Fiqh Syi’ah (8) : Hukum Tidur di Masjid


Ada riwayat:
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ يُونُسَ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ وَهْبٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) عَنِ النَّوْمِ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ مَسْجِدِ النَّبِيِّ ( صلى الله عليه وآله ) قَالَ نَعَمْ فَأَيْنَ يَنَامُ النَّاسُ .
‘Aliy bin Ibraahiim, dari Muhammad bin ‘Iisaa, dari Yuunus, dari Mu’aawiyyah bin Wahb, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) tentang tidur di Masjid Haraam dan Masjid Nabi (shallallaahu ‘alaihi wa aalihi). Ia menjawab : “Ya, boleh. Dan dimanakah orang-orang seharusnya tidur ?” [Al-Kaafiy, 3/369-370].
Kata Al-Majlisiy (15/247), riwayat di atas shahih.
عَنْهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَمَّادٍ عَنْ حَرِيزٍ عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَعْيَنَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) مَا تَقُولُ فِي النَّوْمِ فِي الْمَسَاجِدِ فَقَالَ لَا بَأْسَ بِهِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدَيْنِ مَسْجِدِ النَّبِيِّ ( صلى الله عليه وآله ) وَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Darinya, dari ayahnya, dari Hammaad, dari Hariiz, dari Zuraarah bin A’yan, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu Ja’far (‘alaihis-salaam) : “Apa pendapatmu tentang tidur di masjid-masjid ?”. Ia menjawab : “Tidak apa-apa, kecuali di dua masjid, yaitu Masjid Nabi (shallallaahu ‘alaihi wa aalihi) dan Masjid Haraam....” [Al-Kaafiy, 3/370].
Kata Al-Majlisiy (15/248), riwayat di atas hasan.
وعن عبدالله بن الحسن، عن جده علي بن جعفر، عن أخيه، قال: سألته عن النوم في المسجد الحرام؟ قال: لابأس، وسألته عن النوم في مسجد الرسول؟ قال: لا يصلح
Dari ‘Abdullah bin Al-Hasan, dari kakeknya yang bernama ‘Aliy bin Ja’far, dari saudaranya. Ia berkata : Aku pernah bertanya kepadanya tentang tidur di Masjid Haraam. Ia menjawab : “Tidak apa-apa”. Dan kemudian aku bertanya kepadanya tentang tidur di Masjid Rasul. Ia menjawab : “Tidak boleh” [Qarbul-Isnaad, hal. 69 no. 6382].
Perhatikan ! Ada pertanyaan sejenis terkait hukum tidur di Masjid Haraam dan Masjid Nabi, yang ditujukan kepada 3 orang imam Syi’ah. Ternyata, masing-masing imam memberikan jawaban yang variatif.
Al-Baqiir menjawab : “Keduanya boleh”.
Ash-Shaadiq menjawab : “Keduanya tidak boleh”.
Al-Kadziim menjawab : “Masjid Haraam boleh, sedangkan Masjid Nabi tidak boleh”.
Sebenarnya tidak masalah jika kita pahami ketiganya sedang berijtihad, karena ijtihad tetap akan membuahkan pahala meskipun keliru. Yang jadi masalah, semua jawaban diklaim benar karena sifat imam adalah ma’shum, tidak mungkin salah.
Bingung ? Sama. Ya sudah, #akurapopo

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, 21102014 – 00:20].

Comments