Makna ‘Haddatsanaa, Akhbaranaa, dan Anba-anaa’


Tanya : Apa makna perkataan ‘haddatsanaa, akhbaranaa, dan anba-anaa’ dalam sebuah sanad hadits?
Jawab : Tiga kata yang saudara tanyakan termasuk diantara lafadh-lafadh penyampaian riwayat seorang perawi. Jawaban dari pertanyaan Saudara, akan saya ambilkan dari penjelasan Ibnu Naashiruddin rahimahullah dalam kitab ‘Uquudud-Durar fii ‘Uluumil-Atsar hal. 58-59 (Daar Ibni Hazm, Cet. 1/1426 H) berikut:


“Seorang perawi mempunyai pilihan lafadh dalam menyampaikan riwayat antara sami’tu (aku telah mendengar), haddatsanaa (telah menceritakan kepada kami), akhbaranaa (telah mengkhabarkan kepada kami), dan anba’anaa (telah memberitahukan kepada kami). Namun yang paling tinggi kedudukannya dari ungkapan-ungkapan ini adalah:
(1) sami’tu, kemudian
(2) haddatsanaa dan haddatsanii, kemudian
(3) akhbaranaalafadh-lafadh inilah yang sering digunakan dalam periwayatan - ,
kemudian
(4) nabba-anaa dan anba-anaa – dua lafadh ini jarang digunakan dalam periwayatan - .
Al-Khathiib menyebutkan hal semisal dalam Al-Kifaayah[1].
Ada beberapa ulama yang menyamakan makna beberapa lafadh tersebut, diantaranya Al-Hasan, Az-Zuhriy, Yahyaa Al-Qaththaan, Ibnu ‘Uyainah, Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhaariy, dan yang lainnya[2]. Orang yang pertama kali membedakan lafadh-lafadh tersebut adalah ‘Abdullah bin Wahb di Mesir[3].
Telah diriwayatkan kepada kami[4], bahwasannya Ibnu Wahb pernah berkata: “Riwayat yang aku katakan dengan ‘haddatsanaa’, maka riwayat itu aku dengarkan bersama orang-orang. Riwayat yang aku katakan dengan ‘haddatsanii’, maka riwayat itu aku dengarkan seorang diri. Riwayat yang aku katakan ‘akhbaranaa’, maka itu adalah riwayat yang dibacakan kepada seorang ulama sedangkan aku menyaksikannya. Riwayat yang aku katakan ‘akhbaranii’, maka itu adalah riwayat yang aku bacakan kepada seorang ulama”.
Abu Bakr Al-Khathiib[5] menyebutkan ini adalah anjuran, bukan kewajiban menurut para ulama. Al-Haakim Abu ‘Abdillah[6] menukil dari mayoritas gurunya dan para imam di jamannya semisal dengan istilah Ibnu Wahb, dan kemudian ia menambahkan : “Riwayat yang dibacakan kepada seorang muhaddits, lalu ia memberikan ijazah riwayatnya tersebut langsung dari bibirnya kepadanya (yang membacakan), maka orang yang meriwayatkan (yaitu si pembaca tadi) akan berkata : ‘anba-anii fulaan (telah memberitahukan kepadaku Fulaan). Dan riwayat yang ditulis seorang muhaddits kepadanya dari kotanya tanpa disertai ijazah riwayat dari mulutnya, maka orang yang meriwayatkan akan berkata : ‘kataba ilayya fulaan (Fulaan telah menuliskan riwayat kepadaku)”.
- selesai –
Begitulah penjelasan ringkas dari Ibnu Naashiruddiin, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, 29112014 – 00:20].




[1]      Al-Kifaayah, hal. 412.
[2]      Silakan lihat perincian-perinciannya dalam Al-Kifaayah hal. 424 dan Muqaddimah Ibni Shalah hal. 250.
[3]      Ibnu Shalah rahimahullah menyebutkan dalam Al-Muqaddimah hal. 251 : “Dan telah dikatakan, sesungguhnya orang yang pertama kali melakukan pembedaan dua lafadh ini (yaitu haddatsanaa dan akhbaranaa) adalah Ibnu Wahb di Mesir. Namun ha ini tertolak karena telah diriwayatkan tentang pendapat tersebut dari Ibnu Juraij dan Al-Auzaa’iy sebagaimana yang dihikayatkan oleh Al-Khathiib Abu Bakr. Kemungkinan maksudnya ia adalah orang yang pertama kami melakukan pembedaan itu di negeri Mesir, wallaahu a’lam”.
[4]      Penulis (Ibnu Naashiruddiin) tidak menyebutkan nama orang yang telah menceritakan riwayat kepadanya.
[5]      Al-Kifaayah hal. 425 dan disebutkan pula oleh Ibnu Shalah dalam Al-Muqaddimah hal. 255.
[6]      Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits, hal. 323.

Comments