Beberapa Kondisi Ditetapkannya ‘Udzur Kejahilan


Para ulama telah menetapkan beberapa kondisi diberikannya ‘udzur bagi seseorang karena kejahilannya. Diantara kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Baru Masuk Islam.
Orang yang baru masuk Islam umumnya tidak mengetahui mayoritas hukum-hukum Islam. Oleh karena itu, apabila ia meninggalkan perintah atau meninggalkan larangan dalam agama, diberikan ‘udzur hingga jelas baginya hukum yang terkait dengan perintah atau larangan tersebut dan ia belajar tentang syari’at Islam yang baru dipeluknya.
Dalilnya adalah hadits:
عن أبي واقد الليثي : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما خرج إلى خيبر مر بشجرة للمشركين يقال لها ذات أنواط يعلقون عليها أسلحتهم فقالوا يا رسول الله اجعل لنا ذات أنواط كما لهم ذات أنواط فقال النبي صلى الله عليه وسلم سبحان الله هذا كما قال قوم موسى أجعل لنا إلها كما لهم آلهة والذي نفسي بيده لتركبن سنة من كان قبلكم
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan Al-Makhzuumiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari Sinaan bin Abi Sinaan, dari Abu Waaqid Al-Laitsiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika keluar menuju Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik yang bernama Dzaatu Anwaath yang digantungkan padanya pedang-pedang mereka. Mereka (para shahabat) berkata : “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Subhaanallaah (Maha Suci Allah), ini adalah seperti perkataan kaum Musa : ‘Buatkanlah untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan’. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kalian benar-benar mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian” [Sunan At-Tirmidziy no. 2180. At-Tirmidziy berkata : “Hasan shahih”].
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thayaalisiy no. 1443, ‘Abdurrazzaaq no. 20763, Al-Humaidiy no. 871, Ibnu Abi Syaibah 15/101, Ahmad 5/218, Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir 4/no. 2338, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 76, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 11185, Abu Ya’laa no. 1441, Ibnu Jariir dalam Tafsir-nya 9/45, Ibnu Hibbaan no. 6702, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 3290-3294.
Dalam riwayat Ahmad, disebutkan lafadh permintaan shahabat:
يَا نَبِيَّ اللَّهِ، اجْعَلْ لَنَا هَذِهِ ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لِلْكُفَّارِ ذَاتُ أَنْوَاطٍ، وَكَانَ الْكُفَّارُ يَنُوطُونَ بِسِلَاحِهِمْ بِسِدْرَةٍ، وَيَعْكُفُونَ حَوْلَهَا
Wahai Nabi Allah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana orang kafir mempunyai Dzaatu Anwaath. Orang-orang kafir menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut seraya beri’tikaf di sekelilingnya”.
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata :
ليس ما طلبوه من الشرك الأصغر، ولو كان منه، لما جعله النبي صلى الله عليه وسلم نظير قول بني إسرائيل {اجْعَل لَنَا إِلَهاًَ} وأقسم على ذلك، بل هو من الشرك الأكبر، كما أن لا طلبه بنو إسرائيل من الأكبر، وإنما لم يكفروا بطلبهم؛ لأنهم حدثاء عهد الإسلام
“Apa yang mereka (para shahabat) minta itu bukanlah syirik ashghar - meskipun hal itu termasuk bagian darinya – karena ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyamakannya dengan perkataan Bani Israaiil ‘buatkanlah kami tuhan-tuhan’, dan beliau bersumpah mengenai hal itu. Bahkan, perbuatan mereka itu termasuk syirik akbar – sebagaimana permintaan Bani Israaiil juga termasuk syirik akbar. Hanya saja mereka (para shahabat) tidak dikafirkan dengan permintaannya karena mereka termasuk orang-orang yang baru saja masuk Islam” [Fathul-Majiid, hal. 146].
Beberapa faedah tentang hadits ini, silakan baca artikel : Faedah Hadits Abu Waaqid Al-Laitsiy tentang Dzaatu Anwaath.
