Adab Bro....



Allah berfirman:
لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
"Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)" [QS. An-Nuur : 63].
Melalui ayat ini, Allah telah mengkhususkan penyebutan Nabi dalam pembicaraan sehingga Allah melarang para shahabat (dan kita) memanggil beliau : 'Ya Muhammad, Ya Ahmad, Ya Abal-Qaasim' - sebagaimana panggilan sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Hendaklah mereka memanggil beliau dengan : 'Ya Nabiyallah, Ya Rasulallah', karena Allah sendiri tidak memanggil beliau dalam Al-Qur'an hanya dengan namanya saja:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا
"Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik" [QS. Al-Ahzaab : 28].
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ

"Wahai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu" [QS. Al-Ahzaab : 50].
[Ref : Ash-Shaarimul-Masluul, 3/803-804 karya Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah].
Tidaklah kita menyebut Nabi kecuali dengan sebutan yang penuh penghormatan dan pemuliaan. Kita mesti memilih kata-kata yang baik ketika menyifati beliau dan sirah beliau . Hingga sebagian ulama madzhab berijtihad bolehnya menambah kata 'sayyidinaa' sebelum menyebut Muhammad dalam bacaan adzan dan shalat - meski kita tidak membenarkan ijtihad ini. Jika ada dua kata yang terlintas dalam benak, kita pilih yang paling bagus maknanya.
So, bukan termasuk adab ketika menterjemahkan hadits (misalnya):
عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: سَدِّدُوا، وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، فَإِنَّهُ لَا يُدْخِلُ أَحَدًا الْجَنَّةَ عَمَلُهُ، قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِمَغْفِرَةٍ وَرَحْمَةٍ

Dari ‘Aaisyah, dari Nabi , ia dulu pernah NGOMONG : “Beramallah LOE-LOE PADE sesuai sunnah (istiqamah) dan berlaku imbanglah, dan berilah kabar gembira, sesungguhnya seseorang tidak akan masuk surga karena amalannya”. Para shahabat berkata : “ELO JUGA YA MUHAMMAD”. Beliau bersabda : “GW JUGA, namun Allah melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya pada GW” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dan Muslim]
hanya karena alasan audiens di depan mikroponnya adalah anak-anak gaul DKI. Justru mereka (audiens) harus diajari adab bagaimana berinteraksi dengan Rasul dan sunnah-sunnahnya. Saya yakin, mereka tetap akan paham seandainya hadits di atas diterjemahkan:
Dari ‘Aaisyah, dari Nabi , beliau bersabda : “Beramallah sesuai sunnah (istiqamah) dan berlaku imbanglah, dan berilah kabar gembira, sesungguhnya seseorang tidak akan masuk surga karena amalannya”. Para shahabat berkata : “Begitu juga dengan engkau wahai Rasulullah?”. Beliau bersabda : “Begitu juga denganku, namun Allah melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya kepadaku
[selesai]
Berinteraksi dengan Allah apalagi. Tak perlu kita pakai diksi 'ngejapri Allah', 'Allah nge-read doa kita' - hanya pingin addaptable dengan gaya media sosial kontemporer - sebagaimana kelakuan kaum telat gaul. Apakah audiens menjadi sangat susah memahami jika kita mengatakan : 'Mari kita berdoa kepada Allah dengan khusyuk, Allah akan mendengar dan mengabulkan permohonan kita' ?
Inilah yang diajarkan guru-guru lokal saya. Saya yakin, guru Anda pun demikian.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’]



Comments