Hukum Memanggil Non-Muslim Sebagai Saudara



Pada beberapa kesempatan kita sering mendengar perkataan yang beredar di masyarakat yang mengatakan bahwa : “Kita semua bersaudara”. Padahal di situ bercampur antara muslim dan non-muslim. Atau dalam konflik SARA yang terjadi di beberapa daerah Indonesia, sering disebutkan bahwa masyarakat muslim dan non-muslim itu bersaudara. Atau dalam ungkapan basa-basi sejenis. Mungkin tujuan orang yang mengatakan itu adalah demi menjaga persatuan, etika kehidupan bermasyarakat, dan yang lainnya.
Pada kesempatan ini akan coba dituliskan dari apa yang telah dijelaskan oleh para ulama tentang permasalahan dimaksud ditinjau dari kaca mata syari’at.
Allah ta’ala telah berfirman :
إِنّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (QS. Al-Hujuraat : 10).
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya ketika berkomentar tentang ayat tersebut menyebutkan beberapa hadits, diantaranya :
المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh mendhalimi dan membiarkannya (didhalimi)” [HR. Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad].
والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
Allah akan terus menolong seorang hamba selama hamba itu senantiasa menolong saudaranya
إذا دعا المسلم لأخيه بظهر الغيب قال الملك آمين ولك مثله
Jika seorang muslim mendoakan saudaranya dari kejauhan, maka malaikat akan mengucapkan : Amin, dan bagimu sepertinya
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتواصلهم كمثل الجسد الواحد, إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal cinta dan kasih sayang mereka adalah seperti satu tubuh. Jika salah satu bagian tubuh merasa sakit, maka seluruh anggota badan akan merasa demam dan susah tidur
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضاً - وشبك بين أصابعه صلى الله عليه وسلم
Seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya adalah seperti satu bangunan yang sebagian dengan sebagian yang lainnya saling menguatkan” Dan pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjalinkan jari-jemari beliau.
Imam Ahmad meriwayatkan, Ahmad bin Al-Hajjaj memberitahu kami, ‘Abdullah memberitahu kami, Mush’ab bin Tsabit memberitahu kami, Abu Hazim memberitahuku, ia berkata : Aku pernah mendengar Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radliyallaahu ‘anhu menceritakan hadits dari Rasulullah shalallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabda :
إن المؤمن من أهل الإيمان بمنزلة الرأس من الجسد, يألم المؤمن لأهل الإيمان كما يألم الجسد في الرأس
Sesungguhnya (hubungan) orang mukmin dengan orang-orang yang beriman adalah seperti (hubungan) kepala dengan seluruh badan. Seorang mukmin akan merasakan sakit karena orang mukmin lainnya sebagaimana badan akan merasa sakit karena sakit pada kepala” [Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Imam Ahmad].
[selesai perkataan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya 4/226].
Jika kita cermati, maka semua hadits shahih yang mengkhabarkan tentang hubungan persaudaraan – selain persaudaraan nasab – di atas, hanya diperuntukkan pada persaudaraan bagi sesama kaum muslimin.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di berkata ketika menjelaskan ayat di atas :
هذا عقد، عقده الله بين المؤمنين، أنه إذا وجد من أي شخص كان، في مشرق الأرض ومغربها، الإيمان بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، فإنه أخ للمؤمنين، أخوة توجب أن يحب له المؤمنون، ما يحبون لأنفسهم، ويكرهون له، ما يكرهون لأنفسهم
“Yang demikian ini merupakan ketetapan yang telah ditetapkan oleh Allah ta’ala di antara orang-orang yang beriman, yaitu bahwa siapapun baik di belahan barat maupun timur yang di dalam dirinya terdapat keimanan kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para Rasul-Nya, dan hari akhir; berarti dia itu saudara orang-orang mukmin. Persaudaraan yang mengharuskan orang-orang mencintainya sebagaimana mereka mencintai diri mereka sendiri, serta membenci hal-hal bagi mereka seperti mereka membencinya untuk diri mereka sendiri” [Taisir Karimir-Rahman fii Tafsiiril-Kalaamil-Manaan 7/133].
Al-Qurthubi menjelaskan :
أي في الدين والحرمة لا في النسب، ولهذا قيل: أخوة الدين أثبت من أخوة النسب، فإن أخوة النسب تنقطع بمخالفة الدين، وأخوة الدين لا تنقطع بمخالفة النسب.
“Yaitu persaudaraan dalam agama dan kehormatan, bukan dalam nasab. Oleh karena itu dikatakan : ‘Persaudaraan atas dasar agama itu lebih erat daripada persaudaraan karena hubungan nasab’. Sebab, persaudaraan karena hubungan nasab bisa terputus karena adanya perbedaan agama, tetapi persaudaraan atas dasar agama tidak akan terputus hanya karena perbedaan nasab” [Tafsir Al-Qurthubi 16/322-323].
Ayat beserta penjelasannya di atas jelaslah bagi kita bahwa persaudaraan hakiki yang dimaksud dikhususkan bagi sesama muslim. Bukan dengan non-muslim. Hal yang menguatkan pernyataan tersebut adalah firman Allah ta’ala :
فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصّلاَةَ وَآتَوُاْ الزّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدّينِ وَنُفَصّلُ الاَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka (mereka adalah) saudara-saudaramu seagama” [QS. At-Taubah : 11].
Sifat bertaubat, mendirikan zakat, dan menunaikan zakat adalah sifat yang dimiliki oleh orang-orang muslim. Dengan itulah mereka dikatakan Allah saling bersaudara. Adapun orang-orang yang tidak mempunyai sifat-sifat tersebut (baca : kalangan non-muslim), maka dia bukanlah termasuk saudara kita dalam agama; dan itu telah jelas.
Allah juga berfirman :
ادْعُوهُمْ لاَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ فَإِن لّمْ تَعْلَمُوَاْ آبَاءَهُمْ فَإِخوَانُكُمْ فِي الدّينِ
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama” [QS. Al-Ahzaab : 5].
Sebutan saudara kepada sesama muslim adalah sebagai dasar penanaman rasa kecintaan dan loyalitas kepadanya. Rasa kecintaan dan loyalitas ditiadakan bagi orang kafir/non-muslim. Bukankah Allah telah melarang kita untuk mencintai dan berkasih sayang terhadap mereka walau mereka adalah saudara-saudara nasab kita sebagaimana firman-Nya :
لاّ تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الاَخِرِ يُوَآدّونَ مَنْ حَآدّ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوَاْ آبَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara atau keluarga mereka” [QS. Al-Mujaadalah : 22].[1]
Tanbih !!
1.     Dengan pernyataan di atas (yaitu kita tidak boleh mencintai orang kafir/non muslim) bukan berarti kita tidak boleh bermuamalah secara mutlak dan boleh berbuat dhalim kepada mereka. Kita tetap dilarang melakukan kedhaliman apapun tanpa haq dan diperintahkan untuk berlaku ‘adil, imma kepada kaum kuffar. Allah telah berfirman :
لاّ يَنْهَاكُمُ اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tidak melarangkamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah : 8].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [QS. Al-Maidah : 8].
2.     Sebagian kalangan yang membolehkan menyebut Saudara kepada kaum kuffar (Ahli Kitab), sering membawakan dalil doa yang diucapkan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam setiap usai shalat :
اللهم ربنا ورب كل شيء أنا شهيد انك أنت الرب وحدك لا شريك لك ربنا ورب كل شيء أنا شهيد ان محمدا عبدك ورسولك ربنا ورب كل شيء أنا شهيد ان العباد كلهم إخوة
Ya Allah, ya Rabb kami, dan Rabb yang menguasai segala sesuatu dan yang merajainya. Sesungguhnya aku bersaksi bahwa Engkau Allah satu-satunya, tiada sekutu bagi-Mu. Ya Allah, ya Rabb kami, Rabb yang menguasai segala sesuatu dan yang merajainya. Aku bersaksi, bahwa Muhammad itu adalah hamba-Mu dan Rasul-Mu. Ya Allah, ya Rabb kami, Rabb yang menguasai segala sesuatu dan merajainya, aku bersaksi bahwa hamba secara keseluruhan adalah bersaudara”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya 4/369 no. 19312, Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 1508) dan yang lainnya. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth berkata : ”Isnadnya dla’if karena kedla’ifan perawi yang bernama Dawud Ath-Thafawi. Ia adalah Ibnu Raasyid. Ibnu Ma’in berkata : Laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya). Al-’Uqaili menyebutkannya dalam Adl-Dlu’afaa : Hadits bathil yang tidak ada asalnya” [selesai perkataan Al-Arnauth].
Selain kedla’ifan Dawud bin Rasyid Ath-Thafawi, pembicaraan hadits ini juga ada pada Abu Muslim Al-Bajaly. Tidak ada yang men-tsiqah-kannya kecuali Ibnu Hibban saja. Asy-Syaikh Al-Albani juga mendla’ifkannya dalam Dla’if Sunan Abi Dawud (hal. 113-114).
3.     Mereka yang membolehkan menyebut kaum kuffar sebagai Saudara berdalil dengan beberapa ayat dalam Al-Qur’an dimana Allah menyebutkan bahwa sebagian Nabi merupakan saudara bagi kaum mereka.
Maka jawaban atas hal ini adalah : Penyebutan ”Saudara” antara Nabi dengan kaumnya itu disebabkan karena hubungan nasab. Nabi diutus Allah kepada kaumnya bukanlah orang asing di antara mereka, melainkan masih mempunyai hubungan kekerabatan. Boleh hukumnya menyebut Saudara jika memang disebabkan adanya hubungan kekerabatan. Namun jika dimutlakkan terhadap semua orang kafir, maka ini adalah haram. Al-Alusi mengatakan : ”Makna Nabi sebagai saudara mereka adalah bahwa Nabi itu secara garis keturunan memang bagian dari mereka. Yang demikian itu pendapat mayoritas para ahli nasab” [Ruuhul-Ma’ani 8/154].
Kesimpulan : Kita tidak diperbolehkan menyebut orang non-muslim sebagai saudara kita. Hanyalah kaum muslimin saja yang saling bersaudara dan mencintai. Akan tetapi kita diperbolehkan menyebut “saudara” kepada orang non-muslim yang masih mempunyai hubungan nasab dengan kita. Allaahu a’lam.