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
وَلَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي كُفْرِ مَنْ تَرَكَهَا جَاحِدًا لِوُجُوبِهَا ، إذَا كَانَ مِمَّنْ لَا يَجْهَلُ مِثْلُهُ ذَلِكَ ، فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَعْرِفُ الْوُجُوبَ ، كَحَدِيثِ الْإِسْلَامِ ، وَالنَّاشِئِ بِغَيْرِ دَارِ الْإِسْلَامِ أَوْ بَادِيَةٍ بَعِيدَةٍ عَنْ الْأَمْصَارِ وَأَهْلِ الْعِلْمِ ، لَمْ يُحْكَمْ بِكُفْرِهِ ، وَعُرِّفَ ذَلِكَ ، وَتُثْبَتُ لَهُ أَدِلَّةُ وُجُوبِهَا ، فَإِنْ جَحَدَهَا بَعْدَ ذَلِكَ كَفَرَ
“Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kekafiran orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya apabila orang tersebut bukan termasuk orang yang jaahil akan perkara itu. Namun apabila ia termasuk orang yang tidak mengetahui kewajibannya seperti orang yang baru masuk Islam, orang yang hidup bukan di negeri Islam, atau hidup di tempat yang terpencil atau jauh dari ulama, maka tidak dihukumi kafir. Perlu diberitahukan kepadanya perkara tersebut dan disebutkan dalil-dalil akan kewajibannya kepadanya. Apabila ia mengingkarinya setelah itu, kafir” [Al-Mughniy, 10/82].
2.     Hidup di daerah terpencil/jauh yang tidak tersebar padanya ilmu (syari’at) dan sebab-sebab untuk memperolehnya.
Kejahilan dalam kondisi ini adalah sesuatu yang sulit dihindari sehingga di sinilah munculnya pentingnya dakwah Islam dan mengajari orang-orang untuk mempelajari agama mereka.
Dalilnya adalah hadits:
عَنْ عَائِشَةَ " أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ أَبَا جَهْمِ بْنَ حُذَيْفَةَ مُصَدِّقًا، فَلَاجَّهُ رَجُلٌ فِي صَدَقَتِهِ فَضَرَبَهُ أَبُو جَهْمٍ فَشَجَّهُ، فَأَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: الْقَوَدَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَكُمْ كَذَا وَكَذَا، فَلَمْ يَرْضَوْا، فَقَالَ: لَكُمْ كَذَا وَكَذَا، فَلَمْ يَرْضَوْا، فَقَالَ: لَكُمْ كَذَا وَكَذَا، فَرَضُوا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي خَاطِبٌ الْعَشِيَّةَ عَلَى النَّاسِ وَمُخْبِرُهُمْ بِرِضَاكُمْ، فَقَالُوا: نَعَمْ، فَخَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ هَؤُلَاءِ اللَّيْثِيِّينَ أَتَوْنِي يُرِيدُونَ الْقَوَدَ، فَعَرَضْتُ عَلَيْهِمْ كَذَا وَكَذَا فَرَضُوا، أَرَضِيتُمْ؟ قَالُوا: لَا، فَهَمَّ الْمُهَاجِرُونَ بِهِمْ، فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَكُفُّوا عَنْهُمْ فَكَفُّوا، ثُمَّ دَعَاهُمْ فَزَادَهُمْ، فَقَالَ: أَرَضِيتُمْ، فَقَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: إِنِّي خَاطِبٌ عَلَى النَّاسِ وَمُخْبِرُهُمْ بِرِضَاكُمْ، قَالُوا: نَعَمْ، فَخَطَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَرَضِيتُمْ، قَالُوا: نَعَمْ "
Dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Abu Jahm bin Hudzaifah sebagai petugas pemungut/pengumpul zakat. Lalu ada seorang laki-laki yang memprotesnya terkait dengan zakat yang diambilnya. Abu Jahm pun memukulnya hingga kepalanya terluka. Kemudian orang-orang dari kaum laki-laki itu mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (karenanya). Mereka berkata : “Kami menginginkan qishaash wahai Rasulullah”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bagi kalian demikian dan demikian”. Namun mereka tidak meridlainya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Bagi kalian demikian dan demikian”. Lalu mereka pun meridlainya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku akan berkhuthbah sore ini kepada orang-orang untuk mengkhabarkan kepada mereka tentang keridlaan kalian”. Mereka berkata : “Baik”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhuthbah dan bersabda : “Sesungguhnya mereka, orang-orang Bani Laits mendatangiku menginginkan adanya qishash. Lalu aku tawarkan kepada mereka demikian dan demikian, dan mereka pun ridla. Apakah kalian (yaitu : orang-orang Bani Laits) ridla ?”. Mereka menjawab : “Tidak”. (Mendengar itu), orang-orang Muhajirin berniat menghajar mereka, namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk menahan diri. Mereka (kaum Muhaajirin) pun menahan diri. Lalu beliau memanggil mereka (Bani Laits) dan kemudian beliau menambahkan tebusannya, lalu bersabda : “Apakah kalian ridla ?”. Mereka menjawab : “Ya”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku akan berkhuthbah kepada orang-orang untuk mengkhabarkan kepada mereka tentang keridlaan kalian”. Mereka berkata : “Ya”. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhuthbah dan bersabda : “Apakah kalian ridla ?”. Mereka menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4534, An-Nasaa’iy no. 4778, Ibnu Maajah no. 2638, dan yang lainya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud, 3/98-99].
