Faedah Kisah Ashhaabu Dzaati Anwaath dalam Pemberian ‘Udzur Kejahilan (2)


Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul Faedah Hadits Abu Waaqid Al-Laitsiy : 'Udzur karena Baru Masuk Islam, yang masih membahas tentang ashhaabu dzaati Anwaath. Penjelasan diambil dari dars Al-‘Allamah Al-Faqiih Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin ketika membahas kitab Kasyfusy-Syubuhaat karya Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumallah.
Saat menyebutkan orang-orang yang dikafirkan karena kesyirikan mereka meskipun telah mengucapkan kalimat Laa ilaha illallaah beserta syubhat-syubhatnya, Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah berkata:
فتأمل هذه الشبهة وهي قولهم: تكفرون من المسلمين أناسا يشهدون أن ( لا إله إلا الله)، ويصلون ويصومون ; ثم تأمل جوابها فإنه من أنفع ما في هذه الأوراق.
ومن الدليل على ذلك أيضا: ما حكى الله عن بني إسرائيل مع إسلامهم وعلمهم وصلاحهم; أنهم قالوا لموسى: {اجْعَلْ لَنَا إِلَهاً كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ}.
 وقول أناس من الصحابة: "اجعل لنا ذات أنواط فحلف النبي صلى الله عليه وسلم أن هذا نظير قول بني إسرائيل: اجعل لنا إلها" .
ولكن للمشركين شبهة يدلون بها عند هذه القصة:
وهي أنهم يقولون: إن بني إسرائيل لم يكفروا بذلك.
وكذلك الذين قالوا للنبي صلى الله عليه وسلم اجعل لنا ذات أنواط لم يكفروا.
      فالجواب أن نقول: إن بني إسرائيل لم يفعلوا ذلك، وكذلك الذين سألوا النبي صلى الله عليه وسلم لم يفعلوا ذلك. ولا خلاف أن بني إسرائيل لو فعلوا ذلك لكفروا.
 وكذلك لا خلاف في أن الذين نهاهم النبي صلى الله عليه وسلم لو لم يطيعوه واتخذوا ذات أنواط بعد نهيه لكفروا، وهذا هو المطلوب،
“Maka perhatikanlah syubhat ini, yaitu perkataan mereka : ‘Apakah kalian mengkafirkan orang-orang dari kaum muslimin yang mengucapkan kalimat syahadat Laa ilaha illallaah (tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah kecuali Allah), mengerjakan shalat dan puasa ?’. Kemudian perhatikanlah jawabannya, karena itu termasuk hal yang paling bermanfaat dalam pembahasan di buku ini.
Termasuk dalil yang menunjukkan hal itu[1] adalah apa yang difirmankan Allah ta’ala tentang Banii Israaiil - dengan keislaman, ilmu, dan kebaikan yang ada pada diri mereka – yang berkata kepada Muusaa : ‘buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)’ (QS. Al-A’raaf : 138).
Dan juga ucapan sebagian shahabat : ‘Buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath’. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersumpah bahwa ucapan tersebut seperti ucapan Bani Israaiil kepada Muusaa : ‘Buatkanlah untuk kami tuhan’. Akan tetapi, orang-orang musyrik masih saja mempunyai syubhat berdalil dengan kisah ini. Syubhat itu adalah perkataan mereka : ‘Sesungguhnya Bani Israaiil tidak dikafirkan dengan perbuatannya tersebut. Begitu pula dengan para shahabat yang berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaiahi wa sallam : ‘Buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath’; tidak dikafirkan”.
Jawabnya, kita katakan : Sesungguhnya Bani Israaiil tidak melakukan apa yang diminta. Begitu juga dengan para shahabat yang meminta Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (hal yang semisal) tidak melakukannya juga. Tidak ada khilaaf (perbedaan pendapat), seandainya Bani Israaiil melakukan apa yang mereka minta, akan menjadi kafir. Begitu juga tidak ada khilaaf pada orang-orang yang telah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam larang, seandainya mereka tidak mentaati beliau dan malah menjadikan Dzaatu Anwaath (sebagai tuhan) setelah adanya larangan beliau tersebut, akan menjadi kafir. Inilah yang dituntut.
[selesai perkataan Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah memberikan penjelasan:
[1] Perkataan beliau ‘termasuk dalil yang menunjukkan hal itu......dst.’ ; yaitu manusia kadang-kadang mengucapkan atau melakukan perbuatan kekufuran tanpa disadari. Perkataan Bani Israaiil – dengan keislaman, ilmu, dan kebaikan yang ada pada diri mereka –kepada Muusaa : ‘buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)’ (QS. Al-A’raaf : 138) dan perkataan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath’ dimana ketika mendengarnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allaahu akbar, demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya apa yang kalian katakan seperti yang dikatakan Bani Israaiil kepada Muusaa : ‘Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)". Musa menjawab: "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)’ (Al-A’raaf : 138). Sungguh kalian benar-benar mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian”.[1] Ini menunjukkan bahwa Muusaa dan Muhammad ‘alaihish-shalaatu was-salaam sangat mengingkarinya, dan inilah yang dituntut. Dua orang Nabi yang mulia ini tidak menyetujui permintaan kaumnya, bahkan malah mengingkarinya.
