Mutaqaddimiin vs Muta’akhkhiriin




Pertanyaan dari Amerika, si Penanya berkata :
إذا كان الحديث قد ضعفه أهل العلم المتقدمين، وصححه بعض أهل العلم المتأخرين، فأي القول يؤخذ؟
“Apabila satu hadits telah didla’ifkan ulama mutaqaddimiin namun dishahihkan ulama muta’akhkhiriin, penilaian mana yang mesti diambil ?”.
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdillah Al-Imaam hafidhahullah menjawab :
إن كان الذي صححه من المتأخرين سائرًا على قواعد وضوابط المتقدمين؛ فلا مانع أن يؤخذ بتصحيح المتأخرين. وإن كان هذا المتأخر ليس على طريقة المتقدمين؛ فيبقى الحكم على الحديث على ما حكم به المتقدمون، والله المستعان
“Apabila ulama muta’akhkhiriin yang menshahihkan hadits tersebut berjalan di atas kaidah-kaidah dan dlawaabith ulama mutaqaddimiin, maka tidak ada halangan untuk mengambil penshahihan ulama muta’akhkhiriin. Namun jika ulama muta’akhiriin ini tidak berjalan di atas jalan yang ditempuh ulama mutaqaddimiin, maka penghukuman hadits tetap mengikuti penghukuman ulama mutaqaddimiin. Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 29081434/08072013].

Comments

Anonim mengatakan...

Kasih Contoh agar lebih mudah dipahami dong syakh??

Anonim mengatakan...

bisa dijelasakan istilah "dlawaabith"?

Jauzakallohu khoyron,

Arif Rahman

Unknown mengatakan...

@Anonim 8 Juli 2013 21.40:

Contohnya:
Syaikh Albani mendhoifkan hadits A, padahal Imam Hakim menshohihkan hadits tersebut.

Maka dilihat dulu haditsnya, biasanya disertakan juga keterangan dari Syaikh Albani (dalam kitab Silsilah Shahihnya).

KASUS yang biasa terjadi adalah karena Imam Hakim luput dalam ketelitian, bahwasanya ada sanad yang sebenarnya lemah (dan lemahnya ini dikuatkan oleh pendapat Ulama-ulama Hadits lain), tapi ternyata Imam Hakim menilainya kuat.

Bisa karena Imam Hakim belum mengetahui perihal tentang orang tersebut, atau bisa juga Imam Hakim salah mendengar keterangan tersebut (dan akhirnya diralat oleh Imam Fulan & Imam Hadits lain -misalnya-).

Maka kemudian hasil penilaian inilah yang dipakai.

_______________________________

Seperti yang banyak tersebar di Indonesia.

"Wah, Syaikh Albani itu gimana sih? Lha wong Imam Hakim aja menshohihkan kok dia malah mendhoifkan. Ngawur itu berarti!"

Padahal bisa jadi, Syaikh Albani mendhoifkannya karena melihat penilaian dari Imam Ahlul Hadits lain yang lebih mayoritas & hati-hati.

Dan apa yang dilakukan Syaikh Albani kebanyakan bukan menghukuminya secara baku, melainkan beliau hanya merangkum semua ilmu & penilaian Ulama Hadits sepanjang zaman saja (perihal keadaan sebuah sanad --- pantas-tidaknya sanad itu dikatakan kuat).

Sedangkan yang kita pelajari sangatlah kecil.

Namun dengan pengetahuan minim itu kadang kita merasa pongah, dan kita pun berani langsung menggoblok-goblokkan Syaikh Albani karena penghukuman beliau.

Padahal yang kita baca cuman versi Terjemahan Kitab Silsilah (atau bahkah versi ringkasnya --- yang hanya menyebutkan hukumnya tanpa disertai keterangan), yang notabene tak disebutkan secara rinci keterangan dari Syaikh Albani --> kenapa Beliau menghukumi demikian).

Anonim mengatakan...

Adakah Syiekh Al-Albani tergolong dalam golongan ulama yang dhawabith mutaqaddimiin?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Anonim 8 Juli 2013 21.40,... contohnya banyak.

Misalnya :

Al-Imaam Abu Daawud rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ، فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa bin Hammaad, dari Hammaad, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut)” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2350].

Diriwayatkan juga oleh Ahmad dalam Al-Musnad 2/423 no. 9473 & 2/510 no. 10629, Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 3/526 no. 3015, Ad-Daaruquthniy no. 2182, Ibnu Abi Shaabir dalam Al-Fawaaid no. 2, Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/203 & 1/205 & 1/426, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/218 no. 8018; dari 5 jalan (Ghassaan bin Ar-Rabii’, Rauh bin ‘Ubaadah, ‘Abdul-A’laa bin Hammaad, ‘Affaan, dan ‘Abdul-Waahid bin Ghiyaats); semuanya dari Hammaad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Sanad riwayat tersebut hasan. Namun Ibnu Abi Haatim rahimahullah mendla'ifkannya dengan perkataannya :

وَسألت أبي عَنْ حديث رَوَاهُ رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، عَنْ حَمَّادٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ ". قُلْت لأَبِي: وَرَوَى رَوْحٌ أَيْضًا عَنْ حَمَّادٍ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ أَبِي عَمَّارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ، وَزَادَ فِيهِ: " وَكَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ ". قَالَ أَبِي: هَذَانِ الْحَدِيثَانِ لَيْسَا بِصَحِيحَيْنِ، أَمَّا حَدِيثُ عَمَّارٍ فَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَوْقُوفٌ، وَعَمَّارٌ ثِقَةٌ، وَالْحَدِيثُ الآخَرُ لَيْسَ بِصَحِيحٍ

Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadits Rauh bin ‘Ubaadah, dari Hammaad, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut)’. Aku berkata kepada ayahku : “Dan Rauh juga meriwayatkan dari Hammaad, dari ‘Ammaar bin Abi ‘Ammaar, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam semisalnya, dan terdapat tambahan padanya : ‘Dan muadzdzin mengumandangkan adzan apabila fajar telah terbit”. Ayahku berkata : “Kedua hadits ini tidak shahih. Adapun hadits ‘Ammaar, maka ia berasal dari Abu Hurairah secara mauquuf, dan ‘Ammaar adalah seorang yang tsiqah. Sedangkan hadits yang lain, tidaklah shahih” [Al-‘Ilal, 2/235-236 no. 240. Juga pada 2/137-138 no. 759].

Perkataan ini tidak diterima. Silakan baca bahasannya di : Hadits Sahur Ketika Adzan Berkumandang .

------------------

Anonim 9 Juli 2013 17.58,... Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah mengikuti manhaj para ulama terdahulu dalam menshahihkan atau mendla'ifkan hadits.

wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Alhamdulillah.. Kiranya tidak benarlah kenyataan, andai suatu hadis telah dinilai oleh ulama mutaqaddimin, tak perlu lagi penilaian Al-Albani. Jazakumullahu khairan.