Di
negeri kita lagi musim istilah ‘senior-yunior’ – ‘doktor-bukan doktor’. Entah
apa tujuannya. Yang jelas, jika tujuannya mau bikin sentralisasi atau otorisasi
agama, salah. “Ini pendapat ustadz senior, ustadz senior lebih mumpuni,”kata
seseorang. Di seberang jalan berbalas,”Ini pendapat ustadz doktor. Ustadz doktor
lebih cerdas dan berwawasan”. Dunia dakwah kita memang lagi bising dengan
labelisasi. Apalagi pra dan pasca Pilkada seperti sekarang. Bukan substansi argumen
yang dilihat, akan tetapi malah adu otorisasi – mana yang lebih layak didengar.
Pada
kenyataannya, jika penilaian kita mau fair dan sehat, dikotomi
pendapat/nasihat berdasarkan usia dan jenjang pendidikan bersifat nisbi.
Pendapat
Ustadz Fulaan tentang permasalahan A lebih pantas diikuti karena beliau
termasuk 'sepuh'. Jika demikian, kita mungkin akan dapatkan banyak ulama
yang berusia (jauh) lebih 'sepuh' yang mempunyai pendapat dalam masalah A
bertentang dengan Fulaan yang sepuh tersebut.
Pendapat
Ustadz 'Alaan tentang permasalahan B lebih pantas diikuti karena beliau
bergelar 'doktor'. Jika demikian, kita mungkin akan dapatkan banyak (ulama)
profesor yang mempunyai pendapat dalam masalah B bertentangan dengan 'Alaan
yang doktor tersebut.
Mudah
sekali memberikan contoh, tanpa perlu saya tulis satu per satu di sini.
Senioritas
usia memang mempunyai keutamaan sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ
“Keberkahan
bersama akaabir (pembesar/ulama) kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar
dalam Kasyful-Astaar no. 1954, Ibnu Hibbaan no. 559, Al-Haakim 1/62, dan yang
lainnya; shahih].
Cakupan
akaabiir dalam hadits ini masuk dalam hal senioritas usia, sebagaimana
dijelaskan Asy-Syaikh Sulaimaan Ar-Ruhailiy hafidhahullah. Senioritas
minimal menggambarkan pengalaman hidup. Apalagi jika hari-harinya diisi dengan kegiatan
belajar-mengajar dan penelaahan, akan menjadikannya semakin matang. Di sanalah
berdiri para ulama sepuh dari zaman ke zaman, seperti Maalik bin Anas (wafat
usia 86 tahun), Ahmad bin Hanbal (wafat usia 77 tahun), Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah (wafat usia 67 tahun), Adz-Dzahabiy (wafat usia
75 tahun), Al-Haafidh Ibnu Hajar (wafat usia 79 tahun), Asy-Syaikh
Ibnul-‘Utsaimiin (wafat usia 74 tahun), Asy-Syaikh Al-Albaaniy (wafat usia 87
tahun), Asy-Syaikh Ibnu Baaz (wafat usia 89 tahun) rahimahumullah.
Tapi
harus dicatat juga, akaabiir secara substantif adalah dalam hal ilmu.
Meski muda usia jika berilmu, maka disebut akaabiir. Banyak contohnya,
diantaranya : Mu’aadz bin Jabal (wafat usia 36 tahun), Khaliifah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz
(wafat usia 40 tahun), Ibnul-Muqaffa’ (wafat usia 36 tahun), Sibawaih (wafat usia
32 tahun), Al-Humaidiy (wafat usia 49 tahun), Al-Haafidh Al-Haazimiy (wafat
usia 36 tahun), An-Nawawiy (wafat usia 45 tahun), Ibnu ‘Abdil-Haadiy (wafat
usia 40 tahun), Asy-Syaikh Haafidh Al-Hakamiy (wafat usia 35 tahun), Asy-Syaikh
‘Abdus-Salaam bin Barjas (wafat usia 38 tahun), dan yang lainnya rahimahumullah.
Tak ada yang meragukan keilmuan dan sumbangan mereka kepada Islam dan kaum
muslimin.
Usia
dan jenjang pendidikan agama memang dapat dijadikan (salah satu) tolok ukur
pemahaman agama, akan tetapi keduanya bukan parameter kebenaran. Yang benar
tetaplah benar meskipun dikatakan oleh yunior atau tidak menyandang titel
doktor. Begitu juga yang salah tetaplah salah meskipun dikatakan oleh senior
atau yang menyandang titel doktor.
Kita
mencintai guru kita yang sepuh dan doktor[1],
yang tidak sepuh dan tidak doktor. SEMUANYA. Kita mencintai mereka karena
‘aqidah dan manhaj. Kita mengikuti nasihat mereka bukan karena tua usia dan lama
sekolahnya, akan tetapi karena hujjah yang mereka sampaikan. Bukankah kita
sering diajari, diperdengarkan, dan membaca firman Allah ﷻ:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya" [QS. An-Nisaa' : 59].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan
janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu” [QS. Muhammad: 33].
