau ijma’ yang berbeda dengannya, maka mengamalkannya lebih utama daripada qiyas (analogi)” [selesai].
Imam Ahmad tidak akan mengamalkan hadits dla’if kecuali dalam bab yang bersangkutan tidak ada yang lainnya, dan di antara hadits dla’if itu ada yang berkualitas hasan (menurut terminologi ulama sesudahnya).[6]
3.     Hadits dla’if bisa digunakan dalam masalah fadlailmawa’idz (nasihat), atau yang sejenis; bila memenuhi beberapa syarat berikut :[7] 
a.      Kedla’ifannya tidak terlalu; sehingga tidak termasuk di dalamnya seorang pendusta atau yang dituduh berdusta – yang melakukan penyendirian dan juga orang yang sering melakukan kesalahan. Al-Ala’iy meriwayatkan kesepakatan ulama mengenai syarat ini. 
b.      Hadits dla’if itu termasuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan.
c.      Ketika mengamalkan tidak meyakini bahwa hadits itu berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati.[8]
Kemudian Dr. Muhammad Ajaj Al-Khathib kembali berkata,”Tidak ragu lagi, pendapat pertama merupakan pendapat yang paling selamat. Kita memiliki cukup banyak hadits-hadits shahih tentang fadlailtarghib, dan tarhib, yang merupakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hal tersebut membuat kita tidak perlu meriwayatkan hadits-hadits dla’if mengenai masalah fadlail dan sejenisnya; lebih-lebih bab fadlail dan akhlaq yang termasuk pilar agama. Sehingga tidak ada perbedaan antara hal-hal tersebut dengan hukum-hukum, ditinjau dari segi kekuatan sumbernya (shahih atau hasan), sehingga sumbernya harus khabar-khabar yang bisa diterima”.
[selesai - Ushulul Hadits oleh Dr. Muhammad ’Ajaj Al-Khathib, halaman 253].
Abul-Jauzaa’ berkata : Mari simak perkataan Ibnu Taimiyyah sebagai berikut :
المنقولات فيها كثير من الصدق وكثير من الكذب والمرجع في التمييز بين هذا وبين هذا إلى أهل الحديث كما يرجع إلى النحاة في النحو ويرجع إلى علماء اللغة في ما هو من اللغة وكذلك علماء الشعر والطب وغير ذلك فلكل علم رجال يعرفون به
”Berita-berita yang dinukil bisa mengandung banyak kebenaran dan banyak kebohongan. Untuk membedakan keduanya adalah dengan kembali kepada ahli hadits (dalam masalah hadits), sebagaimana ilmu nahwu dikembalikan kepada ahli nahwu atau ilmu lughah (bahasa) kepada ahli lughah. Begitu pula ahli syair, pengobatan, dan yang lainnya. Jadi setiap ilmu ada pakar yang mendalaminya” [Dinukil dari Qawa’idut-Tahdits min Funun Musthalahil-Hadits, oleh Jamaluddin Al-Qasimi, halaman 156 – Maktabah Al-Misykah].
Dan alhamdulillah setelah berlalunya jaman-jaman keemasan para ulama terdahulu, pada abad ini Allah telah mudahkan kita untuk mempelajari hadits atau mempergunakan hasil takhrij hadits dari para ulama ahli hadits, seperti :
1.     Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah.
2.     Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.
3.     Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah.
4.     Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth rahimahullah.
5.     Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaly hafidhahullah.
6.     Asy-Syaikh Ali bin Hasan Al-Halaby hafidhahullah.
7.     Asy-Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly hafidhahullah.
8.     Asy-Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini hafidhahullah.
9.     Asy-Syaikh Yahya bin ‘Ali Al-Hajury hafidhahullah.
10.   Asy-Syaikh Musthafa Al-‘Adawy hafidhahullah.
11.   dan lain-lain
Semoga Allah ta’ala membalas jasa-jasa besar mereka untuk Islam dan kaum muslimin…….amiin.
Aboe Al-Jaoezaa’ 1429 – rewriting.