Ibnu Hazm rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits tersebut:
في هذا الخبر عذر الجاهل، وأنه لا يخرج من الإسلام بما لو فعله العالم الذي قامت عليه الحجة لكان كافراً؛ لأن هؤلاء الليثيين كذبوا النبي صلى اله عليه وسلم، وتكذيبه كفر مجرّد بلا خلاف، لكنهم بجهلهم وأعرابيتهم عذروا بالجهالة، فلم يكفروا
“Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang ‘udzur bagi orang yang jaahil, dan bahwasannya ia tidak keluar dari Islam dengan sesuatu yang jika hal itu dilakukan oleh seorang ‘aalim yang telah ditegakkan padanya hujjah niscaya akan menjadi kafir. Hal itu dikarenakan orang-orang Bani Laits telah mendustakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal mendustakan beliau itu adalah kekufuran tanpa ada perselisihan. Akan tetapi mereka, dikarenakan kejahilan mereka dan juga mereka termasuk orang-orang Arab pedalaman, diberikan ‘udzur karena faktor kejahilan, sehingga tidak dikafirkan” [Al-Muhallaa, 10/410-411].
Orang-orang Bani Laits adalah orang-orang yang tinggal di pedalaman.
3.     Hidup di negeri/tempat yang didominasi oleh kebodohan, jauh dari ilmu dan ulama.
Kondisi ini juga menyebabkan kejahilan menjadi suatu hal yang susah untuk dihindari. Sungguh menjadi hal yang sangat menyedihkan, hal ini banyak terjadi di beberapa negeri Islam yang ditinggali kaum muslimin dewasa ini. Bahkan, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah bercerita tentang kondisi di jamannya sebagai berikut:
مثل من يعتقد أن شيخه يرزقه، أو ينصره أو يهديه، أو يغيثه، أو يعينه، أو كان يعبد شيخه أو يدعوه ويسجد له، أو كان يفضله على النبي صلى الله عليه وسلم تفضيلا مطلقا، أو مقيدا في شيء من الفضل الذي يقرب إلى اللّه تعالى، أو كان يرى أنه هو أو شيخه مستغن عن متابعة الرسول صلى الله عليه وسلم، فكل هؤلاء كفار إن أظهروا ذلك، ومنافقون إن لم يظهروه‏.‏
وهؤلاء الأجناس، وإن كانوا قد كثروا في هذا الزمان، فلقلة دعاة العلم والإيمان، وفتور آثار الرسالة في أكثر البلدان، وأكثر هؤلاء ليس عندهم من آثار الرسالة وميراث النبوة ما يعرفون به الهدى، وكثير منهم لم يبلغهم ذلك‏.‏ وفي أوقات الفترات، وأمكنة الفترات‏:‏ يثاب الرجل على ما معه من الإيمان القليل، ويغفر اللّه فيه لمن لم تقم الحجة عليه ما لا يغفر به لمن قامت الحجة عليه، كما في الحديث المعروف‏:‏ ‏(‏ يأتي على الناس زمان لا يعرفون فيه صلاة، ولا صيامًا، ولا حجًا، ولا عمرة، إلا الشيخ الكبير، والعجوز الكبيرة‏.‏ ويقولون‏:‏ أدركنا آباءنا وهم يقولون‏:‏ لا إله إلا الله فقيل لحذيفة بن اليمان‏:‏ ما تغني عنهم لا إله إلا اللّه‏؟‏ فقال‏:‏ تنجيهم من النار‏)‏ ‏.‏
وأصل ذلك‏:‏ أن المقالة التي هي كفر بالكتاب والسنة والإجماع يقال هي كفر قولا يطلق، كما دل على ذلك الدلائل الشرعية؛ فإن ‏[‏الإيمان‏]‏ من الأحكام المتلقاة عن اللّه ورسوله، ليس ذلك مما يحكم فيه الناس بظنونهم وأهوائهم‏.‏ ولا يجب أن يحكم في كل شخص قال ذلك بأنه كافر حتى يثبت في حقه شروط التكفير، وتنتفى موانعه