Juga
firman Allah ﷻ:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ
كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
"Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui"
[QS. An-Nahl : 43].
Jangan
jadikan diri kita jadi agen perpecahan dengan pendikotomian guru-guru kita berdasarkan
usia dan jenjang pendidikan. Lebih baik perbanyak muhasabah atau ngaca
diri. Dakwah ini berat, dan jangan diperberat dengan sikap kita yang tak patut
mendapat pujian.
NB
: Diantara ulama sepuh/kibaar Ahlus-Sunnah kita adalah Asy-Syaikh Rabii'
Al-Madkhaliy, Asy-Syaikh 'Abdul-Muhsin Al-'Abbaad Asy-Syaikh Shaalih
Al-Fauzaan, Asy-Syaikh 'Ubaid Al-Jaabiriy, Asy-Syaikh 'Abdul-'Aziiz
Aalusy-Syaikh, dan yang lainnya hafidhahumullah. Diantara (ulama)
profesor Ahlus-Sunnah kita adalah Asy-Syaikh Shaalih As-Suhaimiy, Asy-Syaikh
Falaah Al-Mandakaar, Asy-Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy, Asy-Syaikh Sulaimaan
Ar-Ruhailiy, dan yang lainnya hafidhahumullah.
[dari
catatan ringan di FB]
[1] Ada sebagian orang yang meremehkan term 'doktor'
lalu mengatakan : "Belum tentu doktor lurus manhajnya..... bla...
bla... bla...". Lalu dikasihlah contoh SAS, ulama suu’ penggagas
islAm NUSantara.
Kalau doktor bukan jaminan, maka yang bukan doktor lebih pantas dikatakan bukan
jaminan. Apalagi yang baru ngaji kemarin sore, bahasa Arab tidak bisa, dan baca
Al-Qur’an masih ‘grothal-grathul’, tapi ‘lagak’-nya seperti Yahyaa
bin Ma'iin, Ibnul-Qaththaan, dan Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahumulah. Belasan
tahun belajar di universitas Islam di bawah bimbingan dan syahaadah para
ulama Ahlus-Sunnah bukan hal yang sepele dan gampang. Bukankah ‘Abdullah bin ‘Aun
Al-Muzanniy (w. 151 H) dan ‘Abdurrahmaan bin Yaziid bin Jaabir (w. 153 H) rahimahumallah
pernah berkata:
لا
يؤخذ هذا العلم إلا ممن شُهد له بالطلب
“Ilmu
ini tidak diambil kecuali dari orang yang dipersaksikan dirinya pernah menuntut
ilmu” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 2/28].
???
Mereka
yang sering ‘berisik’ itu dipersaksikan oleh siapa ?.
Comments
Langsung teringat aslibumi*yu
Barakallah fiik Ustadz, tentu semua akan nampak dan ternilaikan saat di ujung/akhir suatu masa nantinya atau dengan kata lain waktu jua lah yg akan membuktikan.
Namun tanpa bermaksud "ber-dikotomi"
Apakah dengan tulisan ini kita akan meniadakan hal2 / pembuktian yg sudah terjadi? Misalnya seorang ulama sepuh, terbukti dari dulu hingga saat ini akan aqidah, manhaj dan dakwahnya.. akan kita persamakan kedudukannya sebagai ulama dengan ulama (belum) sepuh, (belum) terbukti aqidah, manhaj dan dakwahnya??.
Jika semua orang kita arahkan untuk menilai substansi, apakah Ustadz yakin setiap orang memiliki kemampuan untuk menilai substansi secara langsung? (Ustadz sudah bahas pada artikel "ambil baiknya...")
Bukankah menilai obyektif adalah didasarkan pada sst yg (terbukti) riil, ada, sudah terjadi? Bukan pada yg (belum terbukti) riil, ada, dan belum terjadi?
Jika kalimat dibawah ini menurut Ustadz apakah salah?
"Ana cinta ulama2 sepuh/tidak sepuh/doktor/tidak doktor krn mereka gudang ilmu untuk diserap ilmunya (sepanjang aqidah dan manhaj nya lurus).
Namun tentu kedudukan mereka tidaklah sama dengan ulama yg sudah terbukti sampai saat ini "ke-ulama-an nya". Karena bukan hanya diambil ilmunya, tapi dapat dijadikan contoh, setidaknya contoh ke-istiqomahan beliau2 titik"
Wallahu 'alam
Hanya merespon SESUAI pertanyaan:
Apakah dengan tulisan ini kita akan meniadakan hal2 / pembuktian yg sudah terjadi? Misalnya seorang ulama sepuh, terbukti dari dulu hingga saat ini akan aqidah, manhaj dan dakwahnya.. akan kita persamakan kedudukannya sebagai ulama dengan ulama (belum) sepuh, (belum) terbukti aqidah, manhaj dan dakwahnya??.
