Hukum Mencaci Istri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam


Barangsiapa menuduh ‘Aaisyah telah berbuat zina yang Allah ta’ala telah membebaskan dirinya dari perbuatan (zina) tersebut, maka orang itu kafir tanpa ada perselisihan pendapat. Telah dihikayatkan adanya ijmaa’ dalam hukum kekafiran ini dari beberapa orang ulama.
Diriwayatkan dari Maalik :
من سَبّ أَبَا بَكْر جُلِد، وَمِن سَبّ عَائِشَة قُتِل، قِيل لَه: لِم؟ قَال من رَمَاهَا فَقَد خالف الْقُرْآن، لِأَنّ اللَّه تَعَالى قَالَ: يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.
“Barangsiapa yang mencaci Abu Bakr, ia dicambuk. Dan barangsiapa mencaci ‘Aaisyah, ia dibunuh”. Dikatakan kepadanya : “Mengapa?”. Ia berkata : “Barangsiapa yang menuduhnya, maka ia telah menyelisihi Al-Qur’an, karena Allah ta’ala berfirman : ‘Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman’ (QS. An-Nuur : 17)”[1].
Abus-Saaib Al-Qaadliy berkata:
كُنْتُ يَوْمًا بِحَضْرَةِ الْحَسَنِ بْنِ زَيْدٍ الدَّاعِي بِطَبَرِسْتَانَ، وَكَانَ يَلْبَسُ الصُّوفَ، وَيَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ، وَيَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ، وَيُوَجِّهُ فِي كُلِّ سَنَةٍ بِعِشْرِينَ أَلْفَ دِينَارٍ إِلَى مَدِينَةِ السَّلامِ تُفَرَّقُ عَلَى سَائِرِ وَلَدِ الصَّحَابَةِ، وَكَانَ بِحَضْرَتِهِ رَجُلٌ ذَكَرَ عَائِشَةَ بِذِكْرٍ قَبِيحٍ مِنَ الْفَاحِشَةِ، فَقَالَ: يَا غُلامُ اضْرِبْ عُنُقَهُ، فَقَالَ لَهُ الْعَلَوِيُّونَ: هَذَا رَجُلٌ مِنْ شِيعَتِنَا، فَقَالَ: مَعَاذَ اللَّهِ، هَذَا رَجُلٌ طَعَنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ تَعَالى: الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ، فَإِنْ كَانَتْ عَائِشَةُ خَبِيثَةً، فَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبِيثٌ، فَهُوَ كَافِرٌ، فاضْرِبُوا عُنُقَهُ، فَضَرَبُوا عُنُقَهُ وَأَنَا حَاضِر
Pada suatu hari aku berada di dekat Al-Hasan bin Zaid, seorang da’I negeri Thibristaan. Ia waktu itu mengenakan pakaian dari bulu domba. Ia seorang yang memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Setiap tahun ia mengirim uang sebanyak 20.000 dinar ke Madiinah agar dibagikan kepada seluruh anak-anak shahabat. Pada waktu itu, hadir di hadapannya seorang laki-laki yang menyebut-nyebut ‘Aaisyah dengan penyebutan buruk lagi keji. Ia (Al-Hasan bin Zaid) berkata : “Wahai ghulaam, penggallah pehernya”. Orang-orang ‘Alawiyyiin berkata kepadanya : “Laki-laki tersebut termasuk pengikut kelompok kami”. Ia berkata : “Aku berlindung kepada Allah, orang ini telah mencela Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman : ‘Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)” (QS. An-Nuur : 26)’. Apabila ‘Aaisyah seorang wanita yang keji, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun juga seorang laki-laki yang keji. Orang tersebut kafir. Penggallah lehernya”. Maka mereka memenggal lehernya sedangkan aku hadir menyaksikannya.  
Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy[2].
Adapun orang yang mencaci istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salami selain ‘Aaisyah, maka ada dua pendapat:
1.     Ia seperti orang yang mencaci para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[3]
2.     Menurut pendapat yang lebih benar, orang yang menuduh salah seorang ummahaatul-mukminiin telah berbuat zina, maka hukumnya seperti menuduh ‘Aaisyah berbuat zina (yaitu kafir). Hal itu dikarenakan dalam cacian itu terdapat aib dan kerendahan terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, serta menyakiti beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih dari menyakiti beliau dengan sebab menikahi mereka (istri-istri Nabi) sepeninggal beliau. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا
Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan” [QS. Al-Ahzaab : 57].
[selesai diterjemahkan dari Taqriibu Ash-Shariimil-Masluul ‘alaa Syaatimir-Rasuul li-Syaikhil-Islaam Ibni Taimiyyah oleh Dr. Shalaah Ash-Shaawiy, hal. 303-304 dengan sediikit peringkasan dan penambahan catatan kaki – Abul-Jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 09032015 – 23:44].




[1]      Diriwayatkan oleh Al-Jauhariy dalam Al-Musnad Al-Muwaththa’ 1/112-113, Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 12/440, dan Abu Sa’iid An-Nuqqaasy dalam Tsalaatsatu Majaalis minal-Amaaliy no. 12. Dibawakan juga oleh Al-Qaadliy ‘Iyaadl dalam Asy-Syifaa’ 2/184.
[2]      Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 2402.
[3]      Ibnu Taimiyyah rahimahullah membuat perinciannya:
a.      Orang yang mencaci shahabat dengan cacian yang tidak mengurangi sifat keadilan dan agamanya, seperti pelit, penakut, kurang berilmu, tidak zuhd, atau yang semisalnya; maka ia berhak untuk diboikot dan di-ta’zir, tidak dikafirkan.
b.      Orang yang melaknat dan menjelek-jelekkan shahabat secara mutlak, maka para ulama berbeda pendapat padanya dikarenakan adanya keragu-raguan permasalahan antara laknat kemarahan dan laknat keyakinan.
c.      Orang yang mencaci dan menganggap para shahabat murtad setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali hanya sekelompok kecil saja; atau ia memfasikan mayoritas shahabat; maka ini tidak diragukan lagi akan kekafirannya karena ia mendustakan apa yang telah dinashkan oleh Al-Qur’an dalam beberapa ayat akan adanya keridlaan dan pujian terhadap mereka. Bahkan barangsiapa yang ragu akan kekafiran orang yang semisal ini, maka ia juga kafir secara yakin [At-Taqriib, hal. 325-326].

Comments