Penjelasan Gamblang Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah dalam Masalah Pelabelan Kesyirikan


Manhaj Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah dalam pengkafiran bukan sesuatu hal yang asing bagi orang yang sering melakukan muthala’ah terhadap fatwa dan kitab-kitab beliau. Baik pengkafiran itu disebabkan oleh bid’ah, kesyirikan, atau dosa-dosa besar lainnya. Beliau rahimahullah adalah seorang yang sangat hati-hati dan tidak gegabah dalam pemberian label tertentu kepada seorang muslim sebagai orang yang fasiq, kafir, ataupun musyrik.
Kali ini, saya ajak Pembaca sekalian memperhatikan penjelasan beliau saat membahas tentang ketauhidan dalam kitab Al-Qaulul-Mufiid 'alaa Kitaabit-Tauhiid. Saya nukilkan sebagiannya. Beliau rahimahullah berkata:
السابعة: المسألة الكبيرة أن عبادة الله لا تحصل إلا بالكفر بالطاغوت.
ودليله قوله تعالى: {وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ } فمن عبد الله ولم يكفر بالطاغوت، فليس بموحد، ولهذا جعل المؤلف رحمه الله هذه المسألة كبيرة، لأن كثيرا من المسلمين جهلها في زمانه وفي زماننا الآن.
تنبيه:
لا يجوز إطلاق الشرك أو الكفر أو اللعن على من فعل شيئا من ذلك لأن الحكم بذلك في هذه وغيرها له أسباب وله موانع، فلا نقول لمن أكل الربا: ملعون، لأنه قد يوجد مانع يمنع من حلول اللعنة عليه، كالجهل مثلا، أو الشبهة، وما أشبه ذلك، وكذا الشرك لا نطلقه على من فعل شركا، فقد تكون الحجة ما قامت عليه بسبب تفريط علمائهم، وكذا نقول: من صام رمضان إيمانا واحتسابا، غفر له ما تقدم من ذنبه، ولكن لا نحكم بهذا لشخص معين إذ إن الحكم المعلق على الأوصاف لا ينطبق على الأشخاص إلا بتحقق شروط انطباقه وانتفاء موانعه.
فإذا رأينا شخصا يتبرز في الطريق، فهل نقول له: لعنك الله؟
الجواب: لا، إلا إذا أريد باللعن في قوله: "اتقوا الملاعن": أن الناس أنفسهم يلعنون هذا الشخص ويكرهونه، ويرونه مخلا بالأدب مؤذيا للمسلمين، فهذا شيء آخر.
فدعاء القبر شرك، لكن لا يمكن أن نقول لشخص معين فعله: هذا مشرك، حتى نعرف قيام الحجة عليه، أو نقول: هذا مشرك باعتبار ظاهر حاله.
Ketujuh : Satu permasalahan besar yaitu peribadahan kepada Allah tidaklah terwujud kecuali dengan mengkufuri thaghut.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala : ‘dan jauhilah thaghut itu’ (QS. An-Nahl : 36). Barangsiapa yang beribadah kepada Allah namun tidak mengkufuri thaaghuut, maka ia bukan seorang muwahhid. Oleh karena itu, muallif rahimahullah (yaitu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab) menjadikannya permasalahan yang besar, karena banyak kaum muslimin di jamannya dan jaman kita sekarang jahil/bodoh/tidak tahu tentang permasalahan tersebut.
Tanbih:
Tidak diperbolehkan memutlakkan kesyirikan, kekufuran, dan laknat terhadap orang yang melakukan sesuatu dari perbuatan tersebut, karena hukum tentang masalah ini dan juga yang lainnya mempunyai sebab-sebab dan penghalang-penghalang tersendiri. Maka, kita tidak boleh mengatakan pada orang yang memakan riba : ‘ia orang yang terlaknat (mal’uun)’, karena boleh jadi didapatkan penghalang yang menghalangi bersatunya laknat pada dirinya, seperti misal kebodohan, syubhat, dan yang semisalnya. Begitu juga dengan kesyirikan. Kita tidak memutlakkan kesyirikan pada orang yang melakukan kesyirikan, karena boleh jadi hujjah belum ditegakkan kepadanya dengan sebab peremehan/pengabaian para ulama mereka. Begitu juga kita boleh mengatakan : ‘Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadlan dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu’; namun demikian kita tidak menetapkan hukum ini pada individu tertentu (bahwasannya Allah telah mengampuni dosa-dosanya ketika ia berpuasa di bulan Ramadlaan).
Maka, hukum yang dikaitkan dengan sifat, tidak dapat ditetapkan terhadap individu-individu tertentu kecuali dengan terpenuhinya syarat-syaratnya dan hilang penghalang-penghalangnya.
