Dari
segi etimologi, Israiliyyat adalah bentuk plural/jamak dari kata إِسْرَائِيْلِيَّة (israaiiliyyah). Sebuah kata yang
dinisbahkan kepada Nabi Ya’qub ‘alaihis-salam yang memiliki nama lain
Israil. Ibnu Katsir dan lainnya menyebutkan bahwa penamaan Nabi Ya’qub ‘alaihis-salaam
dengan Israil berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud Ath-Thayalisi dalam Musnad-nya
dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu bahwa beberapa orang Yahudi
mengunjungi Nabi ﷺ, lalu beliau bertanya : “Tahukan kalian
bahwa Israil itu sebenarnya adalah Nabi Ya’qub ?”. Mereka menjawab : “Ya,
benar”. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda : “Ya Allah, saksikanlah
(pengakuan mereka)”.[1]
Kata
Israil terdiri dari dua kata. Beberapa orang ulama mengatakan bahwa kata
pertama, yaitu “Isra” berasal dari bahasa Arab اْلإِسْرَاء (Al-Israa’) yang berarti hijrah
(pindah) dan pergi. Kata yang kedua yaitu ئِيْل
(Iil) berasal dari bahasa Ibrani yang berarti Allah ‘azza wa jalla.
Menurut mereka, Nabi Ya’qub ‘alaihis-salaam pernah melakukan hijrah dan
keluar dari kampung halamannya, sehingga beliau dinamakan Israil yang berarti
orang yang hijrah menuju Tuhannya ‘azza wa jalla.
Ada
juga yang mengatakan bahwa kata Israil secara keseluruhan berasal dari bahasa
Ibrani, tidak ada yang berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Ibrani, kata Isra
berarti hamba, dan Iil berarti Allah. Jadi gabungan kedua kata tersebut
bermakna hamba Allah.
Dari
segi terminologi, Israiliyyat adalah kisah-kisah yang bersumber dari
orang-orang Yahudi dan Nashrani (Ahli Kitab). Berita-berita ini dibagi menjadi
3 macam :
1.
Berita yang dikuatkan
oleh Islam dan diakui kebenarannya, maka berita itu dianggap sebagai sebuah
kebenaran. Contohnya : Apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan juga perawi
yang lainnya dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
جاء
حبر من الأحبار إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا محمد ، إنا نجد أن
الله يجعل السماوات على إصبع ، وسائر الخلائق على إصبع فيقول : أنا الملك ، فضحك
النبي صلى الله عليه وسلم حتى بدت نواجذه تصديقا لقول الحبر ، ثم قرأ رسول الله
صلى الله عليه وسلم : (وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ
جَمِيعاً قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ
بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ) (الزمر:67)
“Telah datang seorang
pendeta dari kalangan pendeta Yahudi kepada Rasulullah ﷺ, kemudian dia berkata : “Ya Muhammad,
sesungguhnya kami mendapati bahwa Allah menjadikan langit-langit dengan satu
jari, bumi-bumi dengan satu jari, pohon dalam satu jari, air dan tanah dengan
satu jari, serta menjadikan seluruh makhluk dengan satu jari. Kemudian Dia
berfirman : Aku adalah Malik (Raja)”. Maka Rasulullah ﷺ tertawa sampai terlihat gigi geraham beliau
membenarkan perkataan pendeta itu”, kemudian Rasulullah ﷺ membaca ayat : “Dan mereka tidak
mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya
dalam genggaman-Nya pada hari kiamat, dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan”
(QS. Az-Zumar : 67) [HR. Al-Bukhari no. 4533].
2.
Berita yang diingkari
oleh Islam dan diakui kedustaannya, maka berita itu bathil. Contohnya : Apa
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Jabir radliyallaahu ‘anhu, dia
berkata :
كانت
اليهود تقول إذا جامعها من ورائها جاء الولد أحول فنزلت { نساؤكم حرث لكم فأتوا
حرثكم أنى شئتم }
Seorang Yahudi
berkata : “Apabila menggaulinya (wanita) dari belakang, maka akan melahirkan
anak yang juling matanya”. Maka turunlah ayat : “Istri-istrimu adalah
(seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana kamu kehendaki” (QS. Al-Baqarah : 223) [HR.