“Semisal orang yang berkeyakinan syaikhnya yang memberikan rizki kepadanya, menolongnya, memberikan hidayah kepadanya, membantunya atau menolongnya; atau orang yang menyembah kepada syaikhnya, berdoa kepadanya, atau sujud kepadanya; atau orang yang lebih mengutamakannya daripada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara mutlak atau muqayyad (terbatas) pada suatu keutamaan yang dapat mendekatkan kepada Allah ta’ala; atau orang yang berpandangan bahwa ia atau syaikhnya adalah orang yang tidak lagi dibebani kewajiban untuk mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka mereka semua adalah kafir jika menampakkannya, dan munafik jika tidak menampakkannya.
Semua jenis orang tersebut ada banyak di jaman ini, yang disebabkan oleh sedikitnya pendakwah yang menyerukan ilmu dan keimanan dan kelemahan ilmu agama/risaalah di kebanyakan negeri. Dan kebanyakan diantara mereka tidak mempunyai ilmu agama/risalah dan warisan kenabian sehingga dapat mengetahui petunjuk. Dan bahkan banyak di antara mereka yang tidak sampai (kepada mereka) ilmu agama/risalah dimaksud. Pada waktu dan tempat fatrah (kekosongan penyampaian risalah), seseorang diberikan pahala atas sedikitnya iman yang ia miliki. Dan Allah mengampuni orang yang belum tegak padanya hujjah, sebagaimana Ia tidak mengampuni orang yang telah tegak padanya hujjah. Terdapat dalam hadits yang ma’ruuf : ‘Akan tiba satu jaman yang tidak diketahui padanya shalat, puasa, haji, dan ‘umar, kecuali ada seorang laki-laki tua dan wanita lemah yang mengatakan : ‘Kami dapati ayah-ayah kami mengatakan : ‘Laa ilaha illallaah’. Dikatakan kepada Hudzaifah  bin Al-Yamaan : ‘Apakah kalimat Laa ilaha illallaah mencukupi bagi mereka ?’. Ia menjawab : ‘Kalimat itu dapat menyelamatkan mereka dari neraka’.[1]
Pokok pembicaraan hal itu adalah : Bahwasannya perkataan yang mengkonsekuensikan kekufuran berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’; maka dikatakan bahwa perkataan itu kufur secara mutlak, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iyyah. Sesungguhnya iman merupakan hukum-hukum yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bukan berdasarkan hukum yang berasal dari prasangka dan hawa nafsu manusia. Tidaklah mengkonsekuensikan kekafiran bagi setiap orang yang mengatakan perkataan kekafiran, hingga terpenuhi baginya syarat-syarat pengkafiran dan tidak adanya faktor penghalangnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 35/164-165].
Itulah kondisi masyarakat di jaman beliau rahimahullah hidup. Jaman dimana murid-murid beliau juga hidup, seperti Ibnu Katsiir, Adz-Dzahabiy, Al-Mizziy, dan yang lainnya rahimahumullah.