Apabila kita melihat seseorang yang buang air besar di jalan, apakah kita akan mengatakan padanya : ‘Allah melaknat dirimu’ ?
Jawabannya : ‘Tidak’, kecuali jika laknat yang diinginkan adalah yang ada dalam sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Berhati-hatilah kalian terhadap tiga hal yang dapat mendatangkan laknat[1] yaitu bahwa manusia akan melaknat orang seperti ini dan mereka tidak menyukainya. Mereka memandangnya sebagai tindakan kurang adab yang menyakiti kaum muslimin, dan ini merupakan hal yang lain (dari yang dibahas).
Berdoa kepada kubur adalah kesyirikan, akan tetapi tidak mungkin kita katakan kepada individu pelakunya : 'Orang ini musyrik', hingga kita mengetahui telah tegak padanya hujjah; atau (tidak mungkin) kita mengatakan : 'Orang ini musyrik'; berdasarkan dhahir keadaannya (semata)" [Al-Qaulul-Mufiid ‘alaa Kitaabit-Tauhiid, 1/46-47; Daarul-‘Aashimah, Cet. 1/1415 H].
Ini adalah kaedah umum yang ditetapkan oleh Syaikh terkait pelabelan kekafiran, laknat, dan juga kesyirikan pada individu tertentu (mu’ayyan).
Pelabelan musyrik pada seseorang merupakan pengkafiran terhadapnya yang mesti terpenuhi persyaratan-persyaratannya dan juga hilang penghalang-penghalangnya. Mesti melewati proses penegakan hujjah terlebih dahulu sebelum vonis sebagai musyrik lagi kafir.
Hal senada juga dijelaskan oleh syaikh dalam kitab Syarh Kasyfusy-Syubuhaat hal. 55-62.
Adakah contoh kasusnya ?. Banyak, dan ini salah satunya:
Beliau rahimahullah pernah ditanya:
إمرأة كانت تعيش في بعض بلاد أفريقيا، توفيت هذه المرأة وكانت تطوف حول القبور وتذبح لها وليس هناك من علماء التوحيد من يبين لها وقد كانت تجهل هذا الأمر، هل تكون معذورة؟ وهل يجوز لأولادها ومن أراد الدعاء لها أن يدعو لها؟
“Seorang wanita yang hidup di sebagian negeri Afrika. Wanita ini meninggal, namun dulunya ia pernah thawaf di sekeliling kubur dan menyembelih sembelihan untuknya sedangkan di sana tidak ada ulama tauhid yang menjelaskan padanya. Wanita tersebut jahil tentang perkara ini. Apakah ia diberikan ‘udzur ? Apakah anak-anaknya dan orang yang yang ingin mendoakannya diperbolehkan mendoakannya ?”.
Lalu dijawab:
لكنها تدين بالإسلام، هي تدين بالإسلام؛ لكنها تفعل الشرك لا تدري ولم ينبها أحد عليه، وليس عندها من ينبهها؛ فهذه مسلمة، تعتبر مسلمة يصلى عليها، وتدفن مع المسلمين، ويدعوا لها أولادها؛ لأنها جاهلة لم تنبه على هذا ولم تعلم بهذا وليس عندها علماء ينبهونها وهي تدين بالإسلام؛ فهي جاهلة وقد قال الله تبارك وتعالى:{وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً}
“Akan tetapi wanita itu beragama Islam, namun melakukan kesyirikan tanpa ia ketahui dan tidak ada seorang pun yang memberitahukan kepadanya (tentang kesyirikan yang ia lakukan). Tidak ada orang di sisinya yang memberitahukan kepadanya. Maka wanita ini adalah muslimah. Ia dihukumi muslimah, yang dishalati dan dikuburkan bersama kaum muslimin. Anak-anaknya boleh mendoakannya, karena ia seorang yang jaahil, tidak ada orang yang mengingatkannya tentang (kesyirikan) perbuatan tersebut, dan ia tidak mengetahui hukum perbuatan tersebut. Tidak ada pula ulama di sisinya yang mengingatkannya, sedangkan ia beragama Islam, namun ia jahil. Allah tabaraka wa ta’ala telah berfirman : ‘dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15)” [Fataawaa Al-Haram Al-Madaniy, no. 65, side B, menit 15].
Jika kita perhatikan, kaedah yang beliau jelaskan di atas selaras dengan penerapan dalam kasus yang ada pada fatwa beliau.
Adakah yang seperti di atas menyisakan awan yang menghalangi sampainya sinar sang surya ?.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri – 31122014 – 00:54].