[1]      Terkait dengan ayat tersebut, Ibnu Hajar menjelaskan :
ثم البر والصلة والإحسان لا يستلزم التحابب والتوادد المنهي عنه في قوله‏:‏ لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ‏ الآية فإنها عامة في حق من قاتل ومن لم يقاتل والله أعلم‏.‏ ا هـ‏.‏
”Selanjutnya berbuat baik, berhubungan, dan berbuat ihsan tidaklah melazimkan untuk saling mencintai dan saling berkasih sayang dengan mereka sebagaimana telah dilarang dalam firman-Nya : 'Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya' (QS. Al-Mujaadalah : 22). Sesungguhnya ayat ini umum terhadap siapa saja yang memerangi orang Islam atau tidak. Wallaahu a’lam [selesai – Fathul-Bari 5/233, melalui perantaraan Al-I’lam bi-Naqdi Kitaab Al-Halaal wal-Haraam fil-Islaam oleh Ibnu Fauzan, hal. 6; Maktabah Al-Misykah].

Comments

Anonim mengatakan...

tanya ustad,
jadi kita diperbolehkan memanggil saudara kepada semua manusia termasuk non muslim bukan?
bukankah semua manusia memiliki hubungan kekerabatan (insaniyah) dengan Nabi Adam AS sebagai nenek moyangnya?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tidak boleh, karena persaudaraan dalam Islam adalah persaudaraan dalam ikatan 'aqidah. Adapun jika non-muslim tersebut punya hubungan kekerabatan yang dekat dengan kita (nasab), maka diperbolehkan memanggilnya sebagai saudara. Selain itu, maka tidak boleh.

Gaung persaudaraan insaniyyah (karena sama-sama cucu Nabi Adam 'alaihis-salam) ini hanya dipopulerkan oleh orang-orang belakangan.

Walaupun mereka bukan 'saudara' kita, namun bersikap 'adil dan tidak mendhaliminya merupakan perkara yang dituntut dalam syari'at.

Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

lalu, apa bedanya kerabat kita yang non muslim dengan non muslim non kerabat dalam masalah aqidah?
syukron.
-abu azzam-

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kalau ditinjau dalam masalah 'aqidah, maka tidak ada bedanya selama statusnya adalah kafir.
Tapi syari'at tetap membedakan antara non-muslim yang kerabat dan non-kerabat. dalam masalah hak. Syari'at mengakui hak kekerabatan.

Maka, penyebutan Saudara kepada non-muslim yang masih ada garis kekerabatan dengan kita, maka hukumnya boleh saja. Karena itu ada 'illat hukumnya, sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan di atas.

Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

Anonim mengatakan...

maksud kami, karena ustad tadi menulis bahwa persaudaraan dalam islam adalah persaudaraan dalam ikatan aqidah, artinya kerabat non muslim memang bukan saudara seakidah kita. (Sepakat), namun kita boleh memanggilnya saudara (dalam arti kerabat, bukan se aqidah) dengan demikian bukan kah kita boleh memanggil non muslim lainnya dengan saudara(dalam arti sesama manusia bukan se akidah) lain bapak beda ibu? :)
afwan
-abu azzam-

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sebenarnya apa yang antum permasalahkan telah ada dalam tulisan di atas. Persaudaraan di atas 'aqidah adalah asal/pokok. Dan ini adalah konsekuensi dari Islam dan iman itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada persaudaraan hakiki yang di jalankan di atas kekafiran.

Namun begitu, Islam mengakui adanya kekerabatan dimana persaudaraan di atas kekerabatan diperbolehkan/diakui. Tapi ini sifatnya bukan ashl/pokok.

Kemudian antum mempermasalahkan jika dalil membolehkan menyebut saudara kepada non-muslim dengan lasan kekerabatan, maka boleh juga dong menyebutnya secara umum karena mereka (non-muslim) juga sama-sama cucu dari Nabi Adam 'alaihis-salaam. Inikah logika yang antum bangun ?

Nah, ini keliru. Logika inilah yang tidak pernah dikenal para ulama kita terdahulu. Dalam ayat, hadits, dan penjelasan ulama pun yang namanya kekerabatan itu adalah yang ada hubungannya dengan nasab atau darah. Bisa hal itu dinisbahkan pada ayah, kakek, atau semisalnya. Kalau memang kekerabatan yang antum maksud itu diterima (yaitu kekerabatan berdasarkan Nabi Adam 'alaihis-salaam), maka tidak gunanya pembicaraan dalam beberapa ayat dan hadits mengenai kata kerabat. Ya karena semuanya kekerabat (insaniyyah). Misal :

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

"Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu" [QS. Al-Anfaal : 41].

Nah,... apakah makna kerabat Rasul itu juga meliputi para shahabat dari kalangan Anshaar ? kan mereka juga kerabat dari keturunan Nabi Adam 'alaihis-salaam. Tidak kan...

Kembali pada yang kita bicarakan tadi,.... nash-nash yang menunjukkan kebolehan penyebutan 'saudara' kepada non-muslim adalah hanya terbatas pada kerabat di atas. Bukan kerabat/saudara karena sama-sama cucu Nabi Adam 'alaihis-salaam (persaudaraan insaniyyah).

Saya rasa ini jelas....

Namun jika dengan kalimat ini antum belum paham/mengerti (karena berbagai keterbatasan yang saya milki), mungkin perlu antum tanyakan kepada ustadz lain yang lebih faqih. Wallaahu a'lam.

Akhukum : Abul-Jauzaa'.

Anonim mengatakan...

jazakumullah penjelasannya ustadz
-abu azzam-

Penanya mengatakan...

Assalaamu'alaykum.

Berkaitan dengan latihan 1 yang kemarin ana lakukan dan ana posting di FB. Ini ana ada pertanyaan untuk antum mengenai mu'tamir

Al-Mu’tamir
- Namanya: Mu’tamir bin Sulaiman At-Taimiy
- Jarh Wa Ta’dil:
* Ibnu Hajar berkomentar: “Tsiqah”, rawi ini dipakai Bukhari dan Muslim, wafat: 187 di Bashrah [Lihat At-Taqriib]
* قال ابن خراش : صدوق يخطىء من حفظه ، و إذا حدث من كتابه فهو ثقة
* و عن يحيى بن سعيد القطان قال : إذا حدثكم المعتمر بشىء فاعرضوه ، فإنه سىء الحفظ
[Tahdziib Al-Kamaal]