Beliau rahimahullah juga berkata:
فإن من جحد شيئًا من الشرائع الظاهرة، وكان حديث العهد بالإسلام، أو ناشئًا ببلد جهل، لا يكفر حتى تبلغه الحجة النبوية‏
“Dan barangsiapa yang mengingkari sesuatu dari syari’at-syari’at yang dhaahir sedangkan ia baru saja masuk Islam atau hidup di negeri kebodohan, maka ia tidak dikafirkan hingga sampai kepadanya hujjah nabawiyyah” [idem, 6/61].
فإنا بعد معرفة ما جاء به الرسول نعلم بالضرورة انه لم يشرع لأمته أن تدعو أحدا من الأموات لا الأنبياء ولا الصالحين ولا غيرهم لا بلفظ الاستغاثة ولا يغيرها ولا بلفظ الاستعاذة ولا يغيرها كما أنه لم يشرع لأمته السجود لميت ولا لغير ميت ونحو ذلك بل نعلم أنه نهى عن كل هذه الأمور وأن ذلك من الشرك الذي حرمه الله تعالى ورسوله لكن لغلبة الجهل وقلة العلم بآثار الرسالة في كثير من المتأخرين لم يكن تكفيرهم بذلك حتى يتبين لهم ما جاء به الرسول صلى الله عليه و سلم مما يخالفه
“Maka setelah kita mengetahui risalah yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kita mengetahui dengan pasti bahwa tidaklah disyari’atkan bagi umatnya untuk berdoa kepada orang mati, baik para Nabi, orang shaalih, dan yang lainnya; tidak dengan lafadh istighatsah, isti’adzah, atau yang lainnya. Sebagaimana juga tidak disyari’atkan bagi umatnya untuk sujud kepada mayit atau selain mayit, dan yang lainnya. Bahkan kita mengetahui beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang semua perkara itu, karena termasuk kesyirikan yang diharamkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Akan tetapi karena meratanya kebodohan dan sedikitnya ilmu tentang atsar-atsar risalah pada kebanyakan orang-orang yang hidup di masa belakangan (muta’akhkhiriin), maka kita tidak langsung mengkafirkan mereka karena perkara tersebut, hingga jelas bagi mereka syari’at yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perbuatan mereka tersebut” [Ar-Radd 'alal-Bakriy, 2/731].
4.     Hidup di Daarul-Harb (negeri kafir yang punya hak untuk diperangi) dengan alasan-alasan yang diterima oleh syari’at.
Seorang muslim yang hidup di Daarul-Harb diberikan ‘udzur dalam kejahilannya dalam masalah agama dimana ia tidak mengetahui kewajiban dan larangan yang berlaku padanya. Hal itu dikarenakan hukum-hukum syari’at tidak tersebar di wilayah tersebut, dan untuk mengetahui hukum-hukum Islam dalam kondisi tersebut menjadi sesuatu yang sulit. Dalam kitab Ghamzu ‘Uyuunil-Bashaair (3/300) disebutkan:
الجهل في دار الحرب من مسلم لم يهاجر، أي الجهل بالشرائع من مسلم أسلم فىيها. وأنه يكون عذراً حتى لو مكث فيها ولم يعلم أن عليه الصلاة والزكاة وغيرهما ولم يؤدهما، لا يلزم عليه قضاؤهما..... لخفاء الدليل في حقّه وهو الخطاب؛ لعدم بلوغه حقيقة بالسماع وتقديراً بالشهرة، فيصير جهله عذراً، بخلاف الذمّي إذا أسلم في دار الإسلام؛ لشيوع الأحكام والتمكّن من السؤال
“Kejahilan seorang muslim di Daarul-Harb yang tidak berhijrah - yaitu kejahilan seorang muslim yang masuk Islam di negeri tersebut terhadap hukum-hukum syari’at - , maka kejahilannya itu diberikan ‘udzur hingga seandainya ia tinggal padanya dalam keadaan tidak mengetahui adanya kewajiban shalat, zakat, dan yang lainnya, dan ia tidak menunaikannya. Tidak wajib baginya untuk mengqadla’-nya….. Hal itu dikarenakan tersembunyinya dalil yang memerintahkannya, yaitu khithaab; karena ketiadaan orang yang menyampaikannya dan dalil yang telah tersiar.  Maka, kejahilannya itu menjadi ‘udzur. Berbeda halnya dengan kafir dzimmiy apabila ia masuk Islam di negeri Islam, (maka tidak ada ‘udzur baginya) karena telah tersebarnya hukum-hukum Islam dan sangat mungkin baginya untuk bertanya (pada orang yang ilmu)” [selesai].