Al-Bukhari no. 4254].
QS. Al-Baqarah ayat 223
mendustakan anggapan orang-orang Yahudi tersebut dan bahkan membolehkan seorang
suami untuk mendatangi istrinya dari belakang, asal pada farjinya (bukan pada
duburnya).
3.
Berita yang tidak
dikuatkan atau ditetapkan oleh Islam dan tidak diingkari, maka wajib tawaqquf
(diam) tentangnya. Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari
Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dia berkata :
كان
أهل الكتاب يقرؤون التوراة بالعبرانية ، ويفسرونها بالعربية لأهل الإسلام ، فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم ، وقولوا: (
آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ)
“Ahli Kitab membaca
Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka menafsirkankannya dengan bahasa Arab
kepada pemeluk Islam, maka Rasulullah ﷺ berkata : “Janganlah kamu membenarkan ahli
kitab dan jangan pula mendustakan mereka”, katakanlah : “Kami beriman kepada
(kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu” (QS.
Al-Ankabuut : 46) [HR. Al-Bukhari no. 4215].
Akan tetapi
menceritakan berita Israiliyyat dari jenis ini adalah boleh apabila tidak
dikhawatirkan ada bahayanya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ :
بلغوا
عني ولو آية وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من
النار
“Sampaikanlah
dariku walaupun hanya satu ayat. Dan khabarkanlah (berita) dari Bani Israil dan
jangan merasa berat. Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah
ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka” [HR. Al-Bukhari no. 3274].
Sikap
para ulama, apalagi mufassir, berbeda-beda terhadap kisah-kisah Israiliyyat
berbeda-beda, dan terbagi menjadi empat kelompok :
1.
Sebagian mereka
adalah orang yang memperbanyak kisah tersebut disertai dengan sanad-sanadnya;
dan mereka berpendapat bahwa dengan menyebutkan sanad-sanadnya, maka telah
lepas tanggung jawabnya. Contohnya adalah : Ibnu Jarir Ath-Thabari.
2.
Sebagian mereka
adalah orang yang memperbanyak kisah-kisah tersebut dengan tanpa menyebutkan
sanad-sanadnya. Maka dia seperti hathibul-lail (pencari kayu bakar di
malam hari), seperti : Al-Baghawi. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata
tentang Tafsirnya : “Sesungguhnya dia (Al-Baghawi) meringkas dari Ats-Tsa’labi,
akan tetapi dia mempertahankan hadits-hadits maudlu’ dan pendapat-pendapat yang
bid’ah”. Dan beliau (Ibnu Taimiyah) berkata tentang Ats-Tsa’labi :
“Sesungguhnya dia itu hathibul-lail, dia menukil apa yang dia dapati
pada kitab-kitab tafsir, baik yang shahih, dla’if, maupun maudlu’.
3.
Sebagian mereka
adalah orang-orang yang banyak menyebutkan kisah-kisah Israiliyyat dengan
memberikan komentar dari apa yang disebutkan, apakah kisah itu dla’if atau
mengingkarinya. Misalnya : Ibnu Katsir.
4.
Dan sebagian mereka
adalah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam menolaknya, dan dia tidak
menyebutkan sedikitpun kisah Israiliyyat yang dijadikannya sebagai tafsir bagi
Al-Qur’an. Misalnya : Muhammad Rasyid Ridla.
Pada
umumnya, apa-apa yang diriwayatkan dari mereka (Bani Israil), berita-beritanya
tidak memiliki faedah atau manfaat dalam agama, seperti penentuan warna anjing Ashhabul-Kahfi
dan semisalnya.