Dalam Tahdziib Al-Kamaal semua Imam menta’dil kecuali Ibnu Khiraasy dan Yahya bin Sa’id yang menjarhnya disebabkan hafalannya. Apakah kaidah Al-Jarh Mufassar Muqaddam ‘Alat Ta’dil berlaku dalam hal ini. Jika berlaku maka apa status penghukuman yang cocok untuk Al-Mu’tamir diatas? Apakah tetap tsiqah seperti yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Yahyaa bin Sa'iid dikenal sebagai orang yang sangat keras dalam menjarh seorang rawi. Di sini ia mengatakan bahwa Mu'tamir itu jelek hapalannya. Bersamaan dengan itu, orang yang semisal Ibnul-Qaththaan (dalam hal tasyaddud-nya), seperti Ibnu Ma'iin, Abu Haatim telah mengatakannya tsiqah. Adapun orang-orang yang pertengahan dalam permasalahan ini menta'dilnya. Ibnu Sa'd berkata : "Tsiqah". Ahmad berkata : "Kaana haafidhan" [Suaalaat Abi Daawud]. Dan juga para ulama lain yang telah mentsiqahkannya.

Kesepakatan Al-Bukhaariy dan Muslim dalam memakai riwayatnya pun mempunyai nilai tersendiri dalam penilaian ini.

Adapun Ibnul-Khiraasy, pada dasarnya ia menta'dilnya. Hanya saja ia membedakan periwayatannya dari sektor hapalannya dan kitabnya. Kalau dari kitabnya ia tsiqah, dan kalau dari hapalannya, ia seorang yang shaduuq, namun banyak kelirunya. Tentu saja ini tidak benar. Jika memang ia banyak kelirunya, Ahmad bin Hanbal (dan ia memang tilmidz dari Mu'tamir) tidak akan mengatakan seorang yang haafidh.

Oleh karena itu, perkataan Ibnul-Qaththaan dan Ibnu Khiraasy dimaknai bahwa Mu'tamir ini memang mempunyai kekeliruan sebagaimana orang lain juga punya kekeliruan. Namun kekeliruan itu tidaklah menjatuhkannya kepada derajat dla'iif sehingga ditolak riwayatnya.

Di sini, Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabiy telah bersepakat dalam penta'dilan. Ibnu Hajar mengatakan tsiqah dalam At-Taqriib, dan Adz-Dzahabiy mengatakan imam, haafidh, lagi qudwah dalam As-Siyar.

Wallaahu a'lam.

[antum bisa tanyakan kepada para asaatidzah yang mumpuni di bidang ini].

iib mengatakan...

Asslaamu'alaykum.akhi..bagaimana dengan "Dan kepada kaum Aad Kami utus SAUDARA mereka, Hud. la berkata: Hai kaumku, sembahlah
Allah, tidaklah kamu mempunyai Tuhan selain Dia, tidakkah kamu takut (kepada
Allah) (Q.S. Al-Araf: 65)

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

wa'alaikumus-salaam

apa yang antum tanyakan telah ada dalam artikel di atas ataupun komentar di bawahnya. Intinya, penisbatan persaudaraan Nabi kepada kaumnya karena memang mereka mempunyai hubungan nasab yang dikenal.

Ummu Zahra mengatakan...

Ustadz, bagaimana dg panggilan lazim di masyarakat kita kepada orang lain, termasuk panggilan kpd orang yg tidak memiliki hubungan kerabat, misalnya panggilan "mas", "mbak", dsb. Apakah hal ini juga terlarang jika kita gunakan untuk orang kafir? Mohon penjelasannya. Jazakallahu khair.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tidak. Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

1. apa hukum memberi salam kpd tman2 muslim tp disana ada beberapa tman yg non muslim ?

2. hukum memberi tman2 non muslim hasil kurban iedul adha

Anonim mengatakan...

Asalammualaikum ustad
Saya mau bertanya...namun sebelumnya saya mau bercerita....jdi ada tmn saya yg dekat sekali dengan teman non islam. Jdi temen saya yg islam sering mengajak teman yg non muslim menginap di rumah nya...dan menurut sya mereka dah dekat sekali seperti saudara...setelah saya tahu bahwa kita( muslim ) tidak boleh sayang dan kasihan terhadap non islam. Saya memberi tahu teman saya yg islam itu...dan dia pun kaget dan bingung bagaimana agar tidak terlalu dekat. Jadi yg mau saya tanyakan apakah teman saya yg islam itu sudah melebihi pertemanan nya dengan yg non islam itu ??? Terima kasih wasaalammualaikum.wr.wb.

Unknown mengatakan...

Saya pernah membaca, kl khalifah pernah memanggil orang yahudi dengan panggilan "saudara", apakah cerita tsb salah?