[1]      Dalam ‘Uyuunul-Atsar.
[2]      Disebutkan dalam Tahdzibut-Tahdzib (11/250 – biografi Yahya bin Ma’in) :
كان يحيى ‏بن معين يقول: «من لم يكن سَمحاً في الحديث، كان كذّاباً!». قيل له: «وكيف يكون سمحاً؟». قال: «إذا‏شَكَّ في الحديث تركه».
Yahya bin Ma’in pernah berkata : “Barangsiapa yang tidak mempunyai sikap toleran/lapang dalam hadits, maka ia seorang pendusta”. Dikatakan kepadanya : ”Bagaimana seorang dikatakan sebagai seorang yang toleran/lapang ?”. Maka ia menjawab : ”Apabila ia ragu dalam sebuah hadits, maka ia meninggalkannya”.
[3]      Selain itu, pendapat ini juga merupakan pendapat dari Malik, Syu’bah, Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Syammah Al-Maqdisi, Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Asy-Syaukani, dan jumhur ahli hadits kontemporer.
Pendapat ini dibangun atas dasar dalil sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
”Barangsiapa yang menceritakan satu hadits dariku yang diduga bahwa hadits tersebut adalah dusta, maka ia merupakan salah satu di antara pendusta”.
[4]      Pendapat ini didukung oleh ‘Iraqiyyun/ulama ‘Iraq (khususnya adalah ulama Kufah), jumhur shufiyyah, dan sebagian fuqahaa kontemporer.
[5]      Dalam I’lamul-Muwaqqi’iin (1/31).
[6]      Penjelasan Ibnul-Qayyim yang dinukil oleh Dr. Al-Khathiib ini adalah untuk membantah pendapat yang menyatakan bahwa Imam Ahmad mendukung pembolehan menggunakan hadits dla’if secara mutlak.
[7]      Inilah madzhab jumhur ‘ulama secara umum.
[8]      Sebagai tambahan atas persyaratan yang disebutkan oleh Dr. Muhammad ’Ajaj Al-Khathib adalah sebagai berikut :
a.      Hadits tersebut tidak boleh di-i’tiqadkan/diyakini sebagai sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, karena pada hakekatnya hadits dla’if mengandung persangkaan yang salah (adh-dhannul-marjuh). Telah berkata Imam Ath-Thahawiy dalam kitab Musykilul-Aatsar (1/107 – Maktabah Al-Misykah) :
مَنْ حَدَّثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا بِالظَّنِّ مُحَدِّثًا عَنْهُ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَالْمُحَدِّثُ عَنْهُ بِغَيْرِ الْحَقِّ مُحَدِّثٌ عَنْهُ بِالْبَاطِلِ وَالْمُحَدِّثُ عَنْهُ بِالْبَاطِلِ كَاذِبٌ عَلَيْهِ كَأَحَدِ الْكَاذِبِينَ عَلَيْهِ الدَّاخِلِينَ فِي قَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ { مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ } وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ تَعَالَى مِنْ ذَلِكَ
“Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dengan dasar dhan (sangkaan), berarti ia telah menceritakan (hadits) dari beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan tanpa haq, dan termasuk orang yang menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara yang bathil. Niscaya ia menjadi salah satu pendusta yang masuk dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka”. Na’udzubillahi min-dzaalik ! [selesai].
b.      Hadits tersebut tidak boleh dimasyhurkan. Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar, apabila hadits tersebut dimasyhurkan (yakni di angkat ke permukaan sehingga dikenal ummat secara luas), niscaya ia terkena ancaman berdusta atas nama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
c.      Wajib memberikan bayan (penjelasan) bahwa hadits tersebut dla’if ketika membawakannya. Apabila tidak, niscaya ia akan terkena ancaman menyembunyikan ilmu dan terkena ancaman berdusta atas nama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Demikianlah ketetapan para muhaqiq dari ahli hadits dan ahli ushul sebagaimana diterangkan oleh Abu Syaamah (Lihat Tamaamul-Minnah hal. 32 oleh Al-Albani).
d.      Dalam membawakannya, tidak boleh menggunakan lafadh-lafadh jazm yang menunjukkan ketetapan dan kepastian bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam benar-benar bersabda dan yang semisal. Wajib menggunakan lafadh-lafadh tamridl (= lafadh yang tidak menunjukkan suatu ketetapan).

Comments

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum akh.....

makasih atas infonya. sangat bermanfaat atas tambahaanya.

salam dakwah dari ana.

Aqil mengatakan...

ternyata ukuraan kebenaran hadits ulama kontemporer ya yg jauh tidak mendapatkan kerawian hadits, hebat.hebat

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum.

Ustadz, apakah penentuan derajat hadits itu shahih, hasan atau dhaif adalah sebuah ijtihad?

Bila memang ijtihad lantas bagaimana kita menyikapi yang berbeda ijtihadnya?

Karena sebagian amalan yang dikatakan bid'ah terkadang muncul dari hadits dhaif jg.

Syukron.

Herry Setiawan - Bogor

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Ya, itu adalah ijtihaad.

Jika kita memiliki ilmu, maka kewajiban kita adalah menelaah permasalahan semampu kita berdasarkan ilmu yang kita miliki. Namun apabila kita orang awam, maka kita diperbolehkan menyandarkan pendapat pada ulama yang menurut kita diakui keilmuannya dalam masalah tersebut (ilmu hadits) - dengan tanpa rasa fanatik kepadanya.

wallaahu a'lam.

ss mengatakan...

Barakallahu fiikum ilmu nya akhi izin copas ...