Adapun
bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu dari perkara-perkara agama adalah
haram, berdasarkan apa yang riwayat :
عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما أنه
قال : يا معشر المسلمين كيف تسألون أهل الكتاب عن شئ ، وكتابكم الذي أنزل الله على
نبيكم صلى الله عليه وسلم أحدث الأخبار بالله محضا ، لم يشب ، وقد حدثكم أن أهل
الكتاب قد بدلوا من كتاب الله ، وغيروا ، فكتبوا بأيدهم ، قالوا : هو من عند الله
؛ ليشتروا بذلك ثمنا قليلا أو لا ينهاكم ما جاءكم من العلم عن مسألتهم ؟ فلا والله
رأينا رجلا منهم يسألكم عن الذي أنزل إليكم.
Dari
Abdillah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma bahwa dia berkata : “Wahai
sekalian kaum muslimin, mengapa kalian bertanya kepada ahli kitab tentang
sesuatu padahal kitab kalian yang diturunkan Allah kepada Nabi kalian adalah
kabar-kabar yang terbaru tentang Allah, yang murni, tidak tercampur atau
ternodai, dan sesungguhnya Allah telah menceritakan kepada kalian bahwa ahli
kitab itu telah mengganti Kitabullah dan mereka mengubahnya, kemudian
mereka menulis dengan tangan-tangan mereka, kemudian mereka berkata : “Ini dari
sisi Allah”; yang agar dengan hal itu mereka membeli atau menukarnya dengan
harga yang sedikit, atau apa-apa yang datang pada kalian berupa ilmu tidak
melarang kalian dari bertanya kepada mereka. Maka sekali-kali jangan! Demi
Allah, kami tidak melihat seseorang diantara mereka bertanya kepada kalian
tentang apa-apa yang diturunkan kepada kalian” [HR. Al-Bukhari no. 7085].
عن جابر بن عبد الله قال قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم : لا تسألوا أهل الكتاب عن شيء فإنهم لن يهدوكم وقد ضلوا فإنكم إما
أن تصدقوا بباطل أو تكذبوا بحق فإنه لو كان موسى حيا بين أظهركم ما حل له إلا أن
يتبعني
Dari
Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Janganlah kalian bertanya kepada
Ahli Kitab tentang sesuatu, sesungguhnya mereka tidak akan dapat memberi kalian
petunjuk, dan sungguh mereka itu telah sesat, maka sesungguhnya kalian mungkin
akan membenarkan kebathilan atau mungkin mendustakan kebenaran. Sungguh
seandainya Musa masih hidup di antara kalian, niscaya dia tidak menghalalkan
dirinya kecuali untuk mengikutiku”. [HR. Ahmad 3/338 no. 14672; hasan].
Wallaahu
a’lam.
Ditulis
dengan sandaran utama kitab : Al-Ushul fit-Tafsir karya Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dengan beberapa tambahan dan
sedikit perubahan - Abul-Jauzaa’ Al-Bogory
[1] Pada sanad hadits ini terdapat seorang perawi
yang bernama Syahr bin Hausyab yang meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu
‘anhuma. Ia adalah perawi yang masih diperdebatkan statusnya. Beberapa
ulama memposisikan haditsnya pada derajat hasan. Namun Al-Hafidh Ibnu Hajar
dalam Taqribut-Tahdzib, menyebutkan bahwa Syahr adalah perawi shaduq (jujur),
namun sering melakukan kekeliruan dan meng-irsal-kan hadits. Di samping
itu, Imam Muslim mengutip komentar Ibnu ‘Aun dalam Muqaddimah Kitab
Shahihnya bahwa para ulama menuduh Syahr yang bukan-bukan. Atas dasar inilah,
bagi ulama yang menganggap hadits Syahr adalah hasan ataupun shahih, hadits di
atas merupakan hujjah baginya. Berbeda dengan ulama yang tidak memandangnya
demikian, maka dia akan menolak hadits ini.
Comments
Selama ini saya saya bingung sebenarnya boleh atau tidak. Memang terkadang israiliyat tidak berguna, tapi terkadang ada hikmahnya juga.
Posting Komentar