[1]      Haditsnya adalah:
عن مُعاذ بن جبل قال : قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم: اتّقُوا الملاعن الثّلاثة: البراز في الموارد، وقارعة الطّريق، والظّلّ.
Dari Mu’aadz bin Jabal, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Berhati-hatilah kalian terhadap tiga hal yang dapat mendatangkan laknat : buang hajat di mawaarid (jalan/saluran air), di tengah jalan, dan di tempat berteduh manusia” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 26, Ibnu Maajah no. 328, Al-Haakim 1/167, dan Al-Baihaqiy 1/97; dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/19].
عن أبي هريرة؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : اتقوا اللعانين. قالوا: وما اللعانان يا رسول الله؟ قال : الذي يتخلى في طريق الناس أو في ظلهم.
Dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berhati-hatilah kalian dua hal yang terlaknat”. Para shahabat bertanya : “Apa dua hal terlaknat itu wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Orang yang buang hajat di tengah jalan atau di tempat berteduh manusia” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 269].

Comments

Iyas mengatakan...

Apakah ada batasan perbuatan kufur yang tidak diberikan udzur? Seperti tidak menyembah/ menetapkan tuhan selain Allah?

Apa yang membedakan jika ada orang muslim menyembah selain Allah karena jahil dengan kedua orang tua Rasulullah yang sama-sama bukan ahli fatrah?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Silakan baca artikel Kekeliruan Analisa Peniadaan ‘Udzur Kejahilan : Sangkaan Mereka bahwa ‘Udzur Diberikan Secara Mutlak untuk Semua Kasus Kesyirikan.

Iyas mengatakan...

Jazakallah, seri tema ini banyak memberi manfaat buat saya.

Btw, sebenarnya pertanyaan tepat saya bukan disitu, sifatnya lebih umum bukan kondisional.

Intinya, jadi perbuatan syirik (ekstrimnya penyembah berhala) pun mendapat udzur bila ahli fatrah kan?

Adapun apabila telah sampai berita ketauhidan maka gugur udzur penyembahan berhalanya, seperti musyrikin mekah sebelum kenabian, karena mereka pernah mendengarnya sebagai dongengan orang-orang terdahulu.

Benar begitu?

abu muhammad mengatakan...

Saya pikir orang yg menuntut ilmu agama lbh baik drpda yg bodoh,akan tetapi krna kebodohannya sehingga melakukan maksiat kpd Allah Ta 'ala dapat di maklumi dan dilupakan perbuatannyakah?
Bagaimana mengkompromikannya?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Harus dibedakan antara ketidaktahuan/kebodohan karena tidak mau tahu dengan orang yang berusaha tahu tapi ternyata tidak tahu - atau pengetahuan itu belum sampai kepadanya.

Seorang anak pemalas tidak pernah mau belajar tentu beda dengan anak yang ada usaha untuk belajar, meski nilai keduanya jeblok saat test.

Anak pertama menghilangkan kondisi pemungkin agar dia bisa; sedangkan anak kedua sudah mengadakan kondisi pemungkinnya. Hanya saja mungkin anak kedua belajar materi yang salah (yang tidak keluar saat test) atau memang ia dianugerahi kapasitas otak yang agak lambat untuk menghapal.

Semoga dapat dipahami.

Unknown mengatakan...

Menindaklanjuti pertanyaan Sdr. Iyas dan tangggapan atas pertanyaan tsb (di komentar nomor dua), apakah kondisi kedua orang tua Rasulullah dapat disamakan dg kondisi kaum musyrik yang dida'wahi Rasulullah, yang menyatakan (sebagaimana dalam kutipan link artikel di komentar kedua)..

".. Bandingkan dengan perkataan orang-orang musyrik saat mereka diajak mentauhidkan Allah ta’ala :

أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” [QS. Shaad : 5].

Orang-orang musyrik (kafir asli) yang banyak disebukan dalam Al-Qur’an adalah orang-orang yang memang tidak mau mentauhidkan Allah, bahkan mengingkarinya, dan dengan sadar menetapkan penyembahan terhadap berhala/objek selain Allah.
[SELESAI].

Sementara kondisi kedua orang tua Rasulullah, belum pernah diajak mentauhidkan Allah ta’ala (masa Jahiliyyah) sampai mereka meninggal ?

Ana sudah pernah membaca artikel yang meniadakan status ahlul fatrah bagi kedua orang tua Rasulullah, namun dengan ada nya artikel 'udzur bil jahl yang merinci ini, ana menjadi musykil.

Anonim mengatakan...

Syaikh Utsaimin berkata menyangkut Ahlul Fatrah dan orangtua Rasulullah, jawabannya,ada di manhaj.com