5.     Hidup di negeri/tempat yang banyak tersebar bid’ah yang menyebabkannya tidak mampu untuk mengetahui agama yang shahih sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Orang tersebut tidak mendapatkan ulama selain ulama yang berbuat bid’ah dan penyimpangan yang ia tidak mengetahui agama kecuali dari mereka itu. Dalam kondisi ini, orang tersebut seperti muqallid yang memiliki sedikit ilmu dan orang awam yang buta huruf. Para ulama menyamakan jenis orang yang jahil ini dengan ahlul-fatrah, karena ketiadaan penyampaian dakwah yang benar dan pengetahuan agama yanghakiki kepada mereka [Haqiiqatul-Bid’ah wa Ahkaamuhaa oleh Sa’iid bin Naashir Al-Ghaamidiy, 2/231].
6.     Kejahilan yang menjadi ‘udzur bagi orang awam pada hukum-hukum tertentu yang hanya diketahui oleh ulama.
Al-Qaadliy Husain rahimahullah dari kalangan Syaafi’iiyah membenarkan bahwa setiap masalah yang detail lagi samar/tersembunyi untuk diketahui dapat menjadi ‘udzur bagi orang awam [Raf’ul-Haraj fisy-Syarii’atil-Islaamiyyah oleh Shaalih bin Humaid, hal. 237. Lihat pula Al-Asybah wan-Nadhaair oleh As-Suyuuthiy, hal. 210].
Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
ما ينوب العباد من فروع الفرائض وما يخص به من الأحكام وغيرها مما ليس فيه نص كتاب، ولا في أكثره نص سنة. وإن كانت في شيء منه سنة، فإنما هي من أخبار الخاصة لا أخبار العامة، وما كان منه يحتمل التأويل ويستدرك قياساً، هذه درجة من العلم ليس تبلغها العامة
“Hamba-hamba Allah tidak diperintahkan melaksanakan cabang-cabang kewajiban, hukum-hukum syari’at yang bersifat khusus, dan perkara lainnya yang tidak terdapat nashnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apabila terdapat suatu sunnah dalam perkara-perkara tersebut, maka hal itu termasuk khabar khusus, bukan khabar umum. Begitu juga masalah-masalah yang memerlukan penta’wilan dan diketahui melalui qiyas, maka ini merupakan derajat ilmu yang tidak diketahui oleh orang awam” [Ar-Risaalah, hal. 359-360].
Perkara-perkara yang samar/tersembunyi (khafiy), bukan dhaahir, yang tidak diketahui kecuali melalui jalan yang khusus dari kalangan ulama, maka orang yang mengingkarinya dari kalangan awam tidak dikafirkan, akan tetapi apabila yang mengingkarinya dari kalangan khusus (ulama), dapat dikafirkan [Al-‘Awaashim minal-Qawaashim oleh Ibnul-Waziir, 4/174].
Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya sebagai pemahaman dasar dalam memahami ‘udzur kejahilan.
Wallahu a’lam.
Bahan bacaan:
1.     Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu (tesis) oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy.
2.     Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah wa Dlwaabithut-Takfiir ‘indas-Salaf oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Wuhaibiy.
[abul-jauzaa’ – senayan, Jakarta – 19122014].




[1]      Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4049; dishahihkan Dr. Basysyaar ‘Awwaad Ma’ruuf dalam tahqiiq dan takhriij-nya terhadap Sunan Ibni Maajah 5/510-511.
Perhatikan pendalilan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan hadits Hudzaifah bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu tentang kondisi di akhir jaman. Ini sekaligus ‘mengajari’ sebagian orang yang beku dalam beristinbath yang menyatakan dalil tersebut khusus berlaku di akhir jaman dan tidak cocok diterapkan untuk kondisi sekarang. Itulah bedanya Syaikhul-Islaam rahimahullah dengan mereka. Yang dijadikan ibrah adalah keadaan sedikitnya ilmu dan ulama sehingga kebodohan merajalela. 

Comments