Sebagian orang-orang musyrik membuat syubhat dalam dalil ini dengan perkataan mereka : ‘Sesungguhnya shahabat dan Bani Israaiil tidak dikafirkan dengan sebab perbuatannya’.
Dan jawaban terhadap syubhat ini : Shahabat dan Bani Israaiil tidak melakukannya (apa yang diminta) ketika telah mendapatkan peringatan dari dua orang Rasul yang mulia.
[selesai perkataan Ibnul-‘Utsaimiin].
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah berkata:
ولكن هذه القصة تفيد أن المسلم بل العالم قد يقع في أنواع من الشرك لا يدري عنها، فتفيد التعلم والتحرز، ومعرفة أن قول الجاهل (التوحيد فهمناه) أن هذا من أكبر الجهل ومكائد الشيطان.
وتفيد أيضا أن المسلم المجتهد إذا تكلم بكلام كفر وهو لا يدري. فنبه على ذلك فتاب من ساعته، أنه لا يكفر كما فعل بنو إسرائيل والذين سألوا النبي صلى الله عليه وسلم.
وتفيد أيضا أنه لو لم يكفر فإنه يغلظ عليه الكلام تغليظا شديدا، كما فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Akan tetapi kisah ini mengandung faedah, bahwasannya seorang muslim – bahkan seorang ‘alim sekalipun – kadangkala terjatuh dalam kesyirikan tanpa disadari/diketahuinya, sehingga sangatlah penting untuk belajar dan membebaskan diri dari kebodohan. Oleh karena itu, kisah ini memberikan faedah pelajaran, penjagaan diri, dan pengetahuan bahwa perkataan seorang yang jaahil (bodoh) : ‘Kami telah memahami tauhid’; merupakan kejahilan yang paling besar dan tipu daya setan [2].
Kisah ini juga memberikan faedah bahwasannya seorang muslim mujtahid[3] apabila berkata-kata dengan perkataan yang mengandung kekufuran tanpa ia sadari/ketahui, lalu ia diperingatkan darinya sehingga ia bertaubat pada waktu itu juga; maka tidak dikafirkan, sebagaimana hal itu pernah dilakukan oleh Bani Israaiil dan orang-orang yang meminta kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (agar dibuatkan Dzaatu Anwaath).
Juga memberikan faedah : meskipun tidak dikafirkan[4], ia mesti diperingatkan dengan sangat keras sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[selesai perkataan Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah memberikan penjelasan:
[2] Penjelasan kisah Dzaatu Anwaath dan Bani Israaiil ini terkandung beberapa faedah, yaitu:
Faedah Pertama, manusia – meskipun ia seorang yang ‘alim – kadang tersembunyi/samar olehnya sebagian perkara kesyirikan. Hal ini mewajibkan bagi manusia untuk belajar dan berusaha mengetahui sehingga tidak terjatuh dalam kesyirikan tanpa disadari. Apabila ia mengatakan : ‘aku mengetahui kesyirikan’, padahal kenyataannya ia tidak mengetahuinya, maka itu merupakan perkara paling berbahaya yang menimpa seorang hamba, karena termasuk jahil murakkab. Jahil murakkab lebih jelek daripada jahil basiith (pertengahan), karena seorang yang tertimpa jahil basith akan belajar dan mengambil manfaat dari ilmunya. Adapun orang yang tertimpa jahil murakkab, ia menyangka dirinya tahu – padahal sebenarnya jahil – sehingga ia terus melakukan perbuatan yang menyelisihi syari’at.
[3] Perkataan beliau : ‘Kisah ini juga memberikan faedah bahwasannya seorang muslim mujtahid….’; maka ini adalah Faedah Kedua, yaitu : seorang muslim apabila mengatakan perkataan yang mengkonsekuensikan kekufuran karena jahil tentangnya, lalu ia diperingatkan dan kemudian ia bertaubat pada saat itu, maka itu tidak memudlaratkannya karena ia diberikan ‘udzur atas kejahilannya. Dan ‘Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya’ (QS. Al-Baqarah : 286). Adapun jika ia tetap melakukannya padahal ia mengetahui perkataan/perbuatan itu adalah kekufuran, maka ia dihukumi sesuai dengan keadaannya (yaitu kafir).
[4] Perkataan beliau : ‘juga memberikan faedah : meskipun tidak dikafirkan ….’; maka ini adalah Faedah Ketiga, yaitu : bahwa ketika seseorang menuntut sesuatu yang mengandung kekufuran tanpa ia ketahui, maka ia perlu diperingatkan dengan sangat keras, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para shahabatnya : ‘Allaahu akbar, sesungguhnya ia adalah perbuatan orang terdahulu. Sungguh kalian benar-benar mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal’. Ini adalah pengingkaran yang sangat nyata/jelas”
[selesai perkataan Ibnul-‘Utsaimiin].
Diterjemahkan dari buku Syarh Kasyfisy-Syubuhaat oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah, halaman 115-119.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 31012015 – 22:10].




[1]      Diriwayatkan oleh Al-Imaam Ahmad (5/218) dan At-Tirmidziy (no. 1771) dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”.

Comments