Imam Ma’shum yang Tidak Ma’shum



Al-Kulainiy berkata :
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ جَمِيلِ بْنِ دَرَّاجٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ (عليه السلام) عَنْ قَتْلِ الْخُطَّافِ أَوْ إِيذَائِهِنَّ فِي الْحَرَمِ فَقَالَ لَا يُقْتَلْنَ فَإِنِّي كُنْتُ مَعَ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ (عليه السلام) فَرَآنِي وَ أَنَا أُوذِيهِنَّ فَقَالَ لِي يَا بُنَيَّ لَا تَقْتُلْهُنَّ وَ لَا تُؤْذِهِنَّ فَإِنَّهُنَّ لَا يُؤْذِينَ شَيْئاً
‘Aliy bin Ibraahiim, dari ayahnya, dari Ibnu Abi ‘Umair, dari Jamiil bin Darraaj, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) tentang (hukum) membunuh khuththaaf (sejenis burung) atau menyakitinya di tanah Haraam. Lalu ia menjawab : “Janganlah engkau membunuhnya. Dulu aku pernah bersama ‘Aliy bin Al-Husain (‘alaihis-salaam), lalu ia melihatku sedang menyakitinya (khuththaaf). Ia berkata kepadaku : “Wahai anakku, janganlah engkau membunuhnya dan jangan pula menyakitinya, karena mereka (khuththaaf) tidak menyakiti siapapun” [Al-Kaafiy, 6/224].
Al-Majlisiy menghukumi riwayat di atas : “Hasan” [Mir’atul-‘Uquul, 21/370].

Hanya mengingatkan kema’shuman yang harus ada pada imam-imam Syi’ah sebagaimana ditegaskan ulama-ulama mereka :
ونعتقد أن الأنبياء معصومون قاطبة ، وكذلك الأئمة ، عليهم جميعا التحيات الزاكيات ، وخالفنا في ذلك بعض المسلمين ، فلم يوجبوا العصمة في الأنبياء فضلا عن الأئمة
العصمة : هي التنزه عن الذنوب والمعاصي صغائرها وكبائرها ، وعن الخطأ والنسيان ، وإن لم يمتنع عقلا على النبي أن يصدر منه ذلك بل يجب أن يكون منزها حتى عما ينافي المروة ، كالتبذل بين الناس من أكل في الطريق أو ضحك عال ، وكل عمل يستهجن فعله عند العرف العام
"Kami berkeyakinan bahwasannya para Nabi itu ma'shum tanpa terkecuali, begitu juga para imam 'alaihim-jamii'an at-tahiyyaat waz-zaakiyaat. Dan sebagian kaum muslimin menyelisihi kami dalam hal itu dimana mereka tidak mewajibkan adanya 'ishmah bagi para nabi, lebih-lebih bagi para imam.
Al-‘Ishmah itu pengertiannya adalah suci dari dosa-dosa dan dari kemaksiatan yang besar maupun yang kecil. Juga suci dari kesalahan dan lupa, bahkan harus suci pula dari perkara yang mubah tetapi mengurangi kewibawaan, seperti terlalu banyak makan, tertawa terbahak-bahak, dan dari segala perkara yang dianggap rendah oleh masyarakat......." [‘Aqaaidul-Imaamiyyah oleh Muhammad Ridlaa Al-Mudhaffar, hal. 54-55 – lihat sini].
Referensi Syi’ah yang berbahasa Indonesia tentang teori kema’shuman imam adalah sebagai berikut :
"Dalam argumentasi dan dalil imamah telah disebutkan bahwa seorang imam harus ma’shum (terjaga dari dosa), memiliki seluruh karakteristik utama manusia, tersucikan dari segala kebejatan mental, mengetahui segala yang dibutuhkan oleh umat manusia, dan mampu mendepak segala kritik (yang berkembang di tengah-tengah masyarakat). Kesimpulannya, ia harus sempurna dari segala segi" [lihat : http://www.lankarani.com/and/shia/05.php].
Tapi ternyata,.... imam ma’shum pun menyakiti khuththaaf sehingga mesti diperingatkan oleh ayahnya. Jadi, siapakah yang salah dalam meletakkan pondasi ‘aqidah kema’shuman imam dalam agama Syi’ah ? Imam ma’shum atau ulama Syi’ah (yang juga ikut-ikutan ma’shum) ?.
[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri, 12072012].

Comments