Jawab : Tidak meniadakan.
Bukankah menilai obyektif adalah didasarkan pada sst yg (terbukti) riil, ada, sudah terjadi? Bukan pada yg (belum terbukti) riil, ada, dan belum terjadi?
Jawab : Benar
Jika kalimat dibawah ini menurut Ustadz apakah salah?
"Ana cinta ulama2 sepuh/tidak sepuh/doktor/tidak doktor krn mereka gudang ilmu untuk diserap ilmunya (sepanjang aqidah dan manhaj nya lurus).
Namun tentu kedudukan mereka tidaklah sama dengan ulama yg sudah terbukti sampai saat ini "ke-ulama-an nya". Karena bukan hanya diambil ilmunya, tapi dapat dijadikan contoh, setidaknya contoh ke-istiqomahan beliau2 titik"
Jawab : Tidak salah
------------------
Ini respon di luar yang ditanyakan.
Kita tahu terbukti atau tidak terbukti, benar atau salah; juga dengan ilmu. Kenyataannya, kita sering berasumsi dulu bahwa kebenaran ada pada senioritas, sehingga kekeliruan akan nempak sebagai kebenaran karena adanya mindset awal. Sangat mudah dicontohkan.
Istiqamah itu bagus. Tapi menjadi melenceng dari apa yang dimaksudkan syari'at jika istiqamah ditafsirkan dari dulu sampai sekarang tetap keadaannya. Keliru. Istiqamah adalah adil, lurus, dan tidak melampaui batas. Jadi, substansi istiqamah adalah tetap lurus, teguh, dan komitmen memegang kebenaran.
Benar atau tidak benar lebih dinilai pada substansi, bukan berapa lama dia berdakwah. Lamanya dakwah menggambarkan amalan dan pengalaman, bukan kebenaran.
Masalah siapa yang lebih dipercaya, tentu kembali ke masing-masing. Tidak bisa disamakan satu orang dengan orang lain dengan standar yang umum : Senioritas dan jenjang pendidikan.
Baik, terima kasih atas pencerahan dan ilmunya Ustadz, jazakallah khayran.
Barakallah fiik
yang jelas abul jauzaa dengki dan iri hati, karena tidak punya gelar DR di bidang agama makanya menulis ini. kasian sekali kau omongan kau tak ada yang dengar kecuali kelas ikan teri.
Kok bisa ngomong begitu ?
Barakallahu fiik Ustadz, syukran ilmunya
Semudah itu kau berkata
Kok bisa ngomong begitu ?
ya karena faktanya begitu khan? sampeyan kan bukan DR, apalagi DR di bidang agama, tapi merasa tau agama, ini kan sontoloyo.
DR. itu kan lisensi biar orang tau diri aja, kalau bukan DR kayak ente ya ga bakalan tau diri lah, ilmu ga seberapa tapi bicara udah kayak ulama.
Coba lihat ada ga DR DR dari madinah atau mekah yang berani bicara atau nulis-nulis agama kayak ente gini?
Kalaupun berani mereka harus ada dulu orang yang ngoreksi yg ilmunya jauh di atas mereka dan itu sangat beratlah, lah ente ini apa? bikin tulisan asal jadi ga ada korektor tau2 udah dibaca ama awam. makanya ana sebut ente ini sontoloyo. Kalau ente mau belajar hingga bisa dapat DR ya ga terlambatlah, asal ente mau aja, duit ada, waktu ada, tapi ente ga mau itu kan, maunya langsung pintar tanpa berada di tengah2 ulama. orang yang ga mau belajar langsung atau mendatangi ulama tapi berani menyampaikan ilmu agama ya gurunya jelas setan ya macam ente ini.
(Sebagian) kondisi bangsa kita memang menyedihkan ya. Banyak yang gagal baca. Mungkin dengan sebab itulah standar soal UN anak sekolah sekarang dinaikkan. Untuk memperbaiki produk masa lalu.
Saran saya, coba baca sekali lagi tulisan di atas. Jika masih berkesimpulan seperti komentar Anda, tak terlarang minta tolong teman Anda sebagai perbandingan.
Barakallahu fiikum ustadz
Lumayan,utk masukan bagi para penuntut ilmu yg masih latah
Barakallahufikum
Ya Allah. Panjangkan Umur Ustadz Abul Jauzaa agar bisa menulis artikel yang banyak. Amin
Apakah bisa tidak dicampakkan komentar yang berisi hinaan dan cacian ustadz..?
......Seperti ada komentar di atas yang jelas abul jauzaa dengki dan iri hati, karena tidak punya gelar DR di bidang agama makanya menulis ini. kasian sekali kau omongan kau tak ada yang dengar kecuali kelas ikan teri....
Mudah mudah Allah menjaga kita semua.
tulisan diatas menurut ana tidak merendahkan ustadz yang bergelar doktor, poin pentingnya yaitu melihat siapapun terletak pada argumennya bukan titelnya..
Posting Komentar